Bagaimana Mekanisme Pembayaran Pajak Di Indonesia?

Bagaimana Mekanisme Pembayaran Pajak Di Indonesia
Mekanisme pembayaran pajak: Membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Menghitung jumlah pajak yang harus dibayar dan dilaporkan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) ke kantor Pelayanan Pajak. Mengisi surat setoran pajak. Menyerahkan dokumen surat setoran pajak ke bank yang ditunjuk pemerintah. Mendapatkan arsip surat setoran pajak. Jadi, jawaban yang tepat adalah B. – Mekanisme pembayaran pajak:

Membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Menghitung jumlah pajak yang harus dibayar dan dilaporkan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) ke kantor Pelayanan Pajak. Mengisi surat setoran pajak. Menyerahkan dokumen surat setoran pajak ke bank yang ditunjuk pemerintah. Mendapatkan arsip surat setoran pajak.

Jadi, jawaban yang tepat adalah B.

Bagaimana mekanisme pajak?

Jakarta – Membayar pajak adalah salah satu tahapan dalam siklus hak dan kewajiban Wajib Pajak (WP). Dalam sistem self assessment, WP wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang. Mekanisme pembayaran pajak dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu: (1) Membayar sendiri pajak yang terutang; (2) Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain; (3) Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah; dan (4) Pembayaran pajak-pajak lainnya.

Yang pertama, membayar sendiri pajak yang terutang meliputi: (1) Pembayaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh) setiap bulan (PPh Pasal 25); dan (2) Pembayaran kekurangan PPh selama setahun (PPh Pasal 29). Yang dimaksud dengan pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25) adalah pembayaran PPh secara angsuran.

Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban WP dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. WP diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan. Khusus, bagi WP Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu : (1) Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT); dan (2) Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPPT).

Yang dimaksud dengan WP OPPT adalah WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal. Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP OPPT adalah: 0,75% x jumlah peredaran usaha (omzet ) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.

Sedangkan angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT), yaitu orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan, maka angsuran PPh Pasal 25-nya adalah: Penghasilan Kena Pajak (PKP) SPT tahun pajak sebelumnya x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dibagi 12 bulan.

  • Sedangkan bagi WP Badan, besarnya pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang terutang diperoleh dari PKP dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh.
  • Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
  • Husus untuk WP Badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas PKP dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Selanjutnya untuk pembayaran kekurangan PPh selama setahun (PPh Pasal 29) dilakukan sendiri oleh WP pada akhir tahun pajak apabila pajak terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari jumlah total pajak yang dibayar sendiri (angsuran PPh Pasal 25) dan pajak-pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak.

  • Mekanisme pembayaran pajak yang kedua adalah membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
  • Pihak lain disini adalah : (1) Pemberi penghasilan; (2) Pemberi kerja; atau (3) Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.

Kemudian mekanisme pembayaran pajak yang ketiga adalah membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya. Dan yang terakhir, adalah mekanisme pembayaran pajak-pajak lainnya.

  • Meliputi : (1) Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); dan (2) Pembayaran Bea Meterai.
  • Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di bank-bank tertentu.
  • Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu: (1) 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00; dan (2) 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00.

Pembayaran Bea Meterai digunakan sebagai pelunasan pajak atas dokumen. Pelunasannya dilakukan dengan menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan. Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp250.000,00 sampai dengan Rp1.000.000,00 adalah Rp3.000,00.

Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,00 dan surat-surat perjanjian terutang meterai tempel sebesar Rp6.000,00. Keempat jenis mekanisme pembayaran pajak pusat di atas, merupakan kewajiban WP dalam membayar pajak. Lalu bagaimana jika WP lebih membayar pajak? Maka WP dapat menikmati Hak WP atas Kelebihan Membayar Pajak.

Yaitu WP mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut Jika pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang.

  • Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
  • Untuk WP masuk kriteria WP Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima.

Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan. WP dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara : (1) Melalui Surat Pemberitahuan (SPT), dan (2) Dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.

Bagaimana cara membayar pajak yang terutang pada suatu tahun pajak?

Pembayaran Pajak Terutang – Pembayaran PPh atau penyetoran PPN bisa dilakukan secara daring maupun manual. Pembayaran/penyetoran pajak secara manual dengan datang langsung ke lewat loket/ teller kantor pos atau ATM/ teller bank persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan. Ilustrasi bayar pajak terutang

Apa Saja sistem pembayaran pajak?

Di Indonesia, berlaku 3 jenis sistem pemungutan pajak, yakni: Self Assessment System. Official Assessment System. Withholding Assessment System.

Kapan dilakukan pembayaran pajak?

Jangka Waktu Pembayaran dan Pelaporan Pajak | Registered Tax Consultant Bagaimana Mekanisme Pembayaran Pajak Di Indonesia Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU KUP, setiap Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran dan penyetoran pajak terutang. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak paling lama yaitu 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

No. Keterangan Batas Pembayaran (Pasal 2 PMK Nomor 242/PMK.03/2014 stdd PMK Nomor 18/PMK.03/2021) Batas Pelaporan (Undang-Undang di Bidang Perpajakan)
1. PPh Pasal 4 ayat (2) setor sendiri Tanggal 15 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
2. PPh Pasal 4 ayat (2) pemotongan Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
3. PPh Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan setor sendiri Sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditandatangani Tanggal 20 bulan berikutnya
4. PPh Pasal 15 setor sendiri Tanggal 15 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
5. PPh Pasal 15 pemotongan Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
6. PPh Pasal 21 Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
7. PPh Pasal 23/26 Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
8. PPh pasal 25 Tanggal 15 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
9. PPh Pasal 22 impor setor sendiri (dilunasi bersamaan dengan bea masuk, PPN, PPnBM) Saat penyelesaian dokumen PIB
10. PPh pasal 22 impor yang pemungutan oleh BC 1 hari kerja berikutnya Hari kerja terakhir minggu berikutnya
11. PPh pasal 22 pemungutan oleh bendaharawan Hari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan barang 14 hari setelah masa pajak berakhir
12. PPh Pasal 22 migas Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
13. PPh pasal 22 pemungutan WP badan tertentu Tanggal 10 bulan berikutnya Tanggal 20 bulan berikutnya
14. PPN & PPnBM Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum SPT masa PPN disampaikan Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
15. PPN atas kegiatan membangun sendiri Tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
16. PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean Tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
17. PPN & PPnBM Pemungutan Bendaharawan Tanggal 7 bulan berikutnya Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
18. Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan pemerintah melalui KPPN
19. PPN & PPnBM Pemungutan selain bendaharawan Tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa PAjak berakhir Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
20. PPh 25 WP Kriteria tertentu yang dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa. (Pasal 3 ayat (3B) UU KUP) Paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak berakhir
21. Pembayaran masa selain PPh 25 WP kriteria tertentu yang dapat melaporkan beberappa Masa Pajak dalam satu SPT Masa (Pasa 3 ayat (3B) UU KUP) Paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak berakhir
22. STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, Putusan PK 1 bulan sejak tanggal diterbitkan

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana bertepatan dengan hari libur ( yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional), pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.

Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 3 PMK Nomor 242/PMK.03/2014 stdd PMK Nomor 18/PMK.03/2021, kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak serta pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

Dimana pembayaran pajak bisa dilakukan?

2. Wajib Pajak melakukan transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui: a. teller Bank/Pos Persepsi; b. Anjungan Tunai Mandiri (ATM); c. internet banking; d. mobile banking; e. EDC; atau f. sarana lainnya.

Mengapa kita harus melakukan pembayaran pajak?

Mengapa Harus Bayar Pajak? – Pajak menjadi penerimaan negara terbesar yang dikumpulkan negara melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jadi ketika wajib pajak taat bayar pajak, ada berbagai manfaat yang dapat dirasakan kembali oleh masyarakat Indonesia.

Kewajiban bagi Warga Negara Indonesia

Membayar pajak pada dasarnya adalah kewajiban bagi warga negara Indonesia, terutama mereka yang sudah dikenai tanggung jawab perpajakan. Jika melanggar atau tidak mematuhinya, akan mendapat hukuman, seperti denda, bunga, hingga kurungan penjara.

Bukti Bakti pada Negara

Melakukan pembayaran pajak kepada negara diyakini sebagai bukti bakti kepada negara. Pajak yang disetorkan akan digunakan untuk membiayai anggaran pembangunan negara (APBN) dan anggaran pembangunan daerah (APBD). Karena itu, penting bagi orang pribadi dan badan untuk membayar pajak.

Memperlancar Proses Bisnis

Bagi wajib pajak badan, membayar pajak dapat membantu memperlancar proses bisnis. Tidak hanya membayar, tetapi juga mematuhi seluruh kewajiban perpajakan, mulai dari memiliki NPWP, memungut atau memotong pajak dari setiap transaksi yang terjadi, melapor dan membayar pajak usaha.

You might be interested:  Apa Yang Kamu Ketahui Kewajiban Wajib Pajak Badan?

Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat

Pembayaran pajak membantu terciptanya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Objek dan subjek pajak tertentu dapat menyumbang pajak lebih besar daripada yang lain. Hasil pungutan pajak tersebut kemudian digunakan untuk menyediakan fasilitas bagi masyarakat kurang mampu sehingga mengurangi kesenjangan sosial.

Berkontribusi kepada Negara

Dengan membayar pajak, artinya turut berkontribusi untuk pembiayaan yang menyangkut kepentingan bersama, seperti pembangunan infrastruktur, perbaikan fasilitas umum, penyelenggaraan bantuan sosial, dan sebagainya. Itulah alasan, mengapa harus membayar pajak, yang perlu diketahui. Lantas, siapa saja yang wajib membayar pajak?

Jelaskan apa yang menyebabkan terjadinya kelebihan bayar pajak?

Penyebab terjadinya lebih bayar – Untuk Pajak Penghasilan (PPh) biasanya kelebihan bayar pajak atau restitusi terjadi apabila jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang. Hal ini bisa saja terjadi karena telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang. Apabila terjadi kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pada umumnya disebabkan oleh adanya:

Kelebihan Pajak Masukan karena pembelian barang modal oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada saat awal usaha dimulai.Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang memperoleh fasilitas “PPN Tidak Dipungut.”Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu masa pajak tertentu yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) yang diekspor.

Sedangkan untuk PPn BM, terjadinya kelebihan bayar karena jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak terutang atau dengan kata lain dilakukan pembayaran pajak yang tidak terutang Baru-baru ini Ditjen Pajak Kemenkeu menyatakan bahwa restitusi pajak periode Januari hingga akhir Maret 2019 telah mengembalikan kelebihan bayar pajak i sebesar Rp 50,65 triliun atau 47,83% dengan perincian PPh sebesar 12,45 dan PPN Rp 38,2 triliun.

Menurut Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan pertumbhan resistusi tahun ini (per 31 Maret 2019) PPh dan PPN 47,83% dibandingkan tahun lalu. Beliau juga menyatakan bahwa target penerimaan sepanjang tahun berkisar Rp 141,6 triliun dan pada kuartal 1 pertumbuhan resistusi sangat cepat. Berbeda dengan biasanya yakni hanya berkisar 10% setiap tahunnya.

Beliau juga menambahkan pertumbuhan resistusi diprediksi akan melambat pada bulan Mei atau Juni. Apabila anda termasuk dalam kategori Wajib Pajak yang ingin mengajukan restitusi, anda bisa melakukannya dengan memperhatikan persyaratan diatas. Jika anda ingin berkonsultasi seputar dunia perpajakan, anda bisa hubungi kami di nomor Whatsapp di link ini,

Bagaimana mekanisme pembayaran dalam tahun berjalan PPh pasal 25?

Jasa Konsultan Pajak – Wajib Pajak (WP) BSD atau dimana pun memiliki kewajiban perpajakan yang telah diatur dalam peraturan perpajakan. Baik itu yang merupakan WP Orang Pribadi maupun WP Badan. dapat dikenai pajak atas penghasilan yang diperolehnya. WP yang melakukan suatu kegiatan usaha, maka dapat dikenai Pajak Penghasilan (PPh), khususnya PPh Pasal 25 yang berupa angsuran PPh untuk tiap bulannya.

Etahui lebih lanjut bagaimana mekanisme PPh pasal 25 pada pembahasan berikut. Pajak Penghasilan selanjutnya disingkat dengan PPh, terdiri dari beberapa jenis pajak. Salah satunya yaitu PPh Pasal 25, yakni pembayaran pajak atas suatu penghasilan yang dilakukan secara angsuran. Dimana pembayaran pajak tersebut diangsur untuk setiap bulannya.

Seperti halnya dengan skema angsuran pada umumnya, tujuan dari PPh pasal 25 ini yaitu untuk meringankan beban Wajib Pajak (WP). Yakni beban WP terkait dengan pajak terutang yang harus dibayarkan dalam satu tahun pajak. Pada dasarnya, proses pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan atas PPh Pasal 25 dilakukan untuk melunasi jumlah pajak terutang.

Pelunasan ini dilakukan untuk mendekati jumlah nominal pajak yang akan terutang pada tahun pajak yang bersangkutan. Pembayaran pajak atas PPh Pasal 25 harus dilakukan dengan tepat waktu atau jangka waktu yang telah ditentukan. Untuk memudahkan pengurusan pajak anda, konsultan pajak BSD adalah solusi tepat untuk anda.

Setiap pajak tentu memiliki kriteria penghitungan yang berbeda-beda. Pada PPh Pasal 25 besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (WP) adalah sebesar PPh terutang menurut SPT. Jadi, angsuran pajak yang dibayarkan setiap bulan, jumlahnya sesuai dengan PPh terutang berdasarkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun sebelumnya.

PPh yang telah dipotong seperti pada Pasal 21 dan Pasal 23, serta PPh yang dipungut sebagaimana dalam Pasal 22 UU PPh. Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan.

Baca Juga: Pahami dengan Baik Apa yang Disebut dengan PPh Pasal 29 Selanjutnya, perlu diketahui besaran tarif PPh Pasal 25. Berdasarkan pada Undang-Undang PPh tarif PPh secara umum dibedakan berdasarkan pada nominal penghasilan yang diperoleh. Tarif PPh sendiri merupakan tarif pajak progresif yang artinya jumlahnya akan semakin besar apabila jumlah penghasilan semakin besar.

Penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000 tarif pajaknya 5% Penghasilan Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 tarif pajaknya 15% Penghasilan Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 tarif pajaknya 25% Penghasilan di atas Rp 500.000.000 tarif pajaknya 30%

Apabila di atas merupakan tarif PPh atas wajib pajak (WP) orang pribadi, maka berbeda dengan WP badan. Dimana pembayaran angsuran atas PPh 25 untuk WP badan dihitung dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikalikan dengan 25%. Tarif 25 % tersebut sesuai dengan tarif PPh yang telah tercantum dalam Undang-Undang PPh.

  1. Sedangkan untuk batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 paling lambat pada tanggal 15 di bulan berikutnya.
  2. Onsultan pajak BSD adalah pilihan tepat dalam mengurus pajak secara tepat dan akurat.
  3. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, besaran pajak yang harus dibayarkan untuk angsuran PPh Pasal 25 diupayakan mendekati jumlah PPh terutang.

Kaitannya dengan hal ini, Direktur Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perhitungan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (WP) dalam tahun berjalan. Apabila anda yang berada di BSD memiliki permasalahan pajak, dan membutuhkan bantuan dari konsultan pajak BSD, anda dapat menghubungi kami di halaman ini untuk melakukan konsultasi pajak secara online.

Apa yang terjadi bila masyarakat tidak membayar pajak?

apa akibat jika masyarakat tidak membayar pajak?jelaskan! Akibatnya pembangunan nasional tidak berjalan lancar, infrastruktur tidak terurus dengan baik sehingga bangsa kita tidak bisa menjadi bangsa maju. Pajak merupakan sumber dana pembangunan nasional bangsa, dari pengertian ini kita bisa langsung tau apa akibatnya jika kita tidak membayar pajak.

Terima kasih kak ♋️♊️♌️♉️♍️♈️♎️♏️♐️♑️♒️♓⛎

: apa akibat jika masyarakat tidak membayar pajak?jelaskan!

Bagaimana apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dibandingkan kredit pajaknya?

“Pasal 20 (1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri. (2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 23. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 21 (1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

/td>

(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

/td>

(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. (4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana tersebut dalam Pasal 17. (6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1 (satu) pemberi kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final menurut Undang-undang ini. (7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan pajak yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan tertentu. (8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak 24. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 22 (1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatn usaha di bidang lain. (2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 25. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 23 (1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen;
2) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

/td> b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:

1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

/td>

/td>

(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

/td>

26. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 24 (1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama. (2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini. (3) Dalam menhitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalit, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

/td>

(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut. (5) Apabila pajak atas penghasilan luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan. (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. 27. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 25 (1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. (2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu. (3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahu pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar dari angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir. (4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat keterangan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar daripada angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir dn berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. (5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu lebih keci dari jumlah Pajak Penghasilan yang telah dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan sama denga angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sampai dikeluarkannya keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut. (6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, apabila:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

/td>

(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 26 (1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen
b. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

/td>

(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan, (5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.”

/td>

29. Ketentuan Pasal 27 dihapus. 30. Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut: ” BAB VI PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN” 31. Ketentuan Pasal 28 disempurnakan dan ditambah dengan ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 28 (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5).

/td>

(2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” 32. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang dijadikan Pasal 28A, yang berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 28A Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata kebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.” 33. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 29 Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (duapuluh lima) bulan ke tiga setelah pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan. 34. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 35. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 36. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan Lain-lain, yang berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 31A Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, 37. Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 32 Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 38. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang dijadikan Pasal 33A dalam BAB VIII tentang Ketentuan Peralihan, yang berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 33A (1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini. (2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. (3) Fasilitas perpajakan yang diberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud. 39. Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 34 Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. 40. Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut: ” Pasal 35 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal II Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.” Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara. Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 1994 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA S O E H A R T O

Mengapa pajak sangat diperlukan dalam keberlangsungan hidup suatu negara?

Pemerataan kesejahteraan masyarakat –

Pembayaran pajak membantu terciptanya kesejahteraan masyarakat. Objek dan subjek pajak tertentu dapat menyumbang pajak lebih besar dari yang lain. Hasil pengutan pajak tersebut kemudian digunakan untuk menyediakan fasilitas bagi rakyat miskin sehingga mengurangi kesenjangan sosial.

  • Pajak merupakan iuran wajib yang dibayar rakyat kepada negara tanpa kontraprestasi secara langsung dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum (Mardiasmo: 2011).
  • Menurut Siti Resmi (2013) pajak mempunyai dua fungsi penting dalam perekonomian suatu negara.
  • Pertama pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kedua pajak berfungsi sebagai alat yang mengatur kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang sosial ekonomi. Penerimaan pajak mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dalam jumlah nominal maupun persentase terhadap jumlah keseluruhan pendapatan negara.

Di sisi lain persentase Wajib Pajak masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Hal ini menunjukan kesadaran masyarakat Indonesia untuk membayar pajak masih rendah. Menurut Widayati dan Nurlis yang dikutip dalam penelitian Ramadiansyah, Sudjana, & Dwiatmanto (2014) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong Wajib Pajak untuk membayar pajak salah satunya adalah kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara.

Pemahaman masyarakat mengenai peraturan perpajakan sangatlah penting, hal tersebut akan mendorong kesadaran masyarakat terutama Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Masruroh Siti & Zulaikha (2013) yang menyatakan pengetahuan dan pemahaman peraturan perpajakan merupakan proses wajib pajak mengetahui dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk membayar pajak.

  1. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.
  2. Di sisi lain pajak juga sangat penting dalam mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.

Disisi lain pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain: 1. Fungsi Anggaran (Budgetair), yaitu pajak dijadikan alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku, sehingga pajak berfungsi membiayai seluruh pengeluaran-pengeluaran yang berkaitan dengan proses pemerintahan.

Apa sistem pembayaran di Indonesia?

Apa Itu Sistem Pembayaran? Sistem Pembayaran adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana, guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Sistem Pembayaran lahir bersamaan dengan lahirnya konsep ‘uang’ sebagai media pertukaran ( medium of change ) atau intermediary dalam transaksi barang, jasa dan keuangan. Evolusi Sistem Pembayaran ​Sistem Pembayaran terus berevolusi mengikuti evolusi uang dengan 3 unsur penggerak yaitu inovasi teknologi & model bisnis, tradisi masyarakat, dan kebijakan otoritas. Awal mula alat pembayaran yaitu sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan.

Hanya saja masalah muncul ketika dua orang ingin bertukar tidak sepakat dengan nilai pertukarannya atau salah satu pihak tidak terlalu membutuhkan barang yang akan ditukar. Untuk mengatasi hal itu, manusia mengembangkan uang komoditas. Komoditas di sini adalah barang dasar yang hampir dibutuhkan oleh semua orang, misalnya garam, teh, tembakau, hingga biji-bijian.

Hewan ternak digunakan sebagai uang komoditas pada tahun 900 hingga 6000 Sebelum Masehi (SM). Gandum, sayuran, dan tumbuhan kemudian juga dijadikan uang komoditas setelah muncul budaya pertanian. Selanjutnya uang primitif mulai digunakan sekitar tahun 1200 SM dan berupa cangkang kerang atau cangkang hewan lainnya. Sistem Pembayaran Tunai Secara garis besar sistem pembayaran dibagi menjadi dua yaitu sistem pembayaran tunai dan sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar terletak pada instrumen yang digunakan. Sistem pembayaran tunai menggunakan uang kartal (uang kertas dan logam) sebagai alat pembayaran. Sistem Pembayaran Non Tunai Sedangkan pada sistem pembayaran non-tunai, instrumen yang digunakan berupa Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), cek, bilyet giro, nota debit, maupun uang elektronik ( card based dan server based ). Cakupan sistem pembayaran non tunai dikelompokkan menjadi 2 jenis transaksi yaitu transaksi nilai besar ( wholesale ) dan transaksi ritel. Transaksi nilai besar memiliki karakteristik transaksi yang bersifat penting dan segera ( urgent ), meliputi transaksi antar bank, transaksi di pasar keuangan atau transaksi dengan nilai ticket size ≥ Rp1 Miliar. Infrastruktur yang digunakan untuk memroses aktivitas transaksi ini adalah Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Sedangkan transaksi ritel meliputi transaksi antar individu dengan nilai ticket size < Rp1 Miliar dengan karakteristik bernilai kecil dan relatif tinggi frekuensinya. Infrastruktur yang digunakan untuk memroses aktivitas transaksi ini adalah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). ​ Evolusi yang Dinamis Alat pembayaran di Indonesia berkembang sangat pesat dan maju. Alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai ( cash based) ke alat pembayaran nontunai ( non-cash ) seperti alat pembayaran berbasis kertas ( paper based ) misalnya cek dan bilyet giro yang diproses menggunakan mekanisme kliring/ settlement, Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai Kartu ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar ( card-based ). Pada satu dekade terakhir, telah terjadi gelombang digitalisasi dan penetrasinya ke kehidupan masyarakat yang mengubah secara drastis perilaku masyarakat. Instrumen alat pembayaran pun semakin bervariasi dengan kehadiran uang elektronik berbasis kartu ( chip based ) maupun peladen/server ( server based ). Pola konsumsi masyarakat pun mulai bergeser dan menuntut pembayaran serba mobile, cepat serta aman melalui berbagai platform antara lain web, mobile, Unstructrured Supplementary Service Data (USSD) dan SIM Toolkit (STK). Selanjutnya, muncul instrumen virtual currency yang merupakan uang digital yang diterbitkan oleh pihak lain selain otoritas moneter dan diperoleh dengan cara mining, pembelian atau transfer pemberian ( reward ). Kepemilikan virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulatif. Hal ini dikarenakan tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga serta nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan ( bubble ) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli, atau memperdagangkan virtual currency sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Perkembangan Sistem Pembayaran Saat Ini Dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini, telah melahirkan pola pemikiran baru yang turut berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Ketika mekanisme pembayaran dituntut untuk selalu mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam hal perpindahan dana secara cepat, aman dan efisien, maka inovasi-inovasi teknologi pembayaran semakin bermunculan dengan sangat pesat. Bank Indonesia dituntut untuk selalu memastikan bahwa setiap perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada pada koridor ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu saja demi kelancaran dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran.​ Berkaca pada kondisi tersebut, perkembangan sistem pembayaran tidak pernah terpisahkan dengan inovasi-inovasi infrastruktur teknologi, maka perkembangan sistem pembayaran di Indonesia saat ini mengarah pada upaya penguatan infrastruktur dan pengembangan sistem dengan bertopang pada kemajuan teknologi informasi. Industri pembayaran baik yang melibatkan bank maupun lembaga selain bank berlomba-lomba melakukan pengembangan sistem pembayarannya. Bahkan saat ini peranan lembaga selain bank (LSB) di dalam penyelenggaraan sistem pembayaran semakin nyata dengan semakin banyaknya LSB yang melakukan kerjasama dengan perbankan baik sebagai penyedia jaringan dan tidak menutup kemungkinan sebagai penerbit dari instrumen-instrumen pembayaran tersebut. Bank Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan settlement transaksi-transaksi melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) juga terus berupaya memperbaiki dan memperbaharui mekanisme sistem yang ada agar selalu efisien, aman, dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang. Masyarakat kini dihadapkan pada berbagai macam pilihan instrumen pembayaran yang semakin bervariasi. Terjadi pergeseran instrumen yang semula menggunakan paper-based instrument seperti cek dan bilyet giro ke penggunaan card based dan electronic based instrument terlihat dari semakin terbiasanya masyarakat bertranskasi dengan kartu kredit, kartu ATM/Debet, uang elektronik baik chip based maupun server based sebagai alat pembayaran. Penguatan infrastruktur tersebut tercermin dimana Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem pembayaran mulai mengoperasikan layanan settlement Payment-versus-Payment (PvP) pada Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (-RTGS). Layanan penyelesaian settlement dari transaksi jual beli valuta asing khususnya United States Dollar (USD) terhadap Indonesian Rupiah (IDR) dilakukan secara bersamaan. Hal ini untuk menghindari terjadinya risiko kegagalan settlement pada saat pertukaran nilai uang dilakukan. Selain itu, dengan kecenderungan transaksi pembayaran ke depan yang semakin tiada batas, tentu memunculkan kebutuhan likuiditas yang semakin tinggi bagi para pelaku ekonomi, antara lain munculnya ragam derivasi produk keuangan global dan hilangnya batasan wilayah ekonomi regional yang digagas melalui MEA maupun kerjasama regional lainnya. Selain PvP, penguatan infrastruktur lainnya adalah penyatuan penyelenggaraan fungsi settlement surat berharga BI-SSSS ke dalam penyelenggaraan fungsi sistem pembayaran dan settlement di Bank Indonesia. Penyatuan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan kegiatan settlement dana dan surat berharga berikut infrastruktur dan sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas layanan Bank Indonesia kepada stakeholders terkait. Tak ketinggalan di sisi ritel, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang merupakan sistem kliring. Penyempurnaan SKNBI dilakukan untuk meminimalkan risiko kredit pada kliring debet. Penerapan prinsip no money no game pada proses penghitungan kliring debet yang baru, menuntut bank untuk selalu menjaga kecukupan pendanaan awal agar dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban tagihan pembayaran dari bank lainnya. Hal ini mendorong bank peserta kliring untuk melakukan pengelolaan likuiditasnya secara lebih baik dan efisien. Masih di sisi pembayaran ritel, perkembangan industri pembayaran ritel diarahkan kepada penciptaan interoperability antar sistem yang digunakan demi terciptanya keamanan dan efisiensi sistem pembayaran. Standardisasi nasional instrumen kartu ATM/Debet adalah salah satunya. Dilatarbelakangi oleh isu keamanan bertransaksi dalam menggunakan kartu ATM/Debet, penggunaan teknologi chip pada kartu ATM/Debet diyakini dapat meminimalkan timbulnya kejahatan fraud pada kartu ATM/Debet. Selain itu, interoperability antar sistem juga diciptakan pada penyelenggaraan uang elektronik Bank Indonesia telah menetapkan lima visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Sebagai salah satu quick win untuk mewujudkan visi SPI 2025 tersebut, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan operasional SKNBI yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri dengan tetap memperhatikan perlindungan nasabah. Perkembangan Kebijakan Sistem Pembayaran Orientasi kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran mulai bergeser sejak 1 dekade terakhir, dari pengembangan infrastruktur sistem pembayaran yang dioperasikan langsung oleh Bank Indonesia menuju penataan rezim regulasi dan kelembagaan industri sistem pembayaran, khususnya sistem pembayaran ritel yang tidak terlepas dari dampak menguatnya arus digitalisasi. Dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi, Bank Indonesia berkomitmen untuk menyediakan uang Rupiah di seluruh wilayah Indonesia sesuai kebutuhan masyarakat. Proses distribusi uang Rupiah terus diperkuat agar perekonomian dapat terus tumbuh secara merata.

Struktur jaringan distribusi uang dioptimalkan dengan pengiriman melalui 12 depo kas sebagai hub ke seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Bank Indonesia juga bekerja sama dengan POLRI dan TNI dalam mengawal dan mengamankan jalur distribusi uang di seluruh wilayah NKRI. Layanan kas titipan juga terus ditingkatkan bersinergi dengan perbankan, termasuk mempercepat penarikan uang tidak layak edar.

Pembukaan kas titipan diprioritaskan bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses dan jarak ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Layanan kas prima juga tetap dilakukan pada saat terjadi kondisi darurat atau bencana agar aktivitas perekonomian dapat berjalan.

​ ​Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025: Menavigasi Sistem Pembayaran Nasional di Era Digital Arus digitalisasi masuk secara deras ke Indonesia, demikian pula potensinya di masa depan. Tren digitalisasi tersebut mempengaruhi sendi-sendi perekonomian, mengubah pola transaksi masyarakat, baik individu maupun korporasi, dan mendisrupsi fungsi-fungsi konvensional, tidak terkecuali di sektor keuangan.

Dengan gambaran tersebut, tren digitalisasi ekonomi dan keuangan di Indonesia memberikan peluang sekaligus risiko. Perkembangan teknologi digital dan inovasi telah memungkinkan perkembangan sistem pembayaran yang nyaman, cepat, dan efisien serta membuka lebar peluang inklusivitas ekonomi-keuangan.

  1. Namun demikian, kemajuan tersebut muncul bukan tanpa risiko, risiko cyber security, AML-CFT dan proteksi terhadap pemanfaatan data.
  2. Selain itu, tendensi penguasaan ekosistem digital rentan terhadap penguasaan pasar dan penyalahgunaan data yang mengganggu stabilitas sistem keuangan.
  3. Risiko penting lainnya adalah potensi hilangnya peran konvensional perbankan dan menguatnya shadow banking yang berujung pada terganggunya efektivitas kebijakan moneter.

Tantangan kebijakan bagi otoritas ekonomi dan keuangan di era digital, khususnya Bank Indonesia adalah mencari titik keseimbangan yang tepat antara upaya mengoptimalkan peluang yang diusung oleh inovasi digital dengan upaya untuk memitigasi risiko. Untuk itu, hadirnya Visi Sistem Pembayaran Indonesia dan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 diharapkan dapat memberikan arah yang jelas, guna memperoleh manfaat digitalisasi dengan tetap menjamin terlaksananya mandat Bank Indonesia dalam pengedaran uang, moneter, dan stabilitas sistem keuangan.

Lima Visi SPI 2025 adalah Pertama, mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital nasional sehingga menjamin fungsi bank sentral dalam proses peredaran uang, kebijakan moneter, dan stabilitas sistem keuangan, serta mendukung inklusi keuangan. Kedua, mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi-keuangan digital melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan.

Ketiga, menjamin interlink antara Fintech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi digital (seperti Application Programming Interface -API), kerjasama bisnis, maupun kepemilikan perusahaan. Keempat, menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat melalui penerapan Know Your Customer (KYC) & Anti-Money Laundering / Combating the Financing of Terrorism (AML/CFT), kewajiban keterbukaan untuk data/informasi/bisnis publik, dan penerapan reg-tech dan sup-tech dalam kewajiban pelaporan, regulasi dan pengawasan. Kelima visi SPI 2025 ini akan diwujudkan dalam lima inisiatif, baik yang akan diimplementasikan langsung oleh Bank Indonesia maupun melalui kolaborasi dan koordinasi dengan otoritas terkait dan industri. Inisiatif pertama adalah open banking dan interlink bank-fintech yang terwujud melalui standarisasi open API yang memungkinkan keterbukaan informasi keuangan bank dan fintech kepada pihak ketiga secara aman.

Inisiatif kedua adalah pengembangan retail payment yang mengarah kepada penyelenggaraan secara real time 24/7 dengan keamanan dan tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan melalui fast payment, optimalisasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan pengembangan unified payment interface. Inisiatif ketiga merupakan pengembangan wholesale payment dan financial market infrastructure.

Cakupan ini meliputi beberapa pengembangan yang salah satunya adalah pengembangan RTGS. Inisiatif keempat berbicara mengenai data, dalam hal ini melakukan pengembangan data nasional yang kolaboratif dan terintegrasi sehingga dapat dioptimalkan pemanfaatannya.

Inisiatif terakhir adalah melakukan pengaturan, pengawasan, perizinan, dan pelaporan untuk percepatan Ekonomi Keuangan Digital (EKD). Dengan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025, diyakini bahwa inovasi digital akan sanggup membuka akses 83,1 juta populasi unbanked dan 62,9 juta UMKM pada ekonomi dan keuangan formal secara sustainable,

Dengan demikian, semua upaya yang dilakukan diarahkan untuk masa depan Indonesia yang lebih kuat dan merata.​ ​

Bagaimana sistem pemungutan pajak yang digunakan di Indonesia brainly?

Ada 3 sistem pemungutan pajak di Indonesia, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System dan With holding Tax System.

Mengapa sistem pemungutan pajak perlu dibuat dengan mudah dan tidak berbelit belit?

Hai Muslih, kakak bantu jawab ya. Jawaban: Sistem pemungutan pajak dibuat mudah dan tidak berbelit agar meningkatkan kemauan dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Sehingga pendapatan pemerintah dapat dijaga. Penjelasan: Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah.

Bagaimana sistem pemungutan pajak yang digunakan di Indonesia brainly?

Ada 3 sistem pemungutan pajak di Indonesia, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System dan With holding Tax System.

Bagaimana penerapan dari sistem pemungutan pajak yang menggunakan full self assessment system?

Dalam sistem self assessment wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya ke Kantor Pelayanan Pajak atau kantor penyuluhan Pajak, Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan untuk pelaporan menggunakan Surat pemberitahuan (SPT).