Berikut Yang Merupakan Subjek Pajak Luar Negeri Adalah?

Berikut Yang Merupakan Subjek Pajak Luar Negeri Adalah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. 3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment, Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Hruruf a. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu: 1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya, Ayat (2) Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2 Pasal 3 Huruf a dan huruf b Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: – penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; – penghasilan dari usaha dan kegiatan; – penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; – penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4) pembagian laba dalam bentuk saham; 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
You might be interested:  Jenis Usaha Kelompok Yang Dikelola Atas Asas Kekeluargaan Dengan Modal?

Contents

Siapa saja subjek pajak dalam negeri dan luar negeri?

Perbedaan Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri – Setelah mengetahui subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri maka ada perbedaan yang jelas antara keduanya. terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya diantaranya:

  • Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
  • Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan alias tarif tunggal terhadap semua objek pajak berapapun nilainya. Bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang undang ini dan undang undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
  • Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Jika Grameds ingin mempelajari lebih lanjut mengenai subjek pajak dan pajak internasional. Grameds bisa membaca buku dan dapatkan bukunya yang tersedia di www.gramedia.com, Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik! Penulis: Yufi Cantika Sukma Ilahiah BACA JUGA:

  1. Pengertain Pajak: Fungsi, Manfaat, Jenis, dan Cara Membayar
  2. Mengenal Jenis-Jenis Pajak yang Ada di Indonesia
  3. Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan Ekonomi
  4. Pengertian NPWP: Jenis, Manfaat, dan Cara Membuat NPWP
  5. Cara Membuat NPWP Secara Online dan Offline

Siapakah pengecualian subjek pajak luar negeri?

Menurut undang-undang, ada 3 golongan bukan subjek pajak : kantor perwakilan negara asing; pejabat diplomatik; dan. organisasi internasional.

Apakah but termasuk subjek pajak luar negeri?

Apa itu BUT atau Bentuk Usaha Tetap adalah Sebagai Berikut – Apa itu BUT pajak? Pengertian BUT pajak atau Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan subjek pajak luar negeri (non-resident taxpayer), baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

Subjek pajak ada berapa?

Pengertian Subjek Pajak Penghasilan – Subjek pajak penghasilan adalah badan atau perorangan yang wajib membayar pajak karena sudah dikenakan pajak dari negara. Subjek pajak juga dibagi menjadi 4 jenis atau bagian. Berdasarkan domisilinya, subjek pajak terbagi menjadi dua yakni pajak penghasilan dalam negeri dan pajak penghasilan luar negeri.

  1. Sedangkan, 4 kategori tersebut yaitu orang pribadi, warisan, badan, dan juga BUT (badan usaha tetap).
  2. Secara singkat, subjek pajak orang pribadi adalah semua warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia ataupun bertempat tinggal di luar negeri, namun mempunyai penghasilan dari Indonesia.

Sedangkan, subjek pajak badan adalah semua badang yang telah berkembang dan berdiri di Indonesia. Akan tetapi, badan non-komersial dan badan yang biayanya berasal dari APBN/APBD tidak termasuk dalam subjek pajak badan. Selanjutnya, subjek pajak warisan yang belum dibagi adalah semua pewaris yang nantinya menurunkan atau membagikan harta warisannya.

  • Maka, pewaris tersebut wajib untuk melakukan pendaftaran terkait harta benda tersebut serta membayar pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
  • Badan Usaha Tetap adalah gedung, kantor, bengkel, pabrik, dan bentu usaha tetap lainnya yang dibangung oleh WNA ataupun WNI yang tinggal di wilayah Indonesia.

Baca juga: Jenis Pajak dan Keuntungannya bagi Bisnis

Wajib pajak ada berapa?

Kategori Wajib Pajak Orang Pribadi – Pada ketegori ini terbagi menjadi lima jenis. Berikut daftarnya:

Kapan berakhirnya subjek pajak luar negeri?

Berikut Yang Merupakan Subjek Pajak Luar Negeri Adalah salam rekan nove,, Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan tempat di Pasal 2A yang khusus mengatur kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. Selengkapnya, saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut : Untuk subjek pajak orang pribadi dalam negeri : dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Untuk subjek pajak badan dalam negeri : dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT : dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.

Untuk subjek pajak luar negeri non BUT : dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. semoga bermanfaat

Apakah subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto?

Kewajiban Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri Kewajiban Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri, Jakarta – Pemerintah Indonesia mengelompokkan subjek pajak menjadi dua kelompok besar yaitu, subjek pajak dalam negeri dan luar negeri. Keduanya berlaku untuk orang pribadi maupun badan.

Berikut ini adalah kewajiban Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Subjek pajak adalah orang atau badan yang potensial untuk membayar pajak. Artinya, subjek pajak akan berubah menjadi apabila telah memiliki objek pajak dan memenuhi syarat objektif dan subjektif sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.

Wajib Pajak berdasarkan pengelompokannya tadi memiliki masing-masing kewajiban. Merujuk penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) PPh, subjek pajak orang pribadi dalam negeri akan menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Sedangkan subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan, subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Masih dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU, perbedaan Wajib Pajak dalam negeri dan luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya. Pertama, Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan, baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

  • Sementara itu, Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
  • Edua, Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum.
  • Sementara Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.

Ketiga, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Sedangkan, untuk Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT PPh.

Sebab, kewajiban perpajakannya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Sebagai catatan, bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri.

Ketentuan ini telah diatur dalam UU PPh dan UU lain yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. : Kewajiban Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri

Sebutkan siapa saja yang menjadi subjek pajak penghasilan?

Siapa Sajakah Subjek Pajak Penghasilan di Indonesia? Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Namun, siapa sajakah yang termasuk subjek pajak penghasilan ini? Sesuai UU 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yang merupakan subjek pajak adalah orang pribadi, badan, bentuk usaha tetap, serta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

  • Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
  • Dengan demikian, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Sementara itu, subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Oleh karenanya, pengurus harus mendaftarkan diri dan memperoleh NPWP badan sejak badan didirikan.

  • Wajib Pajak yang telah meninggal dunia, namun memiliki warisan yang belum terbagi ke ahli waris, maka warisan tersebut akan dijadikan subjek pajak sehingga penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dikenakan pajak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli
  • waris.
  • Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri

Subjek Pajak ini dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajar luar negeri. Lalu apakah perbedaan kedua jenis subjek pajak ini? Yang digolongkan sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah yang memenuhi salah satu kriteria di bawah ini:

  1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
  2. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  3. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  4. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Sesuai kriteria di atas, maka orang asing yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 1 tahun juga digolongkan sebagai subjek pajak dalam negeri. Sementara itu, yang termasuk subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 1 tahun, serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, maupun yang memperoleh penghasilan tanpa melalui bentuk usaha tetap.

  • Subjek pajak dalam negeri yang telah memenuhi syarat objektif (memiliki penghasilan) akan dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima baik di Indonesia maupun penghasilan yang diperoleh dari luar negeri.
  • Subjek Pajak dalam negeri juga wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan untuk melaporkan jumlah pajak terutang setiap tahunnya.

Sebaliknya, Subjek pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia dan tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), karena kewajiban pajaknya umumnya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. : Siapa Sajakah Subjek Pajak Penghasilan di Indonesia?

Apakah BUMN termasuk subjek pajak?

Subjek Pajak Dalam Negeri – Subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan domisili pendiriannya atau lamanya suatu aktivitas bisnis dilakukan di Indonesia. Subjek pajak dalam negeri bisa berupa orang perorangan, badan dan warisan yang belum dibagi.

  1. Jika orang perorangan lahir di Indonesia atau telah tinggal selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau berniat untuk tinggal lama di Indonesia, dia dapat disebut sebagai subjek pajak pribadi dalam negeri.
  2. Begitu juga dengan badan.
  3. Suatu badan dapat disebut sebagai subjek pajak dalam negeri ketika didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari.

Namun, unit tertentu dari badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan atau pembiayaannya bersumber dari APBN/APBDdikecualikan dari ketentuan ini. Badan yang dikecualikan tersebut diatur oleh ketentuan subjek pajak khusus di bawah kebijakan pemerintah pusat atau daerah.

Apakah BLU termasuk subjek pajak?

BLU bukan subjek pajak, di samping memenuhi kriteria sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh juga bahwa BLU merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan instansi induknya.

4 Apakah but merupakan wajib pajak luar negeri?

Apa itu Bentuk Usaha Tetap? – Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan subjek pajak luar negeri ( non-resident taxpayer ) baik orang pribadi ( nature person ) atau badan ( legal person ) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Merujuk Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Batasan waktu sebanyak 183 hari dalam satu tahun diterapkan apabila anatara Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki tax traety atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Akan tetapi, apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut terdapat tax treaty atau P3B maka batasan waktu sebagai BUT yang berlaku mengikuti perjanjian yang disepakati kedua negara tersebut.

  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yang mana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 menjadi regulasi induk dari perubahan yang telah dibuat.
  2. Sementara, UU 36/2008 merupakan perubahan keempat atau terbaru bagi kiblat perpajakan penghasilan di negeri ini.
  3. Jika Anda ingin mengetahui lebih jelasnya, lihat rangkuman Undang-Undang Pajak Penghasilan Terbaru di sini,

BUT masuk dalam kategori subjek pajak luar negeri dan merupakan wajib pajak (WP) badan, di samping subjek pajak lainnya yang juga dipungut pajak penghasilan, seperti orang pribadi, perseroan terbatas (PT), yayasan, serta badan usaha milik negara (BUMN) dan BUMD.

Apakah Tenaga Kerja Indonesia merupakan subjek pajak luar negeri?

Kewajiban Pajak buat yang Sering Bekerja di Negeri Orang Berikut Yang Merupakan Subjek Pajak Luar Negeri Adalah Anda sering bekerja di luar negeri? Pastikan Anda tahu persis kewajiban pajak Anda. “Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri.” Pepatah itu agaknya tepat untuk menggambarkan banyaknya warga negara Indonesia (WNI) mencari penghasilan baik melalui pekerjaan atau usaha di negeri orang.

  • Menurut data yang dirilis Bank Dunia 2017, hampir sembilan juta WNI mencari pekerjaan di luar negeri, setara dengan 7 persen angkatan kerja di Indonesia.
  • Salah satu alasannya, penghasilan di negeri orang bisa enam kali penghasilan di dalam negeri.
  • Nah “Taxclopedia” kali ini mencoba mengupas aspek perpajakan bagi WNI yang bekerja di luar negeri dari beberapa sisi.

Misalnya, bila ada WNI dalam satu tahun kalender bolak-balik luar negeri–Indonesia, atau ada WNI yang memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia selamanya atau WNI yang memiliki penghasilan ganda, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Akan dibahas juga beberapa kemungkinan kasus lainnya yang terjadi pada WNI yang bekerja atau memiliki penghasilan di luar negeri.

(3) Subjek pajak dalam negeri adalah: a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  • 2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  • 3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
  • 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

(4) Subjek pajak luar negeri adalah: a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Secara ringkas, subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan luar negeri (SPLN) untuk WNI adalah Orang Pribadi yang tinggal di Indonesia, yang apabila masa tinggalnya di Indonesia dalam satu tahun kalender (12 bulan) lebih dari 183 hari (kurang lebih 6 bulan) maka dianggap subjek pajak dalam negeri.

Status Subjek Pajak Orang Pribadi WNI Sumber Penghasilan dari luar Indonesia Sumber Penghasilan dari Indonesia
SPLN Tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia. Dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
SPDN Dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Ditegaskan dalam Peraturan Dirjen No.2/PJ/2009 bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh pekerja itu sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri, tidak dikenakan PPh di Indonesia. Para pekerja di luar negeri tidak dikenakan PPh di Indonesia jika memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. WNI bekerja di luar negeri
  2. Lebih dari 183 hari dalam 12 bulan.
  3. Memperoleh penghasilan hanya dari luar negeri saja.
  4. Telah dikenakan dan membayarkan pajak di luar negeri
  5. Tidak memperoleh penghasilan dari dalam negeri

Jika semua syarat di atas sudah dipenuhi oleh Wajib Pajak, selain tidak dikenakan PPh di Indonesia, kewajiban penyampaian SPT Tahunan pun tidak ada. Orang Pribadi WNI dianggap tidak bertempat tinggal di Indonesia dan bertempat tinggal tetap di luar negeri apabila bisa menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri, yaitu:

  1. Green Card,
  2. identity card,
  3. student card,
  4. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri,
  5. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, atau
  6. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
  1. Apabila Orang Pribadi WNI tersebut tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri sebagaimana dimaksud di atas, maka status subjek pajak Orang Pribadi WNI tersebut tetap SPDN.
  2. Setelah penjelasan dan pemaparan di atas sekarang saatnya melihat kemungkinan kasus yang terjadi di masyarakat terkait Orang Pribadi (WNI) yang bekerja di luar negeri.
  3. Kasus I:

Budi warga kota Surabaya, rutin dan tertib melaporkan SPT Tahunannya sampai dengan tahun 2017. Tahun 2017 Budi mendapatkan kontrak kerja sebagai tenaga ahli di Singapura, tepatnya pada September 2017—Desember 2017. Praktis Budi tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari (6 bulan), tetapi juga mendapatkan penghasilan dari Singapura.

Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

  • Sesuai dengan kondisi yang disampaikan di atas, pada tahun pajak 2017, Budi masih merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dengan terikat dengan hak dan kewajiban perpajakan yang berlaku di Indonesia, antara lain membayar dan melaporkan SPT PPh Orang Pribadi.
  • Sesuai Pasal 24 ayat (1) UU PPh:
  • (1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.

Berdasarkan ketentuan itu, Budi diberikan hak untuk mengkreditkan PPh yang Budi bayar (dipotong) di Singapura. Dengan demikian, Budi terhindar dari Pajak Berganda. Dengan kata lain, PPh yang Budi bayar di Singapura diperhitungkan sebagai pengurang atas pembayaran PPh yang terutang di Indonesia—sepanjang sesuai dengan penghitungan yang diatur pada Pasal 24 UU PPh, yakni sesuai pasal 24 ayat 2 UU PPh: Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

  • Asus II: Tahun 2018 Budi tinggal dan memperoleh penghasilan di Singapura dari bulan Januari—Agustus 2018 atau lebih dari 183 hari berada di luar Indonesia.
  • Emudian, pada September 2018—Desember 2018 kembali ke Indonesia.
  • Bagaimana perlakuan pajak atas penghasilan yang diterima Budi? Jawaban: Sesuai Pasal 1 dan 2 PER-02/PJ/2009: 1.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.2.

  1. Sehingga, sejak Budi berada di Luar Negeri lebih lama dari 183 hari sampai dengan sebelum kembali ke Indonesia, Budi merupakan SPLN yang tidak memiliki hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia.
  2. Namun, sejak saat kembali ke Indonesia (setelah kontrak habis), Budi sudah memenuhi kriteria “mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia” sehingga sesuai Pasal 2 Ayat (3) huruf a UU PPh, status Budi berubah menjadi SPDN dan terikat dengan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia.
  3. Dengan kata lain, kasus kedua ini sering terjadi pada WNI yang bekerja di luar negeri, yaitu setelah selesai kontrak akan tinggal kembali ke Indonesia menunjukkan sebenarnya WNI adalah SPDN, sehingga terikat dengan kewajiban pemenuhan perpajakan kecuali dia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia selama-lamanya.

Contoh ini bisa diterapkan pula pada WNI yang tinggal di luar negeri dan memperoleh penghasilan di sana lebih dari satu tahun kalender. Maka, selama jumlah tahun itu dia tinggal dan memperoleh penghasilan di LN sesuai PER-02/2009 tidak dikenakan kewajiban pajak di Indonesia termasuk laporan SPT Tahunan Pribadinya.

  • Undang-Undang No.7 tahun 1983 jo. No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
  • Peraturan Dirjen Pajak No.20/PJ/2013 jo. No.2/PJ/2018 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak
  • Peraturan Dirjen Pajak No.2/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri

Berikut Yang Merupakan Subjek Pajak Luar Negeri Adalah Foto: Riva Fazry Ada ruang menarik bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan pajak yang besar, tapi implementasi UU ini perlu sosialisasi masif. Majalahpajak.net – Tampaknya banyak yang tidak tahu bahwa di awal tahun 2022 lalu, tepatnya tanggal 5 Januari 2022, diundangkan sebuah produk hukum baru, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disingkat HKPD.

Tidak banyak media menyoroti produk hukum ini. Pembahasan di linimasa pun juga sangat jarang ditemui, apa mungkin karena Undang-Undang ini hanya bicara hubungan “suami- istri” dalam sebuah keluarga, yakni hubungan pemerintah pusat dan daerah di negara ini, bisa jadi publik pun enggan untuk membicarakannya? Padahal Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota.

Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan urusan pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

  • Pelaksanaan urusan pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.
  • Hal ini menuntut adanya sinergi pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara.

Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

  • Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  • Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Penyempurnaan implementasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  1. Mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien,
  2. Mengembangkan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah
  3. Mendorong peningkatan kualitas belanja daerah
  4. harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.

Sistem p ajak dan r etribusi Ada perubahan yang signifikan dari Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni dengan banyaknya penyederhanaan atau restrukturisasi jenis pajak dan retribusi daerah. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi lima jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu).

Apa yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri SPDN?

Sebagai contoh : –

  1. Contoh 1 : Aurel seorang WNI bertempat tinggal dan memiliki keluarga di Jerman dari bulan Maret 2020 dan sudah lebih dari 183 hari dalam 12 bulan tinggal di Jerman.
  2. Aurel seorang freelancer yang memiliki penghasilan di Indonesia sebagai pengajar les secara daring.
  3. Maka Aurel sudah dapat dikatakan sebagai SPLN dan penghasilannya dikenakan pajak final PPh 26

Contoh 2 : Atta seorang WNI yang mulai menetap di Australia untuk tinggal dan memiliki usaha. Atta keluar dari Indonesia ke Australia pada awal Januari 2021, dan saat ini adalah bulan Maret 2021. Atta juga memiliki penghasilan dari Indonesia, seorang freelancer design grafis sebuah perusahaan.

Maka hingga Maret 2021 Atta masih SPDN karena belum lebih dari 183 hari di Australia. Dan penghasilannya masih dikenakan PPh 21, jika sampai dengan akhir tahun pajak Atta menetap di Australia lebih dari 183 hari, maka bisa dilakukan pembetulan penghasilan yang di potong PPh 21 sebelumnya menjadi PPh 26.

: Membahas Kriteria Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) & Luar Negeri (SPLN)

Apa yang dimaksud dengan SPDN dan SPLN?

JAKARTA, DDTCNews – Status warga negara Indonesia (WNI) sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) atau subjek pajak luar negeri (SPLN) akan menentukan konsekuensi kewajiban pajaknya. Managing Partner DDTC mengatakan setidaknya ada 4 konsekuensi dari status tersebut.

  • Pertama, bila berstatus sebagai SPDN, basis pengenaan pajaknya berdasarkan pada penghasilan neto.
  • Etentuan ini berbeda jika WNI berstatus sebagai SPLN.
  • Alau dia menyandang status SPLN maka basis pengenaan pajaknya adalah bruto,” ujar Darussalam dalam webinar bertajuk Hak dan Kewajiban Perpajakan Diaspora, Jumat (19/3/2021).

Kedua, bila WNI masih berstatus SPDN, penghasilan yang harus dilaporkan adalah seluruh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini adalah konsekuensi sistem worldwide income yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. “Pasal 4 ayat (1) UU PPh mendefinisikan penghasilan dalam pengertian luas, dalam bentuk apapun, dari sumber manapun, mau digunakan konsumsi atau ditabung, kena pajak di Indonesia,” imbuhnya.

Ketiga, SPDN dikenai pajak berdasarkan pada tarif Pasal 17 UU PPh atas basis net income, Adapun SPLN dikenai pajak berdasarkan tarif proporsional atau berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atas basis penghasilan bruto. Keempat, untuk SPDN, mekanisme pelaporan kewajiban perpajakannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT).

Namun, bila seseorang memenuhi syarat sebagai SPLN, pelaporan pajak adalah berdasarkan pemungutan atau pemotongan final sehingga tidak perlu melaporkan SPT. Secara prinsip, sesungguhnya setiap negara memiliki kewenangan untuk menentukan kriteria subjek pajaknya masing-masing.

  • Namun, kriteria penentuan subjek pajak sudah tertuang dalam 2 model P3B, yakni OECD Model dan UN Model.
  • Dengan kedua panduan tersebut, kriteria penentuan subjek pajak dari setiap yurisdiksi cenderung mirip antara satu dan yang lain.
  • Adapun kriteria penentuan subjek pajak pada OECD Model dan UN Model dikenal sebagai tie breaker rule yang dipenuhi secara berjenjang.

Sebagai informasi, acara ini yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK) bekerja sama dengan Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (Intact-UK) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London. (kaw)

Copyright © 2023 Membahas Seputar Bisnis & Finance. All Rights Reserved. Theme byMagazine WordPress Themes