Jelaskan Yang Dimaksud Dengan Nomor Pokok Wajib Pajak?
Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Contents
- 1 Jelaskan pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP dan siapa yang wajib mendaftarkan diri sebagai pemilik NPWP?
- 2 Siapa yang menerbitkan NPWP?
- 3 Bagaimana prosedur untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara on line jelaskan dengan langkah langkahnya?
- 4 Apa saja yang menyebabkan Wajib Pajak melakukan penghapusan NPWP?
- 5 Jelaskan apa yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nppkp?
- 6 Siapa sajakah yang wajib mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak?
- 7 Punya NPWP apa harus bayar pajak?
Jelaskan apa yang dimaksud Nomor Pokok Wajib Pajak?
Sanksi yang berhubungan dengan NPWP – Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan, sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.A.Berdasarkan PER-31 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pemotongan, Penyetoran PPh Pasal 21 Pasal 20;
- 1)Bagi penerima penghasilan yang PPh pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP
- 2)Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
- 3)Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final 4)Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghaslan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terhutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan persyaratan subjektif untuk memperoleh NPWP?
I. UMUM Sistem perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, berkewajiban memberikan pelayanan, penyuluhan, dan pembinaan serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum,agar masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, perlu diberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini mengatur pelaksanaan administrasi perpajakan sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada dasarnya kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan persyaratan subjektif pada ayat ini adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Adapun yang dimaksud dengan persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Ayat (4) Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan pemisahan penghasilan dan harta, dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suaminya. Dalam hal wanita kawin tersebut bermaksud melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya atas namanya sendiri, wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak pisah penghasilan dan harta dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulainya penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pada prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh pemeriksa pajak, maka pengungkapan tersebut harus dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Hal ini disebabkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan harus mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan pemeriksaan. Dengan demikian pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak yang dilakukan setelah Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan akan menyebabkan pengungkapan tersebut tidak tercermin dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Disamping itu, pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilandasi oleh kesadaran sendiri Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Wajib Pajak setelah dilakukan pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan tersendiri tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Contoh: Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2010 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2008. Dalam tahun 2010, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2007 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2007. Ayat (2) Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Pada tanggal 28 Desember 2011, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2013, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2008, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2010, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dan dalam Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2008, 2010, dan 2012. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Dalam rangka melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Banding, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak agar Putusan Banding tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (2) Dalam rangka melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung agar Putusan Peninjauan Kembali tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hubungan istimewa” adalah hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Tahun 1984. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk memberikan pedoman dalam membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu ditegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak membatalkan seluruh kegiatan pemeriksaan yang pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, agar hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka Direktur Jenderal Pajak melanjutkan pemeriksaan yang telah dibatalkan dengan melaksanakan prosedur pemeriksaan yang belum dilakukan berupa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi terhadap Wajib Pajak diterbitkan surat ketetapan pajak Kurang Bayar. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Ayat (3) Ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang merupakan ketetapan yang diterbitkan karena kealpaan yang pertama kali dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang. Ketetapan pajak tersebut bukan merupakan ketetapan pajak hasil pemeriksaan berdasarkan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ketetapan pajak dalam Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang. Terhadap ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak diwajibkan untuk melunasinya. Oleh karena itu, ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang – Undang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang ataupun diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam penyelesaian proses keberatan, Wajib Pajak memiliki hak untuk hadir dan memberi keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan, sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Permintaan Untuk Hadir. Surat Pemberitahuan Untuk Hadir merupakan surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan. Ayat (4) Ketentuan pada ayat ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang apabila keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dicabut oleh Wajib Pajak. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk memberikan kepastian hukum tentang penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar akibat keputusan keberatan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar juga dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) seperti halnya jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Pasal 22 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kepastian hukum agar Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan atau surat keputusan sehubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pembetulan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini meliputi juga pembetulan terhadap : a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); b. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; c. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan; f. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar; g. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan; h. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar; i. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil; j. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; atau k. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Ayat (2) Pada prinsipnya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan lain dimaksudkan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “surat keputusan lain” antara lain Surat Keputusan Keberatan. Dalam melaksanakan tugas menghitung dan menetapkan pajak, baik dalam menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dapat terjadi adanya kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. Selain itu, kewajiban perpajakan berkesinambungan dan saling mempengaruhi dari Masa Pajak ke Masa Pajak yang lain atau dari Tahun Pajak ke Tahun Pajak yang lain. Dengan demikian, dapat terjadi suatu kesalahan yang ditimbulkan karena penerbitan suatu surat ketetapan pajak atau surat keputusan atas Masa Pajak atau Tahun Pajak, misalnya terdapat koreksi biaya penyusutan, amortisasi, kompensasi kerugian, dan sebagainya. Contoh: PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2008 dengan rugi yang dikompensasikan ke tahun berikutnya Rp200.000.000,00 dan lebih bayar Rp 50.000.000,00. PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 dengan penghasilan neto sebesar Rp 180.000.000,00. Sisa kerugian yang belum dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008 sebesar Rp200.000.000,00 dan terdapat kredit pajak sebesar Rp 35.000.000,00. Dengan demikian Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 menyatakan lebih bayar sebesar Rp35.000.000,00 dan masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp20.000.000,00. Terhadap Wajib Pajak PT A telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2008 dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebesar Rp 15.000.000,00 dan dengan rugi Rp 200.000.000,00, dan Tahun Pajak 2009 dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan dengan rugi Rp20.000.000,00. Atas surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2008, PT A memperoleh Putusan Banding yang menyatakan bahwa permohonan banding Wajib Pajak diterima sebagian, sehingga mengakibatkan rugi yang dapat dikompensasi menjadi lebih kecil dibanding dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang pernah diterbitkan yaitu Rp 150.000.000,00 dan lebih bayar menjadi sebesar Rp 40.000.000,00. Kerugian yang dapat dikompensasikan dalam penghitungan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 menjadi semakin kecil yakni dari Rp 200.000.000,00 menjadi Rp 150.000.000,00. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang, Direktur Jenderal Pajak berwenang membetulkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 yang diakibatkan karena perbedaan kompensasi kerugian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dari rugi sebesar Rp20.000.000,00 menjadi laba sebesar Rp30.000.000,00 (Rugi Rp20.000.000,00 dikurangi dengan pengurangan kompensasi kerugian sebesar Rp50.000.000,00). Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Nihil Tahun 2009 yang pernah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak harus dibetulkan secara jabatan menjadi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Dalam rangka memberi keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk : a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar. c. membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa melakukan prosedur pemeriksaan : 1) penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; dan/atau 2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi suatu surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat juga diberikan terhadap surat ketetapan pajak yang sudah diajukan keberatan namun ditolak dengan alasan tidak memenuhi persyaratan formal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang. Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi suatu Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a ayat ini berlaku juga untuk denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan sanksi administrasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c ayat ini berlaku juga untuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan Wajib Pajak memperoleh imbalan bunga yang seharusnya tidak diterirna sehubungan dengan pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap sebagian jumlah pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang tidak disepakati dalam pembahasan akhir pemeriksaan dan dibayar oleh Wajib Pajak” sebelum mengajukan keberatan, namun dalam surat keputusan keberatan, pengajuan keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 1: Untuk tahun pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00, akan tetapi Wajib Pajak telah melunasi seluruh SKPKB tersebut sebesar Rp1.000.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp600.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp400.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00 – Rp 600.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak Rp400.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga. Demikian halnya, bagi Wajib Pajak yang menyetujui seluruh temuan pemeriksaan dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar tetapi mengajukan keberatan, dan dalam hal keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 2 : Untuk Tahun Pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00, dan telah melunasi seluruh SKPKB tersebut sebesar Rp 1.000.000.000,00. Namun Wajib Pajak kemudian mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut. Atas keberatan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan menolak permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar tetap sebesar Rp1.000.000.000,00. Wajib Pajak kemudian mengajukan banding atas Keputusan Keberatan tersebut. Atas banding Wajib Pajak, Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp700.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp300.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00-Rp700.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp300.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Dalam pengertian jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan oleh negara kepada Wajib Pajak, atau jumlah sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan bertambah. Contoh 1. Terhadap Wajib Pajak diterbitkan suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan nilai Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, bagian yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Terhadap keputusan keberatan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding. Putusan Banding menyatakan bahwa jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yakni pembayaran sebelum mengajukan keberatan dikurangi dengan jumlah yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. Terhadap Putusan Banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Wajib Pajak harus membayar sejumlah sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Keberatan, yakni sebesar Rp70.000.00,00 (tujuh puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) yang terdiri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dilunasi sebelum mengajukan keberatan (Rp70.000.000,00-Rp50.000.000,00= Rp20.000.000,00) dan ditambah dengan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan berdasarkan Putusan Banding (Rp50.000.000,00-Rp40.000.000,00=Rp 10.000.000,00). Contoh 2. Terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar sebesar Rp90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah). Atas Surat Pemberitahuan tersebut diterbitkan sebuah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dengan nilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut, Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tetap sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, dengan Putusan Banding menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar menjadi Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sejumlah Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan kembali menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak hanya dapat diberikan pengembalian lebih bayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat 1 Cukup jelas. Ayat 2 Cukup jelas. Ayat 3 Konsultan pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi surat izin praktek konsultan pajak yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak. Sedangkan seorang kuasa yang bukan konsultan pajak dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III. Seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat ini, dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. Ayat 4 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pejabat” meliputi petugas pajak dan mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud dengan “tenaga ahli” adalah para ahli, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan Undang-Undang perpajakan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak tertentu yang ditunjuk” adalah pihak-pihak yang membutuhkan data perpajakan untuk kepentingan negara misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pada prinsipnya, administrasi perpajakan hanya dipakai untuk tujuan pemungutan/pengumpulan pajak, bukan untuk tujuan lain. Oleh karena itu, pemberian data dan informasi perpajakan oleh pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak kepada para pihak dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang perpajakan misalnya penagihan pajak, gugatan, banding, penyidikan dan penuntutan, dan proses peradilan tindak pidana di bidang perpajakan yang proses penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, tidak memerlukan izin tertulis dari Menteri Keuangan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4797Jelaskan pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP dan siapa yang wajib mendaftarkan diri sebagai pemilik NPWP?
Nomor yang diberikan kepada wajib pajak, yang digunakan sebagai tanda pengenal dan identitas wajib pajak dalam hal melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hal perpajakan. NPWP wajib dimiliki warga Indonesia, baik itu perorangan maupun badan usaha. NPWP ini dijadikan sebagai sarana administrasi perpajakan atau acuan untuk membayar pajak, juga menjadi persyaratan sejumlah pelayanan umum, seperti pengajuan kredit, pembuatan paspor, dan sebagainya.
NPWP bisa digunakan untuk apa saja?
Fungsi NPWP bagi Perusahaan dan Karyawan – Fungsi NPWP bagi perusahaan dan karyawan yang utama adalah untuk:
Sarana dalam administrasi perpajakan. Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
Namun selain itu, ada fungsi NPWP bagi perusahaan dan karyawan lainnya. Dilansir dari npwponline.com, fungsi NPWP bagi perusahaan dan karyawan lain antara lain yaitu:
Pengajuan Kredit Bank Pembuatan Rekening Koran di Bank Pengajuan SIUP/TDP Pembayaran Pajak Final (PPh Final, PPN dan BPHTB, dll) Pembuatan Paspor Mengikuti lelang di instansi Pemerintah, BUMN dan BUMD.
Selain untuk mengurus keperluan perpajakkan, fungsi NPWP bagi perusahaan dan karyawan lain yang utama adalah untuk membuka rekening tabungan. Tak hanya itu, fungsi NPWP bagi perusahaan dan karyawan juga berguna untuk mengajukan kredit, karena dalam salah satu syarat administrasi dalam pengajuan kredit adalah memiliki NPWP.4 dari 5 halaman
Siapa yang menerbitkan NPWP?
Apa Itu Penerbitan NPWP Secara Jabatan? Indonesia – Nomor Pokok Wajib Pajak atau yang dikenal juga dengan sebutan NPWP merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana administrasi untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ini juga dapat dijadikan sebagai tanda pengenal ataupun identitas diri bagi Wajib Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat dapat memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada Wajib Pajak yang telah melakukan permohonan pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi persyaratan, baik itu subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) yang berlaku terkait perpajakan.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) juga dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) secara jabatan dan diberikan kepada debitur Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini dilakukan oleh pemerintah berkenaan dengan diberlakukannya kebijakan mengenai pemberian subsidi bunga atau margin atas kredit atau pembiayaan yang dimiliki oleh pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Pemberian subsidi bunga atas kredit atau pinjaman ini sesuai dengan kebijakan yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.05/2020 Tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang sebagaimana telah diubah hingga perubahan terakhir pada Peraturan Menteri Keuangan No.50/PMK.05/2021.
Dalam kebijakan tersebut, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi persyaratan wajib yang harus dipenuhi dalam penerimaan subsidi bunga atau subsidi margin dalam rangka program Pembangunan Ekonomi Nasional (PEN). Dan penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam kebijakan tersebut juga dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang berlaku.
- Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan merupakan penerbitan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam mendaftarkan dirinya sendiri untuk dapat memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Ewajiban tersebut tercermin dalam Undang-Undang KUP yang mewajibkan bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan juga objektif sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku untuk dapat mendaftarkan dirinya dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan yang diterbitkan ini dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dengan berdasarkan dari hasil penelitian administrasi dan juga verifikasi data ataupun informasi yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak).
Berdasarkan dengan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No.50/PMK.05/2021, mengacu pada persyaratan yang ada menyatakan bahwa pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan ini dapat diberikan bagi debitur Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan plafon kredit atau pembiayaan paling tinggi sampai dengan Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Dengan berdasar kepada hasil penelitian administrasi yang berkaitan dengan data debitur, maka Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) akan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pusat. Apabila debitur yang terkait memiliki tempat usaha yang berada di wilayah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berbeda dengan alamat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pusat, maka debitur yang terkait ini wajib untuk mendaftarkan dirinya agar dapat diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ataupun Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di wilayah tersebut.
Dan apabila Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang telah diterbitkan Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka debitur yang terkait sebagai Wajib Pajak orang pribadi maupun badan dapat mengajukan aktivasi untuk Electronic Filing Identification Number (EFIN) serta dapat mengajukan permintaan kembali atas kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan juga Surat Keterangan Terdaftar (SKT) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) maupun Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang berada di tempat tinggal Wajib Pajak.
: Apa Itu Penerbitan NPWP Secara Jabatan?
Jelaskan siapa saja yang tergolong subjek pajak?
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. 3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment, Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Hruruf a. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu: 1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya, Ayat (2) Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2 Pasal 3 Huruf a dan huruf b Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: – penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; – penghasilan dari usaha dan kegiatan; – penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; – penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4) pembagian laba dalam bentuk saham; 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.Bagaimana prosedur untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara on line jelaskan dengan langkah langkahnya?
Cara Membuat atau Daftar NPWP Online – Kunjungi situs Dirjen Pajak ereg.pajak.go.id/login. Selanjutnya, lakukan pendaftaran akun baru dengan cara memasukkan email yang masih aktif dan ulang kode Captcha yang tertera. Setelah itu, klik “Daftar”. Cek dan buka kotak masuk/inbox email Anda dan cari email masuk dari eregistration. Setelah menemukannya, klik link verifikasi. Cek dan buka kotak masuk/inbox email Anda kembali dan cari email masuk dari eregistration. Setelah menemukannya, klik link verifikasi. Selanjutnya, Anda akan terhubung secara otomatis ke halaman pendaftaran. Masukkan email dan password yang telah didaftarkan sebelumnya. Lalu, isi formulir registrasi data NPWP sesuai dengan instruksi yang diberikan. Centang kotak unggah dan unggah file foto e-KTP Anda di kolom “+Upload KTP Di Sini”. Ikuti instruksi selanjutnya, lalu klik “Simpan”. Setelah melihat status pendaftaran NPWP, klik “Minta Token” dan masukkan kode Captcha yang tertera. Lalu klik “Submit” dan token akan terkirim secara otomatis ke email Anda. Buka kembali email Anda, copy kode token, kembali ke halaman sebelumnya, dan klik “Kirim Permohonan”. Centang semua kotak pernyataan dan salin ulang token yang sudah dicopy tadi. Lalu, klik “Kirim”. Persetujuan atau penolakan permohonan NPWP Anda akan diinformasikan melalui email.
Jika statusnya ditolak, maka Anda harus memperbaiki beberapa data yang kurang lengkap. Jika statusnya disetujui, maka kartu NPWP Anda akan segera dikirim ke alamat pemohon melalui pos.
Apa saja yang menyebabkan Wajib Pajak melakukan penghapusan NPWP?
Wajib Pajak yang Berhak Mengajukan Penghapusan NPWP – Seperti yang telah disebutkan, NPWP bisa dihapus atau dinonaktifkan apabila wajib pajak sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif. Dalam kondisi tertentu, wajib pajak yang dimaksud, bahkan tidak memerlukan NPWP.
Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. NPWP wanita yang telah menikah, yang memutuskan untuk digabungkan dengan suami, dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subjek pajak. Apabila warisan sudah selesai dibagi, harus ada keterangan selesai pembagian warisan. Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), atau Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang telah pensiun dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak. Karyawan atau pegawai berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Mantan Bendahara Pemerintah atau Proyek. Wajib pajak telah pindah dan meninggalkan negara Indonesia untuk selama-lamanya. Memiliki lebih dari satu Kode NPWP. Wajib pajak dapat mengajukan penghapusan NPWP, untuk menentukan mana yang akan digunakan sebagai sarana administratif perpajakan. Wajib pajak badan usaha yang telah dibubarkan secara resmi. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang telah kehilangan statusnya sebagai BUT. Anak belum dewasa yang telah memiliki NPWP Instansi pemerintah yang tidak lagi berperan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nppkp?
Pengertian Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP) Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) merupakan nomor identitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang disematkan saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP lewat surat pengukuhan PKP. Jika pengusaha sudah mendapat nomor pengukuhan PKP (NPPKP) berarti PKP tersebut dinyatakan sudah resmi menjadi PKP dan dengan demikian terikat kewajiban-kewajiban perpajakan yang diperuntukan bagi PKP.
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini berbeda dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) meski keduanya berfungsi sebagai identitas perpajakan. Perbedaannya adalah, NPWP merupakan identitas wajib pajak, baik pribadi maupun badan yang merupakan identitas atau bukti kepesertaan dalam melakukan hak dan kewajiban perpajakan.
Sedangkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) lebih menitikberatkan pada identitas wajib pajak perorangan atau badan yang terikat pada kewajiban perpajakan untuk PKP.
Mengapa setiap wajib pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak?
Mengapa Setiap Wajib Pajak Hanya Diberikan Satu Npwp? Selain sebagai identitas Wajib Pajak, NPWP memiliki fungsi untuk menjaga ketertiban dan ketaatan pembayaran pajak serta pengawasan administrasi perpajakan Wajib Pajak. Karena semua dokumen tentang perpajakkan memiliki keterkaitan dengan nomor NPWP.
Siapa sajakah yang wajib mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak?
Bagaimana Jika Penghasilan di Bawah PTKP? – © bmmagazine.co.uk
Sebagaimana disebut di atas, selain ada persyaratan subjektif, ada persyaratan objektif saat berbicara tentang siapa yang wajib memiliki NPWP.Merujuk pada hal tersebut, syarat objektif yang dimaksud adalah mempunyai penghasilan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk ke dalam wajib membayarkan,Secara spesifik, kewajiban membayar pajak ini sendiri hanya dibebankan kepada mereka yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dilansir dari, jika penghasilanmu di bawah PTKP, kamu tidak wajib untuk membayar atau melaporkan pajak. Dengan demikian, kamu juga tidak wajib mempunyai NPWP. Baca Juga: Apakah kamu seseorang atau badan yang sudah memenuhi persyaratan objektif dan subjektif? Jika iya, sudah saatnya kamu memiliki NPWP.
Apa yang terjadi jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP?
1. Harus bayar PPh lebih besar –
- Tak peduli apa pun pekerjaanmu, salah satu risiko utama tidak punya NPWP adalah harus membayar PPh yang lebih tinggi.
- Tanpa NPWP, kamu harus bayar pajak sebesar 20% dari total penghasilanmu selama setahun.
- Padahal, aturan bayar yang sewajarnya hanyalah 5% menurut,
- Tentunya, ini membuat pendapatan bersih yang diperoleh semakin kecil, bukan?
Punya NPWP apa harus bayar pajak?
Punya NPWP Tidak Otomatis Harus Bayar Pajak, Begini Penjelasannya KPP PRATAMA DEPOK SAWANGAN | Rabu, 27 Juli 2022 | 17:30 WIB DEPOK, DDTCNews – KPP Pratama Depok Sawangan mengadakan edukasi perpajakan pada 13 Juli 2022 dengan tema Hari Pajak, Emang Ada??? pada 13 Juli 2022. Dalam acara tersebut, penyuluh pajak menyinggung soal penggunaan NIK sebagai NPWP. Penyuluh Pajak KPP Pratama Depok Sawangan Rendy Brayen Latuputty menjelaskan terdapat besaran tertentu yang menjadi batasan seseorang dikenai pajak atau biasa disebut dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
- Dia mencontohkan PTKP bagi wajib pajak lajang (TK/0) sejumlah Rp54 juta setahun.
- Artinya, wajib pajak tersebut baru dikenai pajak apabila penghasilannya telah melebihi Rp54 juta dan yang dikenai pajak hanya kelebihan dari Rp54 juta tersebut.
- Jadi, orang yang punya NPWP tidak otomatis harus bayar pajak.
Saat penghasilannya telah melebihi PTKP, baru dikenai pajak,” tuturnya seperti dikutip dari laman DJP, Rabu (27/7/2022). Dalam kesempatan yang sama, Rendy juga menjelaskan kewajiban pajak wajib pajak yang meninggal dan meninggalkan warisan belum terbagi.
Menurutnya, ahli waris wajib melaksanakan kewajiban dan hak perpajakan atas warisan yang belum terbagi tersebut. “Ahli warisnya wajib melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan atas warisan yang belum terbagi tersebut menggunakan NPWP orang yang meninggal tadi sampai warisan tersebut terbagi, salah satunya lapor SPT Tahunan,” ujarnya.
Namun, apabila wajib pajak yang meninggal dunia tidak meninggalkan harta warisan maka ahli waris dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP orang yang meninggal tersebut. Apabila NPWP sudah dihapus maka tidak ada lagi kewajiban pelaporan SPT. Nanti, kantor pajak akan melakukan pemeriksaan atas permohonan penghapusan NPWP tersebut.
Berapa yang harus dibayar NPWP?
Siapa Saja yang Tidak Wajib Bayar dan Lapor Pajak? – Menurut pasal 11 Permenkeu No.243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT), wajib pajak dengan penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT. Nah, pertanyaan selanjutnya, siapakah yang dimaksud wajib pajak dengan penghasilan tertentu? Poin 2 pasal 11 Permenkeu tersebut menjelaskan, mereka adalah wajib pajak yang diketegorikan memiliki Penghasilan Tidak Kena Pajak.
- Perlu Anda ketahui, besaran PTKP kerap mengalami perubahan.
- Namun, perubahan tersebut tak serta merta dilakukan setiap tahunnya.
- Untuk tahun 2019, aturan tarif PTKP masih mengacu pada aturan PTKP 2016 atau pada PMK Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Jadi, hingga saat ini pemerintah belum menetapkan PTKP terbaru.
Berikut ini besaran PTKP 2016: 1. Rp 54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi.2. Rp 4.500.000 untuk tambahan bagi wajib pajak yang kawin.3. Rp 4.500.000 untuk tambahan bagi setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan.
- Jadi, jika Anda memiliki penghasilan di bawah PTKP Anda tidak memiliki kewajiban membayar pajak dan melaporkan pajak.
- Dengan demikian, Anda juga tidak memiliki kewajiban untuk memiliki NPWP.
- Namun, jika penghasilan Anda di atas PTKP, maka Anda berkewajiban untuk membayar pajak.
- Sekadar informasi, dalam proses membayar pajak terdapat 2 tahapan yang perlu Anda lakukan, yakni membuat ID Billing, mencetaknya dan membawanya untuk disetorkan melalui teller bank/kantor pos persepsi atau melalui ATM.
Tapi, jika Anda ingin cara yang lebih sederhana, cepat dan mudah, pelajari caranya dengan mengklik tautan di bawah ini. Baca Juga:
Nomor NPWP dilihat dimana?
Cek NPWP online dengan NIK – Cek NPWP dengan NIK secara online bisa dilakukan melalui website resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP online) di link ereg.pajak.go.id. Berikut adalah langkah cek NPWP secara online lewat ereg.pajak.go.id:
Buka browser di HP atau PC Kunjungi laman https://ereg.pajak.go.id/ceknpwp Isi 16 digit angka Nomor Induk Kependudukan (NIK) sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada kolom pertama Kemudian, isi 16 digit angka Nomor Kartu Keluarga (KK) pada kolom kedua Masukkan kode captcha yang tampil di layar, lalu klik “Cari”
Baca juga: Simak Syarat dan Cara Mengajukan Wajib Pajak Non-efektif Online Bila nomor NPWP Anda masih aktif, maka nomor dan identitas lainnya akan muncul secara otomatis. Sebaliknya, jika identitas Anda tidak muncul, tandanya NPWP Anda belum atau sudah tidak aktif lagi.
Mengapa setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak?
Mengapa Setiap Wajib Pajak Hanya Diberikan Satu Npwp? Selain sebagai identitas Wajib Pajak, NPWP memiliki fungsi untuk menjaga ketertiban dan ketaatan pembayaran pajak serta pengawasan administrasi perpajakan Wajib Pajak. Karena semua dokumen tentang perpajakkan memiliki keterkaitan dengan nomor NPWP.
Apa arti NPWP dari mana mendapatkan nomor tsb tujuannya apa keuntungannya apa?
NPWP adalah singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak, yaitu nomor yang diberikan pada Wajib Pajak untuk sarana dalam administrasi perpajakan sebagai tanda pengenal atau identitas diri dari Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya.