Segala Sesuatu Yang Dikenakan Pajak Disebut?
Setiap jenis pajak tentu memiliki objek pajak dan subjek pajak. Secara sederhana, objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak.Setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak.
- Sementara orang atau badan yang punya kewajiban pajak disebut sebagai wajib pajak.
- Objek pajak mencakup segala sesuatu yang dapat dikenai pajak.
- Arti pernyataan tersebut adalah sumber pendapatan yang dikenakan pajak yaitu sepertitanah dan bangunan, penghasilan pendapatan, dan lain lain.
- Jadi, jawaban yang tepat adalah Poin D.
– Setiap jenis pajak tentu memiliki objek pajak dan subjek pajak. Secara sederhana, objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak. Setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak.
Contents
- 1 Objek apa yang dikenakan pajak?
- 2 Apa itu subjek pajak dan wajib pajak?
- 3 Apa yang dimaksud dengan objek pajak dan berikan contohnya?
- 4 Objek pajak ada berapa?
- 5 Apa nama subjek pajak?
- 6 Apakah semua penghasilan dikenakan pajak?
- 7 PPh singkatan dari apa?
- 8 PPh dikenakan kepada siapa saja?
- 9 Jelaskan apa fungsi pajak?
- 10 Apa bedanya objek pajak dan subjek pajak?
- 11 PPN siapa yang bayar?
Objek apa yang dikenakan pajak?
Pengertian Objek Pajak – Objek pajak adalah penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Secara sederhana objek pajak adalah Penghasilan yang dikenakan pajak. Arti penghasilan sendiri adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan itu berasal dari Indonesia. Objek pajak digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. Bentuknya dengan nama atau bentuk apapun, penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Penghasilan itu berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia.
Beberapa jenis penghasilan ini jika termasuk dalam jenis golongan dan kriteria objek pajak, akan dikenakan objek pajak yang sesuai dengan tarif dan jenis pajak yang berlaku.
Apa itu subjek pajak dan wajib pajak?
sujek pajak dan wajib pajak
haayy rekan-rekan ortax. menurut rekan2 smuanya apakah perbedaan subjek pajak dan wajib pajak??? mohon pandapatnya.trimakasih. subjek pajak lebih dlu dr wajib pajaksubjek pajak adalah orang2 yg potensial untuk membayar pajak,dikatakan potensial karena subjek pajak ini diharapkan akan menjadi pembayar pajak.wajib pajak itu sendiri adalah orang yg telah memiliki objek pajak subjek pajak akan berubah menjadi WP apabila dia telah memiliki objek pajak dan harus memenuhi aturan perpajakan.
: sujek pajak dan wajib pajak
Apa yang disebut dengan objek PPh dan subjek PPh?
Apa itu Objek Pajak dan Subjek Pajak – Pengertian mendasar Objek pajak adalah sumber penghasilan atau pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan Subjek pajak adalah perseorangan atau sebuah badan usaha yang ditetapkan menjadi pelaku pajak tersebut. Sehingga bisa dikatakan setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak sementara perseorangan atau badan usaha disebut sebagai wajib pajak.
Apa yang dimaksud dengan objek pajak dan berikan contohnya?
Objek pajak merupakan Segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran pajak atau dapat dikenakan pajak baik berupa keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Contoh objek pajak seperti: Objek PajakPPh, Objek Pajak Bumi dan Bangunan, Objek Pajak Bea Materai. – Objek pajak merupakan Segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran pajak atau dapat dikenakan pajak baik berupa keadaan, perbuatan, maupun peristiwa.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan pajak?
Definisi Pajak – Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Objek pajak ada berapa?
Ekonomi Kelas 11 | Mengenal Macam-macam Objek Pajak Artikel Ekonomi kelas XI kali ini akan membahas 6 macam objek pajak yakni objek pajak pertambahan nilai, objek pajak penjualan atas barang mewah, objek pajak bumi dan bangunan, objek pajak penghasilan, objek pajak bea materai, serta objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Jangan pernah mengeluh jika kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya ini banyak titik kemacetan yang sepertinya tidak bisa diatasi. Coba kamu bayangkan deh, setiap bulannya berapa banyak orang yang membeli motor dan mobil? Terus sekarang bandingkan dengan lebar jalanan yang ada. Hasilnya pasti pertumbuhan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan lebar jalan.
Nah, ngomong-ngomong tentang jual beli kendaraan nih, kamu pernah ikut nggak saat orang tua kamu membeli kendaraan tersebut? Baik orang tua kamu (konsumen) dan dealer (produsen), pasti melakukan sebuah transaksi jual beli. Tahukah kamu kalau dalam transaksi tersebut juga ada yang dikenakan? “Hmm.pajak lagi, pajak lagi” Yaps, selain saat kamu makan di restoran yang ada pajaknya juga, jual beli kendaraan juga kena pajak lho Squad. Mau tahu jenis pajak apa yang termasuk ke dalam transaksi jual beli kendaraan tersebut? Simak artikel berikut sampai selesai ya Squad.1.
Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dibebankan setiap pertambahan nilai dari suatu barang atau jasa. PPN ini masuk ke dalam jenis pajak yang tak langsung. Artinya begini Squad, pajak ini disetor oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak. Besaran dari PPN ialah 10%.
Contoh mudahnya gini Squad, kamu belanja di sebuah minimarket dan membeli minuman. Nah, harga yang kamu bayar dari minuman tersebut sudah termasuk PPN. Jadi, pajak dari minuman yang kamu bayar nantinya disetorkan langsung sama si pemilik minimarket tersebut Squad. 2, Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Pernah ngeliat mobil-mobil mewah di jalanan? Mobil sport gitu yang pokoknya jarang banget deh berseliweran di jalan. Yups, artinya mobil tersebut hanya dimiliki segelintir orang berpenghasilan tinggi.
3. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang bersifat kebendaan. Artinya begini Squad, besaran pajaknya itu ditentukan oleh keadaan objek pajak, dalam hal ini bumi dan bangunan.
Bukan membayar pajak dari planet bumi. Bumi yang dimaksud ialah permukaan bumi seperti sawah, ladang, dan kebun. Nah kalau bangunan itu sendiri merupakan konstruksi yang berada di atas tanah atau perairan. Contohnya rumah tempat tinggal, ruko usaha dermaga, jalan tol, dan kolam renang. Baca Juga: Oh iya Squad, pajak ini nggak memandang siapa subjek pajaknya.
Jadi nggak urusan tuh, kalau kamu misalnya jadi artis terkenal tapi luas tanah dan rumah yang kamu punya itu kecil serta fasilitasnnya tidak mewah. 4. Objek Pajak Penghasilan (PPh) Nanti kalau kamu sudah punya pekerjaan dan mendapatkan gaji, tunjangan, atau bonus, kamu akan dikenakan pajak penghasilan (PPh). Namanya pajak penghasilan, ya pasti objeknya penghasilan dari wajib pajak itu sendiri. Apa sih penghasilan itu? Penghasilan merupakan tambahan kemampuan ekonomi yang diterima wajib pajak baik dari dalam maupun luar negeri yang dipakai untuk konsumsi wajib pajak atau menambah kekayaan.
Nah, penghasilan kena pajak (PKP) itu merupakan penghasilan satu tahun dari wajib pajak. Ada lho rumus menghitungnya. Penasaran bagaimana cara menghitung pengenaan pajak penghasilan? Cek di yuk. Di ruangbelajar penjelasannya lengkap dan mudah dipahami karena bentuknya video ditambah animasi yang keren lho Squad.
Lanjut.5. Objek Pajak Bea Materai Tadi di awal artikel udah disinggung sedikit tuh kalau pas transaksi jual beli kendaraan ada pajak yang harus dibayar. Nah, salah satunya ialah pajak bea materai. Yaps, bea materai ada yang Rp3.000 dan Rp6.000 Squad. Dalam transaksi jual beli kendaraan, biasanya bea materai harus ada pada dokumen penjualan seperti surat pernyataan dan kwitansi pembelian.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, dijelaskan bahwa objek bea materai ialah kertas yang isinya tulisan dengan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Intinya ialah sebuah dokumen yang menyatakan nominal dan memiliki sifat perdata. 6. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Kalau kamu nanti sudah bisa membeli rumah, kamu akan dibebankan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Mudahnya BPHTB dapat dimaknai sebagai bea pembeli. “Kalau dapat rumah dari sebuah hadiah gimana tuh?” Tetap bayar Squad.
jual-beli; tukar-menukar; hibah; waris; penggabungan usaha; peleburan usaha; dan hadiah.
Sekarang kamu sudah paham kan tentang macam-macam objek pajak? Jangan malas buat bayar pajak ya Squad. Banyak manfaat yang bisa kita rasakan lho kalau kita jadi orang yang patuh buat bayar pajak. Kalau sampai kamu nggak bayar pajak, bisa-bisa didenda dan kalau melarikan diri bisa jadi buronan.
Apa nama subjek pajak?
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. 3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment, Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Hruruf a. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu: 1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya, Ayat (2) Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2 Pasal 3 Huruf a dan huruf b Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: – penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; – penghasilan dari usaha dan kegiatan; – penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; – penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4) pembagian laba dalam bentuk saham; 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.Apakah semua penghasilan dikenakan pajak?
Bantuan atau Sumbangan dan Harta Hibahan – Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan membagi penghasilan yang dikecualikan menjadi 2 yaitu: bantuan atau sumbangan, dan hibah. Tetapi saya membagi menjadi 3 saja karena sumbangan termasuk zakat.
- Jadi saya bagi menjadi: bantuan atau sumbangan, zakat atau sumbangan keagamaan, dan harta hibahan.
- Bantuan atau sumbangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
- Ata sepanjang maksudnya adalah syarat supaya bantuan atau sumbangan dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2009 bahwa bantuan atau sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan. Jadi, syarat bantuan atau sumbangan supaya dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan, yaitu:
- berbentuk uang atau barang;
- tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan.
- badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
- penerima zakat yang berhak.
Begitu juga dengan sumbangan keagamaan, supaya penghasilan dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2009 mengatur: Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:
- lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
- penerima sumbangan yang berhak.
Penjabaran Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008. Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008, harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan yaitu harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh :
- keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu adalah orang tua dan anak kandung.
- badan keagamaan, yaitu badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan.
- badan pendidikan, yaitu badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan.
- orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut : :
- memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;atau
- memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miyar lima ratus juta rupiah).
- badan sosial termasuk yayasan dan koperasi, yaitu badan sosial yang tidak mencari keuntungan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
- pemeliharaan kesehatan;
- pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
- pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
- santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
- pemberian beasiswa;
- pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
- kegiatan sosial lainnya.
PPh singkatan dari apa?
Seperti diketahui bahwa pajak penghasilan awalnya diterapkan pada perusahaan perkebunan yang menyebar dan banyak didirikan di Indonesia. Namun saat ini, pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;
Selain itu, ketentuan terbaru tentang PPh telah disempurnakan dan diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 17 ayat (1) UU HPP bahwa besarnya tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (PPh 21) adalah sebagai berikut:
5% untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 60.000.000.15% untuk penghasilan diatas Rp 60.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000.25% untuk penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.30% untuk penghasilan di atas Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 5.000.0000.0000 35% untuk penghasilan di atas Rp 5.000.000.000 Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan dengan tarif yang lebih tinggi.
PPh dikenakan kepada siapa saja?
Mengenal PPh Pasal 21 Lebih Jauh Setiap bulan, saat menerima gaji pasti ada pemotongan PPh Pasal 21 yang dikurangi langsung oleh bendahara gaji kan? Nah apa sih yang dimaksud dengan PPh Pasal 21? Yuk menelisik lebih jauh mengenai PPh Pasal 21. Sebelum membahas PPh Pasal 21, kita lihat pengertian pajak terlebih dahulu ya.
- Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Sementara, Pajak penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah “pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak”.
Yang termasuk penghasilan disini yaitu “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan; honorarium, hadiah undian dan penghargaan; laba bruto usaha.
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya; bunga; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha Koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota; royalti; sewa dari harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; dan keuntungan karena pembebasan hutan”.
Nah, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri, inilah yang disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21.
Sedangkan yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri disebut PPh Pasal 26, namun hal tersebut tidak akan kita bahas dalam artikel ini. Selanjutnya yang perlu diketahui adalah pemotong PPh Pasal 21 yaitu pemberi kerja, dalam hal ini terdiri dari orang pribadi dan badan maupun cabang, perwakilan atau unit; bendahara atau pemegang kas pemerintah; dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan badan-badan lain; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan penyerahan jasa; dan penyelenggara kegiatan.
Penerima penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 yaitu pegawai; penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, THT, JHT, termasuk ahli warisnya; bukan pegawai; anggota dewan komisaris/pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai; mantan pegawai; dan peserta kegiatan baik perlombaan, rapat, konferensi, sidang, pertemuan, kunjungan kerja, peserta/anggota kepanitiaan, pendidikan, pelatihan dan magang, serta kegiatan lainnya. JIka dirumuskan maka Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Pasal 21 adalah Penghasilan Netto. Yakni Penghasilan Bruto dalam setahun dikurangi dengan (biaya jabatan + 5 % penghasilan bruto maks 6 juta pertahun) dikurangi dengan (iuran pensiun + THT/JHT yang dibayar sendiri) dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Atau dapat ditulis sebagai berikut:
Besaran PTKP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 yaitu sebesar Rp.24.300.000,- per tahun untuk diri wajip pajak, ditambah Rp.2.025.000,- untuk Wajib Pajak Kawin, ditambah Rp.2.025.000,- untuk anak kandung dan anak angkat yang menjadi tanggungan dengan jumlah maksimal 3 orang.
Setelah Jumlah Penghasilan Netto setahun dikurangi dengan PTKP, maka dikenakan tarif pajak penghasilan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 5 % untuk penghasilan sampai dengan 50 juta, 15 % untuk penghasilan diatas 50 juta hingga 250 juta, 25 % untuk penghasilan diatas 250 juta hingga 500 juta, dan 30 % untuk penghasilan di atas 500 juta.
Meskipun perhitungan penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 dihitung per 1 tahun akan tetapi pemberi kerja/ bendahara memotong PPh Pasal 21 saat dilakukannya pembayaran atau penghasilan si wajib pajak. Dikarenakan kebijakan Pajak di Indonesia menggunakan sistem self assessment alias menghitung sendiri, maka setiap wajib pajak hendaknya memahami cara perhitungan PPh Pasal 21 dan melaporkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di daerah masing-masing paling lambat Tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
- Sebagai penutup artikel ini berikut akan diberikan sekilas contoh sederhana mengenai perhitungan PPh Pasal 21.
- Dimas adalah PNS golongan III/c di Setda Kab Inhu.
- Dimas memperoleh gaji Rp.2.688.900,- setiap bulan.
- Arena Dimas memegang jabatan eselon IV/a, maka ia mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp.540.000,- per bulan.
Dimas telah menikah, namun belum memiliki anak. Maka PPh Pasal 21 yang harus dibayar oleh Dimas adalah sebagai berikut:”
Gaji Pokok | Rp.02.688.900, | ||
Tunjangan Istri | Rp.00.268.890,- | ||
Jumlah Gaji dan Tunj. Istri | Rp.02.957.790,- | ||
Tunjangan Jabatan | Rp.00.540.000,- | ||
Tunjangan Beras | Rp.00.139.520,- | ||
Jumlah Penghasilan Bruto | Rp.03.637.310,- | ||
Pengurangan | Rp.00.322.360,- | ||
-Biaya Jabatan | |||
5 % x Rp.3.637.310,- | Rp.00.181.865,- | ||
Iuran Pensiun | |||
4,75 % x 2.957.790,- | Rp.00.140.495,- | ||
Penghasilan Netto | Rp.03.314.949,- | ||
Penghasilan Netto setahun | Rp.39.779.393,- | ||
PTKP (kawin) | Rp.26.325.000,- | ||
Wajib Pajak | Rp.24.300.000,- | ||
Status WP Kawin | Rp.02.025.000,- | ||
Penghasilan Kena Pajak (PKP) | Rp.13.454.393,70,- | ||
PKP dibulatkan | Rp.13.454.000,-< | ||
PPh Pasal 21 ? 50 juta (5 %) setahun | Rp.00.672.700,- | ||
PPh Pasal 21 sebulan | Rp.00.056.058,- |
Sumber:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PerubahanKeempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 162/PMK.011/2012 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak Website Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI
: Mengenal PPh Pasal 21 Lebih Jauh
Jelaskan apa fungsi pajak?
Fungsi Pajak Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara Fungsi pajak sangat vital bagi pembangunan bangsa dan negara. Dengan memahami fungsi pajak, kita akan menyadari mengapa pajak punya peranan penting. Artikel kali ini mencoba untuk kembali mengingatkan mengapa wajib pajak harus patuh melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari membayar pajak hingga menyampaikan SPT.
Apa bedanya objek pajak dan subjek pajak?
Kesimpulan – Secara sederhana, subjek pajak merupakan orang pribadi atau entitas yang ditentukan untuk menjadi subjek pajak. Sedangkan objek pajak adalah sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Setiap subjek pajak harus memiliki objek pajak. Sementara orang atau entitas yang memiliki kewajiban pajak disebut sebagai pembayar pajak.
Setelah mengetahui perbedaannya, sekarang Anda bisa tahu apakah Anda termasuk dalam subjek pajak yang memiliki kewajiban pajak atau tidak. Selain itu, Anda mengetahui apa saja objek pajak dari masing-masing jenis pajak. Itu dia penjelasan mengenai objek pajak dan subjek pajak. Harapannya, Anda akan lebih mudah dalam menjalankan kewajiban pajak.
Semoga artikel ini bermanfaat, jangan lupa untuk share pada Sobat Finansialku lainnya. Terima kasih. Sumber Referensi:
Rani Maulida.4 September 2018. Objek Pajak dan Subjek Pajak, Ini Penjelasan Lengkapnya, Online-pajak.com – http://bit.ly/2IxKyYA
Sumber Gambar:
- Pajak 1 – http://bit.ly/2TyHaTy
- Pajak 2 – http://bit.ly/2vOIqc8
- Pajak 3 – http://bit.ly/39wKNPw
- Pajak 4 – http://bit.ly/33a67rS
keyboard_arrow_left Previous Seorang blogger yang saat ini membagi peran sebagai pekerja bidang digital marketing salah satu perusahaan financial technology dan mahasiswa magister minat studi Islamic Economy and Halal Industry. Page load link Go to Top
Kapan kita menjadi subjek pajak?
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Tahun | Tarif | Penyusunan | Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 150.000.000,00 | |||
2009 | 50% | 75.000.000,00 | 75.000.000,00 |
2010 | 50% | 37.500.000,00 | 37.500.000,00 |
2011 | 50% | 18.750.000,00 | 18.750.000,00 |
2012 | Disusutkan sekaligus | 18.750.000,00 | 0 |
/td>
Tahun | Tarif | Penyusutan | Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 100.000.000,00 | |||
2009 | 6/12x 50% | 25.000.000,00 | 75.000.000,00 |
2010 | 50% | 37.500.000,00 | 37.500.000,00 |
2011 | 50% | 18.750.000,00 | 18.750.000,00 |
2012 | 50% | 9.375.000,00 | 9.375.000,00 |
2013 | Disusutkan sekaligus | 9.375.000,00 | 0 |
/td>
PPN siapa yang bayar?
PPN Adalah Singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai, Lalu Fungsinya Apa? – Hal dasar yang perlu dipahami tentunya tentang apa itu fungsi hingga singkatan dari atau PPN kepanjangannya adalah seperti apa. Seperti yang tertulis dalam judul artikel ini, PPN ini adalah singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai.
Sedangkan pengertian Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau Perorangan yang membayar pajak ini tidak diwajibkan untuk menyetorkan langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang memotong/memungut PPN.
Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak tidak langsung. Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non PKP. Bedanya, jika sebagai PKP wajib memungut, sedangkan Non PKP tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai.
- Tapi ketika melakukan transaksi barang/jasa kena PPN tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan.
- Jadi, PPN adalah pungutan pajak yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak Pribadi maupun Wajib Pajak Badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Bagaimana cara mengajukan sebagai PKP?
Berikut Syarat dan Cara Mengajukansebagai Pengusaha Kena Pajak
Ada pun ketentuan tentang PPN adalah diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Terbaru diatur dalam UU HPP berkaitan dengan besar tarif PPN terbaru. Baca juga: Aturan Baru Membuat e-Faktur dan Cara Mengkreditkan Pajak Masukan di UU Cipta Kerja