Apa Yang Kalian Ketahui Tentang Objek Pajak Bea Materai?

Apa Yang Kalian Ketahui Tentang Objek Pajak Bea Materai
Bea Materai – Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di pengadilan. Secara lengkapnya, Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang menurut Undang-Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai.

Dokumen yang dikenai bea meterai antara lain adalah dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang, dokumen yang bersifat perdata, dan dokumen yang dapat digunakan di muka pengadilan misalnya dokumen kontrak pengadaan meja kursi kantor, dokumen perjanjian pembangunan gedung kantor dengan pengusaha jasa konstruksi, dan dokumen kontrak pengadaan jasa tenaga kebersihan.

Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp.3.000,00 dan Rp.6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen. Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun objek pajak. Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan objek pajak?

Pengertian Objek Pajak – Objek pajak adalah penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Secara sederhana objek pajak adalah Penghasilan yang dikenakan pajak. Arti penghasilan sendiri adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

  1. Penghasilan itu berasal dari Indonesia.
  2. Objek pajak digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.
  3. Bentuknya dengan nama atau bentuk apapun, penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak.
  4. Penghasilan itu berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia.

Beberapa jenis penghasilan ini jika termasuk dalam jenis golongan dan kriteria objek pajak, akan dikenakan objek pajak yang sesuai dengan tarif dan jenis pajak yang berlaku.

Apa contoh yang disebut bea materai?

Definisi Bea Meterai – “Pajak atas tanda bukti suatu perbuatan yang dilunasi, misalnya dengan kertas meterai atau meterai tempel (stamp duty).” Otoritas Jasa Keuangan

Apa fungsi bea materai sebagai pajak?

Jakarta – Wajib pajak pasti sudah awam dengan penggunaan meterai dalam suatu dokumen. Apabila kita hendak menandatangani dokumen penting, terkadang kita diminta untuk membubuhi dokumen tersebut dengan materai. Meterai memang berfungsi utama sebagai alat validasi keabsahan bagi dokumen-dokumen penting.

  • Namun, fungsinya tidak hanya itu saja.
  • Dokumen yang ditempelkan sebuah meterai berarti dokumen tersebut dipungut pajak bea oleh pemerintah.
  • Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1985, fungsi dari sebuah meterai adalah untuk mengenakan pajak atas suatu dokumen, bukanlah sebagai alat untuk menentukan sah atau tidaknya suatu dokumen.

Seiring dengan berkembangnya zaman, pemerintah Indonesia beberapa bulan kebelakang telah mengeluarkan e-meterai untuk digunakan pada dokumen elektronik. Dengan digunakannya e-meterai berarti dokumen elektronik juga dipungut pajak bea oleh pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2020,

Memungut Pajak Bea atas Dokumen

Seperti yang telah disebutkan, fungsi sebenarnya dari sebuah meterai adalah untuk memungut pajak bea atas suatu dokumen seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai. Oleh karena meterai ada yang nilainya Rp 3000, Rp 6000, dan Rp 10000.

Bukan Alat Utama untuk Mengesahkan Suatu Perjanjian

Surat perjanjian memang merupakan salah satu objek yang dikenakan pajak bea meterai, oleh karena itu dibubuhkan materai. Yang membuat suatu perjanjian sah bukanlah meterainya, tetapi apakah perjanjian tersebut sudah memenuhi syarat yang disebutkan pada Pasal 1320 KUHPerdata atau tidak memenuhinya. Oleh karena itu, meterai tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator keabsahan suatu dokumen.

Alat Bukti di Pengadilan

Dokumen yang memiliki meterai di atasnya dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Tanpa pembubuhan meterai, dokumen terkait tidak bisa digunakan dalam pengadilan.

Apa tujuan bea materai bagi negara dan bagi Wajib pajak?

Bea Materai Edisi 2021: Pengertian, Fungsi dan Ketentuan

  • Jakarta – Menurut Undang-Undang 10 Tahun 2020, Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen baik itu dokumen kertas maupun dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai bukti atau keterangan.
  • Adapun asas-asas yang mengatur bea materai yang diantaranya yaitu asas kesederhanaan, asas efisiensi, asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan.
  • Adapun bea materai diberlakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara demi membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju kesejahteraan, memberikan kepastian hukum yang adil, menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan menyelaraskan ketentuan bea materai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun objek bea materai Rp.10000. Pada Pasal 3 ayat (1), bea materai dikenakan atas 2 hal yakni :

  1. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata.
  2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Adapun dokumen bersifat perdata yang dimaksud yakni meliputi beberapa hal berikut.

  1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau sejenisnya.
  2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipan.
  3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipan.
  4. Surat berharga dengan nama dalam bentuk apapun.
  5. Dokumen transaksi surat berharga, dalan nama atau bentuk apapun.
  6. Dokumen lelang berupa kutipan risalah lelang.
  7. Dokumen yang bernilai lebih dari Rp 5 juta rupiah yang menyebutkan penerima uang, terdapat pengakuan hutang dilunasi atau diperhitungkan.
  8. Dokumen lain yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Sementara itu, adapun dokumen yang bukan merupakan objek pajak, yakni :

  1. Dokumen terkait lalu lintas orang dan barang seperti surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, bukti pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas pengirim, dan surat lain sejenisnya.
  2. Segala bentuk ijazah.
  3. Tanda terima pembayaran gaji, pensiun, tunjangan, dan pembayaran lain terkait hubungan kerja.
  4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas daerah, dan lembaga lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Kwitansi untuk segala jenis pajak dan penerimaan lainnya.
  6. Tanda penerimaan uang untuk keperluan intern organisasi.
  7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang, surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada bank, koperasi, dan badan lain kepada nasabah.
  8. Surat gadai.
  9. Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbalan hasil dari surat berharga dengan nama dan bentuk apapun.
  10. Dokumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter.

Sekedar mengingatkan tarif tunggal bea materai Rp 10000 sudah mulai berlaku sejak 1 Januari 2021. Sementara ini, materai Rp 3000 dan Rp 6000 masih berlaku selama masa transisi hingga 31 Desember 2021. : Bea Materai Edisi 2021: Pengertian, Fungsi dan Ketentuan

Apa yang dimaksud dengan objek pajak dan berikan contohnya?

Objek pajak merupakan Segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran pajak atau dapat dikenakan pajak baik berupa keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Contoh objek pajak seperti: Objek PajakPPh, Objek Pajak Bumi dan Bangunan, Objek Pajak Bea Materai. – Objek pajak merupakan Segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran pajak atau dapat dikenakan pajak baik berupa keadaan, perbuatan, maupun peristiwa.

Mengapa objek bea materai meliputi surat perjanjian dan surat lainnya yang dibuat untuk sebagai surat pembuktian kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata?

mengapa objek bea materai meliputi surat perjanjian dan surat lainnya yang dibuat untuk sebagai Karena secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi internal perusahaan,berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara. Sedangkan dokumen dan surat-surat yang ada di dalam pertanyaan adalah surat-surat/dokumen yang diantaranya bersifat perjanjian atau untuk bukti kenyataan atau keadaan secara perdata yang kemungkinan suatu saat akan di permasalahkan,dan dengan adanya materai di dalam dokumen tersebut,tidak akan ada pemasalahan perebutan harta,tanah atau dokumen berharga karena sudah jelas tertera di dalam dokumen yang bertempelkan bea materai di dalamnya.

Apa fungsi materai secara hukum?

FUNGSI METERAI DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP SURAT PERJANJIAN Mega Tumilaar Skripsi ini berjudul Fungsi Meterai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat Perjanjian skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif penulisan hukum ini bertujuan untuk memperbaiki pemahaman dan kebiasaan keliru masyarakat selama ini mengenai tujuan digunakannya meterai untuk syarat sahnya suatu surat perjanjian.

  1. Fungsi meterai sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang No 13 Tahun adalah sebagai pajak atas dokumen yang digunakan masyarakat dalam lalu lintas hukum untuk membuktikan suatu keadaan, kenyataan dan perbuatan yang bersifat perdata.
  2. Artinya ada perjanjian tetapi tidak dibuat dokumen (tanpa surat perjanjian), tidak perlu ada Meterai, karena yang dikenakan Bea Meterai adalah dokumen dan bukan perbuatan hukumnya.

Tanpa dokumen berarti tidak ada objek yang dikenakan Bea Meterai. Perlu diperhatikan dalam penggunaan Bea Meterai adalah kurang diperhatikannya masalah yuridis atau isi dokumen, tetapi yang lebih diutamakan/penting adalah terutangnya pajak dengan demikian dapat diartikan walaupun dokumen/surat perjanjian menggunakan sekian banyak meterai tetapi kalau isinya palsu atau terlarang maka surat perjanjian terebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

  • Jadi bukanlah berarti surat perjanjian palsu atau terlarang, kalau sudah menggunakan meterai sudah jadi sah/benar.
  • Disitulah kelihatan meterai tidak menentukan sah tidaknya suatu dokumen atau surat perjanjian, yang menentukannya adalah isi perjanjian tersebut apakah memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata atau tidak.

Tidak digunakannya meterai pada surat perjanjian mengakibatkan surat perjanjian tidak memenuhi prosedur hukum UUBM 1985 dan berpengaruh pada dokumen yang dimiliki tidak dapat dilayani oleh pejabat umum dalam lalulintas hukum sebagaimana tersurat dalam pasal 11 UUBM 1985.

There are currently no refbacks.

: FUNGSI METERAI DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP SURAT PERJANJIAN

Apa yang menjadi dasar hukum pengenaan bea materai?

Oleh: Dedi Putra S.H. Bea meterai merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara melalui pajak bea meterai. Dokumen ini membahas hal-hal penting dalam pengenaan bea meterai yang dibahas dalam beberapa sub pembahasan, yakni: dasar hukum bea meterai, tujuan pengaturan dan objek bea meterai, pembayaran bea meterai terutang dan jenis bea meterai; dan penjelasan bahwa bea meterai tidak menjadi syarat sah perjanjian.

Dasar Hukum Bea Meterai Di Indonesia pengaturan bea meterai sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (” UU 13/1985 “). UU 13/1985mengatur mengenai bea meterai yang berlaku terhadap dokumen tertentu. Seiring berjalannya waktu, UU 13/1985 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan kebutuhan tata kelola bea meterai.

Berdasarkan pertimbangan tersebut pada tanggal 26 Oktober 2020, UU 13/1985 telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (” UU Bea Meterai “) yang mana akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2021. UU Bea Meterai mengatur dokumen yang menjadi objek bea meterai terdiri atas dokumen kertas dan selain kertas, termasuk dokumen elektronik tertentu sesuai undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Tujuan Pengaturan Bea Meterai

Bea meterai adalah pajak atas dokumen (” Bea Meterai “). Dokumen yang dimaksud adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan (” Dokumen “). Pasal 2 Ayat (2) UU Bea Meterai menyatakan bahwa pengaturan Bea Meterai bertujuan untuk:

  • mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;
  • memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai;
  • menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;
  • menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan
  • menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
You might be interested:  Apa Dampak Positif Kenaikan Tarif Pajak Bagi Perekonomian Daerah?

2. Objek dan Tarif Bea Meterai Pasal 3 Ayat (1) UU Bea Meterai mengatur bahwa Bea Meterai dikenakan terhadap Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian yang bersifat perdata dan Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Dokumen yang bersifat perdata tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 3 Ayat (2) UU Bea Meterai yang meliputi:

  • surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
  • akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
  • akta pejabat pembuat akta tanah beserta salinan dan kutipannya;
  • surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  • Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  • Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
  • Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
  • menyebutkan penerimaan uang; atau
  • berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
  • Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dokumen yang bersifat perdata maupun Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian sebagaimana dijelaskan di atas dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap sebesar Rp10.000,00 (Pasal 5 UU Bea Meterai). Selanjutnya Pasal 7 UU Bea Meterai mengatur Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:

  • Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
  • surat penyimpanan barang;
  • konosemen;
  • surat angkutan penumpang dan barang;
  • bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
  • surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan
  • surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5 di atas;
  • segala bentuk ijazah;
  • tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
  • tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
  • Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
  • surat gadai;
  • tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
  • Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

Bea Meterai tidak Menjadi Syarat Sah Perjanjian Sesuai dengan Fungsi Bea Meterai, Bea Meterai tidak menjadikan suatu perjanjian menjadi sah. Perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (” KUHPerdata “).

Terdapat 4 (empat) syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni kesepakatan, kecakapan bertindak, objek tertentu, dan kuasa halal. Kesepakatan dan kecapakan merupakan syarat subjektif. Apabila tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Objek tertentu dan kuasa halal merupakan syarat objektif yang apabila tidak dipenuhi, perjanjian menjadi batal demi hukum.

Dengan kata lain, perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak awal. Meskipun Bea Meterai tidak menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, namun perjanjian tetap membutuhkan pelunasan Bea Meterai. Sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1) huruf a UU Bea Meterai, perjanjian termasuk Dokumen yang membutuhkan pelunasan Bea Meterai agar dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Apabila perjanjian belum mendapatkan pelunasan Bea Meterai namun hendak diajukan sebagai bukti di pengadilan, maka perjanjian tersebut dapat dilakukan pemeteraian kemudian sesuai Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemeteraian Kemudian (” Permenkeu No.70/2014 “).

Pasal 1 angka 5 Permenkeu No.70/2014 mengatur pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. Pengesahan oleh pejabat pos dilakukan setelah pemegang dokumen melunasi bea meterai dengan menggunakan meterai tempel atau Surat Setoran Pajak (” SSP “).

Siapa yang berhak memungut bea materai?

Penetapan Pemungut Bea Meterai Dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Bea Meterai – Ortax

  • PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151/PMK.03/2021
  • TENTANG
  • PENETAPAN PEMUNGUT BEA METERAI DAN

TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN BEA METERAI

  1. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
  2. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (5) tentang Bea Meterai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Pemungut Bea Meterai dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Bea Meterai; Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
  4. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus pada Meterai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1109);

MEMUTUSKAN : Menetapkan :PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN PEMUNGUT BEA METERAI DAN TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN BEA METERAI.

  • BAB I KETENTUAN UMUM
  • Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen.
  2. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
  3. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.
  4. Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen melalui sistem tertentu.
  5. Sistem Meterai Elektronik adalah sistem tertentu berupa serangkaian perangkat dan prosedur elektronik dalam sistem atau aplikasi terintegrasi yang berfungsi membuat, mendistribusikan, dan membubuhkan Meterai Elektronik.
  6. Meterai Percetakan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan teknologi percetakan.
  7. Pembuat Meterai Dalam Bentuk Lain yang selanjutnya disebut Pembuat Meterai adalah wajib pajak yang telah memiliki izin untuk mencetak atau membuat Meterai dalam bentuk lain.
  8. Distributor adalah badan usaha yang memiliki kemampuan dan kualifikasi dalam mendukung pendistribusian dan penjualan Meterai Elektronik melalui Sistem Meterai Elektronik.
  9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  10. Pihak Yang Terutang adalah pihak yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Meterai yang terutang.
  11. Pemungut Bea Meterai adalah pihak yang wajib memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari Pihak Yang Terutang, menyetorkan Bea Meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke Direktorat Jenderal Pajak.
  12. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  13. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  14. Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai yang selanjutnya disebut SPT Masa Bea Meterai adalah surat pemberitahuan yang digunakan oleh Pemungut Bea Meterai untuk melaporkan pemungutan Bea Meterai dari Pihak Yang Terutang dan penyetoran Bea Meterai ke kas negara untuk suatu masa pajak.
  15. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Pemungut Bea Meterai untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan Bea Meterai yang terutang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.
  16. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
  17. Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan oleh sistem billing atas suatu jenis pembayaran atau setoran yang akan dilakukan Wajib Pajak, wajib bayar, atau wajib setor.
  18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

BAB II PENETAPAN PEMUNGUT BEA METERAI Bagian Kesatu Umum Pasal 2

(1) Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu yang menjadi objek Bea Meterai dipungut oleh Pemungut Bea Meterai.
(2) Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. surat berharga berupa cek dan bilyet giro;
  2. Dokumen transaksi surat berharga termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  3. surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; dan
  4. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), yang:
    1. menyebutkan penerimaan uang; atau
    2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
(3) Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai dikecualikan dari pemungutan Bea Meterai.

ol>

  • Bagian Kedua Kriteria Pemungut Bea Meterai
  • Pasal 3
  • Wajib Pajak yang ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan Wajib Pajak dengan kriteria:

    1. memfasilitasi penerbitan Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau
    2. menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d dengan jumlah lebih dari 1.000 (seribu) Dokumen dalam 1 (satu) bulan.
    • Bagian Ketiga Tata Cara Penetapan Pemungut Bea Meterai
    • Pasal 4
    (1) Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk menetapkan Wajib Pajak sebagai Pemungut Bea Meterai dengan menerbitkan surat penetapan sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (2) Penetapan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku terhitung sejak awal bulan berikutnya setelah tanggal surat penetapan.
    (3) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tetapi belum ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai dapat menyampaikan surat pemberitahuan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (4) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan melalui:

    1. alamat posel (email);
    2. aplikasi; atau
    3. sistem,

    yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

    (6) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menjadi pertimbangan bagi Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk untuk menetapkan Wajib Pajak sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (7) Ketentuan mengenai contoh format surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    ol>

  • Bagian Keempat Pencabutan Penetapan sebagai Pemungut Bea Meterai
  • Pasal 5
  • (1) Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk dapat mencabut penetapan sebagai Pemungut Bea Meterai dalam hal Pemungut Bea Meterai tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
    (2) Pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan surat pencabutan penetapan sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (3) Pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku terhitung sejak awal bulan berikutnya setelah tanggal surat pencabutan penetapan.
    (4) Meterai Elektronik yang belum dibubuhkan oleh Pemungut Bea Meterai yang dilakukan pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Distributor sebagai persediaan Meterai Elektronik.
    (5) Ketentuan mengenai contoh format surat pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    ul>

  • Pasal 6
  • BAB III TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN BEA METERAI
  • Bagian Kesatu
  • Penunjukan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (5), dan Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. Umum Pasal 7 Pemungut Bea Meterai wajib:

    1. memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari Pihak Yang Terutang;
    2. menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan
    3. melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.
    1. Bagian Kedua Pemungutan Bea Meterai
    2. Pasal 8

    Pemungutan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan pada saat:

    1. Dokumen diterima dari Pembuat Meterai, untuk Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
    2. Dokumen selesai dibuat oleh pihak yang menerbitkan atau memfasilitasi penerbitan Dokumen, untuk Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b; atau
    3. Dokumen diserahkan kepada Pihak Yang Terutang, untuk Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c dan huruf d.

    Pasal 9

    (1) Pemungutan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan dengan membubuhkan:

    1. Meterai Percetakan pada Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a melalui Pembuat Meterai; atau
    2. Meterai Elektronik pada Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, huruf c, atau huruf d.
    (2) Untuk kebutuhan pembubuhan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemungut Bea Meterai dapat meminta Meterai Elektronik dari Distributor.
    (3) Permintaan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling banyak sebesar kebutuhan pemeteraian untuk 1 (satu) Masa Pajak pada 2 (dua) bulan pertama terhitung sejak ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai.
    (4) Untuk kebutuhan pembubuhan Meterai Elektronik Masa Pajak berikutnya, Pemungut Bea Meterai dapat meminta Meterai Elektronik dari Distributor setelah melakukan penyetoran Bea Meterai yang terutang untuk Masa Pajak sebelumnya yang telah menjadi kewajibannya.
    (5) Dalam hal pembubuhan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak memungkinkan untuk dilakukan yang disebabkan oleh kegagalan Sistem Meterai Elektronik, Pemungut Bea Meterai tetap wajib memungut Bea Meterai dengan membuat daftar Dokumen yang tidak dapat dibubuhi Meterai Elektronik yang dilampirkan dalam S PT Masa Bea Meterai.
    (6) Dalam hal diminta oleh Pihak Yang Terutang, Pemungut Bea Meterai harus membuat penjelasan tertulis bahwa Bea Meterai yang terutang atas Dokumen yang tidak dapat dibubuhi Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah disetorkan ke kas negara dan dilaporkan dalam SPT Masa Bea Meterai.

    ul>

  • Bagian Ketiga Penyetoran Bea Meterai
  • Pasal 10
  • (1) Penyetoran Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b atas Bea Meterai yang dipungut untuk setiap Masa Pajak wajib dilakukan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    (2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan:

    1. formulir SSP, sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, atau Kode Billing dengan kode akun pajak 411611 (empat satu satu enam satu satu) dan kode jenis setoran:
      1. 900 (sembilan nol nol) untuk pemungutan dengan membubuhkan Meterai Percetakan; dan
      2. 901 (sembilan nol satu) untuk pemungutan apabila pembubuhan Meterai Elektronik tidak memungkinkan untuk dilakukan; atau
    2. Kode Billing dengan kode akun pajak 411611 (empat satu satu enam satu satu) dan kode jenis setoran 902 (sembilan nol dua) untuk pemungutan dengan membubuhkan Meterai Elektronik.
    (3) Penyetoran dengan menggunakan Kode Billing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan mencantumkan NPWP Distributor yang mendistribusikan Meterai Elektronik kepada Pemungut Bea Meterai di kolom keterangan pada Kode Billing.
    (4) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperhitungkan sebagai deposit bagi Distributor.

    ol>

  • Bagian Keempat Pelaporan atas Pemungutan dan Penyetoran Bea Meterai
  • Pasal 11
  • (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    (2) SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk elektronik dan disampaikan melalui aplikasi atau sistem yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
    (3) Atas penyampaian SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bukti penerimaan elektronik.
    (4) Dalam hal pada suatu Masa Pajak:

    1. tidak terdapat Dokumen yang wajib dipungut Bea Meterai, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan; dan
    2. pembubuhan Meterai Elektronik tidak memungkinkan untuk dilakukan, SPT Masa Bea Meterai dilampiri dengan daftar Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
    (5) Ketentuan mengenai contoh format SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 12

    (1) Dalam hal batas akhir penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) merupakan hari libur, penyetoran dan pelaporan dapat dilakukan paling lama pada hari kerja berikutnya.
    (2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang ditetapkan sebagai hari libur untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau hari yang ditetapkan untuk cuti bersama secara nasional.

    Pasal 13

    (1) Pemungut Bea Meterai dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT Masa Bea Meterai yang telah disampaikan dalam hal:

    1. terdapat salah tulis atau salah hitung; atau
    2. terdapat surat berharga berupa cek dan/atau
    3. bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan.
    (2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

    1. memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT Masa Bea Meterai yang menyatakan bahwa Pemungut Bea Meterai yang bersangkutan membetulkan SPT Masa Bea Meterai; dan
    2. mengeluarkan nomor seri surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan dari daftar pemungutan, untuk pembetulan SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

    Pasal 14

    (1) Atas penyampaian SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan kelebihan penyetoran Bea Meterai dapat diajukan permohonan:

    1. pemindahbukuan; atau
    2. pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:

    1. secara langsung;
    2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
    3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,

    kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar.

    (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

    1. bukti penyetoran;
    2. SPT Masa Bea Meterai dan bukti penerimaan SPT Masa Bea Meterai yang menjadi dasar permohonan; dan
    3. daftar cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan, dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
    (4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima secara lengkap diberikan bukti penerimaan.
    (5) Ketentuan mengenai contoh format:

    1. surat permohonan pemindahbukuan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
    2. daftar cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c,

    tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 15

    (1) Berdasarkan permohonan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar melakukan penelitian dengan memastikan:

    a. kebenaran penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a;
    b. kelebihan penyetoran yang dimintakan pemindahbukuan belum diperhitungkan untuk pembayaran pajak yang terutang;
    c. cek dan/atau bilyet giro yang dimintakan pemindahbukuan tidak digunakan dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dengan:

    1. mencocokkan fisik cek dan/atau bilyet giro dengan daftar cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c; dan
    2. memastikan nomor seri cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya dimintakan pemindahbukuan telah dilaporkan dalam SPT Masa Bea Meterai yang dibetulkan dan telah dikeluarkan dari daftar pemungutan dalam SPT Masa Bea Meterai pembetulan;

    dan

    d. kesesuaian jumlah Bea Meterai yang dimintakan pemindahbukuan dengan kelebihan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai.

    /td> (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian atas permohonan pemindahbukuan. (3) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat kesesuaian jumlah Bea Meterai yang dapat dilakukan pemindahbukuan dengan kelebihan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai, Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar:

    1. menerbitkan bukti pemindahbukuan; dan
    2. dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dan dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b:
      1. memusnahkan cek dan/atau bilyet giro dengan cara dirajang atau dibakar; dan
      2. menuangkan dalam berita acara pemusnahan cek dan/atau bilyet giro.
    (4) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaksesuaian jumlah Bea Meterai yang dapat dilakukan pemindahbukuan dengan kelebihan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai, Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar menerbitkan surat penolakan permohonan pemindahbukuan. (5) Ketentuan mengenai contoh format:

    1. laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
    2. berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 2,

    tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 16

    (1) Berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar melakukan penelitian dengan memastikan:

    1. kebenaran penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a;
    2. kelebihan penyetoran yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang belum diperhitungkan untuk pembayaran pajak yang terutang; dan
    3. cek dan/atau bilyet giro yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang tidak digunakan dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dengan:
      1. mencocokkan fisik cek dan/atau bilyet giro dengan daftar cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c; dan
      2. memastikan nomor seri cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah dilaporkan dalam SPT Masa Bea Meterai yang dibetulkan dan telah dikeluarkan dari daftar pemungutan dalam SPT Masa Bea Meterai pembetulan.
    (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (3) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar:

    1. menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar sebesar nilai lebih bayar berdasarkan hasil penelitian; dan
    2. dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b:
      1. memusnahkan cek dan/atau bilyet giro dengan cara dirajang atau dibakar; dan
      2. menuangkan dalam berita acara pemusnahan cek dan/atau bilyet giro.
    (4) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak melalui kepala KPP tempat Pemungut Bea Meterai terdaftar menerbitkan surat penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (5) Ketentuan mengenai contoh format:

    1. laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
    2. berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 2,

    tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 17

    (1) Penerbitan bukti pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a, surat ketetapan pajak lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a, dan surat penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (4), dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal bukti penerimaan.
    (2) Pelaksanaan pemusnahan surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b angka 1 dan Pasal 16 ayat (3) huruf b angka 1 dapat dilakukan dengan bantuan Pembuat Meterai yang membubuhkan Meterai Percetakan pada cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya dimintakan pemindahbukuan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    (3) Ketentuan mengenai contoh format surat penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    Pasal 18

    (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak kepada Pemungut Bea Meterai atas Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan tidak atau kurang disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
    (2) Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan tidak atau kurang disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
    (3) Pemungut Bea Meterai menyetorkan Bea Meterai yang ditetapkan dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kas negara.
    (4) Penyetoran Bea Meterai yang tidak atau kurang disetor yang telah ditetapkan dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai deposit bagi Distributor yang mendistribusikan Meterai Elektronik kepada Pemungut Bea Meterai.

    Pasal 19 Ketentuan mengenai:

    a. penandatanganan SPT Masa Bea Meterai;
    b. pengenaan sanksi administratif, dalam hal Pemungut Bea Meterai tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa Bea Meterai; dan
    c. pembetulan SPT Masa Bea Meterai,

    dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

    • BAB IV
    • KETENTUAN PENUTUP
    • Pasal 20

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

    Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2021MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,ttd. SRI MULYANI INDRAWATI

    Diundangkan di Jakartapada tanggal 27 Oktober 2021DIREKTUR JENDERALPERATURAN PERUNDANG-UNDANGANKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd.BENNY RIYANTO BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 1203 : Penetapan Pemungut Bea Meterai Dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Bea Meterai – Ortax

    Bagaimana ketentuan bea materai di Indonesia?

    ATURAN BEA METERAI 2021 SERTA RINCIAN LENGKAP DOKUMEN YANG TERKENA BEA METERAI RP 10.000 Apa Yang Kalian Ketahui Tentang Objek Pajak Bea Materai Materai tempel Rp3.000 dan Rp6.000 masih berlaku hingga 31 Desember 2021 – Sumber: Twitter @DitjenPajakRI Per 1 Januari 2021 pemerintah memberlakukan tarif bea meterai baru menjadi tarif tunggal, yaitu senilai Rp10.000 per lembar. Namun, sepanjang tahun 2021 ini meterai Rp3.000 dan Rp6.000 masih bisa digunakan sambil menunggu materai Rp10 ribu dirilis pemerintah.

    1. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan hal itu telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
    2. Materai Rp3 ribu dan Rp6 ribu masih bisa digunakan tetapi dengan minimal nilai Rp9.000 hingga akhir 2021,”.Dia mengatakan ada tiga cara penggunaan materai sesuai dengan aturan baru, yaitu kombinasi materai Rp6.000 plus Rp6.000, kemudian Rp6.000 plus Rp3.000, atau Rp3.000 sebanyak tiga lembar.

    Pada masa transisi ini, lanjutnya, masyarakat bisa memanfaatkan materai yang lama yang masih beredar sembari menunggu keluarnya materai Rp10.000. Yoga mengungkapkan materai Rp10.000 sendiri saat ini masih dalam tahap persiapan yang akan segera diselesaikan.

    “Nah, ini kita sedang mendesain yang baru yang Rp10.000, termasuk nanti mencetak, menyiapkan distribusinya ke seluruh Indonesia. Mudah-mudahan bisa segera kita selesaikan semuanya,” ujar Yoga. Sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, poin b dan c menjelaskan bagaimana penggunaan materai saat ini yang minimal digunakan Rp9.000.b.

    Materai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan peraturan pelaksanaannya yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini mulai berlaku dan tidak dapat ditukarkan dengan uang atau dalam bentuk apa pun.c.

    1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; 2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya; 3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya; 4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun; 5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;

    7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang (1) menyebutkan penerimaan uang; atau (2) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; 8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Apa Yang Kalian Ketahui Tentang Objek Pajak Bea Materai : ATURAN BEA METERAI 2021 SERTA RINCIAN LENGKAP DOKUMEN YANG TERKENA BEA METERAI RP 10.000

    Mengapa pada dokumen harus dibubuhi bea meterai sesuai ketentuan UU perpajakan yang berlaku?

    Nilai Meterai Rp3.000 –

    • Surat yang memuat jumlah uang (poin nomor 4) dan surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep (poin nomor 5) yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000 (satu juta rupiah).
    • Cek dan bilyet giro tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
    • Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000.
    • Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp1.000.000.

    Itulah penjelasan singkat mengenai bea materai. Baik dari segi definisi, penggunaan, dan nilai meterai yang digunakan di Indonesia. Secara garis besar, bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak.

    Apa yang dimaksud dengan objek pajak brainly?

    apa yg dimaksud objek dan subjek dalam pajak Subjek Pajak adalah pihak-pihak yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Dapat meliputi orang pribadi maupun badan (perusahaan). Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

    Jelaskan apa yang dimaksud dengan subjek pajak dan objek pajak?

    Objek Pajak dan Subjek Pajak – Setiap jenis pajak tentu memiliki objek pajak dan subjek pajak. Secara sederhana, objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak.

    Apa yang dimaksud bukan objek pajak?

    Penghasilan-Penghasilan Berikut Bukan Merupakan Objek Pajak Sebelumnya, kita telah membahas mengenai jenis penghasilan yang merupakan objek pajak. Berbagai jenis penghasilan, baik berupa gaji, laba usaha, hadiah, keuntungan penjualan harta, bunga, dan lain sebagainya merupakan objek pajak sehingga kita akan dikenakan pajak atas penghasilan-penghasilan tersebut.

    Bantuan atau sumbangan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang disahkan oleh pemerintah. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang disahkan pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, juga merupakan penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan. Penghasilan berupa harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Harta warisan. Setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. Imbalan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak khusus lainnya. Imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, maupun asuransi bea siswa. Dividen yang diterima perusahaan dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Bagian laba yang diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Bagian laba yang diperoleh perusahaan ventura dari badan pasangan usaha yang menjalankan usahanya di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang bergerak dalam sektor usaha tertentu, serta sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu. Sisa lebih yang diterima lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.

    Penghasilan-penghasilan yang diuraikan di atas bukanlah objek pajak penghasilan sehingga tidak menambah unsur penghasilan dalam perhitungan penghasilan kena pajak pada akhir tahun. Kita juga tidak akan dipotong pajak penghasilan jika menerima pendapatan tersebut.

    Apa perbedaan antara objek pajak dan subjek pajak?

    Kesimpulan – Secara sederhana, subjek pajak merupakan orang pribadi atau entitas yang ditentukan untuk menjadi subjek pajak. Sedangkan objek pajak adalah sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Setiap subjek pajak harus memiliki objek pajak. Sementara orang atau entitas yang memiliki kewajiban pajak disebut sebagai pembayar pajak.

    Setelah mengetahui perbedaannya, sekarang Anda bisa tahu apakah Anda termasuk dalam subjek pajak yang memiliki kewajiban pajak atau tidak. Selain itu, Anda mengetahui apa saja objek pajak dari masing-masing jenis pajak. Itu dia penjelasan mengenai objek pajak dan subjek pajak. Harapannya, Anda akan lebih mudah dalam menjalankan kewajiban pajak.

    Semoga artikel ini bermanfaat, jangan lupa untuk share pada Sobat Finansialku lainnya. Terima kasih. Sumber Referensi:

    Rani Maulida.4 September 2018. Objek Pajak dan Subjek Pajak, Ini Penjelasan Lengkapnya, Online-pajak.com – http://bit.ly/2IxKyYA

    Sumber Gambar:

    • Pajak 1 – http://bit.ly/2TyHaTy
    • Pajak 2 – http://bit.ly/2vOIqc8
    • Pajak 3 – http://bit.ly/39wKNPw
    • Pajak 4 – http://bit.ly/33a67rS

    keyboard_arrow_left Previous Seorang blogger yang saat ini membagi peran sebagai pekerja bidang digital marketing salah satu perusahaan financial technology dan mahasiswa magister minat studi Islamic Economy and Halal Industry. Page load link Go to Top