Ada 2 Netralitas Utama Yang Dituju Dalam Kebijakan Pajak Internasional?

Ada 2 Netralitas Utama Yang Dituju Dalam Kebijakan Pajak Internasional
Netralitas dalam Pajak Internasional SERI PAJAK INTERNASIONAL | Kamis, 30 Juni 2016 | 13:33 WIB DALAM konteks pajak internasional, efisiensi ekonomi merujuk pada desain sistem pajak internasional yang bersifat netral. Netralitas dapat dicapai jika suatu sistem pajak tidak mendistorsi pilihan-pilihan ekonomi dari subjek pajak. Terdapat dua netralitas utama yang dituju dalam kebijakan pajak internasional, yaitu: (i) capital export neutrality dan (ii) capital import neutrality,

Kebijakan capital export neutrality merupakan netralitas yang dimaksudkan agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama terhadap subjek pajak dalam negeri yang melakukan investasi di negaranya sendiri ( domestic investment ) maupun ketika subjek pajak dalam negeri tersebut melakukan investasi di negara lain ( foreign investment ).

Dengan demikian, dalam capital export neutrality, investor tidak diperlakukan berbeda jika melakukan aktivitas investasi di dalam maupun di luar negeri. Pada umumnya, negara-negara maju lebih memilih untuk menerapkan kebijakan capital export neutrality.

  1. Sebaliknya, negara-negara berkembang cenderung memilih untuk menerapkan kebijakan capital import neutrality,
  2. Adapun yang dimaksud dengan capital import neutrality yaitu agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama atas penghasilan yang bersumber di suatu negara tanpa membedakan negara yang menerima penghasilan tersebut.

Atau dengan kata lain, dalam capital import neutrality, perlakuan pajak suatu negara atas investasi yang masuk dari dalam maupun luar negeri adalah sama. Perlu diperhatikan bahwa netralitas di atas tidak bergantung pada ketentuan domestik satu negara saja, namun juga dipengaruhi oleh ketentuan domestik negara lain.

Hal ini menjadi semakin relevan di era globlisasi ini, di mana dana investasi dapat secara bebas mengalir dari satu negara ke negara lainnya. Dengan demikian, ketentuan domestik suatu negara dapat saja mendistorsi pilihan ekonomi subjek pajak di negara lain. Fakta bahwa belum terdapatnya koordinasi kebijakan pajak secara global, menyebabkan sering terjadinya distorsi dalam pilihan ekonomi.

Implikasinya, akan timbulnya kompetisi pajak antar satu negara dengan negara lainnya. Cek berita dan artikel yang lain di : Netralitas dalam Pajak Internasional

Apa yang dimaksud dengan netralitas pajak?

Belakangan ini, diskursus publik diwarnai oleh topik rencana kebijakan menyesuaikan sistem pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Mayoritas masyarakat tergiring pada opini bahwa pemerintah seolah tidak adil dan tidak berpihak kepada masyarakat kecil di masa pandemi ini.

Padahal, salah satu tujuan dari langkah pemerintah menata PPN adalah menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Pajak pertambahan nilai (PPN) pada dasarnya dikenakan atas barang dan jasa tanpa memperhatikan kemampuan pembayar pajaknya. Sebagai pajak atas konsumsi, skema PPN tidak melihat siapa yang mengonsumsi barang dan jasa tersebut dan kemampuan mereka membayar.

Jadi, masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah sama-sama membayar pajak dengan nominal yang sama atas konsumsi barang dan jasa yang sama. “Sekarang pertanyaan saya begini, andaikata tidak dikenakan apakah mencerminkan keadilan? Ternyata tidak juga.

Prinsipnya begini, pajak itu seharusnya dikenakan pada ke orang-orang yang mempunyai penghasilan tinggi atau kelompok orang kaya. Namun, jika barang dan jasa ini tidak dikenakan maka mereka jadinya tidak bayar pajak, kan begitu. Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan atas sembako ini, masing-masing mempunyai isu ketidakadilan.

Saya berpandangan, lebih baik tetap dikenakan, tetapi nanti hasil pajak yang dipungut didistribusikan kembali kepada mereka yang terkena dampak pengenaan PPN ini,” ujar Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center. Kedua, PPN adalah jenis pajak yang ditujukan kepada konsumen akhir, tetapi pengusaha diminta untuk memungut pajaknya.

Dengan demikian PPN bersifat pajak tidak langsung. Untuk itu, para pengusaha ini harus memiliki mekanisme pajak keluar pajak masukan (PKPM). Artinya, pengusahanya hanya membayar selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan. Inilah yang disebut netralitas PPN. “Nah, jika ada satu jenis barang atau jasa yang dikecualikan dari PPN pada rantai produksi atau distribusi, maka ini akan merusak mekanisme PPN.

Saat ada pajak masukan itu penyerahannya tidak dikenakan PPN artinya pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Kemudian, ada dua pilihan yang akan diambil pengusaha yakni mengurangi marjin labanya atau dibebankan pada harga pokok penjualan. Pilihan kedua menjadi opsi yang paling sering diambil sehingga otomatis harga naik. Kebijakan penataan sistem PPN ini juga merupakan bagian dari upaya dalam menyehatkan APBN. Menata sistem pemungutan PPN Kebijakan penyesuaian sistem pemungutan PPN dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, hadirnya distorsi ekonomi karena adanya tax insiden sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.

Kedua, kurangnya rasa keadilan atas objek pajak yang sama yang saat ini dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda, namun sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN. Darussalam menilai bahwa langkah pemerintah yang akan mengusulkan skema penataan PPN sudah tepat dan sesuai dengan konsep dasar PPN.

“Sejak PPN diperkenalkan untuk menggantikan pajak penjualan pada 1984, mekanisme PPN yang dibangun sudah disisipi banyak pengecualian sehingga tujuan PPN saat digulirkan pertama kali atau saat ini dibangun oleh para ahlinya itu sudah menyimpang. Saat ini, sepertinya pemerintah ingin membawa kembali dengan konsepnya sehingga berguna bagi penerimaan negara Indonesia,” jelas Darussalam.

  • Pemerintah sendiri berharap setidaknya ada empat dampak perubahan yang terjadi jika kebijakan ini nantinya diimplementasikan.
  • Pertama, terkait dengan dampak ekonomi di mana kebijakan ini akan membawa kita pada satu mekanisme pemungutan pajak yang lebih efisien.
  • Emudian dari sisi fasilitas, fasilitas PPN tidak dipungut ini berakibat pada pajak masukan atas penyerahan BKP atau JKP strategis tidak bisa dikreditkan sehingga harga lebih murah dan eksportir tidak perlu melakukan restitusi.

Lalu terkait dampak sosial di mana nantinya masyarakat dapat menjangkau layanan pemerintah lebih baik lagi dengan harga terjangkau. Terakhir, kita juga berharap kebijakan ini pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak sehingga tax expenditure ataupun hal-hal yang selama ini menjadi biaya bisa berkurang,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor dalam media briefing terkait isu PPN (14/6).

Beri kompensasi untuk masyarakat menengah ke bawah Kebijakan penataan sistem PPN ini juga merupakan bagian dari upaya dalam menyehatkan APBN. Selama ini, APBN sudah bekerja sangat keras untuk menjadi bantalan bagi masyarakat terdampak pandemi COVID-19. Harapannya, kebijakan ini akan meningkatkan kepatuhan pajak bagi masyarakat mampu dan kemudian pajaknya akan dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.

“Di sinilah aspek keadilan dan gotong royong ditonjolkan. Pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan pajak terutama bagi masyarakat ataupun bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi pajak lebih besar dibandingkan yang lainnya. Dengan demikian, kita dapat memberikan kompensasi berupa subsidi untuk masyarakat menengah ke bawah, seperti yang sudah dirasakan sebelumnya seperti subsidi listrik dengan batasan daya tertentu dan juga penyediaan tabung gas 3kg,” papar Neil.

  • Hal senada juga disampaikan oleh Darussalam.
  • Menurutnya kebijakan PPN lebih baik dikenakan dan nanti hasil pajak yang dipungut dapat didistribusikan kepada mereka yang terkena dampak dari pengenaan PPN ini.
  • Sederhananya seperti ini, misalnya potensi PPN atas sembako secara keseluruhan katakan 1000 potensi pajaknya.

Kontribusi yang tidak mampu kita kasih proporsi 30 persen, yakni Rp300. Sementara kontribusi masyarakat yang berpenghasilan tinggi atau mampu itu 70 persen, yakni Rp700. Nah, Rp700 ini bisa didistribusikan kembali ke masyarakat tidak mampu. Daripada kita tidak kenakan sama sekali, maka negara kehilangan potensi pajak sebesar Rp1.000,” terang Darussalam.

  1. Upaya merespon pandemi tanpa mendistorsi ekonomi Menurut Darussalam, studi empiris di banyak negara dalam hal pengenaan pajak di masa pandemi ini selalu diingatkan agar tidak menimbulkan distorsi ekonomi.
  2. Pengenaan PPN ia nilai lebih tepat jika dibandingkan PPh karena sifatnya yang netral, skema yang sederhana, dan lebih mencerminkan ukuran ekonomi sebuah negara.

Langkah pemerintah juga dinilai tepat karena sesuai dengan international best practice yang dilakukan di banyak negara berkembang yang ekonominya tidak berbeda jauh dengan Indonesia. “Antara dua pilihan yakni PPh dan PPN, yang sifatnya lebih netral dan tidak mendistorsi ekonomi adalah pengenaan atas PPN.

Sebab, PPh semakin mudah disalahgunakan dengan fenomena penghindaran pajak dan juga semakin sulit menarik pajak dari PPh. Sehingga yang lebih gampang, lebih sederhana, dan mencerminkan size ekonomi suatu negara adalah PPN. Sekarang banyak negara mulai beralih dari PPh ke PPN karena jenis skema pemajakannya sangat sederhana.

Maka dari itu, jangan dirusak dengan mekanisme atau skema pengecualian-pengecualian tersebut,” tambahnya. Senada dengan Darussalam, Neil menyampaikan bahwa beberapa negara menggunakan PPN sebagai salah satu instrumen untuk merespon pandemi COVID-19 ini agar penerimaan negara-negara yang bersangkutan optimal.

Jelaskan apa tujuan utama dari pajak internasional?

Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional ○ Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut.

You might be interested:  Apa Visi Otoritas Jasa Keuangan Ojk?

Jelaskan apa yang menjadi dasar terjadinya hukum pajak internasional?

Mengenal Pajak Internasional dan Bagaimana Kebijakannya di Indonesia Jakarta – Istilah pajak internasional memang sudah terdengar tidak asing lagi bagi sebagian orang yang familiar dengan lingkungan perpajakan dan akuntansi, namun bagi orang awam pajak internasional dapat terlihat ambigu dan membingungkan. Jadi apa sih sebenarnya pajak internasional itu? Pajak internasional dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antar negara yang memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau yang sering disebut dengan P3B.

  • Secara garis besar, pajak internasional mengatur dua hal, yakni pemajakan subjek pajak dalam negeri yang mendapatkan penghasilan dari sumber di luar negeri, dan pemajakan subjek pajak luar negeri yang menerima yang mendapatkan penghasilan dari sumber di dalam negeri.
  • Perjanjian ini diberlakukan untuk menghindari terjadinya pajak berganda karena perbedaan ketentuan pajak antar negara, sehingga pajak internasional lah yang menjadi penengah saat terjadinya hal tersebut.
  • Selain itu, pajak internasional ini juga bertujuan guna untuk meningkatkan taraf perekonomian serta perdagangan untuk kedua negara yang berhubungan, dan bertujuan untuk meminimalisir hambatan pada investasi atas penanaman modal asing yang diakibatkan oleh perlakuan pengenaan pajak yang diberlakukan untuk kedua negara yang bersangkutan.
  • Setidaknya terdapat 2 faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kesepakatan ini, antara lain:
  1. Personal Connecting Factor, yaitu faktor yang menghubungkan hak perpajakan suatu negara berdasarkan status pada suatu subjek pajak negara yang berkaitan, namun untuk WP pribadi ketentuannya dilihat dari tempat tinggal dan keberadaannya.
  2. Objective Connecting Factor, yaitu faktor yang menghubungkan hak perpajakan suatu negara berdasarkan dengan aktivitas ekonomi atau objek pajak yang berkaitan dengan daerah teritorial suatu negara.

Lantas bagaimana dengan kebijakan pajak internasional ini di Indonesia ? Indonesia sendiri sebagai negara yang memang sering menjalin hubungan dengan negara lainnya seperti dalam aktivitas impor, ekspor serta aktivitas lainnya juga sebenarnya termasuk dalam kategori perdagangan internasional karena dari aktivitas tersebut akan mengakibatkan wajib pajak dalam negeri memperoleh suatu penghasilan.

  • Selain itu pada dasarnya Indonesia memang sudah menandatangani konvensi wina dimana dalam konvensi tersebut tercantum kekuatan hukum yang mengikat diantara negara-negara yang juga menandatangani konvensi tersebut.
  • Dalam hal perlakuan pajaknya pengenaannya hanya dibatasi pada subjek serta objek pajak yang berada pada wilayah Indonesia saja, atau bisa diartikan bahwa suatu badan yang tidak berkedudukan di Indonesia umumnya tidak akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang dimiliki Indonesia.

Namun dalam hal ini, pajak yang dikenakan akan berkaitan dengan subjek dan objek yang berada di luar wilayah Indonesia yang memiliki hubungan yang cukup dekat terkait dengan perekonomian dan hubungan kenegaraan dengan Indonesia sendiri. Hal ini sudah tercantum dalam Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur tentang P3B dalam Undang Undang PPh pada Pasal yang ke 32A yang membahas tentang adanya kewenangan pemerintah untuk melakukan segenap perjanjian dengan pemerintahan negara lain guna untuk menghindari pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, dan diatur dalam Peraturan Perpajakan Nasional UU PPh pada Pasal yang ke 3 yang membahas tentang apa saja yang tidak termasuk dalam subjek pajak, serta ketentuan-ketentuan lainnya.

Mengapa netralitas diperlukan bagi ASN?

Tahun 2019 merupakan tahun yang penting karena agenda politik nasional akan digelar pada tahun tersebut, dengan puncak pesta demokrasi yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. Seluruh lapisan masyarakat dipastikan akan terlibat dan terkena dampak dari pesta demokrasi yang berlangsung, tak terkecuali Aparatur Sipil Negara (ASN).

  1. Secara individual, seorang ASN adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki hak dalam kebebasan berserikat dan berkumpul, juga bahwa bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
  2. Namun di sisi lain, seorang ASN juga terikat dengan kode etik dan kode perilaku ASN.
  3. Hal ini menjadi kondisi yang dilematis bagi seorang ASN, dimana antara hak pribadi dan kewajiban untuk menjaga netralitas saling berseberangan.

Sebab dengan jumlahnya yang sangat besar, jika mereka berpihak kepada salah satu kubu, pastilah pengaruhnya akan sangat signifikan. ASN dituntut untuk selalu netral dalam berpolitik. Setiap pegawai ASN tidak boleh berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.

  1. ASN dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden.
  2. Netralitas ASN sangat dibutuhkan bagi organisasi pemerintah yang misi utamanya adalah mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
  3. Sesuai UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, 16 hal yang tidak boleh dilakukan ASN demi menjaga netralitasnya, yaitu : 1.

Kampanye atau sosialisasi melalui media sosial (posting, share, berkomentar,dll) 2. Menghadiri deklarasi calon 3. Ikut sebagai panitia atau pelaksana kampanye 4. Ikut kampanye dengan atribut PNS 5. Ikut kampanye dengan menggunakan fasilitas negara 6. Menghadiri acara partai politik (parpol) 7.

  1. Menghadiri penyerahan dukungan parpol ke pasangan calon (paslon) 8.
  2. Mengadakan kegiatan mengarah keberpihakan (ajakan, imbauan, seruan, pemberian barang) 9.
  3. Memberikan dukungan ke calon legislatif/calon independen kepala daerah dengan memberikan KTP 10.
  4. Mencalonkan diri dengan tanpa mengundurkan diri (sebagai ASN) 11.

Membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan paslon 12. Menjadi anggota atau pengurus parpol 13. Mengerahkan PNS untuk ikut kampanye 14. Pendekatan ke parpol terkait pencalonan dirinya atau orang lain 15. Menjadi pembicara/narasumber dalam acara parpol 16.

Foto bersama paslon dengan mengikuti simbol tangan atau gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan Disamping itu, Kita harus benar-benar bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan sampai kita terjebak dengan aksi propaganda dan fitnah yang berujung pada sentimen negatif terhadap salah satu kubu.

Sebagai pengguna media sosial, terlebih selaku ASN jangan sampai mengunggah, membagikan berita hoak atau memberikan komentar yang bisa menimbulkan sentimen SARA dan menimbulkan perpecahan. Sangat berat memang untuk menjaga netralitas bagi seorang ASN dalam masa pesta demokrasi saat ini.

Aktivitas untuk mengontrol tubuh dan pikiran, untuk tidak berkomentar, like, posting di media sosial. ASN harus dapat berperan dalam membangun suasana kondusif di media sosial, saling mengingatkan dan mengawasi agar tidak melakukan kesalahan dalam memanfaatkan teknologi informasi maupun penggunaan media sosial, sekaligus menghalau tersebarnya paham radikal.

ASN dituntut untuk tetap netral, bijak dalam menyikapi segala bentuk informasi/berita capres/cawapres tertentu, bijak dalam menggunakan media sosial tetapi jangan lupa sebagai ASN dan Warga Negara Indonesia yang baik, gunakan hak pilih anda dalam PEMILU yang akan segera digelar tahun 2019.

Subjek pajak ada berapa?

Perbedaan Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri – Setelah mengetahui subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri maka ada perbedaan yang jelas antara keduanya. terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya diantaranya:

  • Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
  • Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan alias tarif tunggal terhadap semua objek pajak berapapun nilainya. Bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang undang ini dan undang undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
  • Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Jika Grameds ingin mempelajari lebih lanjut mengenai subjek pajak dan pajak internasional. Grameds bisa membaca buku dan dapatkan bukunya yang tersedia di www.gramedia.com, Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik! Penulis: Yufi Cantika Sukma Ilahiah BACA JUGA:

  1. Pengertain Pajak: Fungsi, Manfaat, Jenis, dan Cara Membayar
  2. Mengenal Jenis-Jenis Pajak yang Ada di Indonesia
  3. Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan Ekonomi
  4. Pengertian NPWP: Jenis, Manfaat, dan Cara Membuat NPWP
  5. Cara Membuat NPWP Secara Online dan Offline

Dari mana saja asas pemungutan pajak?

Sementara itu, menurut Miyasto, asas – asas perpajakan itu meliputi asas legal, asas kepastian hukum, asas efisiensi, asas non distorsi, asas sederhana (simplicity) dan asas adil (Miyasto, tanpa tahun).

Apa yang melatar belakangi terjadinya pajak internasional?

Ada pun perpajakan internasional muncul, disebabkan oleh beberapa peristiwa/kegiatan, diantaranya adalah adanya kegiatan ekonomi lintas batas atau adanya investasi dan perdagangan internasional yang memberikan manfaat ekonomi.

2 Apakah yang menyebabkan timbulnya pajak berganda internasional?

Penyebab Terjadinya Pajak Berganda Pajak berganda adalah pengenaan pajak atas penghasilan (objek pajak) yang sama terhadap subjek pajak yang sama oleh dua negara yang berbeda. Pajak berganda dapat terjadi apabila dalam suatu transaksi lintas batas negara terdapat lebih dari satu negara yang menyatakan hak pemajakan berdasarkan salah satu faktor penghubung.

Konflik selanjutnya yakni konflik antara negara domisili dan negara sumber untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu ( source-residence conflict ), kemudian konflik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara domisili ( residence state ) bagi subjek pajak tertentu ( residence-residence conflict ), Dan konflik antara negara domisili dan negara sumber atas karakterisasi suatu jenis penghasilan tertentu ( characterization of income conflict ).Penyebab lain dari terjadinya pajak berganda ialah karena adanya prinsip perpajakan global untuk Wajib Pajak dalam negeri dimana penghasilan dari dalam negeri dan luar negeri dikenakan pajak oleh negara residen atau negara domisili Wajib Pajak, terdapat juga pemajakan teritorial bagi Wajib Pajak luar negeri oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber.Untuk menciptakan perdagangan dan investasi lintas batas negara dan menumpas pengelakan pajak yang dapat merugikan negara maka hadirlah tax treaty yang merupakan bagian dari hukum internasional untuk menghindari terjadinya perpajakan berganda yang akan membebani dunia usaha yang sudah kita bahas di artikel sebelumnya. (Atania Salsabila)

You might be interested:  Apa Saja Yang Menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak?

: Penyebab Terjadinya Pajak Berganda

5 Sebutkan dan jelaskan hambatan apa saja yang dialami dalam melakukan proses pemungutan pajak di Indonesia?

Pemungutan pajak di Indonesia mengalami banyak permasalahan, antara lain disebabkan: Kelemahan regulasi dibidang perpajakan itu sendiri, kurangnya sosialisasi, tingkat kesadaran, pengetahuan dan tingkat ekonomi yang rendah, database yang belum lengkap dan akurat, lemahnya penegakan hukum berupa pengawasan dan pemberian

Metode apa yang memfasilitasi wajib pajak agar tidak terkena pajak berganda?

Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral yang dipakai oleh Undang- undang Pajak Penghasilan di Indonesia menggunakan metode pengkreditan secara terbatas atau ordinary credit. Artinya besarnya kredit pajak yang dibayar di luar negeri tidak boleh melebihi perhitungan pajak yang terutang di dalam negeri.

Mengapa perlu adanya perjanjian penghindaran pajak berganda p3b atau tax treaty dalam transaksi perdagangan internasional?

Berdasarkan laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama. P3B ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap),

  1. Tax treaty merupakan bagian dari Hukum Internasional.
  2. Tax treaty hadir dari kebutuhan untuk menciptakan perdagangan dan investasi lintas batas dan menumpas pengelakan pajak yang dapat merugikan negara dengan melakukan pertukaran informasi.
  3. Tax treaty dilakukan untuk menghindari adanya perpajakan berganda yang akan membebani dunia usaha, menjamin kedudukan antar negara adalah setara, mengkoordinasikan hak pajak berdasarkan pada prinsip pajak internasional, menyederhanakan mekanisme sengketa pajak, dan menghindari perlakuan pajak yang diskriminatif,

Pajak Berganda terjadi saat pajak dikenakan oleh dua atau lebih negara pada objek pajak yang sama, subjek pajak yang sama dan periode yang identik yang mengakibatkan pajak yang dibebankan kepada wajib pajak lebih besar dari tarif pajak domisili yang seharusnya ditanggung.

Dengan kata lain, penghindaran pajak berganda terjadi ketika beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak atas penghasilan yang diterima sama persis dengan tarif pajak negara domisili atau secara total beban pajak yang ditanggungkan sama seperti tarif negara domisili. Contoh: ABCD Ltd. adalah Perusahaan yang ada di Singapura yang menerima pembayaran dividen dari kepemilikan sahamnya pada salah satu Perusahaan go public di Indonesia.

Tarif pajak atas dividen yang berlaku pada Undang-Undang PPh Indonesia adalah sebesar 20% dan besarnya tarif Pajak Perusahaan Singapura adalah 17%. Diasumsikan Indonesia dan Singapura memiliki tax treaty yang menyatakan bahwa pajak atas dividen paling banyak dikenakan tarif sebesar 10% di negara sumber.

  • Maka terdapat beberapa skema yang dapat terjadi: Apabila Indonesia dan Singapura tidak memiliki tax treaty, maka atas transaksi tersebut dikenakan tarif pajak sebesar 20% di Indonesia.
  • Tarif tersebut lebih besar 3% dari tarif pajak domisili ABCD Ltd.
  • Di Singapura yang seharusnya ditanggung oleh ABCD Ltd.

Hal inilah yang disebut dengan pajak berganda. Apabila Indonesia dan Singapura memiliki tax treaty dan perjanjian tersebut dapat berlaku secara efektif, atas transaksi tersebut dikenakan tarif pajak sebesar 10% di Indonesia. ABCD Ltd. kemudian dapat menyerahkan bukti potong pajak atas dividen saat kembali ke Singapura dan selanjutnya hanya akan dikenakan pajak sebesar sisa dari selisih tarif pajak domisili yang seharusnya ditanggung dengan tarif pajak yang disepakati dalam P3B yaitu sebesar 7% di Singapura (17%-10%).

Hal inilah yang disebut dengan penghindaran pajak berganda. Seperti banyak hukum publik internasional lainnya, Lotus Principle digunakan sebagai dasar hukum tax treaty, Prinsip Lotus atau Pendekatan Lotus menyatakan ” sovereign states may act in any way they wish so long as they do not contravene an explicit prohibition ” bahwa setiap negara yang berdaulat berwenang untuk melakukan apa saja selama hal itu tidak menentang larangan yang eksplisit.

Dalam kaitannya dengan aturan perpajakan, tax treaty memiliki prinsip bahwa sejatinya setiap negara berwenang untuk menerapkan pemajakan apapun di negaranya berdasarkan kewenangannya sepanjang tidak menentang larangan yang ada. Tax treaty disepakati antar dua negara yurisdiksi.

Tax treaty adalah perjanjian antara negara yang berdaulat ( sovereign nations ),Kewajiban yang muncul dari tax treaty hanya muncul untuk dua negara yang ada dalam perjanjian. Tidak untuk pihak ketiga seperti WP, Tax treaty mengikat untuk dua negara perjanjian dan harus dilaksanakan secara good faith,Biasanya bersifat bilateral (antara dua negara), tapi ada juga yang lebih dari dua negara (perjanjian multilateral), Tax treaty bersifat resiprokal (timbal balik), Tax treaty merepresentasikan aspek penting perpajakan internasional dari banyak negara,Mayoritas negara disusun berdasarkan bagian besar dari UN model dan OECD model.

Aturan mengenai tax treaty terdapat pada Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”.

Dengan demikian, pengaplikasian tax treaty bersifat lex specialis dan akan mengesampingkan aturan hukum umum, yaitu Undang-Undang Perpajakan di Indonesia. Namun, aturan tax treaty tidak disusun untuk mengganti hukum pajak Indonesia. Tax treaty hanya merestriksi pemajakan domestik suatu negara, dalam hal ini adalah Undang-Undang Pajak yang berlaku di Indonesia.

Mayoritas tax treaty yang ada di dunia disusun berdasarkan OECD Model dan UN Model dan disertai dengan commentary sebagai alat interpretasi dan referensi. Namun, terdapat beberapa perbedaan pandangan terhadap keberadaan commentary dalam penerapan tax treaty,

  1. Meskipun disusun oleh sebuah tim experts OECD, Commentary OECD Model tidak didesain untuk mengikat secara hukum ( legally binding ).
  2. Hal ini juga berlaku pada Commentary UN Model yang bahkan secara tegas menyatakan larangan penggunaannya sebagai rekomendasi formal dan hanya boleh dijadikan sebagai rujukan saja.

Seperti banyak negara lain, Commentary OECD Model dan UN Model bukan merupakan sesuatu yang mengikat secara hukum ( legally binding instrument ) di Indonesia tapi sangat relevan untuk dijadikan referensi. Secara umum, objek perpajakan yang diatur dalam tax treaty adalah Pajak Penghasilan, sehingga hak pemajakan diatur berdasarkan pada residen yang memperoleh penghasilan atau ” resident recipient “.

Penghasilan yang tercakup dalam tax treaty meliputi semua penghasilan dari residen, tidak peduli negara sumber memajaki atau tidak dan apa dasar pajak yang digunakan. Tax treaty tidak mengatur perpajakan residen dan tidak mempengaruhi kewenangan negara residen untuk memajaki residen karena Negara residen bebas memajaki residennya.

Lebih lanjut, tax treaty berbicara mengenai penentuan residen dan distribusi hak pemajakan pada negara dalam perjanjian. Tax treaty juga memberikan interpretasi umum untuk kedua negara. Apabila ketentuan antar negara berbeda, maka kedua otoritas akan berdiskusi untuk menyepakati definisi atas sesuatu. Penjelasan flowchart :

Lakukan identifikasi transaksi internasional yang terjadi. Transaksi internasional tersebut dapat berupa inbound income (penghasilan yang berasal dari luar negeri yang diterima oleh residen dalam negeri) maupun outbound income (penghasilan yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh residen luar negeri).Tentukan perlakuan pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan atas transaksi internasional yang terjadi. Apabila tidak ada PPh terutang atas transaksi tersebut maka berakhirlah flowchart interaksi Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan P3B.Apabila terdapat PPh terutang atas transaksi tersebut, lihat apakah P3B antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional dapat diterapkan. Apabila P3B antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional tidak dapat diterapkan, maka pemajakan transaksi internasional didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan.Apabila P3B antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional dapat diterapkan, maka sandingkan kedua aturan dan periksa apakah terdapat konflik antara aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan P3B. Apabila tidak terdapat konflik antara dua aturan tersebut, maka pemajakan transaksi internasional didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan.Apabila terdapat konflik antara Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan P3B, maka pemajakan atas transaksi internasional (khusus untuk isu yang berkonflik saja) didasarkan pada P3B, sedangkan untuk hal lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan akan tetap menggunakan aturan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Secara umum berikut adalah Langkah Penerapan Tax Treaty 1. Aplikasi Hukum Domestik. Negara dalam perjanjian terlebih dahulu merefleksikan sebuah transaksi penghasilan pada hukum pajak domestik yang berlaku di negara tersebut. Apabila berdasarkan ketentuan perpajakan domestik terdapat hak pemajakan (ada PPh berdasarkan aturan pajak Indonesia) 2.

  • Hak Pemanfaatan Tax Treaty Negara dalam perjanjian akan menilai apakah tax treaty dapat diaplikasikan untuk selanjutnya melakukan penyandingan hukum PPh dan tax treaty,
  • Apabila terdapat perbedaan dalam aturan PPh dengan P3B, maka aturan P3B lah yang digunakan (sepanjang tidak bertentangan dengan hukum pajak domestic, sifat tax treaty hanya merestriksi).
You might be interested:  Khalifah Yang Berinisiatif Membenahi Keuangan Negara Baitul Mal Adalah?

Tax treaty kemudian mengidentifikasi keterangan residen penerima penghasilan.3. Distributive Rule Negara dalam perjanjian harus mengklasifikasikan penghasilan ke dalam aplikasi pasal distributive rule dengan memeriksa scope of distributive rule,4. Relief Negara dalam perjanjian akan memeriksa apakah relief dapat diaplikasikan (dalam hubungannya jika negara dalam perjanjian lainnya memberi pajak.5.

Kesimpulan Terakhir, negara dalam perjanjian menarik kesimpulan mengenai ada atau tidaknya restriksi aplikasi hukum domestik oleh tax treaty, Referensi: Kementerian Keuangan.2020. Penjelasan Singkat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Atau Tax Treaty, Brian J. Arnold. An Introduction to Tax Treaties.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 pajak-penghasilan-badan, persetujuan-penghindaran-pajak-berganda, tax-treaty

Mengapa pajak Berganda merugikan wajib pajak?

Pemungutan pajak berganda terhadap satu wajib pajak sudah dapat dipastikan akan sangat merugikan wajib pajak tersebut, oleh karena tidak dapat menikmati hasil atas usaha kerjanya karena terlalu dibebani oleh pemungutan pajak dari dua otoritas.

Apa yang dimaksud dengan netralitas?

Yang dimaksud dengan asas netralitas adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Bagaimana netralitas ASN?

Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas saat menandatangani Keputusan Bersama Netralitas Pegawai ASN, di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta, Kamis (22/09). J AKARTA – Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah serentak di tahun 2024 sudah semakin dekat. Untuk menjamin terjaganya netralitas aparatur sipil negara (ASN), pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.

  • Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas bersama dengan Menteri Dalam Negeri M.
  • Tito Karnavian, Plt.
  • Epala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto, serta Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja menandatangani SKB tersebut di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta, Kamis (22/09).

“Tentu kegiatan ini amat sangat penting dalam upaya untuk mewujudkan birokrasi yang netral serta SDM ASN yang bisa men- support agenda pemerintah yaitu salah satunya pemilihan umum yang nanti akan digelar,” ujar Menteri Anas. ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.5/2014 tentang ASN. Dalam aturan tersebut termaktub bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Menteri Anas menekankan, ketidaknetralan ASN tentunya akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat. “Karena apabila ASN tidak netral maka dampak yang paling terasa adalah ASN tersebut menjadi tidak profesional dan justru target-target pemerintah di tingkat lokal maupun di tingkat nasional tidak akan tercapai dengan baik,” imbuh mantan Bupati Banyuwangi tersebut.

ASN perlu mencermati potensi gangguan netralitas yang bisa terjadi dalam setiap tahapan Pemilu dan Pemilukada. Potensi gangguan netralitas dapat terjadi sebelum pelaksanaan tahapan pilkada, tahap pendaftaran bakal calon kepala daerah, tahap penetapan calon kepala daerah, maupun pada tahap setelah penetapan kepala daerah yang terpilih.

Mantan Kepala LKPP tersebut mengatakan dengan adanya komitmen bersama oleh Kementerian PANRB, Kemendagri, BKN, KASN, dan Bawaslu diharapkan akan terbangun sinergitas dan efektivitas dalam pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai ASN. Hadirnya SKB netralitas juga tentunya akan mempermudah ASN dalam memahami hal-hal yang tidak boleh dilakukan dan berpotensi melanggar kode etik ataupun disiplin pegawai.

Perpajakan Internasional: Pengantar Perpajakan Internasional

“Mudah mudahan kegiatan ini nanti akan berdampak luas tidak hanya di pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintah kabupaten, kota, provinsi di seluruh Indonesia,” tandasnya. Menteri Dalam Negeri M. Tito Karnavian pun mengamini hal tersebut. Tito memandang ASN menjadi komponen penting pemerintahan untuk menjamin berlangsungnya Pemilu dan Pemilukada tahun 2024 baik di tingkat nasional maupun daerah. “Kita sudah tahu undang-undangnya ASN tidak boleh berpolitik praktis.

Arena ASN adalah tenaga profesional yang menjadi motor pemerintahan,” katanya. Tito memahami bahwa situasi politik bisa saja memanas. Namun ASN harus tetap pada kedudukan profesional dan tidak memihak pada kontestan politik yang akan bertanding di Pemilu maupun Pemilukada. Meskipun sejatinya ASN memang memiliki hak pilih dalam setiap pesta demokrasi yang berlangsung.

“Di sini kita semua sepakat, biarlah siapapun yang bertanding baik tingkat pusat, daerah atau legislatif, proses itu untuk menentukan kader-kader pemimpin yang terbaik. Tapi kita sebagai ASN yang mengawaki jalannya roda pemerintahan harus tetap pada posisi netral siapapun juga pemenangnya,” pungkasnya.

Apa yang dimaksud dengan perjanjian penghindaran pajak berganda?

Apa itu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)? P3B ( Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri.

Jakarta – P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri.

P3B digunakan untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili. Dimana negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan negara domisili adalah negara dengan tempat wajib pajak tinggal ataupun menetap.

Adapun tujuan-tujuan yang dimiliki P3B seperti mencegah pengelakan pajak, memberikan kepastian hukum, sebagai alat pertukaran informasi, penyelesaian sengketa dalam P3B, non diskriminasi, dan sebagai bantuan dalam penagihan pajak. Dalam prosesnya, P3B ini memerlukan Prosedur Persetujuan Bersama ( Mutual Agreement Procedure ) yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Dirjen Pajak dan otoritas pajak negara atau juga yurisdiksi mitra P3B.

Permintaan persetujuan ini dapat diajukan oleh wajib pajak dalam batas waktu pelaksanaan persetujuan. Selain itu DJP mempunyai kuasa untuk meneliti permintaan pelaksanaan persetujuan untuk dapat menentukan bisa atau tidaknya untuk dilaksanakan prosedur persetujuan tersebut.

Namun, ketika persetujuan tersebut sudah mendapatkan hasil persetujuan bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pun pembatalan surat ketetapan pajak yang benar, maka DJP berhak untuk melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak tersebut sesuai dengan ketentuannya.

Dalam perpajakan Internasional, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ini menjadi sumber hukum yang selalu digunakan dalam setiap transaksinya. Aspek-aspek perpajakannya pun juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada pada P3B sesuai dengan transaksi yang bersangkutan.

  • Maka dari itu setiap negara yang terlibat dalam proses pembuatan P3B ini pun harus mendasari adanya model perjanjian yang diakui secara internasional.
  • Untuk itu model perjanjian tersebut dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Model OECN ( Organization for Economic Cooperation and Development ) dan Model UN ( United Nation ).

Dalam model OECD ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan perdagangan antara negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangkan pajak berganda internasional serta pada model ini hak pemajakan diberikan lebih banyak kepada negara domisili.

  1. Anggota model OECD ini terdiri dari negara maju, yang umumnya di Negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan 19 negara maju lainnya.
  2. Sedangkan dalam Model UN ini mempunyai tujuan pada P3B yang lebih meluas, yaitu bertujuan untuk meningkatkan investasi asing sebagai sarana untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara berkembang.

Berlawanan dengan Model OECD, pada model UN ini lebih memberikan hak pemajakan kepada negara sumber atau negara yang berpenghasilan. Anggota Model UN ini terdiri dari ahli perpajakan negara maju dan perwakilan dari negara yang sedang membangun seperti, Asia, Amerika Latin dan Afrika, Indonesia, India, Turki dan 14 negara lainnya.

  • Edua model ini menjadi acuan untuk digunakan oleh negara yang akan melakukan transaksi luar negeri dengan melibatkan perjanjian ini, di Indonesia sendiri juga membentuk dan mengembangkan modelnya sendiri yang diberi nama dengan Model Indonesia.
  • Dimana dalam Model Indonesia ini merupakan penggabungan dan pengembangan dari Model OECD dan Model UN.

: Apa itu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)?

Mengapa setiap warga negara Harusmembayar pajak?

Hallo Dexter 2, kakak bantu jawab ya 🙂 Menurut Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2009, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Setiap warga harus membayar pajak, selain sifatnya yang dapat dipaksakan, dengan membayar pajak, pajak dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, seperti pengeluaran yang bersifat self liquiditing. Contohnya adalah pengeluaran untuk proyek produktif barang ekspor. Selain itu, pajak yang diterima, dapat memberikan manfaat yang digunakan untuk membiayai pengeluaran reproduktif yaitu pengeluaran yang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat, seperti pengeluaran untuk pertanian dan pengairan.

Pajak juga dapat memberikan dampak terhadap keadaan ekonomi dengan harapan perekonomian akan senantiasa stabil dan menyeimbangkan dan menyesuaikan antara pembagian pendapatan dengan kesejahteraan masyarakat. Semoga jawabannya membantu ya, have a nice day 🙂 –