Apa Dampak Positif Kenaikan Tarif Pajak Bagi Perekonomian Daerah?
Bagaimana Pengaruh kenaikan tarif PPN sembako terhadap pemasukan pajak negara? – Kedua, dari sisi Pemerintah. Kenaikan tarif PPN sembako akan kebutuhan pokok dari 10% menjadi 12% membawa pengaruh positif bagi pemerintah karena berhubungan terhadap potensi penerimaan pajak dari pajak penambahan nilai tersebut, sehingga pemasukan pajak negara dari sisi itu akan bertambah dan besar.
Contents
- 0.1 Apa dampak jika pemerintah menaikkan pajak?
- 0.2 Menurut pendapat anda apa alasan pemerintah menaikkan tarif PPN?
- 0.3 Mengapa dengan menaikkan tarif pajak dapat menurunkan tingkat inflasi?
- 0.4 Apa pengaruh dari kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak terhadap menekan laju inflasi?
- 0.5 Disebut apakah tarif pajak yang berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak?
- 1 Apa yang akan terjadi apabila ada daerah yang menerapkan pajak dan retribusi daerah lebih tinggi daripada yang diatur dalam peraturan perundangan?
- 2 Untuk apa manfaat membayar pajak daerah?
- 3 Apa saja fungsi pajak dalam perekonomian di Indonesia?
- 4 Apa yang menyebabkan terjadinya kenaikan pajak?
- 5 Apa tujuan pemerintah memberlakukan pajak?
- 6 Apa manfaat pajak untuk pemerintah?
Apa dampak jika pemerintah menaikkan pajak?
Pajak merupakan iuran wajib dari rakyat untuk negara yang bersifat memaksa dan tidak memberikan imbalan secara langsung. Pemungutan pajak dapat dipaksakan dan memiliki sanksi bagi yang melanggar karena dilaksanakan berdasarkan undang-undang, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pegeluaran umum berhubung dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan.
- Adapun dampak dari masyarakat jika pemerintah menaikkan pajak, yaitu: Harga barang naik, kenaikan tarif PPN akan berdampak kepada kenaikan harga barang yang otomatis semakin mahal.
- Daya beli anjlok, kenaikan harga akan semakin menurunkan daya beli masyarakat yang tentunya akan memperlambat pemulihan ekonomi.
Penyerapan tenaga kerja menurun, penyerapan tenaga kerja otomatis akan menurun dikarenakan utilisasi dan penjualan melemah, sehingga akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. – Pajak merupakan iuran wajib dari rakyat untuk negara yang bersifat memaksa dan tidak memberikan imbalan secara langsung.
Harga barang naik, kenaikan tarif PPN akan berdampak kepada kenaikan harga barang yang otomatis semakin mahal. Daya beli anjlok, kenaikan harga akan semakin menurunkan daya beli masyarakat yang tentunya akan memperlambat pemulihan ekonomi. Penyerapan tenaga kerja menurun, penyerapan tenaga kerja otomatis akan menurun dikarenakan utilisasi dan penjualan melemah, sehingga akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja.
Menurut pendapat anda apa alasan pemerintah menaikkan tarif PPN?
Alasan Kenaikan Tarif PPN 11 persen Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik menjadi 11 persen sejak 1 April 2022. Kenaikan tarif tersebut merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sesuai amanat dari UU HPP kenaikan tarif PPN akan berlangsung secara bertahap hingga 2025. Pro dan kontra dari adanya kenaikan tarif PPN pun tak bisa terhindarkan. Sebagian kalangan setuju dengan kenaikan tarif PPN 11 persen, namun sebagian kalangan lainnya menolak kenaikan tarif tersebut. Lalu sebenarnya apakah alasan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen? Menteri Keuangan menjelaskan bahwa alasan utama dinaikannya tarif PPN 11 persen yaitu menambah pemasukan penerimaan negara guna memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara berturut-turut mengalami defisit selama pandemi.
Agar kondisi APBN bisa pulih dan surplus kembali dibutuhkan terobosan baru yang dapat memulihkannya. PPN dipilih pemerintah sebagai space yang tepat untuk pemulihan APBN karena tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain.
- Jika melihat tarif PPN negara-negara anggota G20 dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) rata-rata tarif PPN di negara tersebut sebesar 15–15,5 persen.
- Sehingga di sini terdapat peluang yang tepat agar tarif PPN Indonesia bisa setara dengan negara lainnya sekaligus memperbaiki kondisi APBN negara.
Alasan lain kenaikan tarif PPN yaitu untuk memperkuat fondasi pajak pada perekonomian negara. Sebagaimana diketahui pajak berperan besar pada penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara, termasuk membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang hingga saat ini masih berlanjut.
- Banyak kalangan yang menilai kenaikan tarif PPN 11 persen saat ini tidak tepat, sebab Indonesia sedang berada di fase pemulihan ekonomi dan beberapa kebutuhan pokok pun harganya sedang melonjak.
- Dengan adanya kenaikan tarif tersebut semakin menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
- Tetapi poin penting yang harus dijadikan catatan adalah kenaikan PPN 11 persen tidak berpengaruh pada barang dan jasa yang bersifat strategis seperti bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak contohnya beras, telur, dan kedelai, jasa pendidikan, dan kesehatan.
Tidak ada niat pemerintah untuk memberatkan masyarakat, begitu yang dikatakan oleh Wakil Menteri Keuangan. Walaupun banyak kalangan yang menolak kenaikan tarif PPN 11 persen, namun kenaikan tersebut merupakan ketentuan mutlak UU HPP yang tidak dapat ditunda maupun diubah.
- Perlu diketahui juga bahwa adanya kenaikan tarif PPN diikuti oleh perubahan aturan pajak lainnya yang menguntungkan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
- Salah satu perubahan yang menjadi sorotan penting yaitu perluasan bracket tarif 5 persen Pajak Penghasilan (PPh) yang juga diatur dalam UU HPP.
Sehingga di sini terjadi keseimbangan yakni walaupun masyarakat harus membayar PPN lebih tinggi ketika mengonsumsi barang atau jasa kena pajak, tetapi kini masyarakat juga akan membayar pajak penghasilan yang lebih rendah. * Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas: Ekonomi dan Bisnis, Jurusan: Akuntansi, Angkatan 2020 * Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini Sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis : Alasan Kenaikan Tarif PPN 11 persen
Apa dampak positif pajak?
Hallo Nasywa N, kakak bantu jawab ya Sebagai sumber pendapatan negara yang utama, dampak positif dari pajak adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Salah satu kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi ialah dengan cara menaikkan tarif pajak. Ketika tarif pajak ditingkatkan maka harga barang menjadi lebih mahal, sehingga adanya kelebihan nominal yang akan diterima oleh pemerintah akibat dari kenaikkan tarif pajak.
- Hal ini yang menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menurun.
- Salah satu kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi ialah dengan cara menaikkan tarif pajak.
- Etika tarif pajak ditingkatkan maka harga barang menjadi lebih mahal, sehingga adanya kelebihan nominal yang akan diterima oleh pemerintah akibat dari kenaikkan tarif pajak.
Hal ini yang menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menurun.
Apa pengaruh dari kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak terhadap menekan laju inflasi?
Pajak dapat menjadi sarana untukmengendalikanlajuinflasikarena naiknyatarif pajakbisa mengurangi tingkat konsumsi rumah tangga dan perusahaan. Untuk menekan inflasi,pemerintahdapatmenaikkan tarif pajakyang berlaku. Naiknyatarif pajakuntuk rumah tangga dan perusahaan akan mengurangi tingkat konsumsi mereka.
- Jadi, jawaban yang tepat adalah B.
- Pajak dapat menjadi sarana untuk mengendalikan laju inflasi karena naiknya tarif pajak bisa mengurangi tingkat konsumsi rumah tangga dan perusahaan.
- Untuk menekan inflasi, pemerintah dapat menaikkan tarif pajak yang berlaku.
- Naiknya tarif pajak untuk rumah tangga dan perusahaan akan mengurangi tingkat konsumsi mereka.
Jadi, jawaban yang tepat adalah B.
Disebut apakah tarif pajak yang berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak?
Tarif Progresif – Dimana dalam tarif progresif, saat pemungutan pajaknya, atas persentasenya akan naik sebanding dengan jumlah dasar pengenaan pajaknya. Di Indonesia sendiri, jenis tarif pajak inilah yang diterapkan sebagai metode pengenaan pajak penghasilan orang pribadi. Tarif selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Lapisan Penghasilan | Tarif |
0 s.d. Rp 50.000.000 | 5% |
> Rp 50.000.000.000 s.d. Rp 250.000.000 | 15% |
> Rp 250.000.000 s.d.500.000.000 | 25% |
> Rp 500.000.000 s.d.5.000.000.000 | 30% |
> Rp 5.000.000.000 | 35% |
Apa yang akan terjadi apabila ada daerah yang menerapkan pajak dan retribusi daerah lebih tinggi daripada yang diatur dalam peraturan perundangan?
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
I. UMUM Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimurn untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27 (dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi. Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antardaerah. Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong provinsi untuk mengenakan pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi. Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi. Selain perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor. Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor kepada Daerah. Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah melalui penetapan tarif cukai nasional. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-Undang ini sebagian hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan Pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk Retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi barn akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan menjadi kendaraan roda kurang dari 4 (empat) dan kendaraan roda 4 (empat) atau lebih. Contoh: Orang pribadi atau badan yang memiliki satu kendaraan bermotor roda 2 (dua), satu kendaraan roda 3 (tiga), dan satu kendaraan bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure) ” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada: 1. Lembaga penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang akan menjual BBM kepada konsumen akhir (konsumen langsung); 2. Konsumen langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan bermotor. Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya. Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri. Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antarpenyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberlakuan ketentuan ini dilakukan dengan memperhatikan kesiapan Daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar untuk kendaraan umum dengan kendaraan pribadi. Ayat (3) Penetapan tarif dan mekanisme penentuan harga Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat Bahan Bakar Kendaraan Bermotor merupakan barang strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kenaikan harga minyak akan menambah dana bagi hasil yang berasal dari penerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi dalam bentuk dana alokasi umum tambahan. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial akibat adanya kemungkinan perbedaan harga Bahan Bakar Kendaraan Bermotor antardaerah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sigaret” adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan. Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin. Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pica cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pica cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Yang dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Yang dimaksud dengan “cukai” adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok daun sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai, yang dapat berupa persentase dari harga dasar (advalorum) atau jumlah dalam rupiah untuk setiap batang rokok (spesifik) atau penggabungan dari keduanya. Contoh: Tarif cukai spesifik : Rp200/batang Tarif advalorum : 40% dari Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan Pemerintah. Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif spesifik, dasar pengenaan pajak adalah Rp200/batang. Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif advalorum, dasar pengenaan pajak adalah 40% x HJE. Jika Pemerintah mengenakan tarif spesifik dan advalorum, dasar pengenaan pajak adalah (Rp200/batang + 40% HJE). Pasal 29 Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah Contoh: Dalam tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya. Ilustrasi dalam bentuk tabel dapat dilihat berikut ini: Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Cukai (Pusat) 100 110 121 121 133 Pajak Rokok (Daerah) – – – – – Total Pungutan Cukai (Pusat + Daerah) 100 110 121 133 146 ∆% 0 10% 10% 10% 10% Rp. 10 11 12 13 Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain, pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hiburan berupa kesenian rakyat/tradisional” adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sewa/tarif parkir sebagai dasar pengenaan Pajak Parkir yang dikelola secara monopoli dapat diatur dengan Peraturan Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kawasan” adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan: a. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. b. nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut. c. nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut. Ayat (2) Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Contoh: Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa: – Tanah seluas 800 m dengan harga jual Rp300.000,00/m; – Bangunan seluas 400 m dengan nilai jual Rp350.000,00/m; – Taman seluas 200 m dengan nilai jual Rp50.000,00/m; – Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,00/m. Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut: 1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00 = Rp240.000.000,00 2. NJOP Bangunan a. Rumah dan garasi 400 x Rp350.000,00 = Rp140.000.000,00 b. Taman 200 x Rp50.000,00 = Rp 10.000.000,00 c. Pagar (120 x 1,5) x Rpl75.000,00 = Rp 31.500.000,00 + Total NJOP Bangunan = Rp181.500.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000,00 – Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000,00 + 3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000,00 4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%. 5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00 = Rp823.000,00 Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan SKPD ini hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Contoh: Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp65.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp60.000.000,00 (-) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp5.000.000,00. Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp250.000,00 Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan. Pasal 97 Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Ayat (1) Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Contoh: 1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang. 2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administratif. 3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT. 4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDN. Huruf a Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Yang dimaksud dengan “penetapan pajak secara jabatan” adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitumengenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Ayat (3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB. Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu objek pajak”, antara lain, lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan Wajib Pajak tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Yang dimaksud dengan “peta” adalah peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, seperti peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik, dan peta teknis (struktur). Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) Pemakaian kekayaan Daerah, antara lain, penyewaan tanah dan bangunan, laboratorium, ruangan, dan kendaraan bermotor. Ayat (2) Penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, antara lain, pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Hasil produksi usaha Pemerintah Daerah, antara lain, bibit atau benih tanaman, bibit ternak, dan bibit atau benih ikan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Ayat (1) Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan, tarif retribusi dapat ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari nilai investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan kotor, atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah perlu disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, Kepala Daerah dapat menyesuaikan tarif retribusi. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Ayat (1) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses koordinasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan pemungutan” adalah dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi. Ayat (2) Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang membidangi masalah keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Ayat (1) Pengenaan pidana kurungan dan pidana denda kepada pejabat tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dimaksudkan untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5049Salah satu tarif pajak yang berlaku di Indonesia adalah tarif progresif Apa dampak positif dari tarif pajak progresif terhadap perkembangan nilai kejujuran?
Halo Liana, kakak bantu jawab yaa 🙂 Jawaban: Tidak ada hubungannya antara pajak progresif terhadap sikap jujur karena pajak progresif ditentukan pemerintah. Sementara itu sikap jujur tergantung kepada individunya masing-masing. Penjelasan: Pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya selalu meningkat pada tiap tingkatan pajak.
Apa tujuan jika tarif pajak diturunkan pemerintah?
Fungsi Redistribusi Pendapatan: – Dalam fungsi ini, hasil dari pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara akan digunakan untuk membiayai kepentingan-kepentingan umum yang berkaitan dengan kemakmuran rakyat. Namun, dalam dunia perpajakan juga dikenal dengan istilah reformasi pajak.
- Reformasi pajak secara umum merupakan perubahan atas kebijakan yang berkaitan dengan pajak suatu negara.
- Dalam reformasi, pajak dapat mengalami penurunan maupun kenaikan tarif sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan dalam suatu negara.
- Belakangan ini, dunia juga dihebohkan dengan adanya ‘perang tarif pajak’.
Perang tarif pajak merujuk pada perubahan tarif pajak yang diturunkan oleh suatu negara dengan tujuan untuk menarik investor masuk ke dalam negara tersebut untuk dapat berinvestasi. Dengan adanya investasi, maka akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Penurunan tarif pajak yang diberlakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk menarik investor ini yang kemudian membuat negara-negara lain yang mengenakan pungutan pajak dengan tarif tinggi sedikit terancam karena memiliki ketakutan bahwa investor yang menanamkan modal di negaranya akan berpindah alih pada negara yang menerapkan penurunan tarif atau negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Hal ini lah yang menimbulkan suatu peperangan antar tarif pajak di masing-masing negara. Penurunan tarif pajak meskipun berisiko untuk mengurangi pemasukan suatu negara, namun disisi lain diharapkan dapat memberikan keuntungan lain di bidang ekonomi dengan mengharapkan investor-investor masuk ke negara tersebut.
Namun, penurunan tarif ini membukakan mata dan pikiran kita bahwa fungsi pajak itu bukan hanya sekedar fungsi anggaran saja, tetapi juga terdapat fungsi pajak yang lainnya. Apabila menggunakan fungsi anggaran sebagai tolok ukur untuk menurunkan tarif pajak, maka dengan penurunan tarif tersebut dapat menrunkan sumber penerimaan atau pendapatan suatu negara, sehingga fungsi anggaran ini tidak tercapai.
Namun, apabila dikaitkan dengan fungsi stabilisasi yang merupakan fungsi lain dari pajak, maka diharapkan dengan fungsi ini dapat menstabilkan perekonomian suatu negara dengan mengharapkan investor masuk ke dalam negara tersebut. Dengan adanya perang tarif ini, pastinya akan memunculkan tanggapan-tanggapan yang beragam dari negara lain, bahwa cepat atau lambat negara-negara yang tersakiti atau terancam dengan adanya perang tarif ini mau tidak mau harus merespon untuk memangkas tarif pajak di negaranya juga agar negara mereka tidak kehilangan investor dan dapat meningkatkan daya saingnya.
Namun, tidak semudah itu untuk ikut menurunkan tarif dalam kaitannya perang tarif pajak ini. Terdapat konsekuensi atau efek dari tarif yang diturunkan tersebut, beberapa konsekuensi terburuk yang dapat terjadi dengan adanya perang tarif pajak ini adalah kerusakan pada ekonomi, inflasi yang lebih tinggi, serta ketidakpastian geopolitik yang lebih besar secara global.
Reformasi perpajakan, baik itu kenaikan maupun penurunan tarif pajak pasti akan selalu ada dan pasti akan dilkukan oleh masing-masing negara karena mengingat tentang perubahan, khususnya dalam perpajakan akan selalu tetap terjadi. Namun, untuk melakukan sebuah reformasi juga harus dibutuhkan pertimbangan yang matang oleh Pemerintah dengan mengingat selalu akan dampak baik dan buruknya bagi perekonomian negara.
Untuk apa manfaat membayar pajak daerah?
Manfaat Membayar Pajak Bagi Masyarakat Sebagai warga negara, kita tidak akan terlepas dari yang namanya membayar pajak. Mulai dari kendaraan bermotor, tanah dan bangunan, hingga barang yang dibeli itu semua tegolong dalam kewajiban pajak. Bentuk pajak memang bermacam-macam, dan mungkin akan terkesan membebani.
- Namun jangan salah, pajak ini mampu membawa dampak yang besar bagi masyarakat dan juga negara.
- Pada dasarnya, pajak lebih dari sekedar kewajiban yang harus dipenuhi.
- Di setiap pajak yang kita bayarkan memiliki fungsi dan manfaat yang besar bagi masyarakat dan juga negara.
- Hadirnya infrastruktur jalan dan bangunan yang memadai, taman kota, lapangan pekerjaan, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang dikelola oleh negara adalah bentuk dari penyaluran pajak yang kita bayarkan.
Pajak menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk pembangunan maupun untuk keperluan negara lainnya. Agar lebih jelas, berikut adalah beberapa fungsi utama dari pajak:
Fungsi anggaran, pajak berperan sebagai sumber anggaran atau tabungan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk melaksanakan program pembangunan yang dilakukan oleh negara. Fungsi mengatur, pajak berepran sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, seperti pertumbuhan ekonomi negara. Fungi stabilitas, pajak berperan sebagai penyeimbang situasi perekonomian negara. Dengan semakin banyaknya penerimaan negara, maka akan semakin stabil perekonomian negara. Kestabilan perekonomian dapat dilihat dari peningkatan roda ekonomi masyarakat. Fungsi redistribusi pendapatan, pajak berfungsi sebagai alat untuk memakmurkan masyarakat. Contohnya dengan menambah lapangan pekerjaan baru.
Melihat beberapa fungsi diatas, peran pajak begitu krusial untuk menunjang pembangunan negara. Porsi pajak dalam pendapatan negara juga yang paling tinggi dibanding pendapatan negara yang lain hingga 65% di tahun 2020. Intinya pajak tersebut akan kembali lagi kepada masyarakat yang membayar dalam bentuk yang bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
Tugas kita sebagai wajib pajak adalah dengan taat untuk membayar pajak. Tapi, memang apa manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat dengan dana pajak yang terkumpul? Kalian yang suka pergi keluar pasti akan melewati jalan aspal yang ramai dilalui banyak orang. Lalu ketika melewatinya di malam hari, terdapat penerangan lampu di berbagai titik.
Itulah bentuk pajak yang bakal sering kalian pergunakan. Tidak hanya jalan, berbagai bangunan penting juga dibangun menggunakan dana pajak seperti rumah sakit, sekolah, jembatan dan perumahan. Ini membuat akses masyarakat atas kesehatan, pendidikan dan transportasi semakin luas.
- Ikon penting kota maupun obyek wisata dalam bentuk monumen pun juga dibangun menggunakan dana pajak.
- Ikon tersebut dapat menjadi alat promosi kota untuk menambah pemasukan pendapatan wilayah dari meningkatnya pengunjung.
- Dana pajak dapat digunakan untuk membantu dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Contohnya seperti pengadaan subsidi bahan bakar yang tentu akan meringankan beban biaya yang ditanggung oleh pengusaha maupun ketika digunakan oleh masyarakat umum. Selain itu dana pajak dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran yang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat, contohnya pengeluaran untuk pengairan dan pertanian.
Yang tak kalah penting, pajak digunakan untuk membantu pembiayaan dalam menjaga pertahanan negara ataupun ketika menghadapi perang. Contohnya melalui gaji pegawai tenaga pertahanan hingga pembelian alat persenjataan dan kendaraan tempur. Itulah berbagai manfaat pajak yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pajak memiliki peran yang begitu penting bagi kemajuan bangsa dan Negara. Oleh karena itu, kita sebagai wajib pajak perlu untuk membudayakan membayar pajak sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku. Apabila kita taat membayar pajak, maka berbagai manfaat yang telah disebutkan sebelumnya mampu terlaksana dengan baik.
- Esadaran membayar pajak mungkin belum sepenuhnya dimiliki oleh seluruh rakyat, tetapi bagi Ma’soem University itu merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada negara.
- Ilmu tentang perpajakan pun diselipkan dalam pembelajaran program studi Komputerisasi Akuntansi D3.
- Mereka akan mempelajari seluk beluk tentang pajak dan bagaimana melakukan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku.
Nantinya mereka dapat memasuki bidang profesi seperti akuntan dan auditor yang membutuhkan keterampilan tentang pajak. Untuk mendukung perkembangan mahasiswa, tersedia layanan beasiswa yang bisa didapatkan dan juga uang kuliah yang ekonomis di Ma’soem University.
Warga bijak taat pajak apakah dampak positif dari pelaksanaan pembayaran pajak tepat waktu bagi warga negara?
Jadi melaksanakan tanggung jawab membayar pajak tepat waktu akan. memberikan dampak positif bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Menjaga persatuan dan ke-satuan bangsa juga merupakan bentuk tanggung jawab warga negara yang. berdampak pada semakin kuatnya suatu negara.
Apa saja fungsi pajak dalam perekonomian di Indonesia?
Baca juga Pemberlakuan Pajak Solidaritas Terhadap Pemulihan Ekonomi – 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Melalui kebijaksanaan pajak, dapat membantu pemerintah dalam mengatur pertumbuhan ekonomi. Melalui fungsi mengatur ini, pajak diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan, yaitu kesejahteraan rakyatnya. Fungsi mengatur tersebut antara lain:
Pajak bisa digunakan untuk menghambat laju inflasi Pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan ekspor, seperti pajak ekspor barang Pajak bisa memberikan perlindungan terhadap barang produksi dari dalam negeri, seperti PPN Pajak bisa mengatur dan menarik investasi modal guna membantu perekonomian semakin produktif
3. Fungsi Stabilitas Pajak juga berfungsi dalam membantu pemerintah berkaitan dengan kepemilikan dana yang dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga hal-hal yang berkaitan dengan inflasi dapat dikendalikan dengan baik.
- Untuk dapat menjaga stabilitas perekonomian negara, dapat dilakukan dengan mengatur peredaran uang yang ada di masyarakat, pemungutan pajak, hingga penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
- Contohnya adalah bila suatu negara mengalami inflasi, maka negara akan menetapkan nominal pungutan wajib yang relatif lebih tinggi.
Sedangkan, apabila negara mengalami deflasi maka negara akan menetapkan nominal pungutan yang relatif rendah.4. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang telah dipungut oleh pemerintah atau negara, nantinya akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk ke dalamnya adalah membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang dapat dimanfaatkan oleh warga negaranya yang membutuhkan pekerjaan yang pada akhirnya berujung pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Mengapa pajak sangat penting bagi pemerintah?
Sebagai fungsi budgeter, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dan membiayai investasi pemerintah. penerimaan negara tersebut berasal dari rakyat, dialokasikan berdasarkan persetujuan wakil rakyat, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Apa yang menyebabkan terjadinya kenaikan pajak?
Faktor eksternal yang mempengaruhi penerimaan pajak suatu negara antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak internasional, produksi minyak mentah, harga minyak internasional, dan tingkat suku bunga.
Apa tujuan pemerintah memberlakukan pajak?
Hasil penelitian menunjukkan tujuan pemungutan pajak adalah untuk meningkatkan pendapatan Negara semaksimal mungkin serta untuk menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam meningkatkan investasi, daya saing dan kemakmuran rakyat.
Apa manfaat pajak untuk pemerintah?
Manfaat Pajak – Tadi di awal-awal artikel sudah dijelaskan sedikit tentang pembangunan MRT sebagai salah satu bentuk nyata dari manfaat pajak yang bisa kita lihat. Nah, manfaat pajak itu sendiri secara umum ada 4, yakni:
membiayai pengeluaran negara yang bersifat self liquiditing (memberikan keuntungan) seperti proyek produktif barang ekspor; membiayai pengeluaran umum seperti pembangunan fasilitas umum yang bisa dinikmati masyarakat; membiayai pengeluaran produktif seperti penyaluran bantuan bagi nelayan dan petani; dan membiayai pengeluaran tidak produktif seperti mendanai pembelian senjata perang untuk tentara.
Baca juga: 3 Asas Pemungutan Pajak