Sebutkan Wajib Pajak Yang Dipotong Pph Pasal 21?

Sebutkan Wajib Pajak Yang Dipotong Pph Pasal 21
Jenis Penghasilan yang Termasuk PKP dan PTKP –

  • Selain termasuk dalam kategori subjek pajak, pekerja yang penghasilannya wajib dikenai PPh 21 juga harus memenuhi jumlah minimum penghasilan per tahun hingga termasuk kedalam kategori Penghasilan Kena Pajak atau PKP.
  • Jumlah penghasilan yang dianggap PKP adalah hasil selisih dari jumlah penghasilan Anda per tahun setelah dikurangi jumlah penghasilan yang masuk ke dalam syarat Penghasilan Tidak Kena Pajak atau PTKP.
  • Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK), jumlah penghasilan yang dianggap PTKP berbeda tergantung dari banyaknya tanggungan yang dimiliki pekerja tersebut:
  1. PTKP Wajib Pajak (WP) orang pribadi adalah Rp54.000.000
  2. PTKP bagi WP yang sudah kawin mendapat tambahan sebesar Rp4.500.000
  3. PTKP untuk seorang istri yang penghasilannya secara pajak digabung dengan penghasilan suami adalah Rp54.000.000
  4. PTKP untuk tanggungan, dengan besaran untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda yang berada dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga mendapat tambahan sebesar Rp4.500.000

‍ PTKP yang baru ini membuat semakin banyak tanggungan yang dimiliki sebuah keluarga, semakin tinggi pula batas minimum kena pajak yang dibebankan. Sehingga keluarga yang memiliki banyak tanggungan mendapatkan keringanan jika dibandingkan dengan pekerja yang tak memiliki tanggungan sama sekali. Jika dirinci lebih lanjut, cakupan PTKP baru menjadi seperti ini: ‍

Golongan Jumlah Tanggungan (0, 1, 2, 3) Tarif PTKP (penghasilan pertahun < atau =)
Tidak Kawin (TK) TK 0 Rp 54.000.000
TK 1 Rp 58.500.000
TK 2 Rp 63.000.000
TK 3 Rp 67.500.000
Kawin (K) K 0 Rp 58.500.000
K 1 Rp 63.000.000
K 2 Rp 67.500.000
K 3 Rp 72.000.000
Kawin Dengan Penghasilan Digabung Dengan Istri (K/I) K/I 0 Rp 112.500.000
K/I 1 Rp 117.000.000
K/I 2 Rp 121.500.000
K/I 3 Rp 127.000.000

Jika penghasilan Anda di bawah dari jumlah syarat PTKP seperti di atas, maka anda tidak diwajibkan untuk membayar PPh 21. Sementara jika penghasilan Anda masih dapat dikurangi dengan PTKP di atas sehingga masuk ke dalam kategori PKP, maka penghasilan Anda akan dikenai PPh 21.

‍ Itulah arti dari PPh 21 dan siapa saja yang wajib membayarnya. Karena bisa dibilang cukup rumit, beberapa perusahaan menggunakan software HRIS seperti CATAPA untuk menghitung tarif PPh 21 karyawan secara otomatis, sehingga proses penggajian karyawan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. ‍ Tertarik menggunakan CATAPA untuk menghitung otomatis potongan PPh 21 karyawan perusahaan Anda? Coba saja dulu, Gratis,,

: Apa Itu PPh 21 dan Siapa Saja yang Wajib Membayarnya?

Siapa saja yang wajib memotong PPh pasal 21?

PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan : 1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. 6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut. 7. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun. 8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun. 9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. 10. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh ( full time ) dalam pekerjaan tersebut. 11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. 12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. 13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya ( workshop ), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut. 14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. 15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. 16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tandem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun. 17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. 18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. 19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. 20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu. 21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya. 22. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya. 23. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja. BAB II PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Pasal 2 (1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi : a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : 1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya ; 2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; 3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. (2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah : a. kantor perwakilan negara asing; b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Kuangan; c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. (3) Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak. BAB III PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN ATAU PPh PASAL 26 Pasal 3 Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan : a. pegawai; b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi : 1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; 3. olahragawan; 4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5. pengarang, peneliti, dan penerjemah; 6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; 7. agen iklan; 8. pengawas atau pengelola proyek; 9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; 10. petugas penjaja barang dagangan; 11. petugas dinas luar asuransi; 12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : 1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; 2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; 3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 4. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5. peserta kegiatan lainnya. Pasal 4 Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah : a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; b. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. BAB IV PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ ATAU PPh PASAL 26 Pasal 5 (1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah : a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. (2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pads ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh : a. bukan Wajib Pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus ( deemed profit ). Pasal 6 (1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. (2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26. Pasal 7 (1) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan. (2) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya. Pasal 8 (1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : a. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan. (2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. BAB V DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Pasal 9 (1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut : a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi : 1. pegawai tetap; 2. penerima pensiun berkala; 3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri; 4. bukan pegawai, yang meliputi : a) distributor multi level marketing atau direct selling ; b) petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai; c) penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai; dan/atau d) penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender. b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri. c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (2) PTKP sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PTKP dibagi 12 (dua belas). (3) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto. BAB VI PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN Pasal 10 (1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan. (2) Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut : a. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP; b. bagi pegawai tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP; c. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan. (3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan : a. biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan; b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. (4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan. (5) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut : a. bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; b. bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. (6) Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. (7) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. (8) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan. Pasal 11 (1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut : a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. (2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan. (3) Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya. (4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya. (5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari. (6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 12 (1) penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh penghasilan lainnya. (2) Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima penghasilan bukan pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi Surat nikah dan kartu keluarga. BAB VII TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA Pasal 13 (1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari : a. pegawai tetap; b. penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan; c. pegawai tidak tetap, atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan. (2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut : a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas); b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur. (3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah : a. atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas); b. atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun kelender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana, dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja. (5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan. (6) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan. (7) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja. Pasal 14 (1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas : a. jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri. (2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan. (3) Besarnya batasan jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan sepanjang terdapat perubahan besarnya PTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 15 (1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas : a. jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran yang didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya tidak bersifat berkesinambungan, yang diterima oleh bukan pegawai; b. jumlah bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan; atau c. jumlah kumulatif penghasilan bruto sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau berdasarkan keadaan yang sebenarnya, yang diterima oleh bukan pegawai. (2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif Penghasilan Kena Pajak sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, yang dihitung setiap bulan. Pasal 16 Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas penghasilan bruto kumulatif berupa : a. honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama; b. jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; c. penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan. Pasal 17 Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Pasal 18 Tata cara pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Pasal 19 (1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut. (2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri. BAB VIII TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK Pasal 20 (1) Bagi Penerima penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. (2) jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. (3) pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. (4) Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. BAB IX SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Pasal 21 (1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan. (2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak. (3) Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK Pasal 22 (1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kontor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang belaku. (2) pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun. (3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya. (4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender. (5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil. (7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 yang terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. (8) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak. (9) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 23 (1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. (2) Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan mengenai pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, dan contoh perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2008 MENTERI KEUANGAN ttd. SRI MULYANI INDRAWATI
You might be interested:  Mengapa Keuangan Perusahaan Harus Terpisah Dengan Keuangan Pemilik?

Siapakah Wajib Pajak PPh pasal 21 dan apa objeknya?

a. Pajak Penghasilan Jenis PPh Pasal 21 – Definisi PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri.1. Objek PPh Pasal 21 Objek pajak penghasilan pasal 21 di antaranya:

Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara teratur berupa uang industri atau penghasilan sejenisnya Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan industri yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat industri, tunjangan hari tua Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang dibayarkan secara bulanan Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

2. Subjek yang dikenakan PPh 21 Jenis PPh 21 ini dikenakan pada wajib orang pribadi yang menerima penghasilan seperti penjelasan definisi PPh tersebut. Kategori subjek yang dikenakan PPh 21 ini seperti pegawai, bukan pegawai, penerima pensiun maupun pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pekerja dan peserta kegiatan.3.

Subjek Pemotong PPh 21 Namun jenis PPh yang dibebankan atau dikenakan wajib pajak orang pribadi tersebut tidak dibayarkan sendiri oleh yang bersangkutan. Akan tetapi jenis PPh 21 ini dipotong atau dipungut oleh perusahan/pemberi kerja melalui pemotongan pajak PPh Pasal 21. Pihak pemotong/perusahaan/pemberi kerja kemudian menyetorkan atau membayarkan PPh 21 yang dipotong dari wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan kena pajak tersebut ke kas negara.

Berikutnya, sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 21, akan memperoleh bukti pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak yang memotong penghasilan tersebut. Baca Juga : Tutorial Cara Mudah Bayar Pajak Online di eBilling Klikpajak Ilustrasi Pajak Penghasilan yang dikenakan pada kegiatan ekspor-impor

You might be interested:  Yang Tergolong Dalam Belanja Modal Adalah?

Siapa saja yang berhak memotong pajak?

Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 – Pemungutan ini dilakukan oleh pihak tertentu sesuai dengan penunjukkan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ini meliputi:

Pembelian barang yang dilakukan oleh instansi pemerintah Kegiatan impor barang Kegiatan produksi barang tertentu, misalnya baja, kertas, rokok, dan otomotif Pembelian bahan untuk keperluan industri atau ekspor yang dilakukan oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, pertanian, perkebunan, serta perikanan yang berasal dari pedagang pengumpul Pemungutan atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah

Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut ataupun sekaligus sebagai pihak yang dipungut atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.

Siapa yang memotong PPh?

Jenis – Jenis Pemotongan dan Pemungutan Pajak

  • Jenis – Jenis Pemotongan dan Pemungutan Pajak
  • Berikut ini adalah jenis – jenis pemotongan dan pemungutan Pajak di Indonesia.
  • Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Pemotongan untuk Pajak Penghasilan (PPh) ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan suatu pekerjaan ataupun kegiatan yang dilakukan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah pembayaran terkait dengan upah atau gaji yang diterima oleh pegawai/karyawan akan dipotong oleh perusahaan yang menjadi pihak pemberi kerja.

Wajib Pajak yang berbentuk badan telah ditunjuk oleh Undang-Undang (UU) perpajakan sebagai pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan atau diterima oleh karyawan maupun yang bukan merupakan karyawannya. Namun, Wajib Pajak orang pribadi juga dapat ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ini apabila mendapatkan penunjukkan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak orang pribadi terdaftar.

You might be interested:  Kredit Yang Digunakan Sebagai Modal Usaha Adalah?

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Untuk pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan sehubungan dengan adanya pembayaran berupa dividen, bunga, sewa, royalti, dan juga jasa kepada Wajib Pajak berbentuk badan dalam negeri dan juga Bentuk Usaha Tetap (BUT).

  1. Wajib Pajak berbentuk badan memang ditunjuk untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, namun Wajib Pajak orang pribadi tidak ditunjuk untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23.
  2. Maka, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke dalam objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan pihak pemberi penghasilan atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 oleh pihak pemotong yang bersangkutan.

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 Pemotongan ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan atau pihak pemberi kerja sehubungan dengan adanya pembayaran berupa dividen, bunga, hadiah, royalti, dan penghasilan lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri.

Untuk kegiatan pemotongan ini, Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk dapat memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atau sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang tax treaty. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) Pemotongan ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan sehubungan dengan pembayaran yang berkaitan dengan pembayaran atas objek tertentu, sepeti hal nya sewa tanah atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah atau bangunan, dan lain sebagainya.

Kata ‘final’ pada pemotongan pajak ini berarti pajak yang telah dipotong, dipungut oleh pihak yang memberikan penghasilan atau dibayarkan sendiri oleh pihak penerima penghasilan, dan untuk perhitungan pajaknya telah selesai dan tidak dapat dikreditkan kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

  1. Dalam hal ini, Wajib Pajak berbentuk badan saja yang ditunjuk untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2), sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi tidak mendapatkan penunjukkan untuk memotong.
  2. Sama halnya dengan Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke dalam objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2), maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) oleh pihak pemotong yang bersangkutan.

Namun, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi yang bukan merupakan pemotong, maka Wajib Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) tersebut.

Hal ini misalnya menyangkut dalam proses transaksi sewa atau penjualan properti tanah atau bangunan. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 Pemotongan ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu dengan menggunakan norma perhitungan khusus. Wajib Pajak tertentu yang dimaksudkan adalah seperti perusahaan pelayaran, penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan yang melakukan pengeboran miyak, gas, dan panas bumi, perusahaan dagang asing, serta perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan guna serah.

Dalam hal ini, Wajib Pajak berbentuk badan saja yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak orang pribadi tidak ditunjuk. Dan sama seperti sebelumnya, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke dalam objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15, maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 oleh pihak pemotong yang bersangkutan.

Namun, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi yang bukan merupakan pemotong, maka Wajib Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 tersebut.

Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Pemungutan ini dilakukan oleh pihak tertentu sesuai dengan penunjukkan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ini meliputi:

  1. Pembelian barang yang dilakukan oleh instansi pemerintah
  2. Kegiatan impor barang
  3. Kegiatan produksi barang tertentu, misalnya baja, kertas, rokok, dan otomotif
  4. Pembelian bahan untuk keperluan industri atau ekspor yang dilakukan oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, pertanian, perkebunan, serta perikanan yang berasal dari pedagang pengumpul
  5. Pemungutan atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah

Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut ataupun sekaligus sebagai pihak yang dipungut atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Pemungutan PPN dan PPnBM Pemungutan ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pemungut yang memang ditunjuk atas penyerahan barang/jasa kena pajak (seperti Bendaharawan Pemerintah).

  1. PKP yang ditunjuk untuk memungut adalah pengusaha yang memiliki perdaran bruto atau omzetnya melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun dan telah dikukuhkan sebagai PKP.
  2. Wajib Pajak orang pribadi maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maka diwajibkan untuk memungut PPN dan PPnBM kepada pihak penerima barang, apabila barang yang diserahkan tergolong mewah.

Sumber:

  1. Imam Santoso, Ning Rahayu. (2019). Corporate Tax Management : Mengulas upaya pengelolan pajak perusahaan secara konseptual-praktikal. Edisi Revisi 2019. Penerbit : Ortax Jakarta. ISBN 9786029518270
  2. Siti Resmi. (2019). Perpajakan Teori dan Kasus Buku 1. Edisi 11. Penerbit : Salemba Empat
  3. Kemenkeu.go.id. Kenali para pemotong dan pemungut di Indonesia. Diakses tanggal 2 Desember 2021, di https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/artikel_pajak_0711.pdf

Image Sources: Google Image : Jenis – Jenis Pemotongan dan Pemungutan Pajak

Apakah PPh 21 dipotong setiap bulan?

Baca disini untuk panduan penghitungan, contoh soal perhitungan pajak penghasilan PPh 21 Karyawan secara lengkap di blog Klikpajak by Mekari. Pajak penghasilan karyawan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan wajib pajak karyawan. Perusahaan memotong PPh Pasal 21 dari gaji karyawan setiap bulannya dan menyetorkan ke kas negara.

Klikpajak by Mekari akan memberikan panduan lengkap penghitungan juga perhitungan PPh 21 karyawan, contoh, cara bayar dan lapor SPT pajak secara online, Apa Itu PPh 21? Sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan ( PPh ), yakni No.36/2008 yang merupakan perubahan keempat UU PPh No.7/1983, pengertian PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Penghasilan yang dimaksud bisa berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain. Mengacu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-32/PJ/2016, batas penghasilan yang dikenakan pajak adalah di atas Rp4,5 juta per bulan atau lebih dari Rp54 juta setahun.

  • Ini berlaku untuk karyawan tetap maupun karyawan tidak tetap.
  • Sedangkan bagi tenaga kerja lepas (pekerja bebas) yang menerima imbalan tidak bersifat berkesinambungan, batas penghasilan yang dikenakan pajak (PPh 21) adalah lebih dari Rp450 ribu sehari atau di atas Rp4,5 juta sebulan.
  • Tarif PPh 21 bagi pekerja lepas ini sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto Namun kali ini yang dibahas adalah tentang PPh 21 karyawan, yang artinya bukan merupakan pekerja lepas Ketahui penghitungan PPh 21 karyawan dan cara pembayaran pajak bagi perusahaan yang memotong PPh Pasal 21 karyawan sebagai Wajib Pajak Badan yang telah memungut PPh 21.

Tahukah, Anda dapat mudah membayar atau menyetorkan PPh 21 yang dipungut dari karyawan karena dapat dilakukan dalam satu platform saja, yakni membuat Kode Billing sekaligus bayar billing dalam satu platform. Untuk mengetahui panduan lengkap penghitungan PPh Pasal 21 karyawan serta contohnya dan langkah-langkah menyetorkan pemotongan PPh 21 dan pelaporan pajaknya, berikut ulasan dari Klikpajak by Mekari,

Bagaimana Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21?

Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 – Hal lain yang perlu Anda tahu, besaran tarif PPh pasal 21 berbeda beda berdasarkan besarnya jumlah penghasilan. Jika penghasilan Anda sampai dengan Rp 50.000.000, maka tarif PPh pasal 21 yang harus ditanggung adalah 5%.

Berapa potongan pajak PPh 21?

Penghasilan Neto – Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menghitung Penghasilan Neto karyawan. Penghasilan neto didapat dari Penghasilan Bruto yang dikurangi komponen pengurangan. Komponen pengurangan tersebut diantaranya adalah biaya jabatan, iuran pensiun karyawan, dan jaminan hari tua (JHT).

Dalam, biaya jabatan didefinisikan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Besaran komponen ini adalah 5% dari gaji pokok, dengan potongan maksimal sebesar Rp 500.000 per bulan. Itu berarti biaya jabatan hanya akan memiliki nilai lebih kecil atau sama dengan Rp 500.000, berapapun nilai persentase 5% yang dihasilkan dari total gaji pokok.

Untuk biaya pensiun, perhitungannya sebesar 5% dari Penghasilan Bruto seorang karyawan dengan nilai potongan maksimal Rp 200.000 per bulan atau Rp 2.400.000 per tahun. Sementara untuk JHT hanya dihitung untuk yang ditanggung oleh pekerja, sebesar 2% dari upah tetap sebulan (gaji pokok + tunjangan tetap).

Siapa yang berhak menjadi Wajib Pajak?

Apa Itu Wajib Pajak? – Mengacu pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, serta mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Orang pribadi atau badan yang memenuhi kriteria wajib pajak harus melaporkan pajaknya atas penghasilan, kekayaan, dan properti yang dimiliki. Agar Wajib Pajak orang pribadi dan badan dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lancar, maka akan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, NPWP adalah identitas atau tanda pengenal bagi Wajib Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Lebih lanjut, dasar hukum NPWP telah tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018 mengenai Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusahan Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak.

Selain itu, ketentuan mengenai NPWP saat ini juga diatur dalam PMK-112/PMK.03/2022 mengatur tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintahan Wajib Pajak merupakan orang pribadi ataupun badan yang memiliki kewenangan untuk membayar pajak, memotong pajak, dan memungut pajak, serta memiliki hak dan kewajiban yang berkaitan dengan perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Salah satu hal yang berkaitan atau hal yang identik dengan Wajib Pajak adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melakukan administrasi perpajakan, dimana nomor ini dapat dipergunakan oleh Wajib Pajak sebagai tanda pengenal diri atau identitas diri Wajib Pajak yang bersangkutan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Siapa yang berhak memotong pajak PPh 23?

Tarif PPh 23 – Untuk mengetahui tarifnya, PPh 23 dibedakan menjadi 2, yaitu tarif 15% dan tarif 2% dikenakan atas nilai DPP (Dasar Pengenaan Pajak) atau jumlah bruto. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo dengan pemotong pajak seperti badan pemerintahan, penyelenggara kegiatan, subjek pajak dalam negeri, BUT (Bentuk Usaha Tetap, perwakilan usaha luar negeri dan OP (Orang Pribadi) yang ditunjuk oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak).

Jumlah bruto tidak berlaku atas penghasilan yang didapatkan dari jasa sehubungan katering, jasa yang bersifat final seperti jasa reimbursement, penyedia jasa kepada pihak ketiga dan hasil dari penggadaian barang atau material, Pajak PPh 23 dengan tarif 15% dikenakan untuk penghasilan bunga, dividen, royalti dan hadiah.

Sedangkan, pajak PPh 23 dengan tarif 2% dikenakan untuk penghasilan jasa dan sewa. Untuk Jasa pada PPh 23 meliputi jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lainnya yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.141/PMK.03/2015 yang mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015.

Siapa yang menjadi pemotong PPh 22?

PENJELASAN UMUM Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari APBN/APBD adalah bendahara pemerintah. Termasuk dalam pengertian bendahara pemerintah adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.

Sebagai pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, bendahara pemerintah harus mengetahui aspek-aspek perpajakan terutama yang berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai. Kewajiban bendahara pemerintah sehubungan dengan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai antara lain adalah pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Materai.

Download Buku Bendahara Mahir Pajak versi 2016