Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menyelenggarakan Pembukuan Yaitu?
1. Perbedaan Wajib Pajak – Pada dasarnya, berdasarkan dengan Undang-Undang (UU) KUP, dijelaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, serta Wajib Pajak badan yang ada di Indonesia wajib untuk melakukan atau menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan
Merupakan Wajib Pajak badan Merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha ataupun pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan bruto (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.
Wajib Pajak yang menyelenggarakan pencatatan
Merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan suatu kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto (pmzet) kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, dapat menggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam menghitung penghasilan neto, dengan syarat harus memberitahukan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Contents
- 0.1 Apa kewajiban pembukuan bagi wajib pajak orang pribadi dan badan?
- 0.2 Apa tujuan wajib pajak orang pribadi menyelenggarakan pembukuan?
- 1 Siapa saja wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan?
- 2 Siapakah yang dimaksud wajib pajak orang pribadi?
- 3 Siapa yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tapi wajib menyelenggarakan pencatatan?
- 4 Bagaimana jika wajib pajak belum mampu menyelenggarakan pembukuan?
- 5 Siapakah wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan?
- 6 Bagaimana jika wajib pajak belum mampu melakukan pembukuan?
- 7 Kapan orang pribadi harus menjadi wajib pajak?
Apakah wajib pajak orang pribadi wajib melakukan pembukuan?
Forum : Apakah orang pribadi nanti wajib hukumnya melakukan pembukuan Walaupun mengenakan PPh secara final? resitadesyanthi Sep 23, 2022 3:01 PM Apakah orang pribadi nanti wajib hukumnya melakukan pembukuan Walaupun mengenakan PPh secara final? toaaa Sep 26, 2022 6:02 PM Wajib Pajak orang pribadi tidak wajib melakukan pembukuan jika memiliki omset masih dibawah Rp 4,8 miliar.
Apa kewajiban pembukuan bagi wajib pajak orang pribadi dan badan?
2. Pembukuan Stelsel Kas Untuk Wajib Pajak Kriteria Tertentu – Dalam menjalankan tujuan di bidang perpajakan, pembukuan stelsel kas adalah bagian dari stelsel pengakuan keuangan yang diberlakukan untuk wajib pajak tertentu. Berikut ini adalah wajib pajak yang bisa melakukan pembukuan stelsel kas harus memenuhi beberapa persyaratan yang ada, yaitu: 1.
- Wajib pajak perorangan yang melakukan pemenuhan pencatatan namun memilih atau memiliki kewajiban penyelenggaraan pembukuan.
- Badan atau perusahaan yang mempunyai peredaran bruto dari bisnis yang tidak lebih dari Rp.4,8 milyar pada satu tahun pajak.
Sedangkan untuk peredaran bruto yang ada didasarkan pada total seluruh nilai edar bruto pada tiap jenis tempat usaha per tahun pajak sebelumnya. Wajib pajak yang termasuk kedalam golongan wajib pajak tertentu bisa melakukan penyampaian pada tiap tahun pajak dengan memakai pembukuan stelsel kas.
Pemberitahuan ini dapat dilakukan wajib pajak dengan status wajib pajak pusat secara elektronik pada laman yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak ataupun saluran lain yang telah terintegrasi langsung pada sistem Direktorat Jenderal Pajak. Bingung Soal Kewajiban Pembukuan Pajak? Hubungi Jasa Konsultan Pajak di Nomor Whatsapp : 081350882882 3.
Stelsel Kas Stelsel kas adalah metode perhitungan yang dilakukan atas dasar transaksi tunai. Berikut ini adalah ketentuan yang ada pada stelsel kas, yaitu:
- Penghasilan dari wajib pajak telah diakui bila telah diterima langsung secara tunai pada tahun pajak.
- Biaya tersebut akan diakui jika benar sudah dibayarkan secara tunai pada tahun suatu tahun pajak.
Apa tujuan wajib pajak orang pribadi menyelenggarakan pembukuan?
Tentu Anda tidak asing dengan istilah pembukuan dan pencatatan pajak bukan? Sekilas memang keduanya terlihat serupa, tetapi ternyata berbeda, lho! Pembukuan dan pencatatan pajak pada dasarnya merupakan jenis kegiatan akuntansi perpajakan, Hal ini berfungsi sebagai suatu pedoman yang bertujuan untuk mempermudah wajib pajak terutama dalam menunaikan kewajibannya, terutama yang berkaitan dengan pembayaran pajak dan sejenisnya.
Siapa saja wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan?
Jika berstatus sebagai Wajib Pajak, Anda tentu memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Pajak nantinya akan digunakan untuk kepentingan bersama. Selain membayar pajak, Anda juga punya kewajiban lainnya yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kewajiban itu kita harus termasuk Wajib Pajak apakah kita.
- Ada 2 kategori Wajib Pajak, yakni pribadi dan badan.
- Freelancer juga termasuk sebagai Wajib Pajak pribadi.
- Salah satu kewajiban dari Wajib Pajak menurut UU KUP adalah membuat pembukuan.
- Meskipun ada Wajib Pajak yang dikecualikan dari pembuatan pembukuan, Wajib Pajak tetap harus membuat pencatatan keuangan.
Mari kita bedah ketentuan pembukuan atau pencatatan keuangan Wajib Pajak. Baca juga: Perbedaan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Baca Juga : Penghitungan dan Status Pajak bagi Pasangan Suami-Istri Bekerja Panduan Lengkap Pajak Penghasilan PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan PPh Pasal 21: Definisi, Dasar Hukum, Tarif, dan Waktu Penyetoran Serta Pelaporan Pajak Penjelasan Lengkap Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25) Pembukuan ini berlaku untuk Wajib Pajak Pribadi dan Wajib Pajak badan.
Etentuan pembukuan diatur dalam pasal 28 UU KUP. Berdasarkan dokumen dari Kementerian Keuangan, isi dari pasal 28 UU KUP adalah sebagai berikut. (1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. (2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Baca Juga : Mekanisme Pemungutan Pajak Digital Oleh Pemerintah Indonesia Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal Dengan Tax Planning Tax Planning Untuk Bisnis, Upaya Minimalkan Pajak Secara Legal Apa Itu Restitusi Pajak? (3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
- 4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
- 5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. (7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
- 8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
- 9) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(10) Dihapus. (11) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
stelsel pengakuan penghasilan; tahun buku; metode penilaian persediaan; atau metode penyusutan dan amortisasi.
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat. Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama.
Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar. Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.
Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten). Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Baca juga: Pedoman Norma Penghitungan Penghasilan Neto Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan.
- Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
- Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
- Contoh Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan “garis lurus atau straight line method.
- Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut.
Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain. Baca juga: Freelancer Tetap Harus Bayar Pajak, Bagaimana Penghitungannya? Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.
Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia.
PPh Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha/Pekerjaan Bebas dan Menyelenggarakan Pembukuan
Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Siapakah yang dimaksud wajib pajak orang pribadi?
Jasa Konsultan Pajak – Pajak adalah kontribusi wajib dari warga BSD maupun warga negara Indonesia yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Setiap warga negara khususnya yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak (WP) harus melaksanakan kewajiban pajak secara tepat waktu.
Perolehan pajak nantinya akan digunakan untuk berbagai keperluan negara guna meningkatkan kemakmuran rakyat. Sehingga, dengan melaksanakan kewajiban pajak yang dimiliki, kita telah turut serta dalam mewujudkan pembangunan nasional. Setiap warga negara merupakan wajib pajak (WP) yang berkewajiban melaksanakan kewajiban pajak sesuai ketentuan Undang-Undang.
Wajib pajak (WP) dibedakan menjadi dua kategori, salah satunya yaitu WP orang pribadi. Dimana WP orang pribadi juga memiliki kewajiban untuk melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan. Dimana dalam SPT Tahunan tersebut mencakup perhitungan pajak, pembayaran pajak, serta kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pajak dalam suatu tahun pajak.
Untuk memudahkan anda mengurus pajak, konsultan pajak BSD adalah solusi terbaik. Wajib pajak (WP) orang pribadi dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Perlu untuk diketahui, wajib pajak (WP) orang pribadi berbeda dengan subjek pajak. Apabila subjek pajak merupakan orang pribadi yang bebas bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Wajib Pajak (WP) orang pribadi merupakan subjek pajak yang telah menerima atau memperoleh penghasilan. Yang mana penghasilan tersebut bersumber dari Indonesia atau penghasilan tersebut diperoleh melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Berdasarkan pada kriterianya, Wajib Pajak (WP) orang pribadi terbagi menjadi dua kategori.
- Yakni terdiri dari Wajib Pajak (WP) subjek dalam negeri dan WP subjek luar negeri.
- Mengenal dan memahami ketentuan perpajakan penting dilakukan oleh WP.
- Arena dengan memahami ketentuan perpajakan, WP dapat melaksanakan kewajiban pajak yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik.
- Solusi mudah dan lebih efisien dalam mengurus pajak yaitu dengan berkonsultasi pada konsultan pajak BSD.
Sebagai seorang wajib pajak (WP), tentu kita memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Karena setiap peraturan dan ketentuan pajak telah diatur dalam Undang-Undang perpajakan. Sebagai WP, sudah menjadi keharusan untuk mematuhi setiap ketentuan perpajakan tersebut.
Siapa yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tapi wajib menyelenggarakan pencatatan?
Pembukuan, siapa yang wajib? Banyak jenis usaha yang berada di Indonesia sehingga tata cara pelaporan dan jenis pajak yang berbeda-beda. Seperti UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) dan badan usaha seperti CV, Firma dan PT mempunyai cara pelaporan yang berbeda-beda. Untuk mempermudah proses pelaporan pajak atas penghasilan yang dimiliki maka perlu adanya pembukuan atau pencatatan sebagai pedoman penghitungan penghasilan kena pajak, penghitungan pajak, serta untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Lalu siapakah yang wajib dan tidak wajib melaksanakan pembukuan? Yang wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 28 TAHUN 2007 adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia. Sedangkan yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan menurut Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 28 TAHUN 2007 adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU nomor 36 tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak diwajibkan melakukan pembukuan.
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 28 TAHUN 2007 dan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing (Bahasa inggris Pasal 1 KMK-543/KMK.04/2000) yang diizinkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 28 ayat (4) UU Nomor 28 TAHUN 2007).
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas berdasarkan penjelasan Pasal 28 ayat (5) UU Nomor 28 TAHUN 2007 seperti:
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan atau metode penyusutan dan amortisasi. Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Demikian penjelasan mengenai siapa sajakah yang menyelenggarakan pembukuan dan prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pembukuan seperti taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Dengan penjelasan tersebut Anda akan lebih mudah untuk menentukan apakah menggunakan pembukuan ataupun pencatatan sesuai ketentuan yang berlaku.
Siapakah wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan?
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (12) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tabun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 2. Keputusan Presiden Nomor 20/ P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PENCATATAN BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. Pasal 1 (1) Wajib Pajak orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah: a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. (2) Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia. (3) Pencatatan dalam suatu tahun harus diselenggarakan secara kronologis. (4) Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun. Pasal 2 (1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 harus dapat menggambarkan antara lain: a. peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh; b. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. (2) Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan. (3) Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) harus menyelenggarakan, pencatatan atas harta dan kewajiban. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2007 MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI INDRAWATISiapakah yang melakukan semua pencatatan di perusahaan?
Tanggung Jawab Seorang Pemegang Pembukuan Keuangan atau Bookkeeper – Bookkeeper atau pemegang pembukuan keuangan adalah pusat utama untuk hampir semua informasi keuangan dan penggajian di perusahaan. Seorang Bookkeeper akan ditugaskan untuk membayar tagihan, menagih hutang, menjalankan daftar gaji, serta menyerahkan semua formulir pemerintah, pembayaran pajak penjualan, dan pemotongan gaji.
Mencatat transaksi keuangan harian dan selesaikan proses pengiriman. Merekonsiliasi pajak penjualan, pajak gaji karyawan pph pasal 21, 401k, serta rekening bank pada akhir setiap bulan. Memantau transaksi dan laporan keuangan. Memproses piutang dan hutang perusahaan. Memproses cek dan memahami buku besar. Jika diperlukan, seorang Bookkeeper dapat bekerja dengan seorang akuntan. Menangani urusan penggajian bulanan menggunakan perangkat lunak akuntansi.
Baca juga: 6 Langkah Mudah Membuat Laporan Keuangan Bagi Pemula
Bagaimana jika wajib pajak belum mampu menyelenggarakan pembukuan?
Hukum Pajak dalam Pembukuan, Pemeriksaan, dan Penyelidikan pembukuan merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur yang digunakan untuk mengumpulkan suatu data atau informasi keuangan, yang pada akhir nya penyusunan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
jakarta – Secara umum pembukuan merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur yang digunakan untuk mengumpulkan suatu data atau informasi keuangan seperti harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang diakhir akan ditutup dengan penyusunan laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
Pembukuan wajib dilakukan oleh wajib pajak yang mempunyai keperluan perpajakan seperti perseroan yang melakukan kegiatan usaha, badan koperasi yang pada dasarnya menjadi subjek pajak penghasilan, serta wajib pajak orang pribadi yang memiliki modal tertentu minimal dalam jumlah Rp 10 JT dan memiliki peredaran bruto dalam setahun melebihi Rp 120 JT,
Selain itu untuk wajib pajak orang pribadi yang diluar ketentuan yang berlaku tersebut dapat membuat dan menjalankan pembukuan untuk menghitung penghasilan atau laba kena pajaknya. Perlu kita ketahui bahwa biasanya pembukuan ataupun dokumen lainnya harus disimpan selama 10 tahun yang diberlakukan untuk wajib pajak ditempat kegiatan itu sendiri dan untuk wajib pajak badan di tempat kedudukannya.
Bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang tidak melakukan pembukuan maka akan mendapatkan sanksi atas tidak mengadakannya pembukuan, sanksi tersebut antara lain :
Pajak terutang yang ditetapkan oleh Surat Ketetapan Pajak (SKP) akan dinaikan menjadi 100%, khusus untuk PPh 29 akan dinaikan menjadi 50% Jika WP pribadi ataupun badan memperlihatkan pembukuan atau dokumen lain palsu yang seolah-olah dibenarkan, tidak mengadakan pembukuan,dan tidak memperlihatkan dokumen lainnya maka akan mendapat pidana sampai 3 tahun dan denda sampai 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayar.
Sementara itu pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, serta mengolah data atau keterangan lain guna untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak sesuai dengan peraturan dalam undang-undang perpajakan yang berlaku.
- Untuk menghadapi wajib pajak dalam mengadakan pembukuan maka DJP menunjuk KPP sebagai instansi yang memiliki wewenang dalam bidang perpajakan yang diberikan sepenuhnya oleh undang-undang guna untuk mengadakan pemeriksaan pembukuan terhadap wajib pajak.
- Jika DJP dan KPP mendapat keraguan terhadap ketentuan pembukuan yang dibuat oleh WP maka Direktur Jenderal Pajak dapat menugaskan seorang akuntan untuk mengadakan pemeriksaan atas semua pembukuan WP sampai pada bukti-bukti mendasar dan dapat dilakukan pemeriksaan secara sektoral atau pemeriksaan atas bagian tertentu dalam pembukuan.
Dalam melakukan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan dapat dilaksanakan di tempat usaha atau tinggal wajib pajak. Nah, dan yang terakhir adalah penyelidikan. Penyelidikan itu sendiri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dimana dengan adanya bukti tersebut membuat adanya titik terang atas tindak pidana dalam bidang perpajakan yang terjadi dan dapat menemukan tersangka serta mengetahui besarnya pajak terutang yang diduga digelapkan dalam tindak pidana tersebut.
Penyidikan tindak pidana pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berada dalam lingkungan DJP yang diberi penugasan atau wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana yang terjadi dalam perpajakan. Tindak pidana dalam bidang perpajakan ini dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh WP.
Kealpaan itu sendiri merupakan sesuatu yang terjadi ketika WP alpa atau dengan sengaja tidak menyampaikan SPT ataupun menyampaikan SPT namun isinya tidak benar dan tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian yang berdampak pada pendapatan negara.
Kenapa wajib pajak harus melakukan pembukuan atau tidak melakukan pembukuan WP orang pribadi maupun badan?
TIDAK sedikit wajib pajak yang merasa bingung dengan konsep pembukuan dan pencatatan serta menentukan apakah mereka harus melakukan pembukuan atau pencatatan. Padahal, proses pembukuan dan pencatatan merupakan agenda utama dalam akuntansi komersial. Dengan pembukuan yang baik, pelaku usaha dapat mengetahui keuntungan secara pasti, mengontrol biaya operasional, memantau aset-aset perusahaan, bahkan dapat membuat prediksi keuangan untuk jangka pendek maupun panjang.
Dari sisi pajak, pembukuan dan pencatatan ini juga menjadi elemen yang sangat krusial. Sebab, apa yang dibukukan atau dicatat akan menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang. Selain itu, adanya pembukuan atau pencatatan akan mempermudah wajib pajak dalam melakukan pengisian surat pemberitahuan (SPT), penghitungan penghasilan kena pajak, penghitungan pajak, serta untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Definisi Pembukuan dan Pencatatan Dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP, disebutkan bahwa pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Sementara, pencatatan merupakan pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (9) UU KUP,
Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan Pada prinsipnya wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban pembukuan ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( UU KUP ).
Namun, kewajiban pembukuan itu dikecualikan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN). Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU KUP,
Wajib pajak yang dimaksud antara lain wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah bruto dalam setahun kurang dari Rp4,8 miliar. Sebagai penggantinya, wajib pajak dengan kriteria di atas tetap wajib melakukan pencatatan.
Ewajiban pencatatan ini juga berlaku bagi wajib pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pengecualian tersebut dilakukan berdasarkan prinsip kesederhanaan, terutama bagi pengusaha skala kecil dan menengah. Sebab, dari sebagian dari mereka umumnya tidak mengetahui adanya kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tidak memahami bagaimana menyelenggarakan pembukuan, atau tidak mempunyai karyawan yang berkompetensi dalam membuat pembukuan.Untuk itu, mereka hanya diwajibkan untuk melakukan pencatatan yang lebih sederhana dibanding pembukuan.
Ketentuan Pembukuan dan Pencatatan UU KUP mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dalam menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Wajib pajak yang melakukan pembukuan harus memenuhi ketentuan berikut:
- diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
- diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan;
- diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas;
- Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan; dan
- Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Adapun bagi wajib pajak yang melakukan pencatatan, harus memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu:
- pencatatan harus menggambarkan antara lain:
- peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
- penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final;
- bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan; dan
- selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, wajib pajak orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
Pembukuan d alam Bahasa Asing d an Mata Uang Selain Rupiah Wajib pajak diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.196/PMK.03/2007 yang telah diubah terakhir dengan PMK No.1/PMK.03/2015, wajib pajak yang diperkenankan menggunakan Bahasa Inggris dan mata uang dolar AS adalah:
- wajib pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu wajib pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan PMA;
- wajib pajak dalam rangka kontrak karya, yaitu wajib pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RIsebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
- wajib pajak dalam rangka kontrak kerja sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
- bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU Pajak Penghasilan (PPh) atau menurut perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang terkait;
- wajib pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
- kontrak investasi kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi mata uang dolar AS dan telah memperoleh surat pemberitahuan efektif pernyataan pendaftaran dari badan pengawasa pasar modal-lembaga keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
- wajib pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak ( subsidiary company ) yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk ( parent company ) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b UU PPh; atau
- wajib pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang dolar AS sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Tata Cara Penyelenggaran Pembukuan dalam Bahasa Asing d an Mata Uang Selain Rupiah Untuk dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS, wajib pajakharus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali wajib pajak dalam rangka kontrak karya atau wajib pajakdalam rangka kontraktor kontrak kerja sama.
Izin tertulis tersebut dapat diperoleh wajib pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil), paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AStersebut dimulai atau sejak tanggal pendirian bagi wajib pajak baru untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak pertama.
Kepala Kanwil atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 bulan sejak permohonan dari wajib pajak diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan KepalaKanwil Ditjen Pajak belum memberikan keputusan maka permohonan wajib pajak tersebut dianggap diterima dan Kepala Kanwilatas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS.
Wajib pajak dalam rangka kontrak karya atau kontraktor kontrak kerja sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar paling lambat 3 bulan sejak tanggal pendirian bagi wajib pajak yang sudah menyelenggarakan pendirian sejak pendiriannya) atau 3 bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS tersebut dimulai.
Adapun wajib pajak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS, namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal tahun pajak sebagaimana tercantum dalam surat izin belum dimulai dan pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai.
- Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai, maka wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke KPP paling lama 3 bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uangdolar AS tersebut dimulai.
- Bagi wajib pajak kontrak karya atau kontraktor kontrak kerja sama yang telah memberitahukan ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS, namun WP tersebut berubah pikiran dan akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil paling lama 3 bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kanwil atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS dalam jangka waktu paling lama 1 bulan sejak permohonan dari wajib pajak diterima secara lengkap.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kanwil belum memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima.Wajib pajak yang mengajukan permohonan tersebut tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar AS dalam jangka waktu 5 tahun sejak izin tersebut dicabut.
Tata cara permohonan penyelenggaran pembukuan menggunakan Bahasa Inggris dan mata uang dolar AS ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No: PER-23/PJ/2015 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberitahuan, Pemberian, Pembatalan serta Permohonan dan Penerbitan Kembali Izin Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Inggris dan Satuan MataUang Dolar AS.
Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program online wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan wajib pajak badan.
Perubahan tahun buku dan metode pembukuan perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari direktur jenderal pajak.*
Apa itu wajib pajak orang pribadi berstatus karyawan?
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik Dan Pegawai Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah – Ortax
- PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 16/PJ/2007
- TENTANG
- PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
YANG BERSTATUS SEBAGAI PENGURUS, KOMISARIS, PEMEGANG SAHAM/PEMILIK DAN PEGAWAI MELALUI PEMBERI KERJA/BENDAHARAWAN PEMERINTAH
- DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
- Menimbang :
- bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan, setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak;
- bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada orang pribadi yang memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan dalam rangka ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi, perlu dilakukan kegiatan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik Dan Pegawai Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah;
Mengingat :
- tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
- tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dengan Sistem e-Registration;
- MEMUTUSKAN :
- Menetapkan :
- PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI PENGURUS, KOMISARIS, PEMEGANG SAHAM/PEMILIK DAN PEGAWAI MELALUI PEMBERI KERJA/BENDAHARAWAN PEMERINTAH.
- BAB I KETENTUAN UMUM
- Pasal 1
- Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus dan atau Komisaris adalah orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri yang memegang jabatan sebagai Pengurus dan atau Komisaris (dewan pengawas) yang mengelola perusahaan, termasuk yayasan dan bentuk organisasi lainnya.
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pemegang Saham/Pemilik adalah orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri yang merupakan Pemegang Saham/Pemilik pada perusahaan.
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pegawai adalah orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang jumlahnya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Perusahaan adalah Perusahaan Perorangan atau Badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan Kerja Sama Operasi (KSO), yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit.
- Pemberi Kerja adalah Perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh Pegawai, termasuk Pengurus, Komisaris dan Pemegang Sahabat/Pemilik.
- Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah, Lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Luar Negeri, yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
- Kantor Pelayanan Pajak Lokasi (KPP Lokasi) adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah.
- Kantor Pelayanan Pajak Domisili (KPP Domisili) adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/domisili Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang, Saham/Pemilik dan Pegawai.
- Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal alat identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
- Daftar Nominatif adalah daftar nama dan identitas Pengurus, Komisaris, Pemegang Sahabat/Pemilik dan Pegawai yang disusun oleh Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah dan dikelompokkan berdasarkan penghasilan di atas PTKP dan belum ber-NPWP, penghasilan di atas PTKP dan sudah ber-NPWP, dan penghasilan di bawah PTKP.
- Elektronik NPWP (e-NPWP) adalah program aplikasi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah untuk merekam nama dan Identitas Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai yang berpenghasilan di atas PTKP dan belum ber-NPWP.
- Aplikasi Pendaftaran Wajib Pajak Massal (PWPM) adalah program aplikasi yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memproses pemberian NPWP Orang Pribadi berdasarkan e-NPWP atau Daftar Nominatif.
- Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari Master File Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.
BAB II TATA CARA PENDAFTARAN, PEMBERIAN, DAN PENGHAPUSAN NPWP Pasal 2 Setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai dengan penghasilan di atas PTKP wajib mendaftarkan diri pada KPP dan kepadanya diberikan NPWP.
- Pasal 3
- Dalam rangka ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi dan peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak, pemberian NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh KPP Lokasi.
- Pasal 4
(1) | Untuk pemberian NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah membuat Daftar Nominatif dan atau mengisi e-NPWP, dan menyampaikannya ke KPP Lokasi. |
(2) | Penyampaian Daftar Nominatif dan atau e-NPWP yang telah diisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai permohonan pendaftaran Wajib Pajak oleh masing-masing calon Wajib Pajak Orang Pribadi secara massal. |
(3) | Terhadap orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak berdasarkan Daftar Nominatif dan atau e-NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kartu NPWP oleh KPP Lokasi sesuai domisili Wajib Pajak. |
Pasal 5
(1) | Dalam hal Wajib Pajak telah memiliki NPWP, KPP Domisili melakukan penghapusan NPWP yang diberikan oleh KPP Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). |
(2) | Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan Surat Penghapusan NPWP. |
ul>
a. | Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam:
|
/td>
ol>
: Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik Dan Pegawai Melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah – Ortax
Siapakah wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan?
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (12) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tabun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 2. Keputusan Presiden Nomor 20/ P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PENCATATAN BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. Pasal 1 (1) Wajib Pajak orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah: a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. (2) Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia. (3) Pencatatan dalam suatu tahun harus diselenggarakan secara kronologis. (4) Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun. Pasal 2 (1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 harus dapat menggambarkan antara lain: a. peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh; b. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. (2) Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan. (3) Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) harus menyelenggarakan, pencatatan atas harta dan kewajiban. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2007 MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI INDRAWATIBagaimana jika wajib pajak belum mampu melakukan pembukuan?
Hukum Pajak dalam Pembukuan, Pemeriksaan, dan Penyelidikan pembukuan merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur yang digunakan untuk mengumpulkan suatu data atau informasi keuangan, yang pada akhir nya penyusunan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
Jakarta – Secara umum pembukuan merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur yang digunakan untuk mengumpulkan suatu data atau informasi keuangan seperti harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang diakhir akan ditutup dengan penyusunan laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
Pembukuan wajib dilakukan oleh wajib pajak yang mempunyai keperluan perpajakan seperti perseroan yang melakukan kegiatan usaha, badan koperasi yang pada dasarnya menjadi subjek pajak penghasilan, serta wajib pajak orang pribadi yang memiliki modal tertentu minimal dalam jumlah Rp 10 JT dan memiliki peredaran bruto dalam setahun melebihi Rp 120 JT,
- Selain itu untuk wajib pajak orang pribadi yang diluar ketentuan yang berlaku tersebut dapat membuat dan menjalankan pembukuan untuk menghitung penghasilan atau laba kena pajaknya.
- Perlu kita ketahui bahwa biasanya pembukuan ataupun dokumen lainnya harus disimpan selama 10 tahun yang diberlakukan untuk wajib pajak ditempat kegiatan itu sendiri dan untuk wajib pajak badan di tempat kedudukannya.
Bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang tidak melakukan pembukuan maka akan mendapatkan sanksi atas tidak mengadakannya pembukuan, sanksi tersebut antara lain :
Pajak terutang yang ditetapkan oleh Surat Ketetapan Pajak (SKP) akan dinaikan menjadi 100%, khusus untuk PPh 29 akan dinaikan menjadi 50% Jika WP pribadi ataupun badan memperlihatkan pembukuan atau dokumen lain palsu yang seolah-olah dibenarkan, tidak mengadakan pembukuan,dan tidak memperlihatkan dokumen lainnya maka akan mendapat pidana sampai 3 tahun dan denda sampai 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayar.
Sementara itu pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, serta mengolah data atau keterangan lain guna untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak sesuai dengan peraturan dalam undang-undang perpajakan yang berlaku.
Untuk menghadapi wajib pajak dalam mengadakan pembukuan maka DJP menunjuk KPP sebagai instansi yang memiliki wewenang dalam bidang perpajakan yang diberikan sepenuhnya oleh undang-undang guna untuk mengadakan pemeriksaan pembukuan terhadap wajib pajak. Jika DJP dan KPP mendapat keraguan terhadap ketentuan pembukuan yang dibuat oleh WP maka Direktur Jenderal Pajak dapat menugaskan seorang akuntan untuk mengadakan pemeriksaan atas semua pembukuan WP sampai pada bukti-bukti mendasar dan dapat dilakukan pemeriksaan secara sektoral atau pemeriksaan atas bagian tertentu dalam pembukuan.
Dalam melakukan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan dapat dilaksanakan di tempat usaha atau tinggal wajib pajak. Nah, dan yang terakhir adalah penyelidikan. Penyelidikan itu sendiri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dimana dengan adanya bukti tersebut membuat adanya titik terang atas tindak pidana dalam bidang perpajakan yang terjadi dan dapat menemukan tersangka serta mengetahui besarnya pajak terutang yang diduga digelapkan dalam tindak pidana tersebut.
- Penyidikan tindak pidana pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berada dalam lingkungan DJP yang diberi penugasan atau wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana yang terjadi dalam perpajakan.
- Tindak pidana dalam bidang perpajakan ini dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh WP.
Kealpaan itu sendiri merupakan sesuatu yang terjadi ketika WP alpa atau dengan sengaja tidak menyampaikan SPT ataupun menyampaikan SPT namun isinya tidak benar dan tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian yang berdampak pada pendapatan negara.
Kapan orang pribadi harus menjadi wajib pajak?
Dasar Hukum –
- Dengan berdasar kepada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengubah, menjelaskan setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan, baik subjektif dan objektif yang sesuai undang-undang terkait perpajakan diwajibkan untuk mendaftarkan dirinya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan NPWP.
- Di bah UU HPP sendiri, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan menggunakan nomor induk kependudukan (NIK).
- Maka, kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri berdasarkan dengan ketentuan Undang-Undang tersebut adalah dimulai pada saat Wajib Pajak telah memenuhi semua persyaratan, baik itu subjektif maupun objektif.
Kebijakan yang mengatur mengenai ketentuan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksudkan sebelumnya, diatur pada Bab III terkait Pajak Penghasil yang merubah, Pada Undang-Undang (UU) ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak merupakan orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan untuk menggantikan yang berhak, badan, dan juga Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Sedangkan untuk objek pajak sendiri merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh ataupun diterima oleh Wajib Pajak, baik itu berasal dari Indonesia maupun dari luar negara Indonesia, yang dapat digunakan untuk konsumsi ataupun dapat untuk menambah kekayaan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Untuk objek pajak orang pribadi, terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai batasan usia minimal, yaitu usia 18 (delapan belas tahun) dan dianggap sudah dewasa. Untuk penghasilan anak yang belum dewasa berdasarkan ketentuan Undang-Undang, maka untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari mana pun sumbernya dan sifat pekerjaannya, maka akan digabungkan dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
- Sedangkan bagi orang pribadi yang sudah memasuki usia 18 (delapan belas tahun) serta sudah memiliki penghasilannya sendiri, maka sudah diwajibkan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Lalu, setelah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan menerima NPWP, apakah kewajiban perpajakan sudah dimulai?
- Ya, saat dimulainya kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak adalah pada saat telah memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai Wajib Pajak dan sehubungan dengan adanya perbuatan, keadaan, maupun peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, ataupun dalam Tahun Pajak.