Jenis- Jenis Pajak Penghasilan Yang Pemungutannya Tidak Bersifat Final?
b. Objek Pajak Final dan Tidak Final – Objek Pajak PPh Final Sedangkan yang termasuk Objek Pajak PPh Final menurut perundangan perpajakan adalah sebagai berikut:
- Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
- Bunga Obligasi
- Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
- Hadiah Undian
- Transaksi Penjualan Saham dan sekuritas lainnya
- Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya
- Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah objek pajak PPh final
- Penghasilan dari Pengalihan Real Estate dalam Skema Kontrak Investasi
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
- Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
- Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
- Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
- Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
- Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap.
Baca Juga: Jenis, Tarif, Hingga Cara Perhitungan PPh 21 Bagi Kelompok Bukan Pegawai Objek Pajak PPh Tidak Final Adapun Objek Pajak PPh Tidak Final adalah sebagai berikut:
- Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
- Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
- Laba usaha
- Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
- Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
- Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
- Dividen
- Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
- Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
- Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
- Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah
- Keuntungan selisih kurs mata uang asing
- Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
- Premi asuransi
- Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
- Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
- Penghasilan dari usaha berbasis syariah
- Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
- Surplus Bank Indonesia.
Demikian penjelasan singkat mengenai PPh final objek pajak final, juga perbedaannya. Sehubungan dengan ketentuan PPh Tidak Final, Wajib Pajak diberikan kesempatan sampai akhir tahun buku untuk menuntaskan kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak diperbolehkan untuk menghitung sendiri seluruh penghasilan dan biaya-biaya lainnya selama satu Tahun Pajak, untuk selanjutnya diperhitungkan dengan PPh Final yang sudah dibayarkan. Saya Mau Coba Gratis Klikpajak Sekarang!
Contents
Apa yang dimaksud pajak penghasilan tidak final?
Perbedaan Pajak atau PPh Final dan Tidak Final – Sebelum menjelaskannya lebih lanjut, mari kita bahas sedikit mengenai apa itu PPh. Pajak penghasilan atau PPh sendiri adalah pajak yang dibebankan pada Orang Pribadi maupun Badan berdasarkan penghasilan yang diterima dalam rentang satu tahun. Sementara itu PPh final adalah pajak yang dikenakan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu berdasarkan hasil yang diterima pada saat tahun berjalan.
Emudian, pajak penghasilan final yang telah dipotong pihak lain atau yang disetor secara mandiri bukan lah pembayaran atas pajak penghasilanterutang wajib pajak, melainkan pelunasan pajak penghasilan terutang dari penghasilannya. Nantinya, wajib pajak akan dianggap sudah melunasi kewajiban pajaknya.
Penghasilan yang sudah dikenakan PPh final nantinya tidak dihitung lagi pada SPT Tahunan sehingga ia tidak akan dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan lain dari wajib pajak. Jadi singkatnya, PPh final adalah pajak yang sudah selesai atau dikenakan secara langsung ketika wajib pajak mendapatkan penghasilan.
Pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum yang tertera dalam SPT Tahunan PPh Badan. Kemudian penghasilan pada PPh tidak final digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum Pada pajak penghasilan final, biaya sehubungan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh tidak bisa dikurangi. Sementara itu biaya tersebut bisa dikurangkan pada PPh tidak final. Bukti potong pajak penghasilan final tidak bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi pihak yang pajaknya dipotong. Sebaliknya, pada PPh tidak final bukti potong dapat diperhitungkan. Tarif pajak penghasilan final dibuat berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Keuangan, sementara itu pajak penghasilantidak final menggunakan tarif umum Pasal 17 UU Pajak Penghasilan.
Baca juga: Cara Menghitung Pajak Penghasilan dan Simulasinya
Apa saja perbedaan pajak yang bersifat final dan tidak final?
Perbedaan Pajak Penghasilan Final dan Tidak Final VIVA – Semua wajib pajak pasti sudah sering mendengar mengenai pajak penghasilan. Dalam pemotongan atau pemungutannya, PPh dibedakan menjadi pajak penghasilan Final dan Tidak Final. PPh adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak atas pendapatan yang diterima dalam suatu tahun pajak.
- Di sini pajak final ini merupakan pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas pendapatan yang diterima.
- Mengenal Pajak Penghasilan Final PPh Final diartikan sebagai penyederhanaan dalam metode penghitungan pajak penghasilan.
- Pada umumnya, pajak penghasilan dihitung berdasarkan penghasilan bersih.
Penghasilan neto atau bersih bisa diketahui dengan melakukan penghitungan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya lainnya. Namun, tak semua biaya dapat dikurangkan. Ada beberapa biaya yang bisa dikurangi dan tak bisa dikurangi. PPh final ini adalah pajak yang dikenakan secara langsung ketika seorang wajib pajak memperoleh penghasilan.
- Arena mempunyai sifat pemungutan yang sementara, maka PPh final tak diperhitungkan dalam pelaporan SPT tahunan namun nantinya tetap harus dilaporkan.
- Pendapatan yang akan dikenakan PPh final ini tidak dihitung lagi pada SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum dengan penghasilan lainnya.
- PPh nantinya akan dipotong atau dibayarkan bukan termasuk ke dalam kredit pajak pada SPT Tahunan.
Secara umum, perbedaan antara PPh Final dan tak Final yakni Pajak Penghasilan Final berarti pajak sudah selesai. Sedangkan, PPh tak final merupakan kebalikan dari PPh Final, yakni pajak belum selesai. Perbedaan Pajak Penghasilan Final dan Tidak Final Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC).
Penghasilan apa saja yang bersifat final?
Cara Pembayaran PPh Final – WP juga harus mengetahui bagaimana cara PPh final dibayarkan ke pemerintah, sehingga bisa mengetahui penghasilan bersih yang mereka terima. Biasanya, PPh Final dilakukan dengan cara pemotongan gaji atau upah yang diterima oleh pihak lain atau membayar setorannya secara mandiri.
PPh Final, baik yang dipotong maupun yang disetorkan sendiri, sebenarnya melunasi PPh terutang terhadap penghasilan yang termasuk kategori penghasilan di atas. Jadi, PPh Final tidak lagi dihitung dalam SPT Tahunan. Bisa dikatakan kategori penghasilan yang dikenakan PPh Final memang lekat sekali dalam kehidupan kita.
Pajak dari gaji, honorarium, bahkan deviden bagi para investor harus dipotong dengan menggunakan PPh Final. Tentunya, sebagai warga negara yang taat, Anda ingin melakukan kewajiban membayar pajak. Karena itu, AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP hadir sebagai aplikasi pajak online yang bisa membantu menghitung pajak Anda.
Apakah PPh Pasal 23 bersifat final?
b. Sifat Pengenaan PPh Jasa Konstruksi – Perbedaan berikutnya adalah sifat pengenaan pajaknya. Pengenaan PPh 23 bersifat tidak final, sedangkan untuk pasal 4 ayat 2 ini bersifat final, Secara jelas sebenarnya perbedaannya nampak jelas, yakni pengenaan PPh Pasal 4 Ayat 2 yang dilaksanakan dengan PP Nomor 51 tahun 2008 bersifat final.
Apakah PPh Pasal 22 bersifat final?
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final.
Apa perbedaan PPh 21 final dan tidak final?
Perbedaan PPh 21 Final dan Tidak Final – Pembayaran PPh Tidak Final pada umumnya merupakan kebalikan dari PPh Final. Untuk memperjelas antara PPh 21 Final dan Tidak Final, berikut ini adalah perbedaan antara keduanya:
- PPh Tidak Final terdapat penggabungan dengan penghasilan lainnya. Sementara untuk PPh Final terdapat pemisahan.
- Pada PPh Tidak Final, biaya sehubungan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dengan penghasilan bruto. Sementara untuk PPh Final tidak dapat dikurangkan.
- Bukti potong PPh Tidak Final dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi pihak yang dipungut. Untuk PPh Final, hal ini tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.
- Tarif PPh Tidak Final berdasarkan pada tarif umum Pasal 17 UU Perpajakan. Untuk PPh Final tarif pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri Keuangan (KMK).
Saya Mau Coba Gratis Klikpajak Sekarang!
Apakah pemotongan PPh pasal 26 bersifat final?
Contoh Perhitungan PPh Pasal 26 Ayat 4 – Berikut adalah contoh penghitungan PPh Pasal 26 ayat 4 atas penghasilan kena pajak badan usaha tetap setelah dikurangi PPh bagi BUT Usaha Jasa Konstruksi: BUT AAA merupakan BUT Jasa Pelaksana Konstruksi di Indonesia yang tidak termasuk dalam kualifikasi usaha kecil maupun bukan merupakan yang tidak memiliki kualifikasi.
Pada Juni 2022 menerima pembayaran jasa pelaksanaan konstruksi sebesar Rp600 juta dan BUT AAA tidak menempatkan atau tidak menginvestasikan kembali penghasilannya tersebut di Indonesia. Karena PT AAA merupakan jasa pelaksana konstruksi yang bukan merupakan usaha kecil maupun bukan yang tidak memiliki kualifikasi, maka dikenakan tarif PPh Pasal 4 ayat 2 yakni sebesar 3% dari jumlah pembayaran yang diterima.
Maka perhitungan PPh Pasal 26 ayat 4 BUT AAA tersebut adalah sebagai berikut:
Jumlan penerimaan BUT AAA | = Rp600.000.000 | |
PPh Final Pasal 4 ayat 2 | = 3% x Rp600.000.000 | = Rp18.000.000 |
Penghasilan Kena Pajak: | ||
– Pendapatan proyek | = Rp660.000.000 | |
– Biaya proyek dan biaya lainnya | = Rp570.000.000 (-) | |
Penghasilan Neto Komersial | = Rp90.000.000 | |
Penyesuaian Fiskal Positif | = Rp15.500.000 (+) | |
Penghasilan Neto Fiskal (Penghasilan Kena Pajak) | = Rp105.500.000 | |
PPh Pasal 26 ayat 4 | = 20% x (Rp105.500.000 – Rp18.000.000) | = Rp17.500.000 |
Apa yang dimaksud pajak bersifat final?
Kenali Apa Itu PPh Final – Pajak Penghasilan (PPh) Final merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan dengan tarif dasar pengenaan pajak (DPP) tertentu. Yang mana berbeda dengan skema pajak secara umum atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam sepanjang tahun pajak berjalan.
Jadi, bisa dikatakan jika PPh Final merupakan pajak yang tidak diikutsertakan lagi dalam penghitungan PPh Terutang tahunan. Hal ini berarti bahwa suatu PPh yang sudah bersifat final, maka tidak dapat untuk dikreditkan dengan PPh Terutang. Berdasarkan pada ulasan di atas, bisa dikatakan jika suatu penghasilan yang telah dikenai PPh Final tidak akan dihitung lagi PPh atau pajaknya pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Dimana PPh final ini tidak dihitung lagi pajaknya dengan penghasilan lain yang tidak final atau non final untuk dikenai tarif progresif. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Konsultan pajak Serpong adalah solusi masalah pajak anda.
Siapa yang dikenakan pajak final?
Penghasilan Yang Dikenakan Pajak Final – Ada beberapa penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan PPh Final, yaitu penghasilan dari transaksi penjualan saham, penghasilan bunga deposito dan tabungan, penghasilan atas hadiah dan undian, penghasilan sewa atau pengalihan hak atas tanah dan bangunan, serta penghasilan bunga atau diskonto obligasi di bursa efek.
Selain itu, penghasilan atas jasa konstruksi, perusahaan pelayaran dalam dan luar negeri, perusahaan penerbangan luar negeri, penghasilan BUT perwakilan dagang asing di Indonesia, penghasilan atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap, penghasilan perusahaan modal ventura, hingga penghasilan atas transaksi derivatif masuk ke dalam kategori penghasilan kena pajak.
Baca juga: Perbedaan PPh 21 dan PPh 23 yang Harus Anda Ketahui
Apa Tujuan nya dari penerapan pajak bersifat final?
DALAM sistem pajak dikenal pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final. Pada umumnya, skema PPh final ini hanya diterapkan atas jenis penghasilan tertentu dengan mekanisme dan tarif khusus. Skema pajak ini juga diterapkan dalam UU PPh di Indonesia. Lantas, apa definisi dan tujuan dari pengenaan PPh final? Dalam berbagai literatur pajak, istilah yang digunakan untuk merujuk pada PPh final, antara lain final tax, final tax liability, atau final withholding tax ( Darussalam, 2020 ).
Definisi PPh final sendiri masih terbatas serta belum ditemukan pengertian secara memadai. Namun demikian, terdapat 2 institusi yang memberikan definisi mengenai PPh final, yaitu Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD). Berdasarkan pada OECD Glossary of Tax Terms, pajak final dapat dipahami sebagai withholding tax yang didasarkan atas perjanjian pajak dan dikenakan oleh negara sumber dengan batasan tarif yang lebih rendah daripada tarif yang akan dikenakan dalam kondisi lainnya.
Sementara itu, IBFD Tax Glossary (2009) menguraikan pajak final digunakan untuk menggambarkan penghasilan yang dikenakan withholding tax dan tidak termasuk dalam penghitungan penghasilan yang dikenakan tarif pajak progresif. Oleh karena itu, kewajiban pajak sehubungan dengan pendapatan yang bersangkutan bersifat final pada saat pemotongan pajak telah dilakukan.
- Berdasarkan pada definisi dari kedua institusi tersebut, setidaknya terdapat 6 poin yang dapat disimpulkan ( Kristiaji dan Mukarromah, 2020 ).
- Pertama, pajak final melekat dengan konteks PPh.
- Hal tersebut dikarenakan IBFD menyebutkan klausul ‘penghasilan’ dan OECD menyebutkan klausul ‘perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)’ yang secara tidak langsung berkaitan juga dengan PPh.
Kedua, pajak final melekat pada mekanisme withholding tax, Mekanisme withholding tax merupakan sistem pemungutan pajak yang memuat skema kewajiban untuk melakukan pemotongan dan penyetoran pajak diserahkan kepada pihak ketiga. Ketiga, perbedaan tarif pajak.
Penerapan PPh final berkaitan dengan suatu tarif yang berlaku khusus. OECD menunjukannya melalui perbedaan tarif withholding tax antara yang tercantum dalam P3B dengan yang berlaku secara umum berbeda. Sementara itu, IBFD menyatakan tarif pajak final berlaku secara khusus dan berbeda dengan tarif yang berlaku secara umum yang memberlakukan tarif progresif.
Kedua definisi tersebut menunjukkan pajak final juga berkaitan dengan tarif pajak yang berlaku secara khusus. Keempat, terdapat pemisahan perlakuan pajak. IBFD secara implisit mendefinisikan pajak final sebagai pajak atas penghasilan yang tidak termasuk dalam penghitungan nilai pajak dalam sistem pembayaran yang berlaku umum.
Elima, merepresentasikan nilai akhir sehingga pemotongan dan penyetoran tidak masuk dalam penghitungan pajak terutang. Keenam, umumnya berkaitan dengan pajak internasional. Poin ini dapat ditunjukkan dari definisi OECD mengenai pajak final yang dikaitkan dengan P3B. Kemudian, IBFD juga menggunakan konteks pajak internasional dalam praktik pajak final.
Selain itu, uraian yang lengkap dan memadai mengenai justifikasi dari penerapan PPh final juga sulit ditemukan. Akan tetapi, apabila dilihat dari tujuannya, salah satu tujuan utama penerapan skema PPh yang bersifat final adalah untuk menyederhanakan pengenaan PPh atas objek pajak tertentu.
Kesederhanaan PPh final ditunjukkan dari penghitungannya yang dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif (Kristiaji dan Mukarromah, 2020). Sifat pengenaannya yang sederhana tersebut menyebabkan PPh final digunakan untuk memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak (Darussalam, 2020).
Kemudahan administratif tersebut dapat mengurangi biaya kepatuhan pajak. Melihat tujuan tersebut, penerapan PPh final menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari 2 terobosan kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan, yaitu presumptive tax dan mekanisme withholding tax,
2 Jelaskan apakah yang dimaksud dengan pajak final bagaimana mekanisme pelaporannya oleh individu dan badan yang menerima?
Pajak final adalah pajak yang telah selesai dikenakan kepada wajib pajak saat wajib pajak menerima penghasilan. Contoh pajak final ialah pajak atas sewa tanah/bangunan, PPh final UMKM, pajak atas jasa konstruksi, pajak atas penjualan saham, dll. Pelaporan pajak final dapat dilakukan oleh individu maupun badan usaha.
Pajak akan dipotong dan dilaporkan apabila wajib pajak telah menerima penghasilan yang menjadi objek pajak final. Apabila pelaporan pajak dilakukan oleh individu, maka pajak dilaporkan pada SPT PPh Tahunan Orang Pribadi. Dan apabila pajak dikenakan pada Badan, maka dilaporkan pada SPT di masa/bulan saat itu juga.
Alasan diterapkannya pajak final adalah untuk menyederhanakan mekanisme pemungutan pajak pada objek pajak tertentu. Selain itu dapat mengurangi beban administrasi pajak karena pajak langsung dipotong saat itu wajib pajak menerima penghasilan, dan wajib pajak hanya bertugas untuk melaporkannya saja.
Apakah alasan diterapkan nya pajak final?
Belajar Pajak: Apa Sih yang Membedakan Pajak Final dan Pajak Non-Final? Jakarta – Sebelum membahas apa yang membedakan pajak final dan non-final, kita harus mendalami dulu pengertian dari pajak final dan pajak non final. Secara umum, pajak final atau yang biasa disebut dengan PPh final adalah pajak yang dikenakan langsung saat wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilannya dengan wajib pajak itu sendiri yang akan langsung menyetorkan pajak terutangnya.
- Dalam pelaporan SPT tahunannya, PPh final ini tidak akan diperhitungkan meskipun akan tetap harus dilakukan pelaporan.
- Hal ini didasari karena PPh final sendiri memiliki sifat yaitu sebagai pungutan.
- Dalam sistem perlakukan dan penerapannya, setidaknya terdapat 2 kondisi yang menjadi pertimbangan atas dasar penerapan pajak final, yaitu (1) adanya penyederhanaan atas pengenaan pajak penghasilan terhadap penghasilan dari usaha dan untuk memberikan kemudahan serta (2) untuk mengurangi adanya beban administrasi bagi wajib pajak.
Sedangkan, pajak non-final merupakan pajak yang akan dikenakan terhadap suatu penghasilan dan nantinya akan diperhitungkan kembali dengan penghasilan lainnya guna mengenakan tarif umum dalam pelaporan SPT Tahunannya.
Apa alasan ada pajak final?
Konsep PPh Final dan Pro-Kontra Penerapannya ISTILAH PPh final bukanlah istilah yang asing di masyarakat wajib pajak. Dalam berbagai literatur pajak berbahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk merujuk pada PPh final, antara lain final tax, final tax liability, atau final withholding tax.
Sementara dalam UU PPh di Indonesia, istilah PPh final identik dengan penerapan Pasal 4 ayat (2) walaupun secara eksplisit penerapannya juga tersebar ke dalam beberapa pasal lainnya. Meskipun tergolong sebagai istilah yang familier, sayangnya tidak banyak yang mengetahui PPh final secara konseptual. Sebagian pihak menganggap ini adalah suatu jenis pajak, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa PPh final hanya sekadar salah satu mekanisme pemungutan pajak.
Begitu pula dengan penerapannya. Pertanyaan, seperti apa tujuan atau alasan suatu negara memilih menerapkan PPh final, tidak sering dibahas dalam literatur perpajakan, baik dalam buku, artikel, maupun jurnal-jurnal. Merespons fenomena di atas, tulisan berikut menjelaskan secara komprehensif mengenai konsep PPh final serta pro-kontra penerapannya.
- Onsep PPh Final Sejatinya, PPh final bukanlah suatu jenis pajak tertentu layaknya PPh, PPN, atau PPnBM.
- Ini sebagaimana merujuk pada penjelasan dalam Government Finance Statistics Manual yang membahas enam kategori umum mengenai pungutan pajak (IMF, 2014).
- Dalam pembahasan tersebut, terminologi PPh final tidak ditemukan di dalamnya.
Lantas, apa itu sebenarnya PPh final berdasarkan konsep dan definisinya? Berdasarkan penelusuran pada tataran teoritis, konsep PPh final tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam berbagai literatur. Menariknya, meskipun pembahasan tentang konsep dasarnya terbilang minim, implementasi PPh final kerap bersinggungan dengan konsep mengenai sistem pajak lainnya.
Setidaknya, terdapat dua sistem pajak yang memiliki keterhubungan dengan implementasi PPh final. Pertama, sistem schedular taxation atau sistem pengenaan pajak terpisah. Negara yang menerapkan sistem ini akan mengkategorikan penghasilan berdasarkan jenis atau sumbernya dan menghitung pajak secara terpisah untuk setiap kategori penghasilan, baik ketentuan penghitungannya maupun tarif yang digunakan (Ordower, 2014).
Umumnya, penghasilan yang dikenakan berdasarkan schedular taxation dilakukan secara final. Alasannya, penerapan PPh final dalam sistem ini dapat memastikan pengenaan pajak atas suatu penghasilan benar-benar dilakukan secara “terpisah” hingga akhir. Kedua, sistem dual income tax,
Di negara-negara yang menganut sistem ini, seperti Swedia, Denmark, Finlandia, dan Norwegia, perlakuan pajak antara penghasilan dari modal (kapital) dengan penghasilan dari pekerjaan (labor) dipisahkan (Genser dan Dirk Schindler, 2007). Pemisahan ini menyebabkan pengenaan pajak atas penghasilan modal tidak boleh digabungkan bersama penghasilan yang diperhitungkan dengan rezim umum.
Oleh karena itu, untuk menjamin pemisahan ini, penghasilan modal umumnya dikenakan PPh final dengan skema withholding tax (Randelovic, 2008). Sementara itu, terkait definisi, hanya terdapat dua lembaga resmi yang memberikan definisi tentang pajak final, yaitu Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD).
- Dari definisi yang diajukan kedua lembaga tersebut, dapat disimpulkan beberapa poin mengenai PPh final (Kristiaji dan Mukarromah, 2020).
- Pertama, PPh final berkaitan erat dengan mekanisme withholding tax,
- Oleh karenanya, tidak mengherankan jika dalam buku-buku atau jurnal berbahasa Inggris, istilah PPh final yang sering dijumpai adalah final withholding tax,
Kedua, PPh final mencerminkan adanya pemisahan perlakuan pajak atas beberapa jenis penghasilan tertentu, Sederhananya, penerapan PPh final menyebabkan penghitungan pajak atas suatu penghasilan tidak digabungkan dengan penghasilan lain dan dikenakan dengan tarif pajak yang berbeda.
Ketiga, PPh final merepresentasikan nilai akhir sehingga PPh final yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun pajak. Pemaparan di atas memberikan kesimpulan bahwa PPh final “hanya” salah satu cara pengenaan pajak dalam sistem PPh yang memiliki ciri khusus.
Yaitu, penerapannya menyebabkan pemisahan perlakuan pajak atas penghasilan tertentu serta kewajiban perpajakan terkait pengenaannya “selesai” seketika pajak tersebut dibayarkan. Akibatnya, penghasilan yang dikenakan PPh final tidak akan digabung dan dihitung lagi dalam SPT PPh Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya.
- Begitu pula dengan PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT PPh Tahunan.
- Tujuan dan Kritik Pada dasarnya, penjelasan yang memadai tentang justifikasi dari penerapan PPh final belum tersedia (Kristiaji dan Mukarromah, 2020).
- Namun, jika ditelisik dari tujuannya, sifat pengenaannya yang dinilai sederhana menyebabkan PPh final digunakan sebagai bagian dari upaya pemberian kemudahan administratif bagi wajib pajak yang mampu menekan besarnya biaya kepatuhan pajak.
Tidak mengherankan jika skema ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari dua terobosan kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan, yaitu presumptive tax dan mekanisme withholding tax, Dalam presumptive tax, misalnya. Penerapan kebijakan ini secara final bertujuan agar prosedur pengenaan pajak dapat berjalan sederhana (Taube dan Tadesse, 1996).
- Selain itu, berdasarkan Rajaraman (1995), PPh final dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam upaya memaksimalkan produktivitas penerimaan dari segi administrasi.
- Itulah sebabnya beberapa negara berkembang, seperti Pakistan (Memon, 2010) dan Indonesia, memilih menerapkan presumptive tax secara final untuk memajaki sektor UMKM-nya.
Sementara itu, dalam mekanisme withholding tax, PPh final umumnya digunakan sebagai cara untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri (SPLN). Pengenaannya yang mudah dan sederhana secara administrasi dianggap sesuai untuk memajaki SPLN yang memiliki karakteristik berbeda dengan subjek pajak dalam negeri (SPDN).
- Selain itu, PPh final dengan skema withholding tax juga dianggap efektif dalam meningkatkan penerimaan negara (Vorssler dan McKee, 2015).
- Skema ini juga dapat membantu pemerintah dalam pengelolaan anggaran karena cash flow yang masuk ke pemerintah lebih cepat diterima (OECD, 2009).
- Terlepas dari tujuannya yang “mulia”, penerapan PPh final bukan tanpa kritik.
Sekurang-kurangnya, ada tiga isu yang kerap mewarnai perjalanan dari implementasi PPh final di suatu negara. Pertama, pemungutan pajak secara final ini dianggap “menyampingkan” asas pajak yang ideal, terutama aspek keadilan ( equality ) dan kemampuan membayar ( ability to pay ) yang seharusnya diterapkan dalam PPh.
Kedua, PPh final juga dianggap menyalahi “roh” PPh sebagai pajak yang bersifat subjektif karena lebih memperhatikan jenis “objek penghasilan” dibandingkan dengan subjek pajaknya. Ketiga, mengingat PPh final yang merupakan bagian sistem pemotongan pajak oleh pihak ketiga ( withholding tax ), pengenaan PPh final juga dapat menimbulkan beban administrasi bagi wajib pajak yang diberi kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak (Vitez, 1992).
: Konsep PPh Final dan Pro-Kontra Penerapannya