Pajak Subjektif Yaitu Pajak Yang Pelaksanaannya Memperhatikan?
A). Pajak Subjektif : Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak/keadaan subjeknya. Contohnya: Pajak Penghasilan.
Contents
- 1 Kapan dimulainya pajak subjektif?
- 2 Kapan kewajiban pajak subjektif untuk warisan berakhir?
- 3 Apa saja syarat subjektif?
- 4 Sebutkan untuk pengujian pemenuhan persyaratan subjektif meliputi apa saja?
- 5 Yang dimaksud dengan wajib pajak dan apakah unsur unsur dari tindak pidana perpajakan?
Apa yang dimaksud dengan pajak subjektif?
Pajak Subjektif Adalah – Sumber foto : Easybiz.id Mungkin masih banyak orang yang belum mengenal atau mendengar dua jenis pajak ini. Pajak subjektif dan pajak objektif ini nanti masih akan terbagi menjadi beberapa macam lagi. Di sini pengertian pajak subjektif adalah pungutan yang ditetapkan dari Wajib Pajak perorangan atau pribadi.
Pajak subjektif adalah pajak dimana wajib pajak perorangan yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai syarat administrasi untuk melaksanakan hak serta kewajiban pajak. Jadi pada dasarnya setiap WNI mempunyai kewajiban pajak dan harus membayar pajak. Jika sampai ada kewajiban yang tidak dipenuhi maka WP tersebut akan mendapatkan sanksi.
Artinya di sini pajak subjektif adalah pungutan yang berasal dari Wajib Pajak itu sendiri khususnya untuk WP perorangan yang telah memiliki NPWP. Setiap orang yang sudah memiliki NPWP harus memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan dan hukum perpajakan yang berlaku agar tidak terkena sanksi atau hukuman.
- Pajak yang termasuk jenis pajak subjektif adalah pajak penghasilan atau yang biasa disingkat dengan PPh.
- Pungutan pajak ini berdasarkan pada pendapatan atau penghasilan yang didapatkan oleh Wajib Pajak perorangan dalam satu tahun pajak.
- Baca Juga : Contoh Pajak Langsung dan Tidak Langsung Lengkap Pajak penghasilan ini sendiri biasanya dikenakan kepada WP yang mendapatkan tambahan nilai ekonomis dari pendapatan atau pemasukannya.
PPh ini secara umum dan berdasarkan UU yang berlaku dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Setiap jenisnya mempunyai aturan dan ketentuannya sendiri-sendiri. Sementara itu, ada juga pajak objektif. Ini merupakan pajak yang fokusnya pada penetapan atau pengenaan pungutan pajak yang memperhatikan pribadi dari WP yang menjadi subjek pajak.
Pungutan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan yang ditetapkan objek untuk pajaknya. Besaran atau jumlah pajak untuk pajak subjektif adalah pajak yang dipengaruhi oleh kondisi atau keadaan perorangan yang menjadi subjek pajak. Oleh karena itu pajak objektif ini tarifnya mengikuti atau melihat ketentuan yang sudah diatur dalam UU perpajakan yang berlaku sekarang.
Kriteria dari penghasilan atau pendapatan untuk tarif pajak objektif ini diantaranya:
Orang pribadi atau badan usaha yang menggunakan dan mengkonsumsi BKP atau barang kena pajak. Pajak yang berkaitan dengan pemindahan harta dari dalam negeri ke luar negeri. Pajak atau pungutan atas kekayaan, kepemilikan barang mewah maupun aset yang ada di luar negeri.
Itu dia penjelasan tentang pengertian pajak subjektif dan pajak objektif. Keduanya memang sangat berbeda namun saling berkaitan. Jadi pajak subjektif dan pajak objektif ini dapat dikatakan dua jenis pajak yang saling berhubungan dalam prakteknya.
Apa yang dimaksud dengan pajak subjektif dan berikan contohnya?
Pajak Subjektif dan Pajak Objektif – Kemudian ada jenis pajak yang digolongkan berdasarkan sifatnya yakni pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan pajak objektif berpangkal kepada objeknya.
- Suatu pungutan disebut pajak subjektif karena memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
- Contoh pajak subjektif adalah pajak penghasilan (PPh) yang memperhatikan tentang kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan atau uang.
- Pajak objektif merupakan pungutan yang memperhatikan nilai dari objek pajak.
Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari barang yang dikenakan pajak.
Apa itu persyaratan subjektif pajak?
I. UMUM Sistem perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, berkewajiban memberikan pelayanan, penyuluhan, dan pembinaan serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum,agar masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, perlu diberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini mengatur pelaksanaan administrasi perpajakan sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada dasarnya kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan persyaratan subjektif pada ayat ini adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Adapun yang dimaksud dengan persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Ayat (4) Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan pemisahan penghasilan dan harta, dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suaminya. Dalam hal wanita kawin tersebut bermaksud melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya atas namanya sendiri, wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak pisah penghasilan dan harta dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulainya penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pada prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh pemeriksa pajak, maka pengungkapan tersebut harus dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Hal ini disebabkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan harus mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan pemeriksaan. Dengan demikian pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak yang dilakukan setelah Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan akan menyebabkan pengungkapan tersebut tidak tercermin dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Disamping itu, pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilandasi oleh kesadaran sendiri Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Wajib Pajak setelah dilakukan pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan tersendiri tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Contoh: Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2010 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2008. Dalam tahun 2010, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2007 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2007. Ayat (2) Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Pada tanggal 28 Desember 2011, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2013, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2008, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2010, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dan dalam Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2008, 2010, dan 2012. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Dalam rangka melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Banding, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak agar Putusan Banding tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (2) Dalam rangka melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung agar Putusan Peninjauan Kembali tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hubungan istimewa” adalah hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Tahun 1984. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk memberikan pedoman dalam membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu ditegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak membatalkan seluruh kegiatan pemeriksaan yang pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, agar hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka Direktur Jenderal Pajak melanjutkan pemeriksaan yang telah dibatalkan dengan melaksanakan prosedur pemeriksaan yang belum dilakukan berupa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi terhadap Wajib Pajak diterbitkan surat ketetapan pajak Kurang Bayar. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Ayat (3) Ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang merupakan ketetapan yang diterbitkan karena kealpaan yang pertama kali dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang. Ketetapan pajak tersebut bukan merupakan ketetapan pajak hasil pemeriksaan berdasarkan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ketetapan pajak dalam Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang. Terhadap ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak diwajibkan untuk melunasinya. Oleh karena itu, ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang – Undang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang ataupun diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam penyelesaian proses keberatan, Wajib Pajak memiliki hak untuk hadir dan memberi keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan, sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Permintaan Untuk Hadir. Surat Pemberitahuan Untuk Hadir merupakan surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan. Ayat (4) Ketentuan pada ayat ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang apabila keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dicabut oleh Wajib Pajak. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk memberikan kepastian hukum tentang penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar akibat keputusan keberatan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar juga dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) seperti halnya jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Pasal 22 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kepastian hukum agar Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan atau surat keputusan sehubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pembetulan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini meliputi juga pembetulan terhadap : a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); b. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; c. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan; f. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar; g. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan; h. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar; i. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil; j. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; atau k. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Ayat (2) Pada prinsipnya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan lain dimaksudkan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “surat keputusan lain” antara lain Surat Keputusan Keberatan. Dalam melaksanakan tugas menghitung dan menetapkan pajak, baik dalam menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dapat terjadi adanya kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. Selain itu, kewajiban perpajakan berkesinambungan dan saling mempengaruhi dari Masa Pajak ke Masa Pajak yang lain atau dari Tahun Pajak ke Tahun Pajak yang lain. Dengan demikian, dapat terjadi suatu kesalahan yang ditimbulkan karena penerbitan suatu surat ketetapan pajak atau surat keputusan atas Masa Pajak atau Tahun Pajak, misalnya terdapat koreksi biaya penyusutan, amortisasi, kompensasi kerugian, dan sebagainya. Contoh: PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2008 dengan rugi yang dikompensasikan ke tahun berikutnya Rp200.000.000,00 dan lebih bayar Rp 50.000.000,00. PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 dengan penghasilan neto sebesar Rp 180.000.000,00. Sisa kerugian yang belum dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008 sebesar Rp200.000.000,00 dan terdapat kredit pajak sebesar Rp 35.000.000,00. Dengan demikian Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 menyatakan lebih bayar sebesar Rp35.000.000,00 dan masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp20.000.000,00. Terhadap Wajib Pajak PT A telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2008 dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebesar Rp 15.000.000,00 dan dengan rugi Rp 200.000.000,00, dan Tahun Pajak 2009 dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan dengan rugi Rp20.000.000,00. Atas surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2008, PT A memperoleh Putusan Banding yang menyatakan bahwa permohonan banding Wajib Pajak diterima sebagian, sehingga mengakibatkan rugi yang dapat dikompensasi menjadi lebih kecil dibanding dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang pernah diterbitkan yaitu Rp 150.000.000,00 dan lebih bayar menjadi sebesar Rp 40.000.000,00. Kerugian yang dapat dikompensasikan dalam penghitungan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 menjadi semakin kecil yakni dari Rp 200.000.000,00 menjadi Rp 150.000.000,00. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang, Direktur Jenderal Pajak berwenang membetulkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 yang diakibatkan karena perbedaan kompensasi kerugian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dari rugi sebesar Rp20.000.000,00 menjadi laba sebesar Rp30.000.000,00 (Rugi Rp20.000.000,00 dikurangi dengan pengurangan kompensasi kerugian sebesar Rp50.000.000,00). Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Nihil Tahun 2009 yang pernah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak harus dibetulkan secara jabatan menjadi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Dalam rangka memberi keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk : a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar. c. membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa melakukan prosedur pemeriksaan : 1) penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; dan/atau 2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi suatu surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat juga diberikan terhadap surat ketetapan pajak yang sudah diajukan keberatan namun ditolak dengan alasan tidak memenuhi persyaratan formal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang. Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi suatu Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a ayat ini berlaku juga untuk denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan sanksi administrasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c ayat ini berlaku juga untuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan Wajib Pajak memperoleh imbalan bunga yang seharusnya tidak diterirna sehubungan dengan pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap sebagian jumlah pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang tidak disepakati dalam pembahasan akhir pemeriksaan dan dibayar oleh Wajib Pajak” sebelum mengajukan keberatan, namun dalam surat keputusan keberatan, pengajuan keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 1: Untuk tahun pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00, akan tetapi Wajib Pajak telah melunasi seluruh SKPKB tersebut sebesar Rp1.000.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp600.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp400.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00 – Rp 600.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak Rp400.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga. Demikian halnya, bagi Wajib Pajak yang menyetujui seluruh temuan pemeriksaan dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar tetapi mengajukan keberatan, dan dalam hal keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 2 : Untuk Tahun Pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00, dan telah melunasi seluruh SKPKB tersebut sebesar Rp 1.000.000.000,00. Namun Wajib Pajak kemudian mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut. Atas keberatan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan menolak permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar tetap sebesar Rp1.000.000.000,00. Wajib Pajak kemudian mengajukan banding atas Keputusan Keberatan tersebut. Atas banding Wajib Pajak, Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp700.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp300.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00-Rp700.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp300.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Dalam pengertian jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan oleh negara kepada Wajib Pajak, atau jumlah sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan bertambah. Contoh 1. Terhadap Wajib Pajak diterbitkan suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan nilai Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, bagian yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Terhadap keputusan keberatan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding. Putusan Banding menyatakan bahwa jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yakni pembayaran sebelum mengajukan keberatan dikurangi dengan jumlah yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. Terhadap Putusan Banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Wajib Pajak harus membayar sejumlah sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Keberatan, yakni sebesar Rp70.000.00,00 (tujuh puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) yang terdiri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dilunasi sebelum mengajukan keberatan (Rp70.000.000,00-Rp50.000.000,00= Rp20.000.000,00) dan ditambah dengan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan berdasarkan Putusan Banding (Rp50.000.000,00-Rp40.000.000,00=Rp 10.000.000,00). Contoh 2. Terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar sebesar Rp90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah). Atas Surat Pemberitahuan tersebut diterbitkan sebuah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dengan nilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut, Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tetap sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, dengan Putusan Banding menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar menjadi Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sejumlah Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan kembali menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak hanya dapat diberikan pengembalian lebih bayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat 1 Cukup jelas. Ayat 2 Cukup jelas. Ayat 3 Konsultan pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi surat izin praktek konsultan pajak yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak. Sedangkan seorang kuasa yang bukan konsultan pajak dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III. Seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat ini, dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. Ayat 4 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pejabat” meliputi petugas pajak dan mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud dengan “tenaga ahli” adalah para ahli, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan Undang-Undang perpajakan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak tertentu yang ditunjuk” adalah pihak-pihak yang membutuhkan data perpajakan untuk kepentingan negara misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pada prinsipnya, administrasi perpajakan hanya dipakai untuk tujuan pemungutan/pengumpulan pajak, bukan untuk tujuan lain. Oleh karena itu, pemberian data dan informasi perpajakan oleh pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak kepada para pihak dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang perpajakan misalnya penagihan pajak, gugatan, banding, penyidikan dan penuntutan, dan proses peradilan tindak pidana di bidang perpajakan yang proses penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, tidak memerlukan izin tertulis dari Menteri Keuangan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4797Apa perbedaan antara pajak subjektif dengan pajak objektif?
Pengertian Pajak Objektif – Pajak objektif merupakan kebalikan dari pajak subjektif. Dimana jenis pajak ini tidak melihat kondisi dari Wajib Pajak (WP) yang merupakan subjek pajak. Akan tetapi pajak objektif melihat sifat objek pajaknya. Pada dasarnya, jenis pajak ini fokus pada pengenaan pajak dengan memperhatikan objeknya.
Yang mana bisa berupa benda, keadaan, perbuatan, ataupun sebuah peristiwa yang menyebabkan adanya utang pajak. Konsultan pajak Serpong adalah solusi tepat untuk segala keperluan pajak anda. Sedangkan untuk tarif dari pajak objektif sendiri lebih mengikuti kebijakan Undang-Undang (UU) pajak yang berlaku.
Dimana penentuan tarif tersebut berdasarkan pada kriteria penghasilan yang telah ditentukan. Kriteria dari pajak objektif tersebut, meliputi:
Diperuntukkan bagi orang pribadi atau badan usaha yang melakukan transaksi atas benda kena pajak. Pungutan pajak berhubungan dengan pemindahan harta dari Indonesia ke luar negeri. Pungutan pajak atas kekayaan, kepemilikan barang mewah, ataupun aset di negara lain.
Kapan dimulainya pajak subjektif?
1.2. | Ketentuan Pasal 1 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut : “Pasal 1 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.” Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : |
Pasal 2
(1) | Yang menjadi Subyek Pajak adalah : |
table>
table>
table>
table>
table>
table>
table>
table>
table>
Pasal 2A
(1) | Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. | ||
(2) | Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. | ||
(3) | Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. | ||
(4) | Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. | ||
(5) | Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. | ||
(6) | Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.” |
table>
Pasal 3 Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a. | badan perwakilan negara asing; |
b. | pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; |
c. | organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia; |
d. | pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.” |
/td>
Apa saja yang tidak termasuk subjek pajak?
BUKAN SUBJEK PAJAK – Yang dimaksud bukan adalah: (Pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008)
- kantor perwakilan negara asing;
- pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
- organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
- pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
- Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
- Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
- Organisasi Internasional lainnya (PMK-166/PMK.011/2012)
Apakah PPh termasuk pajak subjektif?
Apa Itu Pajak Subjektif? – Pajak subjektif adalah pungutan yang berasal dari orang pribadi. Dimana orang pribadi tersebut telah dikukuhkan sebagai seorang wajib pajak (WP). Dimana kemudian wajib pajak (WP) tersebut juga telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Dimana hal ini sebagai salah satu syarat administrasi untuk bisa melaksanakan hak serta kewajiban pajaknya.
- Onsultan pajak BSD adalah alternatif tepat untuk setiap permasalahan pajak anda.
- Setiap warga negara berkewajiban untuk membayar pajak.
- Dimana hal ini merupakan kewajiban utama kepada negara sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Apabila seseorang yang telah menjadi wajib pajak (WP) tidak melaksanakan kewajiban pembayaran pajak yang dimilikinya maka mereka bisa ditetapkan telah melanggar ketentuan hukum. Dimana akan ada sanksi yang dikenakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pada dasarnya fokus pengenaan pajak subjektif memperhatikan pribadi dari wajib pajak (WP). Dimana WP tersebut sebagai subjek, dimana kemudian akan ditetapkan objek untuk pajaknya. Yang mana disesuaikan dengan ketentuan undang-undang yang ada. Untuk pengenaan pajak subjektif besaran jumlah pajak terutang dipengaruhi oleh keadaan pribadi dari subjek pajaknya.
Konsultan pajak BSD adalah solusi tepat dan efektif untuk masalah pajak anda. Contoh dari pajak subjektif bisa berupa pajak penghasilan atau PPh. Dimana PPh yang dipungut didasarkan pada penghasilan yang diperoleh wajib pajak (WP). Yang mana WP tersebut sebagai subjek dengan penghasilan dalam satu tahun pajak.
Subjek pajak dalam negeri orang pribadi Subjek pajak dalam negeri yang berbentuk badan Subjek pajak luar negeri yang berbau berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) Subjek pajak luar negeri yang berbentuk selain Badan Usaha Tetap (BUT) Warisan yang belum terbagi
Baca Juga: Pengenaan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
Kapan kewajiban pajak subjektif untuk warisan berakhir?
Dasar Hukum Pasal 2A UU No.7/1983 diubah terakhir dengan UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) Ayat (5): “Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.” Diskusi Warisan yang belum terbagi sebagi satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
Penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris.
Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
- Studi Kasus: · Saya adalah seorang anak tunggal.
- Ayah saya telah meninggal dunia dan mewariskan saya sejumlah uang telah ditabung di bank.
- Apan kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai? Jawaban: Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut.
· Ibu saya telah meninggal dunia dan mewariskan emas miliknya kepada saya sebagai anaknya. Kapan waktu timbulnya warisan yang belum terbagi? Jawaban: Pada saat meinggalnya pewaris. · Ayah saya telah meinggal dunia dan mewariskan simpanan deposito kepada saya sebagi anaknya.
- Apakah pada saat itu pemenuhan kewjajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut? Jawaban: Ya, karena pemenuhan kewajiban perpajakan melekat pada warisan tersebut pada saat pewaris meninggal dunia.
- · Ayah saya telah meninggal dunia dan memberikan warisan kepada saya dan adik kandung saya tabungan bank miliknya.
Kapan kewajiban pajak Ayah saya berakhir? Jawaban: Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada ahli waris. · Ibu saya telah meninggal dunia dan telah membagikan warisannya kepada saya sebagai anak kandung. Apakah pada saat warisan tersebut dibagi kepada saya pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih juga kepada saya? Jawaban: Ya, pada saat warisan tersebut dibagi kepada ahli waris, maka pada saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
Kapan dimulai kewajiban pajak subjektif untuk subjek pajak luar negeri melalui BUT?
Forum : Kapan saat dimulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi wajib pajak BUT di Indonesia? sasihanggreni29 Sep 27, 2022 6:49 AM
Selamat Pagi Rekan Pajakku, mau nanya nih, kapan saat dimulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi wajib pajak BUT di Indonesia? Terima kasih
toaaa Sep 28, 2022 5:06 PM Kewajiban Pajak Subjektif WP BUT dimulai pada saat WP Orang Pribadi/ Badan melakukan usaha atau kegiatan melalui BUT yang dilakukan di Indonesia. Dan berakhir pada saat WP Orang Pribadi atau Badan tidak lagi menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Apa itu keterangan subjektif?
KBBI – Subjektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan sesuatu mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya.
Apa saja syarat subjektif?
Berikut Ini Tata Cara Pendaftaran NPWP Pengertian Wajib Pajak menurut Pasal 1 (2) UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayaran pajak, memotong pajak, memungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pasal 1 (6) UU KUP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak badan dan orang pribadi memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri agar mendapatkan NPWP.
Terdapat dua syarat kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat subjektif adalah syarat yang sesuai dengan aturan yang berkaitan tentang subjek pajak dalam undang – undang pajak penghasilan. Sedangkan syarat objektif adalah syarat bagi subjek pajak yang menerima penghasilan serat diwajibkan melakukan kewajiban perpajakan sesuai dengan aturan perundang – undangan.
- Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat objektif maupun subjektif wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP atau KPP setempat yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk mendapatkan NPWP.
- Pendaftaran NPWP dapat dilakukan secara online melalui dengan menyiapkan alamat email, NIK untuk Wajib Pajak orang pribadi, dan nomor telepon, lalu lakukan pengisian identitas diri serta hal lainnya.
Jika sudah melakukan pendaftaran secara online, maka NPWP elektronik langsung didapatkan. Sedangkan NPWP fisik yang berupa kartu dapat diambil di KPP yang terdaftar. Ketika sudah memiliki NPWP maka memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Surat Pemberitahuan Tahunan dapat disampaikan melalui website dengan benar, lengkap, dan jelas. Batas pelaporan SPT untuk Wajib Pajak orang pribadi paling lambat tanggal 31 Maret dan untuk Wajib Pajak badan paling lambat tanggal 30 April. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif diwajibkan untuk memiliki NPWP.
Pendaftaran NPWP dapat dilakukan dengan datang ke kantor DJP atau KPP setempat dan bisa dilakukan pendaftaran secara online, : Berikut Ini Tata Cara Pendaftaran NPWP
Seri KUP – Verifikasi Dalam Rangka Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
- Tujuan di antaranya adalah untuk mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan, mengukuhkan PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak, dan mecabutan pengukuhan PKP, baik secara jabatan maupun atas dasar permohonan PKP.
- Pengukuhan PKP Secara Jabatan
dalam rangka mengukuhkan PKP secara jabatan dilakukan terhadap WP orang pribadi sebagai Pengusaha, dan/atau WP orang pribadi dan badan sebagai Pengusaha, sesuai hasil kegiatan ekstensifikasi yang dilakukan secara massal, yang berdasarkan data dan informasi menunjukkan telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Termasuk hasil kegiatan ekstensifikasi adalah hasil kegiatan sensus pajak nasional. Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP secara jabatan ini dilakukan untuk menentukan kebenaran pemenuhan persyaratan subjektif dan objektif sebagai PKP. Dengan demikian terdapat dua kegiatan yang dicakup dalam Verifikasi untuk mengukuhkan PKP secara jabatan ini yaitu pengujian pemenuhan persyaratan subjektif dan pengujian pemenuhan persyaratan objektif.
Pengujian pemenuhan persyaratan subjektif meliputi:
- pengujian atas kelengkapan dokumen terkait dengan identitas Pengusaha, antara lain KTP Pengusaha, KTP Pengurus, akta pendirian, dan surat keterangan domisili; dan
- pengujian atas kebenaran status Pengusaha, kebenaran alamat Pengusaha, dan kebenaran keberadaan Pengusaha yang bersangkutan di alamat tersebut, antara lain peta lokasi kegiatan usaha, dan foto tempat kegiatan usaha.
Sementara itu, pemenuhan persyaratan objektif meliputi kegiatan sebagai berikut.
- pengujian atas kelengkapan dokumen izin kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya surat izin usaha perdagangan dan surat izin usaha jasa konstruksi; dan
- pengujian terhadap kesesuaian antara dokumen izin kegiatan usaha dengan kegiatan usaha yang dilakukan untuk memperoleh informasi antara lain mengenai gambaran kegiatan usaha, data peredaran usaha, dan daftar harta di tempat kegiatan usaha.
Pengukuhan PKP Berdasarkan Permohonan Verifikasi dalam rangka mengukuhkan PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak dilakukan terhadap WP orang pribadi sebagai Pengusaha, termasuk WP orang pribadi pengusaha tertentu atau WP badan sebagai Pengusaha yang mengajukan permohonan untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP atas permohonan ini dilakukan untuk menentukan kebenaran pemenuhan persyaratan subjektif dan objektif sebagai PKP. Dengan demikian terdapat dua kegiatan yang dicakup dalam Verifikasi untuk mengukuhkan PKP secara jabatan ini yaitu pengujian pemenuhan persyaratan subjektif dan pengujian pemenuhan persyaratan objektif sebagaimana diuraikan di atas.
Pencabutan Pengukuhan PKP Verifikasi dalam rangka mencabut pengukuhan PKP secara jabatan atau berdasarkan permohonan PKP terhadap:
- PKP orang pribadi yang telah meninggal dunia;
- PKP telah dipusatkan tempat terutangnya PPN di tempat lain;
- PKP yang pindah alamat tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya;
- PKP yang jumlah peredaran usaha dan/atau penerimaan brutonya untuk 1 (satu) tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran usaha dan/atau penerimaan bruto untuk pengusaha kecil dan tidak memilih untuk menjadi PKP;
- PKP selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif (non efektif) dan secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha;
- Pengusaha Kena Pajak yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember;
- PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang pajak keluaran dan pajak masukannya nihil untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember; atau
- PKP bentuk usaha tetap (BUT) yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
- Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan juga dapat dilaksanakan setelah Dirjen Pajak melakukan Verifikasi atas hasil sensus pajak nasional, hasil konfirmasi lapangan setelah pengukuhan PKP, atau hasil kegiatan lain yang dilaksanakan oleh Dirjen Pajak.
- Verifikasi dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP dilakukan untuk tertib administrasi dan/atau menguji pemenuhan persyaratan subjektif dan objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak.
- Pelaksanaan Verifikasi
- Pelaksanaan Verifikasi terhadap Pengusaha Kena Pajak dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
- Pencocokan terhadap data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki oleh Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa WP sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif;
- Konfirmasi lapangan terhadap tempat kedudukan atau kegiatan usaha; dan/atau
- Pengujian terhadap jumlah nilai peredaran bruto atas penyerahan BKP atau JKP yang dilakukan oleh WP telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil.
Kegiatan verifikasi dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP baik secara jabatan maupun atas permohonan PKP dilakukan oleh petugas Verifikasi yang dilakukan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi dan Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Petugas Verifikasi sendiri merupakan PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Verifikasi.
- penugasan Verifikasi;
- identitas Wajib Pajak;
- tujuan Verifikasi;
- uraian hasil Verifikasi;
- simpulan dan usul petugas Verifikasi; dan
- pengungkapan informasi lain yang terkait.
: Seri KUP – Verifikasi Dalam Rangka Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Mengapa pajak penghasilan disebut pajak subjektif?
Pajak Penghasilan (PPh) tergolong sebagai pajak subjektif yaitu pajak yang mempertimbangkan keadaan pribadi Wajib Pajak sebagai faktor utama dalam pengenaan pajak. Keadaan pribadi Wajib Pajak yang tercermin pada kemampuannya untuk membayar pajak atau daya pikulnya, ikut dipertimbangkan dan dijadikan sebagai dasar utama dalam menentukan berapa besarnya jumlah pajak yang dapat dibebankan kepadanya.
Pajak Subjektif dan Pajak Objektif –
- Kemudian ada jenis pajak yang digolongkan berdasarkan sifatnya yakni pajak subjektif dan pajak objektif.
- Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan pajak objektif berpangkal kepada objeknya.
- Suatu pungutan disebut pajak subjektif karena memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
- Contoh pajak subjektif adalah pajak penghasilan (PPh) yang memperhatikan tentang kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan atau uang.
- Pajak objektif merupakan pungutan yang memperhatikan nilai dari objek pajak.
- Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari barang yang dikenakan pajak.
Kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif kapan dimulai dan kapan berakhir?
Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif, dimana pengenaan pajak dimulai dengan menentukan subjek pajaknya, baru ditentukan objek pajaknya. Oleh karena itu, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.Dalam hukum pajak, dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak dikenal dengan memiliki kewajiban pajak subjektif, sedangkan jika sudah menerima atau memperoleh penghasilan (bagi orang pribadi dalam negeri besarnya melebihi biaya hidup minimal) disebut memiliki kewajiban pajak objektif.
Agar dapat dikenakan Pajak Penghasilan harus dipenuhi dua syarat, yaitu adanya kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif. Subjek pajak yang memiliki kewajiban pajak objektif disebut wajib pajak. Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif diatur pada Pasal 2A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Selain itu, diatur juga dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2011.Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia.
Ewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-selamanya. Namun, Peraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2011 menyatakan bahwa orang pribadi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dianggap tidak bertempat tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk di luar negeri, yaitu:- green Card- identity card- student card- pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri- surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri- tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempatKewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan tersebut, yaitu pada saat pewaris meninggal dunia. Selanjutnya, kewajiban pajak subjektif warisan tersebut berakhir pada saat selesainya warisan tersebut dibagi, dimana kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli warisnya.
Kewajiban pajak subjektif dari subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia, dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak berada lagi di Indonesia. Sedangkan subjek pajak luar negeri yang memperoleh/menerima penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak adanya hubungan ekonomis dengan Indonesia dan berakhir pada saat tidak ada lagi hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Yang dimaksud adanya hubungan ekonomis dengan Indonesia adalah subjek pajak tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.Seringkali kewajiban pajak subjektif dimulai tidak dari awal tahun kalender, atau berakhir pada pertengahan tahun.
A. SPDN B. SPLN atau per kategori sebagai berikut:
1. Orang Pribadi A. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia kewajiban subjektifnya dimulai pada saat dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.dan kewajiban subjektifnya berakhir pada saat meninggal dunia.B. Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari atau berada di Indonesia dan punya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban subjektifnya dimulai pada saat hari pertama beradadi Indonesia, dan berakhir pada saat meniggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.2.
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Dimulai pada saat meninggalnya sang pewaris.dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagikan kepada ahli warisnya.3.
- Badan Dimulai pada saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.1.
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau di Indoneisa kurang dari 183 hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia tetapi memperoleh penghasilan dengan bekerja pada perusahaan atau berinvestasi di Indonesia.
- Dimulai pada saat orang pribadi tersebut memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia,, dan berakhir pada saat orang pribadi tersebut tidak lagi memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia.
- Badan juga demikian adanya.2.
- SPLN yang memperoleh penghasilan di Indonesia dengan menjalankan usaha / melakukan kegiatan melalui BUT Dimulai pada saat orang pribadi tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Berakhir pada saat orng pribadi tersebut tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Saat bermula dan dan berakhir kewajiban pajak subjektif 1. Orang Pribadi Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia.
- Ewajiban pajak subjektif orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia.
- Ewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-selamanya.2.
Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan tersebut, yaitu pada saat pewaris meninggal dunia. Selanjutnya, kewajiban pajak subjektif warisan tersebut berakhir pada saat selesainya warisan tersebut dibagi, dimana kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli warisnya.3.
- Badan Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia 4.
- Bentuk Usaha Tetap (BUT) Kewajiban pajak subjektif dari subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia, dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak berada lagi di Indonesia.
Sedangkan subjek pajak luar negeri yang memperoleh/menerima penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak adanya hubungan ekonomis dengan Indonesia dan berakhir pada saat tidak ada lagi hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Apa yang dimaksud pajak objektif?
Apa Itu Pajak Objektif? – Pajak objektif adalah jenis pajak yang tidak melihat kondisi wajib pajak (WP). Namun dalam pajak objektif yang diperhatikan yaitu sifat dari objek pajaknya. Dimana pada dasarnya pajak objektif ini fokus dalam pengenaannya memperhatikan objek pajaknya.
- Baik itu yang berupa benda, keadaan, perbuatan, maupun peristiwa yang dapat menyebabkan adanya pajak terutang.
- Barulah kemudian akan ditetapkan subjek pajaknya.
- Dalam pajak objektif tidak dipersoalkan apakah subjek pajak tersebut berada di Indonesia atau di luar Indonesia.
- Sedangkan untuk tarif pajak objektif yang dikenakan, lebih mengikuti kepada kebijakan undang-undang yang berlaku.
Secara lebih lanjut, kriteria penghasilan untuk pajak objektif meliputi:
Diperuntukkan bagi orang pribadi atau badan usaha yang memakai atau melaksanakan suatu kegiatan transaksi atas benda kena pajak (BKP). Pungutan pajak berhubungan dengan pemindahan harta dari Indonesia ke luar negeri, Pungutan pajak atas kekayaan kepemilikan barang mewah ataupun aset yang ada di negara lain.
Sementara itu, contoh pajak objektif terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi bangunan (PBB) serta pajak penjualan atas barang mewah PPnBM. Konsultan pajak BSD adalah partner terbaik untuk mengurus setiap masalah administrasi perpajakan anda.
Apa yang dimaksud pajak bersifat objektif?
Contoh Jenis-jenis Pajak Pusat dan Pajak Daerah – Berikut ini pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat:
- Pajak Penghasilan (PPh)
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
- Bea Materai
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB perkebunan, Perhutanan, Pertambangan)
Berikut ini pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah: 1. Pajak provinsi terdiri dari:
- Pajak Kendaraan Bermotor.
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
- Pajak Air Permukaan.
- Pajak Rokok.
2. Pajak kabupaten/kota terdiri dari:
- Pajak Hotel.
- Pajak Restoran.
- Pajak Hiburan.
- Pajak Reklame.
- Pajak Penerangan Jalan.
- Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan.
- Pajak Parkir.
- Pajak Air Tanah.
- Pajak Sarang Burung Walet.
- Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
- Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
- Sekadar informasi saja, mulai tahun 2014, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan masuk dalam kategori pajak daerah. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan masih tetap merupakan pajak pusat.
- (Sumber : Pajak.go.id)
: JENIS JENIS PAJAK DI INDONESIA
Yang dimaksud dengan wajib pajak dan apakah unsur unsur dari tindak pidana perpajakan?
Unsur ‘Setiap Orang’ dan Ultimatum Remedium dalam Pidana Pajak Hukum pajak mengatur hubungan antara negara sebagai pemegang yurisdiksi pemajakan dengan warga negara sebagai pembayar pajak dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Hukum Pajak termasuk Hukum Publik dan tergolong dalam Hukum Tata Usaha Negara (Anshari Ritonga, 2017, Pengantar Ilmu Hukum Pajak & Perpajakan Indonesia).
Sejak 1984, Indonesia menerapkan sistem administrasi pajak modern self assessment yang berdasarkan pada voluntary compliance. Sistem pajak ini mempercayakan inisiasi pemajakan pada Wajib Pajak, mulai dari kegiatan penghitungan, pembayaran atau pelunasan pajak terutang, hingga pelaporan ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT).
Inistaitif ini sangat mengurangi banyak kerja komputasi administrasi pajak. Asumsi utang pajak dalam SPT Wajib Pajak benar sesuai undang-undang (UU), pembentukan data basis mikro yang valid, komprehensif dan terintegrasi dalam jaringan elektronik (daring) dilengkapi rekening per pembayar pajak (taxpayer account), maka pengawasan berorientasi deteksi dini ketidakpatuhan dengan pendekatan pre-populated tax return amat optimal dalam mempersempit kesempatan tidak patuh.
- Akibatnya, sistem digitalisasi administrasi pajak daring membuat Wajib Pajak tiada pilihan selain patuh pajak.
- Penyempitan kesempatan tidak patuh, membuat Wajib Pajak dalam sistem self assessment dipaksa patuh dengan sendirinya terhadap sistem pajak.
- Walaupun demikian, pada kehidupan nyata di negara mana pun—terlepas memakai sistem administrasi self assessment plus voluntary compliance atau official assessment plus compulsary compliance—karena pajak jadi beban ekonomisnya maka rasional jika Wajib Pajak selalu tanpa lelah berusaha mengefisienkannya.
Karena itu, sebagai penguat agar pematuhan pajak optimal dan penerimaan APBN dapat maksimal, dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sanksi pidana administrasi diberlakukan untuk memperkuat sanksi administrasi. Sanksi pidana administrasi hanya berlaku terbatas pada Wajib Pajak, pejabat pajak, dan pihak terkait.
- Pasal 1 (1) UU KUP menyebut Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak, dan pemotong pajak, yang punya hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (ketentuan perpajakan).
- Berbeda dengan ketentuan tersebut, delik pidana pajak tidak secara eksplisit menyebut Wajib Pajak, Orang pribadi atau Badan, tetapi beberapa pasal pidana pajak dalam UU KUP menyebut unsur pelaku tindak pidana pajak (dader) bukan langsung Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, tetapi ‘setiap orang’ (Pasal 38, 39, 39A, 41B, dan 43) dan ‘seseorang’ (Pasal 39(2)).
Padahal penjelasan Pasal 38 secara eksplisit menyebut pelaku tindak pidana di bidang perpajakan adalah Wajib Pajak dan Pasal 43 tentang pidana ‘penyertaan’ (delnemingen) pihak lain dalam tindak pidana pajak secara tersurat juga sebut wakil, kuasa, dan pegawai dari Wajib Pajak.
Sebagai UU Tata Cara atau hukum formal/acara perpajakan, tujuan utama UU KUP termasuk memaksimalisasi penerimaan guna pemenuhan jasa publik pemerintah dan menjaga kelancaran arus penerimaan negara. Penambahan sanksi pidana yang berdampak fisik dan finansial dalam UU KUP ditujukan agar efektif menekan Wajib Pajak lebih patuh bayar pajak, bukan untuk memenjarakannya karena malah mengganggu arus penerimaan dan perekonomian negara.
Sebab itu, Penjelasan Pasal 13A UU KUP menyebut pemidanaan sebagai upaya terakhir (last resort, ultimum remedium) peningkatan kepatuhan setelah semua upaya administrasi tidak efektif. Namun, berbagai rumusan ketentuan pidana dalam UU KUP bersifat mendua antara ultimum dan primum remedium.
- Perkembangan Ketentuan Pidana Administrasi Pajak Pelanggaran aturan pajak, apakah administrasi atau tindak pidana (pelanggaran hukum), sudah berlangsung sejak adanya pungutan pajak.
- Badrulzaman dan Agustina (2003, Perbuatan Melawan Hukum) menyebut pelanggaran hukum sebagai tidak melakukan setiap kewajiban atau larangan UU.
Misalnya, tidak memenuhi kewajiban menyampaikan SPT yang diisi dengan benar, lengkap, dan jelas. Jika WAJIB PAJAK tidak melakukan apa-apa (tidak menyampaikan SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dianggap telah melanggar hukum.
Pelanggaran itu dapat berdampak signifikan pada ekonomi (mengganggu pertumbuhan), finansial, atau fiskal (menghambat penerimaan negara), dan sosial-psikologis (sukses pelanggaran pajak dapat menyebar ke berbagai sektor dan membudaya antar generasi). Oleh karena itu, pelanggaran hukum pajak harus dicegah sedini mungkin dan diberantas secara efektif dan efisien.
Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nyatakan ketentuan pemidanaan dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa pidana (yang dapat dikenai hukuman pidana) di luar KUHP, kecuali diatur lain dalam UU tertentu. Karena ketentuan pidana umum KUHP juga dapat diberlakukan pada pelanggaran hukum pajak, maka sampai 1925 belum ada aturan pidana dalam UU Perpajakan (Gunadi, 2016, Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan).
- Baru pada 1925 sejak Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Ord PPs 1925) berlaku, dalam Pasal 47 Ordonansi tersurat ketentuan pidana pajak (untuk perseroan).
- Pasal 47 (1) Ord PPs 1925 berbunyi “barang siapa dengan sengaja memasukkan pemberitahuan (SPT) yang tidak benar atau tidak lengkap, dihukum dengan hukuman penjara paling lama 6 bulan, kalau perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian pada negara’.
Ketentuan pidana dalam pasal ini berisi beberapa unsur pidana, seperti: (i) pelaku, (ii) niat menyengaja, (iii) objek pelanggaran hukum (menyampaikan SPT yang isinya tidak benar dan tidak lengkap); (iv) akibat perbuatan (dapat menimbulkan kerugian pada negara); dan (v) sanksi pidana (hukuman penjara definitif paling lama 6 bulan).
- Unsur ‘barang siapa’ merujuk pada manusia biologis sebagai pelaku, padahal ketentuan pidana itu tertuju pada subjek hukum perseroan sebagai manusia hukum atau recht person yang secara perdata juga menjadi subjek hukum pemangku hak dan kewajiban hukum.
- Delik pidana pajak tidak langsung merujuk pada perseroan sebagai pelaku pelanggaran, tetapi karena terkait penyampaian SPT, yang oleh Pasal 17 (1) Ord PPs 1925 langsung wajib dipenuhi oleh pengurus.
Pasal 17 (1) menyatakan pengurus dari perseroan yang telah diserahi SPT wajib mengisi dan menandatangani surat tersebut dengan jelas, pasti dan benar. Karena subjek hukum pendukung kewajiban penyampaian SPT adalah pengurus perseroan (manusia biologis) bukan perseroannya (manusia hukum), maka tepatlah jika penanggung jawab pelaku pelanggaran hukum adalah pengurus manusia biologis perseroan maka dengan rumusan delik pidananya dengan kata ‘barang siapa’.
- Ord PPs 1925 berlaku untuk WAJIB PAJAK perseroan (badan hukum) dan badan lainnya, tetapi rumusan pelaku tindak pidana pajaknya memakai ‘barang siapa’, yaitu pengurus yang diserahi SPT.
- Istilah ‘barang siapa’ menurut KBBI adalah padanan dari istilah ‘siapa saja’ yang merujuk pada orang atau person.
- Istilah ‘barang siapa’ ini dipertahankan dalam ketentuan pidana pajak dalam UU KUP.
Namun, mungkin dari bahasa dirasa kurang eufimistis, dalam UU No 16/2000 istilah ‘barang siapa’ diganti dengan ‘setiap orang’ sehingga tampak elegan dan dipertahankan dalam UU No 28/2007 dan UU No 16/2009. Penafsiran Hukum Pajak Tindak pidana pajak merupakan pelanggaran hukum, karena itu agar berfungsi memberi kepastian dan perlindungan hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum pajak harus ditegakkan (Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum).
Logika hukumnya, jika ada tindak pidana pajak berarti ada akibatnya (kerugian pada pendapatan negara), dan pelaku sendiri atau bersama-sama atau ada yang membantu dalam berbagai bentuknya. Sesuai pasal-pasal pidana dalam UU KUP, pelakunya adalah setiap orang yang karena alpa atau sengaja melakukan pelanggaran hukum perpajakan (tidak memenuhi kewajiban atau melanggar larangan).
Karena beberapa pasal pidana dalam UU KUP memakai istilah ‘setiap orang’, sedang istilah WAJIB PAJAK hanya terdapat dalam penjelasan Pasal 38 dan secara implisit dalam Pasal 43 (tindak pidana penyertaan) untuk memberikan kejelasan dalam pelaksanaan penegakan hukum perlu penafsiran.
Sudikno (2008) sebut penafsiran sebagai salah satu metode penemuan hukum (recht finding) pemberi penjelasan gamblang teks UU agar ruang lingkup norma dapat ditetapkan pada peristiwa tertentu. Beberapa metode penafsiran guna mengetahui makna UU termasuk: (i) gramatikal/bahasa (menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya); (ii) teleologis/sosiologis (menurut masyarakat saat ini, sesuai hubungan dengan situasi sosial yang ada); (iii) sistematis/logis (tiap UU merupakan bagian dari seluruh sistem perundang-undangan maka penafsiran melalui hubungan dengan UU lain atau ketentuan lain dalam UU sama); (iv) historis (penafsiran dengan meneliti riwayat terjadinya UU); (v) komparatif (berdasar perbandingan hukum); (vi) futuristis (berpedoman pada UU yang belum punya kekuatan hukum); dan (vii) restriktif (penafsiran terbatas gramatikal) atau ekstensif (meluas lampaui gramatikal).
Dalam hukum pidana biasanya diikuti penafsiran restriktif. Justifikasi Unsur ‘Setiap Orang’ dalam Pasal Pidana Pajak Sama dengan ketentuan pidana lainnya di Indonesia, sebagai pengikut civil law regime, ketentuan tindak pidana pajak masih ikut paham KUHP umum dengan prinsip badan hukum tidak pernah dapat melakukan perbuatan yang bisa dihukum karena hukum pidana melulu ditujukan pada individu (orang pribadi; Santosa Brotodihardjo, 1971, Pengantar Ilmu Hukum Pajak).
- Pasal 59 KUHP mengakui pelaku tindak pidana adalah manusia (natuurlijk persoon, natural person).
- Zainal Abidin Farid (2007, Hukum Pidana I) mengelaborasi berbagai sebutan hukum manusia, seperti: seorang, setiap orang, barang siapa, mereka, warga negara, Wajib pajak, penanggung pajak, setiap pejabat, pejabat atau tenaga ahli, nakhoda dan penumpang, atau redaksi lainnya.
Dalam ranah hukum, para pelaku tindak pidana disebut subjek hukum pidana, yaitu manusia (orang biologis alami, atau dalam UU Pajak disebut orang pribadi). Tiga unsur hukum pidana (Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat) adalah: sifat melawan hukum (unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana (straf).
JE Sahetapy dan Agustinus Pohan (Hukum Pidana) menyebut korporasi tidak bisa berbuat sendiri tetapi memerlukan pimpinan atau pengurus atau wakil untuk melakukannya sehingga pelaku tindak pidananya adalah mereka. Kedudukan Badan dalam Ketentuan Pidana Pajak Pasal 2 KUHP menyatakan ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan untuk setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di negeri ini.
Walaupun dalam hukum pajak internasional terminologi orang (person) diartikan termasuk individu dan badan, dan Zainal Abidin Farid (2007) mengelaborasi istilah ‘setiap orang’ termasuk Wajib Pajak (mencakup orang pribadi dan badan), tetapi Anshari Ritonga (2017) menyebut bahwa dalam hukum pajak lebih condong memaknai istilah ‘setiap orang ‘ sebagai orang pribadi.
- Arena Pasal 123 dan 124 KUHPer menyebut tujuan tiap perserikatan yang terbentuk dari persetujuan/UU bertujuan memberi/berbuat sesuatu atau tidak berbuat, maka secara perdata badan atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang punya hak dan kewajiban hukum.
- Eberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pajak di Indonesia sudah diusulkan dalam RUU KUP yang akan dibahas di DPR.
Namun, sebagai Wajib Pajak jika Badan lalai (Pasal 38) atau sengaja (Pasal 39) menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dapat dipidana kurungan paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun atau denda paling sedikit sekali dan paling banyak dua kali pajak kurang dibayar (kalau alpa); atau pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali dan paling banyak empat kali (kalau sengaja).
Pertanyaannya, kalau Badan itu bisa dipidana lalu siapa yang akan menjalani hukuman badan dan akan membayar pidana dendanya? Pasal 32 (1) UU KUP menyatakan dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai ketentuan perpajakan badan diwakili pengurus, sedang ayat (2) menyebut sebagai wakil badan bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran utang pajak.
Sebagai manusia biologis, pengurus dapat memenuhi pidana kurungan atau penjara, sedang yang memenuhi pidana denda adalah badan hukumnya atau bahkan seara pribadi dan/atau renteng pengurus juga berkewajiban. Prinsip Ultimum Remedium vs Primum Remedium Pidana Pajak Sebagai UU Tata Cara atau Acara Perpajakan, tujuan utama UU KUP termasuk memaksimalkan penerimaan guna penyediaan jasa publik pemerintah dan menjaga kelancaran arus pemerimaan negara.
Penambahan sanksi pidana dengan dampak fisik dan finansial dalam UU KUP dimaksudkan agar efektif dapat menekan Wajib Pajak mematuhi kewajiban bayar pajak, bukan untuk memidanakannya yang justru mengganggu arus penerimaan dan perekonomian negara. Karena itu, penjelasan Pasal 13 A UU KUP menyebut pemidanaan sebagai upaya terakhir (last resort, ultimum remedium) peningkatan kepatuhan setelah semua upaya administrasi yang dilaksanakan tidak efektif.
Sebaliknya, jika pemidanaan pajak dipakai sebagai pintu pertama penegakan hukum maka disebut primum remedium. Prof Qodri Sitompul dan Prof Eddy O S Hiariej (2018, FGD di UGM) meragukan apakah ultimum remedium yang tersurat dalam penjelasan Pasal 13A yang hanya menyangkut pidana alpa itu sebagai prinsip yang diikuti dalam pemidanaan pajak atau hanya istilah saja? Kalau prinsip, mengapa tidak tercantum dalam batang tubuh (lex scripta) dengan jelas (lex certa) dan pasti (lex stricta) serta ketat dan restriktif? Rumusan sanksi pidana Pasal 38 UU KUP dengan klausul ‘atau’ bersifat alternatif mewakili prinsip ultimum remedium, sedangkan sanksi Pasal 39 dengan klausul ‘dan’ bersifat kumulatif dan klausul min-max (indefinite sentence) mewakili kelompok primum remedium (pemidanaan sebagai tindakan pertama penegakan hukum).
Apakah pembentuk UU memang bermaksud menjadikan pidana alpa Pasal 38 sebagai ultimum remedium, sedang pidana sengaja Pasal 39 menjadi primum remedium? Walaupun saat ini istilah ‘setiap orang’ lebih condong dimaknai sebagai manusia biologis pelaku tindak pidana pajak, namun dalam praktik putusan pengadilan (Mahkamah Agung) berdasar prinsip corporate liability dan vicarious liability pengurus dan pegawai badan (sebagai manusia biologis) dan badan hukum (sebagai recht person) sudah sama-sama dikenai pidana (penjara untuk pengurus, denda untuk badan hukumnya).
Dengan UU KUP yang baru, yang sudah sesuai dengan spirit PERMA No 13/2016, jika tidak ada hambatan, badan akan menjadi subjek hukum pidana seperti setiap orang. Keberadaan Pasal 8 (3) UU KUP (voluntary disclosure dengan dekriminalisasi pidana alpa), Pasal 13A (dekriminalisasi pidana alpa dan sengaja), serta Pasal 44B (deponering penuntutan pidana) merupakan tendensi kecenderungan pemberlakuan prinsip ultimum remedium pidana pajak.
Agar pengutamaan prinsip ini semakin terang benderang hendaknya tertulis eksplisit dalam batang tubuh UU, dan rumusan sanksi dalam UU KUP hendaknya secara totalitas harus mengisyaratkan pemberlakuan ultimum remedium dan prinsip ne bis in idem secara konsisten dan konsekuen. Eksistensi Pasal 13 (5) dan 15 (4), penerbitan ketetapan pajak setelah putusan final pidana pajak, sebagai restorasi Pasal 51 Ord PPs 1925 yang oleh para hakim zaman Majelis Pertimbangan Pajak tidak bermasalah, yang sekarang beberapa hakim menganggap prinsip ne bis in idem perlu dipertimbangkan kembali.
Karena peniadaan Pasal 13 (5) dan 15 (4) UU KUP akan dapat merugikan pendapatan negara (ada pokok pajak tidak tertagih) sehingga tidak sejalan dengan tujuan penambahan sanksi pidana administrasi dalam UU KUP. Begitu juga pengenaan hukuman subsider atas denda pidana yang tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan pajak perlu ditimbang kembali oleh pengadilan.