Cara Cek Ntpn Pajak Yang Sudah Dibayar?
Cek Nomor Transaksi Penerimaan Negara –
Jika mengalami kendala dalam membaca nomor transaksi penerimaan negara yang diterima, ada beberapa cara yang wajib pajak coba untuk mengeceknya, yaitu dengan mengecek melalui situs DJP Online, mengecek melalui SSP e-Billing DJP, dan melalui SSE. 1. Cek Melalui Situs DJP Online Wajib pajak dapat melakukan cek NTPN melalui situs resmi DJP Online, caranya adalah sebagai berikut:
Kunjungi situs DJP Online di Login menggunakan user credentials wajib pajak.Pilih menu “Layanan”, lalu klik menu “Rumah Konfirmasi Dokumen”.Klik “Konfirmasi NTPN”, pilih berdasarkan kode billing yang dimiliki.Masukkan kode billing lalu isi captcha, kemudian klik “Cari”.Selanjutnya, situs akan menampilkan beberapa data penting seperti kode billing, NTPN, dan lai-lain.
2. Cek Melalui SSP e-Billing Wajib pajak juga dapat mengecek NTPN yang tidak jelas terbaca dengan melihat SSP e-Billing. Lembar tersebut umumnya mencantumkan tanda validasi dari bank yang dicetak menggunakan mesin cetak laser sehingga lebih jelas terbaca.3. Cek Melalui SSE Pajak Cara lainnya, wajib pajak dapat mengakses portal SSE Pajak untuk mengecek NTPN. Ini caranya:
Kunjungi situs, kemudian login dengan user credentials wajib pajak.Setelah log in, klik menu “View Data” lalu pilih menu “Konfirmasi NTPN”.Situs akan menampilkan data-data wajib pajak, silakan filter berdasarkan “Billing/NTPN”.Dengan cara-cara tersebut, wajib pajak dapat memeriksa NTPN yang tidak terbaca.
Baca Juga:
Contents
Bagaimana jika Ntpn hilang?
Cara Mengurus Bukti Setor Pajak yang Hilang – Seperti dijelaskan sebelumnya, SSP terdiri dari empat lembar, sehingga terkadang terselip atau tercecer. Kondisi ini bisa mengganggu kelancaran WP karena harus mencari-cari SSP yang tercecer itu. Maka berikut cara yang bisa dilakukan jika SSP hilang: a. Jika bukti setor pajak atau SSP manual
Datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Buat surat pernyataan, dimana format bakunya sudah disediakan oleh KPP. Dalam surat itu, jelaskan bahwa lembar SSP telah hilang dan meminta salinan (copy) SSP yang hilang. Masukkan surat pernyataan itu ke KPP hingga mendapat persetujuan. KPP selanjutnya akan melegalisir bukti dan membuat salinan rangkap dua. Satu salinan untuk wajib pajak yang mengajukan permohonan dan satu salinan lagi untuk KPP. Selesai. WP akan mendapatkan SSP yang baru yang bisa digunakan untuk membayar pajak dan membuat laporan pajak.
Note: Surat Setoran Elektronik: Mengenal SSE Pajak Online DJP b. Jika bukti setor pajak atau SPP online
Datang ke badan tempat pembayaran pajak dilakukan untuk meminta Bukti Penerimaan Negara (BPN). BPN memiliki fungsi yang sama dengan SSP dan dapat menjadi pengganti SSP yang hilang. Jangan lupa membawa data-data yang berhubungan dengan pembayaran pajak, KTP WP, NPWP, dan bukti transfer/pembayaran. Jika BPN sudah didapatkan, maka WP sudah dapat menggunakannya sebagai bukti pembayaran yang sah saat melakukan pemindahbukuan.
Meski cara mengurus SSP hilang cukup mudah, namun tetap jauh lebih baik bagi WP untuk berhati-hati menyimpan data atau bukti pembayaran pajak. Sistem keuangan WP dalam mengelola bisnis harus mendukung supaya tidak terjadi banyak kesalahan dalam pembukuan, termasuk perpajakan.
- DJP sudah menyediakan sistem pembayaran pajak secara online sepenuhnya karena ini dinilai lebih mudah.
- Hanya saja, beberapa WP mungkin belum terbiasa.
- Asus yang sering terjadi adalah WP kehilangan kode billing sehingga menyulitkan pembayaran pajak berikutnya.
- Ode billing atau bisa juga disebut ID billing pajak adalah sebuah kode identifikasi yang diterbitkan sistem billing dalam pembayaran yang dilakukan setiap WP.
ID billing sangat penting karena ini acuan dalam melaporkan pajak tahunan WP. Umumnya, usai melakukan pembayaran pajak lewat kantor pos, ATM atau bank, WP akan mendapatkan bukti pembayaran pajak berupa Bukti Penerimaan Negara (BPN) dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Ilustrasi antrean pembayaran pajak yang masih manual Baca Juga : Ketentuan e-Faktur Pajak yang Wajib Pengusaha Tahu. Apa sajakah?
Apa itu Ntpn dalam perpajakan?
Apa Itu NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara)? Tersedia pada: NTPN adalah kepanjangan dari Nomor Transaksi Penerimaan Negara. NTPN merupakan serangkaian gabungan nomor dengan huruf yang tercantum pada BPN (Bukti Penerimaan Negara). Untuk (NTPN / BPN) dalam jangka waktu lama yang aman, online, dan mudah ditemukan, lakukan pembayaran pajak dari OnlinePajak melalui atau,
Ntpn lihat dimana?
Cek Nomor Transaksi Penerimaan Negara –
Jika mengalami kendala dalam membaca nomor transaksi penerimaan negara yang diterima, ada beberapa cara yang wajib pajak coba untuk mengeceknya, yaitu dengan mengecek melalui situs DJP Online, mengecek melalui SSP e-Billing DJP, dan melalui SSE. 1. Cek Melalui Situs DJP Online Wajib pajak dapat melakukan cek NTPN melalui situs resmi DJP Online, caranya adalah sebagai berikut:
Kunjungi situs DJP Online di Login menggunakan user credentials wajib pajak.Pilih menu “Layanan”, lalu klik menu “Rumah Konfirmasi Dokumen”.Klik “Konfirmasi NTPN”, pilih berdasarkan kode billing yang dimiliki.Masukkan kode billing lalu isi captcha, kemudian klik “Cari”.Selanjutnya, situs akan menampilkan beberapa data penting seperti kode billing, NTPN, dan lai-lain.
2. Cek Melalui SSP e-Billing Wajib pajak juga dapat mengecek NTPN yang tidak jelas terbaca dengan melihat SSP e-Billing. Lembar tersebut umumnya mencantumkan tanda validasi dari bank yang dicetak menggunakan mesin cetak laser sehingga lebih jelas terbaca.3. Cek Melalui SSE Pajak Cara lainnya, wajib pajak dapat mengakses portal SSE Pajak untuk mengecek NTPN. Ini caranya:
Kunjungi situs, kemudian login dengan user credentials wajib pajak.Setelah log in, klik menu “View Data” lalu pilih menu “Konfirmasi NTPN”.Situs akan menampilkan data-data wajib pajak, silakan filter berdasarkan “Billing/NTPN”.Dengan cara-cara tersebut, wajib pajak dapat memeriksa NTPN yang tidak terbaca.
Baca Juga:
Bagaimana cara mendapatkan bukti setor pajak?
1. Jika Bukti SSP Manual – Jika bukti SSP Anda dibuat secara manual, maka langkah yang harus dilakukan ialah:
- Datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
- Buat surat pernyataan, dimana format bakunya sudah disediakan oleh KPP. Dalam surat tersebut, jelaskan bahwa lembar SSP telah hilang dan meminta salinan SSP yang hilang.
- Masukkan surat pernyataan itu ke KPP hingga mendapat persetujuan.
- KPP kemudian akan melegalisir bukti dan membuat salinan rangkap dua. Satu salinan untuk Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dan satu salinan lagi untuk KPP.
Bagaimana jika surat tagihan pajak hilang atau rusak?
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.03/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 189/PMK.03/2007 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak; b. bahwa dalam rangka tertib administrasi piutang pajak dan memberikan kepastian hukum mengenai dasar penagihan pajak khususnya untuk menindaklanjuti Surat Tagihan Pajak yang rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak diketemukan lagi, perlu dilakukan penyesuaian/ penyempurnaan ketentuan yang mengatur mengenai penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana tersebut pada huruf a; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069); 4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 ; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 189/PMK.03/2007 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN PAJAK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak, diubah sebagai berikut: 1 Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal: a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. berdasarkan hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu; e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, selain: 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; atau 2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau g. Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 2. Diantara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 5A dan Pasal 5B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf g, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, yang dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Pasal 5B (1) Dalam hal Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diketahui rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak diketemukan lagi, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dapat menerbitkan kembali Surat Tagihan Pajak sebagai pengganti asli Surat Tagihan Pajak. (2) Surat Tagihan Pajak hasil penerbitan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan asli Surat Tagihan Pajak. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak dan penerbitan kembali Surat Tagihan Pajak diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. 4. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, untuk Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, dapat dilakukan penerbitan kembali Surat Tagihan Pajak sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal II Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 April 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 April 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 188Apa itu nomor NTPN dan NTB?
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyesuaian Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dan efisiensi pelayanan penyetoran penerimaan negara dalam rangka impor, penerimaan cukai atas Barang Kena Cukai, dipandang perlu menyederhanakan format surat setoran; b. bahwa dalam rangka memudahkan wajib bayar menyetorkan penerimaan negara maka penyetoran penerimaan negara dapat dilakukan di Bank Persepsi, Bank Devisa Persepsi atau Pos Persepsi di setiap tempat atau melalui electronic banking (e-banking) setiap saat; c bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b diatas perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri; Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana pembayaran dan penyetoran penerimaan negara dalam rangka impor dan penerimaan negara atas barang kena cukai buatan dalam negeri; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/KMK.04/2003 TENTANG TATALAKSANA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA DALAM RANGKA IMPOR DAN PENERIMAAN NEGARA ATAS BARANG KENA CUKAI BUATAN DALAM NEGERI. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan : 1. Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari sistem penerimaan dan anggaran negara; 2. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar pengeluaran negara; 3. Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke kas negara. 4. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak; 5. Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor; 6. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara; 7. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut NTPN adalah nomor bukti transaksi penerimaan yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara; 8. Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disebut NTB adalah nomor bukti transaksi penerimaan yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi; 9. Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disebut NTP adalah nomor bukti transaksi penerimaan yang diterbitkan oleh Pos Persepsi; 10. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disebut BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB atau NTPN dan NTP. 11. SSPCP adalah Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak Dalam Rangka Impor; 12. SSCP adalah Surat Setoran Cukai Atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau; 13. BPPCP adalah Bukti Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak Dalam Rangka Impor; 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor meliputi Bea Masuk, Bea Masuk berasal dari SPM Hibah, Denda Administrasi, Penerimaan Pabean Lainnya, Cukai, Penerimaan Cukai Lainnya, Jasa Pekerjaan, PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor dan PPnBM Impor. (2) Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai meliputi Cukai Hasil Tembakau, Cukai Etil Alkohol, Cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol, Denda Administrasi, Penerimaan Cukai Lainnya, Jasa Pekerjaan dan PPN Hasil Tembakau. (3) Penerimaan Pabean Lainnya meliputi Bunga dan Biaya Surat Paksa. (4) Penerimaan Cukai Lainnya meliputi Bunga, Biaya Surat Paksa, Biaya Pengganti Pencetakan Pita Cukai dan Biaya Pengganti Pembuatan Label Tanda Pengawasan Cukai. 3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan melakukan pembayaran Penerimaan Negara di Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi yang terhubung dengan MPN; (1a) Penyetoran Penerimaan Negara dilakukan melalui loket atau e-banking, (2) Tatalaksana pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. 4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pembayaran dan penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor dapat dilakukan melalui : a. KPBC dalam hal : 1. tidak terdapat Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi di kota/wilayah kerja KPBC tempat pemenuhan kewajiban pabean; atau 2. impor barang penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas. b. PT.Pos Indonesia khusus untuk barang-barang kiriman pos. (2) Tatalaksana pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini. (3) Tatalaksana pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini. 5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor yang diterima oleh KPBC disetor ke Kas Negara melalui Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi/Pos Persepsi pada hari kerja berikutnya. 6. Judul BAB III diubah sehingga BAB III berbunyi sebagai berikut: BAB III PENERIMAAN NEGARA ATAS BARANG KENA CUKAI 7 Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) diubah, ayat (2) dihapus dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Pembayaran Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai disetor ke Kas Negara di Bank Persepsi/Pos Persepsi; (1a) Pembayaran Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai dapat disetor melalui loket atau e-banking ; (2) Dihapus. (3) Tatalaksana pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini. 8. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Pembayaran dan penyetoran PPN Hasil Tembakau dilakukan bersamaan dengan saat pembayaran dan penyetoran Cukai Hasil Tembakau. 9. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 9A (1) Pembayaran Cukai atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri dan Barang Kena Cukai Impor yang pelunasan cukainya dengan pelekatan pita cukai, bersamaan dengan pelunasan CK-1. (2) Pembayaran Cukai atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri yang pelunasan cukainya dengan cara pembayaran, bersamaan dengan pelunasan CK-14. (3) Pembayaran Cukai atas Barang Kena Cukai Impor yang pelunasan cukainya dengan cara pembayaran, bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor. 10. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (20 disispkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Penyetoran Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai dilakukan dengan menggunakan formulir SSCP; (1a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyetoran Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (3) dilakukan dengan menggunakan SSPCP; (2) Bentuk dan isi SSCP adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan ini. 11. Diantara BAB III dan BAB IV disisipkan 1 (satu) Bab, yaitu BAB IIIA yang berbunyi sebagai berikut: BAB III A VALIDASI PEMBAYARAN DAN PENGIRIMAN DATA Pasal 10A (1) SSPCP atau SSCP dinyatakan sah apabila ; a. SSPCP atau SSCP telah mendapat NTPN dan NTB atau NTPN dan NTP; atau b. BPN yang diterbitkan oleh Bank atau Kantor Pos telah mendapat NTPN dan NTB atau NTP; (2) NTPN dan NTB atau NTPN dan NTP yang terdapat pada formulir SSPCP atau SSCP atau BPN merupakan validasi atas penerimaan negara melalui Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi; (3) Bentuk dan isi BPN untuk SSPCP atau BPN untuk SSCP adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII dan Lampiran IX Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 10B MPN mengirimkan data penerimaan negara ke Kantor Pusat DJBC secara real time, 12 Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut Pasal 11 Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi, Kantor Pelayanan Bea Cukai atau Pos Persepsi yang menerima pembayaran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai wajib: a. Meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir SSPCP atau SSCP; dan b. Mencocokkan penghitungan Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor atau Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai dengan dokumen yang dijadikan dasar penyetoran. 13 Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V, Lampiran VI, dan lampiran VII, diubah serta menambah 2 (dua) yaitu Lampiran VIII dan Lampiran IX sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V, Lampiran VI, dan lampiran VII, Lampiran VIII dan Lampiran IX Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal II 1. Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku : a. Untuk pembayaran atau penyetoran yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku dan dilayani; b. Dokumen SSPCP atau SSCP yang belum sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan ini masih berlaku sampai dengan tanggal 28 Februari 2007; c. Terhadap transaksi penerimaan negara dengan SSPCP atau SSCP, apabila MPN tidak dapat menerbitkan NTPN, maka untuk kepentingan penyelesaian administrasi kepabeanan dan cukai, bank melakukan validasi SSPCP atau SSCP dengan NTB/NTP tanpa NTPN; d. Semua Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Pelaksanaannya yang mengatur mengenai tatalaksana pembayaran dan penyetoran penerimaan negara dalam rangka impor dan penerimaan negara atas barang kena cukai, mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Keuangan ini. 2. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2006 MENTERI KEUANGAN SRI MULYANI INDRAWATIApakah No SP2D sama dengan NTPN?
Hal yang diperhatikan terkait BPN –
BPN diterbitkan bila terdapat permintaan oleh Satuan Kerja. Pihak ketiga dapat meminta melalui Satuan Kerja untuk mengajukan surat permohonan cetak BPN atas potongan SPM-LS dengan menginformasikan nomor SP2D kepada KPPN Makassar II. Nomor NTPN untuk transaksi perpajakan melalui potongan SPM adalah sama dengan nomor SP2D. Pada dasarnya SSP yang dilegalisir oleh KPPN sudah cukup menjadi dokumen untuk melakukan pelaporan perpajakan atas potongan SPM.
Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI KPPN Makassar II Jl Urip Sumohardjo KM 4 Makassar Tel: 0411-457932 Fax: 0411-456958
Apakah SSP sama dengan BPN?
20 Agustus 2008 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE – 39/PJ/2008 TENTANG PENEGASAN BERKAITAN DENGAN PENATAUSAHAAN PENERIMAAN BUKTI PENERIMAAN NEGARA (BPN) YANG DIPERSAMAKAN SEBAGAI SURAT SETORAN PAJAK (SSP) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modal Penerimaan Negara dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-148/PJ/2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara, dengan ini disampaikan penegasan berkaitan dengan Bukti Penerimaan Negara (PBN) sebagai berikut :
Berdasarkan Pasal 2 angka 9 PER-78/PB/2006 sebagaimana tersebut di atas, BPN merupakan salah satu dokumen sumber penerimaan yang kedudukannya sama dengan Surat Setoran Pajak (SSP). BPN sebagaimana dinyatakan pada Pasal 2 angka 9 PER-78/PB/2006 dan Pasal 1 angka 10 PER-148/PJ/2007 adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP) serta elemen lainnya yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan Surat Perintah Membayar (SPM) yang mencantumkan NTPN dan Nomor Penerimaan Potongan (NPP). Berdasarkan Pasal 4 angka 3 huruf b PER-78/PB/2006 dinyatakan bahwa Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran pajak melalui electronic-banking. Dalam hal pembayaran melalui electronic-banking, dokumen sumber penerimaan yang disampaikan ke unit terkait (dalam hal ini KPP/KPP Pratama/KPPBB) oleh Wajib Pajak adalah BPN. Berdasarkan pada angka (1), (2) dan (3) tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa BPN sebagai dokumen sumber penerimaan dapat dipersamakan dengan SSP, Penegasan ini sudah dinyatakan dalam PER-148/PJ/2007 Pasal 2 ayat (6) bahwa Bukti Penerimaan Negara (BPN) dapat dianggap sebagai Surat Setoran Pajak (SSP) dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) wajib menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang dipersamakan sebagai Surat Setoran Pajak (SSP). Dalam rangka pengamanan penerimaan, KPP/KPP Pratama/KPPBB agar melakukan pengecekan atas kebenaran pembayaran oleh Wajib Pajak atas BPN melalui intranet Portal DJP pada menu konfirmasi NTPN sistem MPN Rekon. Untuk informasi lebih lanjut jika mengalami kesulitan dalam melakukan konfirmasi agar menghubungi Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan (Dit. TIP).
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Direktur Jenderal, ttd. Darmin Nasution NIP 130605098 Tembusan :
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak; Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.
Apa yang dimaksud dengan kode billing?
Pengertian Kode Billing – Sudah menjadi keharusan bagi setiap wajib pajak dalam membuat Kode Billing sebelum mereka melakukan pembayaran pajak baik secara mandiri maupun pada e-Billing system yang merupakan aplikasi dari DJP. Aplikasi ini merupakan bagian dari Sistem Billing DJP yang menyediakan sebuah produk atau layanan aplikasi berbasis web.
- Dimana fasilitas ini bisa digunakan oleh wajib pajak dalam menerbitkan Kode Billing yang dapat diakses melalui internet atau secara online.
- Dengan demikian pembuatan kode billing tersebut akan lebih memudahkan setiap wajib pajak dalam membuat kode billing.
- Jadi apa itu kode billing? Berdasarkan peraturan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Nomor PER-11/PJ/2019 perihal Pembayaran Pajak Secara Elektronik, dimana kode billing merupakan kode identifikasi atau kode unik yang diterbitkan melalui sistem billing atas suatu jenis penyetoran atau pembayaran yang akan dilakukan wajib pajak.
Pada tanggal 1 Juli 2016 lalu, pembuatan Kode billing sudah dapat diakses secara online melalui layanan sistem e-billing DJP.
Kenapa DJP online error terus?
6. Kesalahan Teknis – Penyebab DJP online error berikutnya ialah karena adanya kesalahan teknis. Jadi error jenis ini lebih kepada human error atau kesalahan kita sendiri ketika sudah mengakses DJP online. Bisa karena salah memasukkan password ataupun kesalahan input data.
- Pada saat terjadi error pada portal DJP online, Anda akan menerima kode error.
- Sebagai contoh misalnya saja SO001 untuk kode ketika NPWP tidak terdaftar di DJP online ataupun non aktif.
- Contoh kode lainnya yaitu SO003 ketika password tidak sesuai, atau SO005 ketika email Anda ternyata sudah digunakan untuk mendaftar.
Cara mengatasi kesalahan teknis seperti ini ialah memasukkan ulang password dengan benar. Perhatikan huruf besar dan kecil. Pastikan juga NPWP yang Anda masukkan sudah benar. Tidak mengandung tanda baca seperti titik ataupun strip. Jika sudah mencoba memasukkan ulang tetapi masih gagal login.
Apa itu Rumah konfirmasi dokumen?
Apakah kalian mengetahui tentang Rumah Konfirmasi Dokumen? Mari simak bersama! – Rumah Konfirmasi Dokumen adalah aplikasi yang digunakan untuk melakukan konfirmasi validitas dokumen perpajakan yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak. Kegiatan konfirmasi dokumen ini dilakukan secara efektif dan efisien.
- Rumah Konfirmasi Dokumen dapat dilihat sebagai rumah besar berbentuk virtual dengan banyak dokumen, dimana setiap orang bebas untuk masuk ke sana dan mengakses berbagai dokumen yang dibutuhkannya.
- Rumah Konfirmasi dokumen tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tersedia selama 24 jam.
- Di dalamnya, terdapat dua fitur yang tersedia, yaitu Konfirmasi Dokumen dan Konfirmasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Sejauh ini, dokumen perpajakan yang dapat dikonfirmasi validitasnya pada fitur Konfirmasi Dokumen ialah Surat Keterangan Jasa Luar Negeri (SKJLN). Wajib pajak, dapat melakukan konfirmasi validitas dokumen dengan cara memasukkan data nomor pokok wajib pajak (NPWP) dengan kode verifikasi dari dokumen perpajakan yang diterbitkan oleh DJP.
Selanjutnya, ada fitur Konfirmasi NTPN yang digunakan untuk melakukan konfirmasi validitas pembayaran pajak berdasarkan NTPN atau kode billing. NTPN sendiri ialah nomor tanda bukti penyetoran atau pembayaran ke kas negara yang tertera pada bukti penerimaan negara dan diterbitkan oleh sistem settlement yang dikelola Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu.
Untuk mengakses Rumah Konfirmasi Dokumen, Anda dapat membuat kepemilikan akun pajak online di www.pajak.go.id. Kemudian, Anda dapat menggunakan berbagai macam layanan seperti pelaporan SPT, KSWP, e-PHTB, e-Objection, dan untuk masuk ke Rumah Konfirmasi Dokumen.
- Menu Rumah Konfirmasi Dokumen ada di bagian layanan, untuk mengkonfirmasi dokumen, Anda dapat menginput NPWP, kode verifikasi, dan kode keamanan.
- Jika dokumen yang Anda input valid, Rumah Konfirmasi Dokumen akan memunculkan informasi terkait dokumen yang diinginkan secara rinci dan sesuai dengan dokumen aslinya.
Namun jika data tersebut tidak valid, akan ada keterangan bahwa dokumen tidak dapat ditemukan. Fungsi lain dari Rumah Konfirmasi Dokumen, ialah digunakan untuk melakukan konfirmasi pembayaran pajak atau penerimaan negara. Hal ini terdapat pada kolom konfirmasi NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) pada layanan Rumah Konfirmasi Dokumen.
Anda hanya perlu menginput kata kunci yang Anda pilih yaitu kode billing atau NTPN, serta memasukkan kode keamanan yang muncul berupa kombinasi angka dan huruf. Hal ini berbeda dengan konfirmasi dokumen, dimana Anda dapat mengkonfirmasi dokumen milik siapapun. Konfirmasi NTPN hanya bisa dilakukan atas pembayaran seorang sendiri.
Rumah Konfirmasi Dokumen sangatlah penting untuk tiap pihak yang melibatkan dokumen perpajakan. Anda dapat menggunakannya sebagai pencegahan dari pelaku pemalsuan dokumen. Keraguan dalam dokumen perpajakan dapat dituntaskan dengan melakukan cek kebenaran di Rumah Konfirmasi Dokumen.
Berapa lama pajak harus dibayar?
Jangka Waktu Pembayaran dan Pelaporan Pajak | Registered Tax Consultant Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU KUP, setiap Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran dan penyetoran pajak terutang. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak paling lama yaitu 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
No. | Keterangan | Batas Pembayaran (Pasal 2 PMK Nomor 242/PMK.03/2014 stdd PMK Nomor 18/PMK.03/2021) | Batas Pelaporan (Undang-Undang di Bidang Perpajakan) |
1. | PPh Pasal 4 ayat (2) setor sendiri | Tanggal 15 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
2. | PPh Pasal 4 ayat (2) pemotongan | Tanggal 10 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
3. | PPh Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan setor sendiri | Sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditandatangani | Tanggal 20 bulan berikutnya |
4. | PPh Pasal 15 setor sendiri | Tanggal 15 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
5. | PPh Pasal 15 pemotongan | Tanggal 10 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
6. | PPh Pasal 21 | Tanggal 10 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
7. | PPh Pasal 23/26 | Tanggal 10 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
8. | PPh pasal 25 | Tanggal 15 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
9. | PPh Pasal 22 impor setor sendiri (dilunasi bersamaan dengan bea masuk, PPN, PPnBM) | Saat penyelesaian dokumen PIB | – |
10. | PPh pasal 22 impor yang pemungutan oleh BC | 1 hari kerja berikutnya | Hari kerja terakhir minggu berikutnya |
11. | PPh pasal 22 pemungutan oleh bendaharawan | Hari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan barang | 14 hari setelah masa pajak berakhir |
12. | PPh Pasal 22 migas | Tanggal 10 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
13. | PPh pasal 22 pemungutan WP badan tertentu | Tanggal 10 bulan berikutnya | Tanggal 20 bulan berikutnya |
14. | PPN & PPnBM | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum SPT masa PPN disampaikan | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
15. | PPN atas kegiatan membangun sendiri | Tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
16. | PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean | Tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
17. | PPN & PPnBM Pemungutan Bendaharawan | Tanggal 7 bulan berikutnya | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
18. | Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN | Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan pemerintah melalui KPPN | – |
19. | PPN & PPnBM Pemungutan selain bendaharawan | Tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa PAjak berakhir | Akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir |
20. | PPh 25 WP Kriteria tertentu yang dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa. (Pasal 3 ayat (3B) UU KUP) | Paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir | 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak berakhir |
21. | Pembayaran masa selain PPh 25 WP kriteria tertentu yang dapat melaporkan beberappa Masa Pajak dalam satu SPT Masa (Pasa 3 ayat (3B) UU KUP) | Paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak | 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak berakhir |
22. | STP, SKPKB, SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, Putusan PK | 1 bulan sejak tanggal diterbitkan |
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana bertepatan dengan hari libur ( yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional), pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 3 PMK Nomor 242/PMK.03/2014 stdd PMK Nomor 18/PMK.03/2021, kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak serta pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
Berapa lama waktu bayar pajak?
Jakarta – Surat Pemberian Tahunan (SPT) merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan. Kewajiban untuk melapor SPT sudah menjadi kewajiban karena diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak melakukannya ataupun telat maka akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan jenis SPT.
Lalu bagaimana peraturan terkait batas waktu pembayaran, penyetoran, dan pelaporan pajak? 1. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) a. Batas waktu penyampaian SPT ini paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak – Tahun Pajak merupakan jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. Kecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
– WP OP yang dikecualikan dalam menyampaikan SPT Tahunan adalah mereka yang dalam satu tahun Pajak memiliki penghasilan neto yang tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) b. Sebelum menyampaikan SPT PPh, WP OP harus melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh.2.
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan a. Batas waktu penyampaiannya paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak – Tahun Pajak merupakan jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. Kecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.b. Sebelum menyampaikan SPT PPh, kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh harus dilunasi terlebih dahulu 3.
SPT Masa a. Batas waktu penyampaiannya paling lama 20 hari setelah akhir Tahun Pajak.b. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama adalah 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
- Batas akhir penyetoran PPh masa yaitu tanggal 10 dan tanggal 15 di bulan berikutnya.
- Tanggal 15 sendiri diperuntukkan bagi bukti setor dan tanggal 10 bagi bukti pemotongan/pemungutan.c.
- Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT Masa: 1.
- Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pajak pada hari libur termasuk hari sabut atau hari libur nasional, makan pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.2.
Apabila tanggal batas akhir pelaporan pada hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.3. Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.4.
Apakah NPWP ada tagihannya?
Cek Tagihan NPWP Individu – Dalam membayar tagihan NPWP, Anda akan mengenal Surat Tagihan Pajak (STP). Selain tagihan, surat ini juga mencantumkan denda sebagai sanksi jika Anda terlambat membayar. Ada dua jenis tagihan NPWP, yaitu untuk individu atau instansi. Pajak penghasilan pegawai dengan instansi tentu saja berbeda. Berikut penjelasannya.