Kebijakan Pemerintah Yang Berhubungan Dengan Masalah Pajak Adalah Kebijakan?
Pengertian Kebijakan Fiskal – Dari segi definisi, kebijakan fiskal adalah suatu strategi atau kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah demi menjaga pemasukan dan pengeluaran keuangan negara. Lebih lengkapnya, kebijakan fiskal adalah kebijakan yang berasal dari pemerintah yang memengaruhi perekonomian melalui perubahan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.
- Pemasukan yang diatur utamanya melalui pajak, dan pengeluaran yakni berupa anggaran yang dikeluarkan untuk menunjang program pemerintah.
- Ebijakan fiskal berkaitan erat dengan kebijakan untuk meraih tujuan ekonomi tertentu melalui instrumen perpajakan, penerimaan, utang piutang, dan belanja pemerintah.
Di Indonesia, kebijakan fiskal ada pada kewenangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI.
Contents
Pajak termasuk kebijakan apa?
Perbedaan Kebijakan Fiskal dan Moneter – Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang merujuk pada pengeluaran dan pendapatan, berupa pajak. Sedangkan, kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah melalui bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar.
Apa hubungan pajak dengan kebijakan fiskal?
Penulis: Sunarsip (2010) – Oleh Sunarsip Kini, pajak menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Saya kira, ini tidak terlepas dari munculnya dua fakta berikut. Pertama, isu mafia pajak yang diduga melibatkan oknum aparat pajak dan aparat hukum. Kedua, minggu ini adalah batas akhir penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan.
- Edua fakta yang terjadi secara bersamaan ini mungkin sebuah kebetulan.
- Namun, justru karena faktor kebetulan inilah, kini banyak orang yang ‘peduli’ bicara pajak.
- Saya kira, akibat kejadian ini, Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, menghadapi suasana yang tidak mengenakkan.
Di satu sisi, pemerintah mengimbau wajib pajak segera menyelesaikan kewajiban pajaknya. Di sisi lain, muncul berita mafia pajak yang berpotensi melemahkan semangat membayar pajak. Pajak merupakan bagian penting dalam kebijakan fiskal kita. Tidak hanya karena kontribusinya yang tinggi bagi penerimaan APBN, tetapi pajak juga bisa menjadi instrumen fiskal yang efektif dalam mengarahkan perekonomian.
- Berdasarkan siaran pers Ditjen Pajak, realisasi penerimaan pajak tahun 2009 yang dikelola Ditjen Pajak (termasuk PPh Migas) hingga 31 Desember 2009 mencapai Rp 565,77 triliun.
- Sementara itu, target penerimaan pajak Ditjen Pajak dalam APBN 2009 mencapai Rp 577,4 triliun, berarti masih kurang Rp 11,6 triliun.
Total target penerimaan perpajakan (termasuk penerimaan perpajakan dari Ditjen Bea Cukai) pada APBN 2009 mencapai Rp 652 triliun atau sekitar 75 persen dari Penerimaan Dalam Negeri atau sekitar 65,2 persen dari volume APBN 2009. Pada tahun 2010, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp 742,7 triliun, sekitar 78 persen dari Penerimaan Dalam Negeri atau 71 persen dari volume APBN 2010.
Target penerimaan perpajakan sebesar Rp 742,7 triliun tersebut naik sebesar Rp 90,7 triliun dibandingkan target dalam APBN 2009. Dari target sebesar Rp 742,7 triliun tersebut, sebesar Rp 658,2 triliun merupakan pajak yang dikelola Ditjen Pajak. Dari fakta-fakta ini, terlihat bahwa kontribusi penerimaan perpajakan dalam APBN sangat dominan.
Oleh karena itu, sangat penting menjaga lingkungan perpajakan yang kondusif agar masyarakat turut menyukseskannya. Selain sebagai kontributor terbesar bagi APBN, pajak juga menjadi instrumen penting dalam kebijakan fiskal. Salah satu peran pentingnya tersebut sudah dibuktikan pada 2009.
- Di tengah krisis ekonomi global, ekonomi kita ternyata masih bisa tumbuh positif.
- Salah satunya disebabkan efek dari insentif pajak, seperti penurunan tarif PPh, pajak ditanggung pemerintah, peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan sebagainya.
- Melalui insentif pajak ini, daya beli masyarakat tetap terjaga sehingga konsumsi masyarakat tetap tumbuh.
Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi 2009 mencapai 4,5 persen yang didukung oleh konsumsi rumah tangga (RT) yang tumbuh di atas 5,0 persen. Kontribusi konsumsi RT terhadap PDB mencapai 60 persen. Namun, apakah ini berarti peran pajak dalam kebijakan fiskal telah optimal? Saya berpendapat bahwa optimalisasi pajak masih terbuka untuk ditingkatkan.
Perlu diketahui bahwa pajak merupakan faktor yang tidak bisa lepas dari produk domestik bruto (PDB). Itulah mengapa untuk mengetahui optimalisasi penerimaan pajak selalu dikaitkan dengan PDB dalam sebuah rasio yang disebut tax ratio, Idealnya, setiap peningkatan PDB atau terjadi pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak juga harus meningkat.
Tax ratio kita pada 2010 diperkirakan mencapai 12,4 persen terhadap PDB. Tax ratio 2010 ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 12 persen, tetapi lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 13,3 persen. Masih rendahnya tax ratio ini tentunya menjadi catatan tersendiri.
Pada 2007, pemerintah pernah membuat target tax ratio pada akhir 2009 mencapai 16 persen. Sayangnya, pada tahun 2009, justru terjadi krisis, yang tentunya akan bertentangan dengan semangat menggenjot pertumbuhan ekonomi bila pajak harus pula digenjot. Persoalannya bukan di situ, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya agar tax ratio bisa ditingkatkan.
Pemerintah biasanya melihat rendahnya tax ratio sebagai bukti bahwa masih banyak bidang usaha yang belum terkena pajak. Penilaian ini tidak keliru karena faktanya tax coverage ratio kita memang tergolong rendah (yaitu sekitar 70 persen) dibandingkan negara-negara lain.
Namun, juga tidak terlalu tepat bila argumentasi ini kemudian dijadikan dasar peningkatan perpajakan semata-mata melalui ekstensifikasi pajak. Upaya ekstensifikasi pajak itu penting untuk meningkatkan basis perpajakan. Akan tetapi, langkah ini juga perlu mempertimbangkan dampaknya bagi perekonomian bila kemudian upaya ekstensifikasi difokuskan pada usaha-usaha kecil yang sesungguhnya membutuhkan lebih banyak insentif.
Selain melakukan ekstensifikasi, ada baiknya bila pemerintah lebih menekankan upaya intensifikasi pada basis perpajakan yang dimiliki saat ini. Intensifikasi ini khususnya diarahkan untuk mengejar wajib pajak besar. Di sini, selain perlu meningkatkan kepatuhan ( compliance ) wajib pajak, pemerintah juga perlu fokus pada law enforcement terhadap aparat pajaknya.
- Arena, pada kedua titik inilah sering terjadi berbagai bentuk penghindaran pajak ( tax avoidance ).
- Mengingat besarnya magnitude jumlah pajak yang harus dibayar, tentunya hal ini berpotensi menggoda wajib pajak dan aparat pajak untuk melakukan penghindaran pajak.
- Saya kira, terungkapnya kasus mafia pajak saat ini penting dijadikan momentum untuk menegakkan law enforcement terhadap aparat pajak dan wajib pajak besar yang nakal.
Mengapa isu tax ratio ini, sekalipun penggunaannya sebagai indikator banyak digugat, penting dicermati? Faktanya bahwa faktor pembentuk PDB tidak hanya berasal dari swasta, tetapi juga berasal dari pemerintah melalui APBN. Faktanya bahwa APBN kita sebagian dibiayai dengan utang.
- Pemerintah mengatakan bahwa posisi utang kita aman sekalipun jumlahnya terus meningkat karena rasio utang terhadap PDB ( debt ratio to GDP ) terus menurun.
- Pemerintah menyebut bahwa rendahnya rasio utang mengindikasikan bahwa jumlah utang yang ditarik pemerintah setiap tahun telah dilakukan secara hati-hati, terencana, dan tepat sasaran sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional telah mendorong peningkatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan peningkatan utang itu sendiri.
Karena utang pemerintah dikatakan telah memberikan dampak positif bagi perekonomian, tentunya kita juga berharap peningkatan perekonomian kembali ke APBN melalui peningkatan pajak. Dengan peningkatan pajak, jumlah utang pemerintah dapat dikurangi sehingga APBN kita menjadi semakin lebih sehat.
Apa yang disebut dengan kebijakan fiskal?
Secara Umum – Fiskal merupakan segala urusan yang berkenaan dengan pajak atau pendapatan negara, Fiskal berasal dari masyarakat dan dianggap oleh pemerintahan sebagai pendapatan yang digunakan untuk pengeluaran berbagai program-program. Fiskal digunakan untuk menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan nasional, produksi dan perekonomian serta digunakan untuk perangkat keseimbangan dalam perekonomian.
Apa saja peran kebijakan moneter?
Fungsi kebijakan moneter adalah sebagai berikut. Mengendalikan laju inflasi yang dikarenakan meningkatnya harga secara terus-menerus sehingga nilai uang turun harganya. Mengelola angka pengangguran dengan menciptakan lapangan pekerjaan, Apabila lapangan pekerjaan semakin menipis, bank sentral akan menurunkan tingkat suku bunga agar kegiatan ekonomi dapat berjalan.
- Hal ini dapat berdampak pada pelaku bisnis untuk mengembangkan usahanya.
- Memelihara nilai tukar dengan cara menerbitkan atau menarik uang cetak di pasaran.
- Apabila terjadi penambahan pasokan uang, maka nilai tukar akan naik.
- Jika ada pengurangan pasukan uang, nilai tukar akan turun.
- Meningkatkan neraca pembayaran,
Neraca pembayaran ini menjadi catatan statistik yang berisi ringkasan arus keluar dan masuk produk selama periode tertentu. Agar neraca pembayaran tetap stabil, kebijakan moneter dan fiskal dibutuhkan untuk mengendalikan. Peran kebijakan moneter adalah sebagai berikut.
Menjaga stabilitas ekonomi, Kondisi dikatakan stabil apabila arus uang yang beredar di pasar sama dengan arus barang yang ada di masyarakat. Menjaga stabilitas harga yaitu kebijakan moneter ini harus bisa menstabilkan kenaikan dan penurunan harga yang tidak beraturan. Meningkatkan kesempatan kerja yaitu adanya keseimbangan uang beredar dan jumlah barang dan jasa diharapkan banyak pengusaha berani melakukan penyediaan lapangan kerja.
Memperbaiki posisi neraca perdagangan dan pembayaran, – Fungsi kebijakan moneter adalah sebagai berikut.
Mengendalikan laju inflasi yang dikarenakan meningkatnya harga secara terus-menerus sehingga nilai uang turun harganya. Mengelola angka pengangguran dengan menciptakan lapangan pekerjaan, Apabila lapangan pekerjaan semakin menipis, bank sentral akan menurunkan tingkat suku bunga agar kegiatan ekonomi dapat berjalan. Hal ini dapat berdampak pada pelaku bisnis untuk mengembangkan usahanya. Memelihara nilai tukar dengan cara menerbitkan atau menarik uang cetak di pasaran. Apabila terjadi penambahan pasokan uang, maka nilai tukar akan naik. Jika ada pengurangan pasukan uang, nilai tukar akan turun. Meningkatkan neraca pembayaran, Neraca pembayaran ini menjadi catatan statistik yang berisi ringkasan arus keluar dan masuk produk selama periode tertentu. Agar neraca pembayaran tetap stabil, kebijakan moneter dan fiskal dibutuhkan untuk mengendalikan.
Peran kebijakan moneter adalah sebagai berikut.
Menjaga stabilitas ekonomi, Kondisi dikatakan stabil apabila arus uang yang beredar di pasar sama dengan arus barang yang ada di masyarakat. Menjaga stabilitas harga yaitu kebijakan moneter ini harus bisa menstabilkan kenaikan dan penurunan harga yang tidak beraturan. Meningkatkan kesempatan kerja yaitu adanya keseimbangan uang beredar dan jumlah barang dan jasa diharapkan banyak pengusaha berani melakukan penyediaan lapangan kerja. Memperbaiki posisi neraca perdagangan dan pembayaran,
Apakah pajak termasuk kebijakan moneter?
Kebijakan perpajakan termasuk ke dalam kebijakan fiskal.
Apa saja tujuan dari kebijakan fiskal?
Kebijakan fiskal bertujuan untuk mengatur segala pendapatan dan pengeluaran negara. negara sebagai pemegang otoritas tertinggi maka negara yang berhak dalam perumusan kebijakan salah satunya kebijakan fiskal dimana negara sangat berperan penting di dalam kebijkan tersebut.
Untuk apakah kebijakan fiskal diterapkan oleh pemerintah?
Oleh Muhamad Sidik Pengelolaan Aset Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia aset adalah sesuatu yang mempunyai nilai tukar atau modal; atau kekayaan. Aset menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Dari pengertian tersebut unsur-unsur aset adalah dikuasai dan/atau dimiliki, peristiwa masa lalu, dan ada manfaat ekonomi. Dalam pengertian ini berarti aset memiliki cakupan yang luas, mulai dari uang kas sampai dengan kontrol pemerintah pada entitas. Istilah aset dalam peraturan perundangan-undangan hanya muncul dalam ketentuan yang mengatur akuntansi.
Dalam peraturan terkait Keuangan Negara, digunakan istilah hak dan kekayaan negara sebagai bagian dari keuangan negara. Kebijakan Fiskal Kebijakan Fiskal adalah langkah-langkah pemerintah mengelola pengeluaran dan perpajakan atau penggunaan instrumnen fiskal untuk mempengaruhi bekerjanya sistem ekonomi agar memaksimumkan kesejahteraan ekonomi (Madjid, Kemenkeu RI 2012).
Ebijakan fiskal didefinisikan juga sebagai pengelolaan anggaran pemerintah untuk mempengaruhi suatu perekonomian, termasuk kebijakan perpajakan yang dipungut dan dihimpun, pembayaran transfer, pembelian barang-barang dan jasa-jasa oleh pemerintah, serta ukuran defisit dan pembiayaan anggaran, yang mencakup semua level pemerintahan (Govil,2009) Instrumen fiskal adalah perpajakan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan fiskal diterapkan oleh pemerintah sebagai bukti untuk mengatur jalannya perekonomian negara Indonesia. Pengelolaan Aset dalam Kebijakan Fiskal Pengelolaan Aset pemerintah berfokus pada efektifitas Public Service dan efisiensi penggunaan sumber daya. Dalam penggunaan sumber daya maka korelasi terdekat adalah dengan pengeluaran pemerintah. Aset yang signifikan mempengaruhi dalam belanja pemerintah adalah infrastruktur.
Tabel Perbandingan Aset Non Financial dengan Pendapatan Domestik Bruto di Beberapa Negara Eropa dan Australia Untuk Indonesia, dengan memperhatikan kebutuhan pembiayaan maka nilai infrastruktur diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 2 kuadriliun rupiah (dikelola langsung oleh pemerintah).
Tabel Perkiraan Penambahan Nilai Aset Infrastruktur Berdasarkan pengalaman dari negara lain, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi pengeluaran pemerintah dari pengelolaan aset antara lain Financial burden terkait ase t dan Underutilized Aset.1.
- Financial Burden Financial burden adalah beban keuangan yang timbul akibat perawatan, penggantian part, dan penggantian aset untuk menjaga optimalnya fungsi aset.
- Aset pemerintah perlu dikelola mengingat karakteristik aset pemerintah yang memiliki jumlah yang besar.
- Terdapat potensi beban keuangan akibat maintenance, replace, dan replacement.
Hal ini telah terjadi di pemerintah dengan kondisi infrastruktur yang lebih maju dari Indonesia, Cagle (2003) mengungkapkan pemerintah Amerika memiliki masalah financial untuk menjaga sustainability dari aset tersebut. Moodys (2017) bahkan menyebutkan bahwa Negara Bagian yang memiliki infrastruktur seperti jalan dan jembatan menghadapi beban dan kendala dalam memenuhinya dalam penganggaran.
- Besaran beban keuangannya di sembilan negara bagian bervariasi dari dari 1,8% – 5% pendapatan negara bagian tersebut.
- Untuk Indonesia, Pusat Kajian Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dalam Laporan Pemantauan Pelaksanaan Investasi Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum: Kasus Studi Lima Provinsi di Indonesia (2015) mengungkapkan adanya masalah pendanaan akibat biaya yang timbul dari infrastruktur.
Salah satu masalahnya adalah rendahnya kemampuan fiskal pemerintah daerah. Dampak dari hal tersebut adalah tidak dapat efektifknya pelayanan kepada masyarakat karena tidak berfungsinya atau bahkan rusaknya infrastruktur. Dapat terlihat berdasarkan data empiris, permasalahan akan banyak terjadi di pemerintah daerah.
Apasitas fiskal yang tidak merata akan menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah pusat. Pada dasarnya aset pemerintah berupa properti dan investasi yang dibiayai langsung. Financial burden ini akan mengganggu kapasitas fiskal dari sisi pengeluaran karena akan menjadi beban pengeluaran. Dari permasalahan di atas maka diperlukanpengeloalaan aset yang memadai dan strategi financial yang tepat agar aset tetap optimal dan menjadi beban keuangan yang dapat diantisipasi.2.
Underutilized Asset Underutilized aset adalah kondisi dimana aset tidak secara optimal difungsikan. Hal ini terjadi di Amerika pada tahun 2012, Government Audit Office (GAO) di tahun 2012 menyebutkan dalam laporan High Risk bahwa pemerintah federal Amerika perlu meyikapi terkait unutilized asset.
Berdasarkan sampling dari 26 aset diketahui 23 aset merupakan aset yang tidak diutilisasi secara penuh. Underutilized aset pada Pemerintah Federal Amerika sudah terjadi pada tahun 2009, telah terjadi pemborosan (beban operasi) karena underutilized asset sebesar $1.66 billion. Bahkan semenjak tahun 2000-an beberapa departemen pemerintah federal seperti Department of Defense setiap tahun harus menanggung beban keuangan atas underutilized aset mereka sekitar 3-4 juta dolar (Ungar, 2003).
Kesimpulan Pengelolaan aset pemerintah yang berfokus pada efektifitas layanan publik dan efisiensi penggunaan sumber daya menjadi berpengaruh terhadap kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran negara. Karakteristik dari aset negara yang memiliki nilai yang cukup besar menyebabkan aset tersebut harus dijaga fungsinya agar tetap dapat memberikan kontribusi kepada pengguna aset seperti lembaga pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
- Berdasarkan pengalaman negara seperti Amerika, beban keuangan muncul dari financial burden dan underutilized asset.
- Daftar Pustaka Cagle.
- Ron F.2003.
- Infrastructure Asset management: An Emerging Direction.
- AACE International Transaction Audier, Agnes, Sebastian Bard and Licie Robieux.2014.
- The Hidden Value in Government Asset.BCG Perspective.
The Boston Consulting Group. Infrastruktur Butuh Pendanaan dari Swasta Rp 1,7 Kuadriliun. http://databoks.katadata.co.id/datapubl ish/2017/03/23/infrastruktur-butuh-pendanaan-dari-swasta-rp-17-kuadriliun, diakses 20 September 2017 Kamus Besar Bahasa Indonesia.
https://kbbi.kemdikbud.go.id. Moody’s Investors Service.2017. Moody’s: Burden of infrastructure spending increasingly falling on US states. https://www.moodys.com/research/Moodys-Burden-of-infrastructure-spending-increasingly-falling-on-US-states-PR_360866 (diakses 15 September 2017) Institute For Energy Research.2013.
Federal Asset Above and Below Ground. http://instituteforenergyresearch.org/analysis/federa l-assets-above-and-below-ground/ (diakses 22 September 2017)
Apa perbedaan kebijakan fiskal ekspansif dan kontraktif?
Kebijakan Fiskal Kontraktif –
Kebalikan dari kebijakan fiskal ekspansif, kebijakan fiskal kontraktif diberlakukan dengan menurunkan belanja pemerintah dan menaikkan wajib pajak. Diberlakukannya kebijakan fiskal ekspansif adalah untuk mencegah inflasi dan mengurangi rasio gini.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan moneter?
KOMPAS.com – Dalam pemberitaan seputar ekonomi, kebijakan moneter jadi istilah yang kerapkali disinggung, apalagi jika terkait dengan ekonomi makro. Sebagaimana diketahui, kebijakan moneter adalah salah satu kebijakan bank sentral terpenting. Kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang diambil oleh bank sentral dengan tujuan memelihara dan menstabilkan mata uang agar perekonomian negara tersebut tidak anjlok.
Kebijakan moneter adalah instrumen yang dapat dilakukan dengan mengambil tindakan pengendalian jumlah uang yang beredar di masyarakat dan penetapan suku bunga. Tujuan kebijakan moneter adalah untuk pengendalian ekonomi secara makro agar tercipta kestabilan ekonomi dengan mengatur jumlah yang yang beredar.
Kebijakan moneter adalah meliputi langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan oleh bank sentral atau Bank Indonesia untuk dapat mengubah penawaran uang atau mengubah suku bunga yang ada, dengan tujuan untuk memengaruhi pengeluaran dalam perekonomian.
Apa yang menjadi tujuan kebijakan moneter?
Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 dan UU No.6 Tahun 2009 pada pasal 7.
Estabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain.
Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang ( free floating ). Namun, peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF).
Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan ( overriding objective ). Bank Indonesia terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya. Kerangka Kebijakan Moneter Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF).
ITF merupakan suatu kerangka kerja (framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai sasaran operasional.
- Erangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kerangka kebijakan moneter dengan uang primer ( base money ) sebagai sasaran kebijakan moneter.
- Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang mengemuka adalah perlunya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro.
Berdasarkan perkembangan tersebut, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF. Apa itu Flexible ITF? Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi kepada publik, kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking (kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi pada periode yang akan datang karena mempertimbangkan adanya efek tunda/time lag kebijakan moneter).
Akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF. Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu: 1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.3.
Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
- Mengapa Flexible ITF? Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian.
- Ebijakan yang hanya mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai.
- Hal ini dikarenakan penerapan ITF secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009.
Hal ini menyadarkan pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Penerapan ITF untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi kecukupan (necessary but not sufficient). Pascakrisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada dalam kondisi stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan.
Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga dan turut mendukung stabilitas sistem keuangan.
Bagaimana Flexible ITF diterapkan? Pencapaian overriding objective ITF dan Flexible ITF adalah sama, yaitu pengendalian inflasi. Dimensi baru sejak krisis keuangan global adalah perkembangan peran bank sentral dalam turut menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga.
Pengejawantahan Flexible ITF adalah adanya ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan kerangka stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan instrumen bauran kebijakan moneter, makroprudensial, nilai tukar, aliran modal dan penguatan kelembagaan untuk mengoptimalkan peran kordinasi dan komunikasi kebijakan.
- Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu.
- Sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
- Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan berbagai informasi yang tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan sebagai basis kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini merupakan implikasi dari adanya efek tunda/time lag kebijakan moneter sehingga target dalam pelaksanaan kebijakaan moneter didasarkan pada perkiraan inflasi ke depan.
- Upaya pencapaian target tersebut dilakukan melalui respons bauran kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas.
- Bank Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas tersebut secara reguler kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Pemerintah.
- Secara reguler, Bank Indonesia juga menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan yang diambil, serta arah kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai dengan sasarannya (forward guidance).
Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aspek transparansi namun juga penting dalam memperkuat kredibilitas Bank Indonesia sehingga kebijakan yang ditempuh menjadi lebih efektif. Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank Indonesia menetapkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI 7DRR) sebagai suku bunga kebijakan yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai dengan sasaran.
Penggunaan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara dengan dengan instrumen moneter 12 bulan. Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya.
Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal arah kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga, mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.
Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip. Pertama, reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap menerapkan Flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter yang sedang ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia.
Keempat, penentuan suku bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan sasarannya.
- Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar.
- Ebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar.
- Ebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas), melalui strategi triple intervention.
Strategi triple intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar spot, pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi triple intervention dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.
- Implementasi Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar.
- Ebijakan nilai tukar ditempuh Bank Indonesia untuk mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar.
- Ebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas) melalui intervensi jual di pasar spot, pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Strategi ini dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah. Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, khususnya dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama diarahkan untuk menjaga keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk stabilisasi harga pangan guna mendukung terkendalinya inflasi.
Koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah juga dilakukan dalam rangka memperkuat stabilitas sistem keuangan. Melalui komite Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan langkah koordinasi dan memberikan rekomendasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan.
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.
- Proses tersebut atau transmisi dari keputusan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut melalui berbagai channel dan memerlukan waktu ( time lag ).
- Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu ( time lag ).
- Time lag masing-masing jalur bisa berbeda.
Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons kenaikan/penurunan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Namun demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan lebih lambat.
Sebaliknya, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.
Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan perbankan, serta sektor riil. Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ketat melalui peningkatan suku bunga yang berdampak pada permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi.
- Sebaliknya, penurunan suku bunga BI 7DRR akan menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga meningkat.
- Penurunan suku bunga kredit juga menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi.
- Hal ini meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi sehingga mendorong perekonomian.
Perubahan suku bunga BI 7DRR dapat memengaruhi nilai tukar (jalur nilai tukar). Kenaikan BI 7DRR, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia, karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Apresiasi nilai tukar tersebut akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi, sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.
Hal ini akan mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi. Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi publik terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi.
Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga. Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons kenaikan/penurunan BI 7DRR dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan.
- Namun demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI 7DRR akan lebih lambat.
- Sebaliknya, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit.
Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan perbankan, serta sektor riil.
Apa perbedaan fungsi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal?
Berkembang atau majunya suatu negara dapat dilihat dari tingkat ekonominya. Suatu negara yang mampu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan menjaga stabilitas ekonominya, maka negara tersebut dapat dikategorikan sebagai negara maju. Artinya, negara tersebut telah berada pada titik kemandirian ekonomi.
Demikian pula sebaliknya. Sektor ekonomi tidaklah pasti, karena dipengaruhi oleh beragam faktor baik internal maupun eksternal. Pengaruh dari sisi internal cenderung lebih mudah diantisipasi dan diatasi, namun tidak dengan pengaruh eksternal. Faktor-faktor eksternal seperti mekanisme pasar, permintaan pasar, dan persaingan akan sulit dikendalikan.
Sebab itu, negara memiliki dua perangkat kebijakan yang bisa dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi, yaitu kebijakan fiskal dan moneter. Definisi kebijakan fiskal dan moneter Kebijakan fiskal merupakan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengelola dan mengarahkan perekonomian agar bergerak ke arah yang lebih baik atau yang diinginkan dengan cara mengatur penerimaan di sektor pajak dan pengeluaran pemerintah guna mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian.
- Sementara kebijakan moneter dapat dipahami sebagai langkah-langkah yang dilakukan oleh bank sentral untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai mata uang melalui pengendalian jumlah uang beredar dan penetapan suku bunga.
- Ada kalanya perekonomian suatu negara mengalami masa redup, di mana tingkat pengangguran tinggi dan daya beli masyarakat rendah.
Jika dibiarkan berlangsung terus-menerus, maka perekonomian negara bisa semakin terpuruk sehingga mengalami krisis. Di saat inilah, kebijakan fiskal mengambil peranan. Dengan menurunkan atau mengurangi pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah, perekonomian bisa berangsur membaik.
- Logikanya, jika pungutan pajak berkurang, maka pendapatan yang diperoleh masyarakat tidak banyak tersita untuk beban pajak, sehingga daya beli masyarakat bisa terdongkrak naik.
- Tak hanya dengan kebijakan fiskal, tingginya tingkat pengangguran yang mengakibatkan daya beli rendah juga dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan moneter.
Bank sentral yakni Bank Indonesia dapat menurunkan tingkat suku bunga guna menarik minat investor untuk menambah penanaman modal. Pada prinsipnya, penerapan kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal yang mencakup pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, dan pemerataan pembangunan dengan keseimbangan eksternal yaitu neraca pembayaran internasional. Perbedaan kebijakan fiskal dan moneter Baik kebijakan fiskal maupun moneter merupakan kebijakan ekonomi yang tujuannya sama-sama untuk menjaga stabilitas ekonomi negara sehingga tercipta pembangunan yang merata. Namun, kedua jenis kebijakan ekonomi tersebut tidaklah sama, bahkan memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Pelaku kebijakan
Dilihat dari sisi pelaku kebijakannya, kebijakan fiskal dengan moneter jelas berbeda. Kebijakan fiskal dilakukan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan moneter dilakukan oleh bank sentral (Bank Indonesia). Meski tak tertutup kemungkinan bahwa pemerintah pun bisa turut andil dalam kebijakan moneter.
Berkenaan dengan turut campurnya pemerintah, kebijakan moneter dalam pelaksanaannya dibedakan menjadi dua, yaitu: – Kebijakan moneter langsung, di mana pemerintah terlibat dalam masalah peredaran jumlah uang dan kredit perbankan. – Kebijakan moneter tidak langsung, di mana pemerintah tidak terlibat atau ikut campur yang artinya masalah peredaran uang dan pemberian kredit melalui perbankan hanya dilakukan oleh bank sentral dengan mempengaruhi bank-bank umum.
Lain halnya dengan kebijakan fiskal. Kebijakan tersebut hanya menjadi otoritas dan dilakukan oleh pemerintah saja, tanpa melibatkan bank sentral.
Langkah kebijakan
Ketidakstabilan kondisi ekonomi membutuhkan solusi atau penanganan yang tepat agar stabilitas ekonomi dapat segera dicapai. Sebab itu dibutuhkan langkah-langkah penerapan kebijakan yang tepat. Penerapan langkah-langkah kebijakan baik dalam ranah fiskal maupun moneter tentu harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang sedang dihadapi.
Dalam ranah fiskal, kebijakan ekspansif dilakukan pada saat kondisi ekonomi sedang lesu dimana laju pertumbuhannya rendah dan tingkat pengangguran tinggi. Langkah yang diterapkan adalah meningkatkan pengeluaran atau belanja pemerintah dan menurunkan tarif pajak. Dalam ranah moneter, kebijakan ekspansif diterapkan saat kondisi ekonomi sedang mengalami kelesuan dan angka pengangguran cukup tinggi. Untuk mengatasinya, bank sentral melakukan penambahan jumlah uang beredar di masyarakat.
Kebijakan kontraktif/kontraksioner
Dalam ranah fiskal, kebijakan kontraktif diambil dan diterapkan untuk mengatasi kondisi inflasi yang sangat tinggi. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menurunkan pengeluaran atau belanja pemerintah dan menaikkan tarif pajak. Dalam ranah moneter, kebijakan kontraktif dilakukan saat angka inflasi begitu tinggi. Dengan jumlah uang beredar yang terlalu banyak di masyarakat akan memberikan dampak buruk berupa menurunnya nilai mata uang. Sebab itu, bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang sifatnya kontraktif dengan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Instrumen kebijakan
Perbedaan kebijakan fiskal dengan moneter terletak pada instrumen kebijakannya. Adapun instrumen kebijakan fiskal mencakup:
Anggaran defisit
Defisit merupakan kondisi di mana pengeluaran atau belanja negara lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara. Meski terkesan kurang baik, namun anggaran defisit ini merupakan instrumen yang digunakan pemerintah untuk menerapkan kebijakan fiskal.
Defisit konvensional merupakan bagian dari anggaran defisit yang diperoleh dari selisih realisasi total pembelanjaan dengan realisasi total pengeluaran yang juga memperhitungkan dana hibah. Defisit moneter adalah bagian dari anggaran defisit yang diperoleh dari selisih realisasi total belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran pokok atau utang dengan realisasi total pendapatan tanpa memperhitungkan pendapatan dari utang. Defisit operasional mirip dengan defisit moneter, hanya saja nilai yang diukur berbeda, di mana pada defisit moneter menggunakan nilai nominal, sedangkan defisit operasional menggunakan nilai riil. Defisit primer merupakan bagian dari anggaran defisit yang dihasilkan dari selisih antara realisasi total belanja tanpa memperhitungkan pembayaran pokok dan utang dengan total pendapatan.
Anggaran surplus
Instrumen anggaran surplus kebalikan dari anggaran defisit. Dengan instrumen ini, pemerintah berusaha menciptakan suatu kondisi di mana pendapatan negara yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan pengeluarannya. Umumnya, instrumen anggaran surplus ini akan efektif apabila diterapkan pada saat kondisi ekonomi mulai memanas sehingga dapat menurunkan tekanan permintaan.
Anggaran berimbang
Pemerintah menggunakan instrumen anggaran berimbang untuk menyeimbangkan besar pengeluaran dengan pendapatan negara. Tujuannya agar tercapai disiplin dan kepastian anggaran. Sementara instrumen yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan moneter adalah sebagai berikut.
Operasi pasar terbuka (open market operation)
Instrumen operasi pasar terbuka dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat melalui pembelian atau penjualan surat berharga pemerintah, berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika bank sentral ingin melakukan penambahan jumlah uang beredar, maka langkah yang dilakukan adalah pemerintah membeli surat berharga pemerintah dari masyarakat.
Fasilitas diskonto (discount rate)
Instrumen fasilitas diskonto digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar di masyarakat dengan cara memainkan tingkat suku bunga bank sentral pada bank-bank umum. Untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan menurunkan tingkat suku bunga. Demikian pula sebaliknya.
Rasio cadangan wajib (Reserve requirement ratio)
Instrumen kebijakan moneter lain yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar adalah rasio cadangan wajib. Pada instrumen ini, bank sentral memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Saat ingin menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan menurunkan rasio cadangan wajib.
Kredit selektif
Instrumen kredit selektif digunakan untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan memperketat pemberian kredit. Kebijakan fiskal dan moneter digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi suatu negara. Meski demikian, arah atau lingkup kedua kebijakan tersebut berbeda.
Apa tujuan kebijakan bank sentral?
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.