Apa Yang Dimaksud Dengan Kredit Pajak?

Apa Yang Dimaksud Dengan Kredit Pajak
Apa Itu Kredit Pajak? – Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28 UU PPh, kredit pajak adalah jumlah pajak yang sudah dibayar atau sudah terhitung oleh Anda sebagai Wajib Pajak di awal periode pajak. Dengan kata lain, kredit pajak adalah akumulasi dari pajak yang diambil oleh pihak lain dan sudah dikurangi dengan pajak terutang.

Apa yg dimaksud kredit pajak PPN?

Beranda Kamus Hukum

Apa pengertian dan definisi Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai? Kamus Hukum Indonesia. Definisi: Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

Apa yang dimaksud dengan kredit pajak pajak apa saja yang dapat menjadi kredit pajak dalam perhitungan PPh badan?

Apa Yang Dimaksud Dengan Kredit Pajak brandnewday / Pixabay Pajak Penghasilan (PPh) Badan menjadi kewajiban tahunan bagi Wajib Pajak Badan maupun BUT. Untuk menentukan PPh Badan terutang, Wajib Pajak Badan atau BUT harus menentukan penghasilan kena pajak, yang diperoleh dari penghasilan dan dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan menurut ketentuan pajak.

  1. PPh Pasal 22 terkait dengan pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain
  2. PPh Pasal 23 terkait dengan pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa
  3. PPh Pasal 24 terkait dengan pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan
  4. PPh Pasal 25 terkait dengan pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri (angsuran pajak)
  5. PPh Pasal 26 ayat (5) berkaitan dengan pemotongan pajak atas subjek pajak luar negeri yang menjadi subjek pajak dalam negeri yang tidak bersifat final

PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 dikenakan atas transaksi di industri tertentu, misalnya semen dan kertas. PPh Pasal 22 juga dipungut berkaitan dengan kegiatan impor barang. Wajib Pajak yang bertransaksi dengan bendaharawan pemerintah juga dipungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5%.

Terdapat dua mekanisme pemungutan PPh Pasal 22, yakni bersifat final dan non final. Transaksi yang bersifat final antara lain penjualan BBM oleh Pertamina maupun selain Pertamina kepada agen/penyalur, dan penjualan bahan bakar gas. Wajib Pajak hanya dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang bersifat non final.

PPh Pasal 23 Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan atas imbalan jasa yang diterima Wajib Pajak Badan atau BUT. Tarif yang dikenakan sebesar 2%. PPh Pasal 23 juga dipotong sehubungan dengan sewa atas penggunaan harta selain tanah dan bangunan. Wajib Pajak Badan atau BUT yang menerima bunga, royalti, atau hadiah serta penghargaan juga dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Seluruh pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan dengan non final, sehingga dapat dikreditkan. PPh Pasal 23 dapat dikreditkan pada tahun pajak yang sama dengan tahun pajak diterbitkannya bukti potong PPh Pasal 23. PPh Pasal 24 Indonesia menganut sistem worldwide income, sehingga penghasilan yang berasal dari luar negeri terutang pajak di Indonesia.

Negara sumber penghasilan juga berpotensi memiliki hak pemajakan, sehingga penghasilan tersebut mungkin telah dikenakan pajak di negara sumber. Untuk menghindari pajak berganda, Wajib Pajak diberikan hak untuk melakukan pengkreditan pajak yang telah dipotong di luar negeri.

Dalam Pasal 24 ayat 1 UU PPh disebutkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama. Selengkapnya terkait menghitung kredit pajak luar negeri dapat dilihat pada artikel berikut ini.

PPh Pasal 25 Untuk mengurangi beban di akhir tahun, Wajib Pajak dapat memanfaatkan mekanisme angsuran pajak. Angsuran pajak atau PPh Pasal 25 dibayar setiap bulan oleh Wajib Pajak. Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan data SPT tahunan pada tahun sebelumnya, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan kredit pajak lainnya, kemudian dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

  • Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh
  • Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Apakah PPh final termasuk kredit pajak?

Baca juga Sejarah PPh Final di Indonesia – Pajak Penghasilan tidak final tidak akan memotong suatu penghasilan saat itu juga, sehingga Wajib Pajak akan ditetapkan belum melunasi kewajiban perpajakan sebelum melaporkan pajak. Akan dianggap lunas saat perhitungan dan pelaporan pajak di akhir tahun telah selesai. Beberapa perbedaan PPh final dan PPh tidak final adalah:

Dalam SPT Tahunan PPh badan, PPh final tidak digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum dalam. Sedangkan, penghasilan pada PPh tidak final digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. PPh Final, biaya yang berkaitan untuk menagih, menghasilkan, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh tidak dapat dikurangkan. Sedangkan pada PPh tidak final, biaya tersebut dapat dikurangkan. Bukti potong PPh untuk PPh final tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi pihak yang dipotong ataupun dipungut. Kebalikannya, bukti potong PPh tidak final dapat dihitung sebagai kredit pajak. Tarif PPh final ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Sedangkan tarif PPh tidak final adalah tarif umum seperti yang diatur dalam Pasal 17 UU PPh.

Tersebut merupakan urian perbedaan antara PPh final dan PPh tidak final. Sebagai Wajib Pajak, kita perlu mengetahui jenis pajak supaya memudahkan kita dalam proses pelaporan pajak. Singkatnya, jika PPh final artinya pajak yang sudah selesai maka PPh tidak final merupakan kebalikannya yaitu pajak yang masih belum selesai.

Apa tujuan kredit pajak?

Istilah dalam perpajakan memang sangat beragam salah satunya adalah kredit pajak. Kredit pajak merupakan pembayaran atau perhitungan pajak atas pajak terutang yang dilakukan pada awal periode. Besaran jumlah pajak ini berupa hasil pengurangan antara pajak yang telah dipungut dikurangi pajak terutang.

Apa arti dari kredit?

Beranda > Keuanganku > Mengenal Lembaga serta Produk Dan Jasa Keuangan > Apa itu Kredit dan Pembiayaan Dalam kehidupan sehari-hari, apakah Anda pernah mendengar kata kredit, atau pinjaman, atau pembiayaan? Umumnya, masyarakat yang mengajukan kredit atau pembiayaan memiliki kebutuhan dana untuk modal usaha atau kebutuhan konsumsinya. Lalu, apa yang membedakan keduanya? Secara ringkas, kredit merupakan fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan dengan dikenakan bunga. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan ata kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya seteah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit disediakan oleh bank umum konvensional, BPR, dan Pegadaian. Sementara itu, pembiayaan merupakan dukungan pendanaan untuk kebutuhan atau pengadaan barang / aset / jasa tertentu yang mekanisme umumnya melibatkan tiga pihak yaitu pihak pemberi pendanaan, pihak penyedia barang/ aset/ jasa tertentu, dan pihak yang memanfaatkan barang/ aset/ jasa tertentu. Produk pembiayaan disediakan oleh bank umum syariah/ unit usaha syariah/ BPRS, dan perusahaan pembiayaan. Namun, terdapat pula mekanisme yang hanya melibatkan dua pihak seperti pembiayaan emas di bank/BPR Syariah dan pembiayaan dengan cara jual dan sewa balik ( sale and lease bac k).

Berapa jumlah maksimum kredit pajak yang diperbolehkan?

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 640/KMK.04/1994 TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

table>

b. bahwa pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri dimaksudkan untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari luar negeri; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai kredit pajak luar negeri dengan Keputusan Menteri Keuangan;

table>

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);

table>

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459), dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);

table>

3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

table>

Menetapakan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI.

table>

(1) Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. (2) Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :

table>

a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut; b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut; c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dilakukan dalam tahun pajak pada saat diperoleh dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

table>

(3) Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

table>

(1) Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia. (2) Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2). (3) Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setinggi- tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, atau setinggi- tingginya sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri. (4) Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk masing-masing negara.
You might be interested:  Jenis Pajak Berdasarkan Pihak Yang Menanggung?

table>

Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

table>

(1) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampiri :

table>

a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri; b. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

table>

(2) Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

table>

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena alasan-alasan di luar kekuasaan Wajib Pajak.

table>

(1) Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut. (2) Apabila karena pembetulan tersebut pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan kurang dibayar, maka atas kekurangan terbut tidak dikenakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994. (3) Apabila karena pembetulan tersebut pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

table>

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusaan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

table>

Dengan berlakunya keputusan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor 217/KMK.04/1986 tanggal 3 April 1986, dinyatakan tidak berlaku.

table>

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di: JAKARTA pada tanggal : 29 Desember 1994 MENTERI KEUANGAN ttd. MAR’IE MUHAMMAD PENJELASAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 640/KMK.04/1994 TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 menentukan bahwa Wajab Pajak dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan dimanapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di Indonesia maupun diluar Indonesia. Dengan pengenaan pajak atas seluruh penghasilan tersebut, maka dapat terjadi pengenaan pajak ganda terhadap penghasilan yang berasal dari luar Indonesia, di negara sumber penghasilan itu dan di Indonesia. Untuk menghindari pengenaan pajak ganda tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Metode kredit pajak yang demikian disebut metode pengkreditan terbatas (“ordinary credit method”).

table>

PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Ayat 1

table>

Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri mapun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan.

table>

Contoh

table>

PT A di Jakarta dalam tahun pajak 1995 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut :

table>

a. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 1995 sebesar Rp.800.000.000,00; b. Dividen atas pemilikan saham pada “X Ltd” di Australia sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 1992 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 1994 dan baru dibayar dalam tahun 1995; c. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada “Y Corporation” di Hongkong yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1994 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 1995; d. Bunga kwartal IV tahun 1995 sebesar Rp.100.000.000,00 dari “Z Sdn Bhd” di Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Mei 1996.

table>

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 1995 adalah penghasilan pada huruf a,b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 1996.

table>

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di luar negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia. Contoh PT D di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 1995 sebagai berikut :

table>

a. di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40%(Rp.400.000.000,00); b. di negara Y, memperoleh penghasilan (laba)RP 3.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 25%(Rp.750.000.000,00); c. di negara Z, menderita kerugian Rp.2.500.000.000,00; d. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp.4.000.000.000,00.

table>

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :

table>

1. Penghasilan luar negeri :

a. Laba di Negara X = Rp.1.000.000.000,00 b. Laba di Negara Y = Rp.3.000.000.000,00 c. Laba di Negara Z = Rp. – – ( + ) Jumlah penghasilan luar negeri = Rp.4.000.000.000,00

2. Penghasilan dalam negeri = Rp.4.000.000.000,00

table>

3. Jumlah penghasilan neto adalah Rp.8.000.000.000,00 yaitu Rp.4.000.000.000,00 + Rp.4.000.000.000,00

table>

4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17)= Rp2.391.250.000,00

table>

5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :

table>

a. Untuk negara X =

1.000.000.000,00 – X Rp.2.391.250.000,00=Rp.298.906.250,00 8.000.000.000,00

Pajak yang terutang di negara X Rp.400.000.000, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan = Rp.298.906.250,00

table>

b. Untuk negara Y =

Rp 3.000.000.000,00 – x Rp.2.391.250.000,00=Rp.896.718.250,00 Rp 8.000.000.000,00

Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp.750.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.750.000.000,00 Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri yaitu (di negara Z sebesar Rp.2.500.000.000,00) tidak dikompensasikan.

table>

Pajak atas penghasilan di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak adalah pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri. Yang dimaksud dengan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak atas penghasilan berkenan dengan usaha atau pekerjaan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud dengan pajak yang dibayar di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri misalnya bunga, dividen, dan royalti.

table>

Contoh:

table>

PT “A” di Jakarta dalam tahun 1995 menerima dividen dari “B” Ltd di Belanda sebesar Rp.100.000.000,00 yang berasal dari keuntungan tahun 1994. Atas dividen tersebut telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemerintah Belanda sebesar 10%. Adapun penghasilan dari usaha di dalam negeri dalam tahun pajak 1995 berjumlah Rp.400.000.000,00. Pengkreditan pajak luar negeri sebesar Rp.10.000.000,00 dilakukan pada tahun 1995, yaitu pada tahun penggabungan penghasilan deviden dari “B” Ltd, karena deviden tersebut diterima tahun 1995. Dalam hal PT “A” mempunyai penyertaan pada badan usaha yang berkedudukan di negara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.10 Tahun 1994, maka pengkreditan pajaknya tidak harus pada tahun yang sama dengan tahun penggabungan penghasilan. Dengan demikian apabila dividen tersebut telah dianggap dibagikan pada tahun pajak sebelum pajak atas dividen tersebut dibayar, pajak tersebut tetap dapat dikreditkan dalam tahun pembayaran pajak atas dividen dimaksud.

table>

Contoh penghitungan batas maksimum kredit pajak adalah sebagai berikut:

table>

a) PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 1995 sebagai berikut :

table>

Penghasilan dalam negeri Rp.1.000.000.000,00 Penghasilan luar negeri Rp.1.000.000.000,00 (dengan tarif pajak 20%) Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :

1. – Penghasilan luar negeri Rp.1.000.000.000,00 – Penghasilan dalam negeri Rp.1.000.000.000,00 – ( + ) Jumlah penghasilan neto Rp.2.000.000.000,00

2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Kenghasilan yang terutang sebesar Rp.591.250.000,00.

table>

3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :

1.000.000.000,00 – X Rp.591.250.000,00 = Rp 295.625.000,00 2.000.000.000,00

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 295.625.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp 200.000.000,00, maka jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp 200.000.000,00.

table>

b) PT. B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 1995 sebagai berikut :

table>

– Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp1.000.000.000,00 – Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00)

table>

Pajak atas penghasilan di luar negeri maksimalnya 40% = Rp 400.000.000,00

table>

Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah sebagai berikut :

1. Penghasilan usaha luar negeri Rp.1.000.000.000,00 Rugi usaha dalam negeri (Rp.200.000.000,00) – (-) Jumlah Penghasilan neto Rp.800.000.000,00 2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 231.250.000,00 3.

Oleh karena pajak yang dibayar di luar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu Rp 231.250.000,00.

table>

Apabila penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

table>

Contoh :

table>

PT. C di Jakarta dalam tahun 1995 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut :

Penghasilan dari dalam negeri = Rp 2.000.000.000,00 – Penghasilan dari negara X = Rp 1.000.000.000,00 (dengan tarif pajak 40%) – Penghasilan dari negara Y = Rp 2.000.000.000,00 (dengan tarif pajak 30%) – (+) Jumlah penghasilan neto = Rp 5.000.000.000,00

Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp 1.491.250.000,00. Batas maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah:

table>

a. untuk negara X =

1.000.000.000,00 – X Rp 1.491.250.000,00= Rp 298.250.000,00 5.000.000.000,00

Pajak yang terutang di luar negeri sebanyak Rp 400.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp 298.250.000,00.

table>

b. Untuk negara Y =

2.000.000.000,00 – X Rp 1.491.250.000,00= Rp 596.500.000,00 5.000.000.000,00

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 600.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp 596.500.000,00.

table>

Ketentuan ini memberi penegasan bahwa apabila terdapat sisa pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri yang tidak dapat dikreditkan dengan pajak yang terutang, karena jumlahnya melebihi batas maksimum yang diperkenankan, maka sisa tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak untuk tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat diminta kembali.

table>

Wajib Pajak yang memperhitungkan kredit pajak luar negeri terhadap Pajak Penghasilan yang terutang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, harus mengajukan permohonan pengkreditan pajak luar negeri. Permohonan pengkreditan pajak luar negeri beserta dokumen-dokumen lampirannya disampaikan kepada kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai lampiran dari Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
You might be interested:  Berikut Yang Termasuk Dalam Faktor Produksi Berupa Modal Adalah?

table>

Cukup jelas

table>

Cukup jelas

table>

Wajib Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan apabila di luar negeri dilakukan koreksi fiskal atas Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak di negara tersebut.

table>

Dalam hal koreksi fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah koreksi yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan,sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih.

Penghasilan luar negeri (SPT) = Rp 1.000.000.000,00 – Penghasilan dalam negeri = Rp 2.000.000.000,00 – Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) = Rp 2.000.000.000,00 – Pajak atas penghasilan yang ter- utang di luar negeri misalnya 40 % – PPh Pasal 25 yang dibayar = Rp 500.000.000,00 – PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut: SPT 1.

  1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00 2.
  2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 – 3.
  3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00 =================== 4.
  4. PPh terutang Rp 891.250.000,00 5.
  5. Redit Pajak Luar Negeri: 1.000.000.000,00 – X Rp 891.250.000,00 = Rp 297.083.333,00 3.000.000.000,00 6.
  6. Harus bayar di Indonesia Rp 594.166.667,00 7.

PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00 8. PPh Pasal 29 Rp 94.166.667,00 ================= Pembetulan SPT 1. Penghasilan luar negeri Rp 2.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000,00 =================== 4.

Dapat pula terjadi bahwa koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar. Koreksi fiskal diluar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.

Penghasilan luar negeri (SPT) Rp 1.000.000.000,00 – Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 – Penghasilan luar negeri (setelah koreksi di luar negeri) Rp 500.000.000,00 – Pajak atas Penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40 % – PPh Pasal 25 yang di bayar Rp 500.000.000,00 PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut: SPT 1.

  • Penghasilan Luar Negeri Rp 1.000.000.000,00 2.
  • Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 – 3.
  • Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00 =================== 4.
  • PPh terutang Rp 891.250.000,00 5.
  • Redit Pajak Luar Negeri: 1.000.000.000,00 – X Rp 891.250.000,00 = Rp 297.083.333,00 3.000.000.000,00 6.
  • Harus di bayar di Indonesia Rp 594.166.667,00 7.

PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00 8. PPh Pasal 29 Rp 94.166.667,00 Pembetulan SPT 1. Penghasilan luar negeri Rp 500.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 – 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 2.500.000.000,00 =================== 4. PPh terutang Rp 741.250.000,00 5.

Cukup jelas

table>

Cukup jelas

table>

Cukup jelas

Apakah kredit pajak dapat dibiayakan?

Kredit pajak dalam hal pajak penghasilan tidak bisa dibiayakan seperti UU PPh No 36-2008 pasal 6. jd menurut hemat saya berdasarkan UU KUP 28-2007 pasal 17 dan 17A-D anda sebaiknya mengajukan permohonan pengembalian kelebihan. Jika anda telah melakukan pelaporan perpajakan dengan benar tidak usah takut dgn Pemeriksaan.

Apa yang dimaksud dengan kredit pajak PPh 24?

Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terutang yang dimiliki di Indonesia. Tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 UU PPh bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh (UU nomor 36 tahun 2008) dalam tahun pajak yang sama.

  1. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 2 UU PPh, besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh (UU nomor 36 tahun 2008 ).
  2. Etentuan Pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri,

Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda.

Mengapa pajak final tidak dapat dikreditkan?

Kenali Apa Itu PPh Final – Pajak Penghasilan (PPh) Final merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan dengan tarif dasar pengenaan pajak (DPP) tertentu. Yang mana berbeda dengan skema pajak secara umum atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam sepanjang tahun pajak berjalan.

Jadi, bisa dikatakan jika PPh Final merupakan pajak yang tidak diikutsertakan lagi dalam penghitungan PPh Terutang tahunan. Hal ini berarti bahwa suatu PPh yang sudah bersifat final, maka tidak dapat untuk dikreditkan dengan PPh Terutang. Berdasarkan pada ulasan di atas, bisa dikatakan jika suatu penghasilan yang telah dikenai PPh Final tidak akan dihitung lagi PPh atau pajaknya pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Dimana PPh final ini tidak dihitung lagi pajaknya dengan penghasilan lain yang tidak final atau non final untuk dikenai tarif progresif. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Konsultan pajak Serpong adalah solusi masalah pajak anda.

Apakah PPh 21 bisa dijadikan kredit pajak?

Ya, PPh 21 ndak bisa dijadikan kredit pajak bagi WP badan, shg PPh Kurang Bayar = PPh terutang- Kredit Pajak ( PPh 22, 23 & 24).

Apa yang dimaksud pajak yang tidak dapat dikreditkan?

Faktur Pajak Tidak Dapat Dikreditkan, Berikut Ini Penjelasannya Faktur pajak yang terkadang tidak dapat dikreditkan ialah faktur pajak masukan. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran disebut dengan faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan.

Artinya, bahwa pajak masukan yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak dapat menjadi pengurang pajak keluaran. Berdasarkan Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan ialah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya dibayar oleh PKP karena perolehan Barang dan/atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan/atau impor BKP.

Dalam peraturan perpajakan Pasal 9 UU PPN, disebutkan bahwa terdapat prinsip dasar dalam mengkreditkan faktur pajak masukan yang antara lain ialah: 1. Pajak masukan dalam suatu tahun masa dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.2.

Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat masa pajak yang sama, masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, paling lama 3 bulan setelah masa pajak yang bersangkutan dengan catatan belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.3. Mencatumkan identitas dalam faktur pajak yang memuat keterangan penyerahan BKP/JKP antara lain: – Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP.

– Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP/JKP. – Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga. – PPN yang dipungut. – Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak. – Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.4.

  • PKP yang belum melakukan kegiatan produksi sehingga secara otomatis belum melakukan penyerahan terutang pajak, maka pajak masukan terkait perolehan dan/atau impor barang dapat dikreditkan.5.
  • Pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Tercantum dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN 42/2009 terkait jenis faktur pajak yang dibuat dari PPN atau pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan antara lain: 1.

Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.4.

  1. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhan sebagai PKP.5.
  2. Perolehan BKP/JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan seperti mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP atau tidak mencantumkan identitas seperti nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP/JKP.6.

Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan seperti yang telah diatur DJP terkait penetapan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak.7. Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.8.

Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.9. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi. Dalam hal ini, PKP dapat mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran yang sama.

Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran maka kelebihan tersebut harus disetorkan ke kas negara, sebaliknya jika dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran maka kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau diajukan restitusi.

Apakah pajak PPh 23 bisa dikreditkan?

Masa berlaku bukti potong PPh 23 untuk dapat di kreditkan. – Bukti potong PPh 23 hanya bisa dikreditkan sesuai tahun pajaknya. Artinya bukti potong 2021 hanya dapat dikreditkan di SPT Tahunan 2021 yang jatuh tempo pelaporannya yaitu 30 April 2022. Apabila kamu menerima bukti potong 2021 di bulan April 2022 pada saat kamu telah melaporkan pajak tahunan, bukti potong tersebut tidak dapat dikreditkan untuk SPT Tahunan tahun 2022.

  • Bukti potong tahun 2021 bisa dikreditkan dengan cara pembetulan SPT Tahunan 2021, namun itu akan menyebabkan pajak tahunan menjadi lebih bayar.
  • Dan kelebihan bayar tersebut akan menimbulkan pemeriksaan lebih bayar dari kantor pajak untuk restitusi.
  • Tentunya hal tersebut sangat ingin dihindari oleh wajib pajak.

Penerima bukti potong harus gigih dalam menagih dan mencatat bukti potong agar tidak terjadi hal seperti itu. Dan PPh Pasal 23 yang tidak sempat dikreditkan juga tidak boleh anggap sebagai biaya Sesuai ketentuan UU PPh Pasal 9 ayat (1) huruf h Pajak Penghasilan tidak boleh di biayakan.

Apakah PPN masukan dapat dikreditkan?

Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) di Indonesia menggunakan sistem pengkreditan (credit methode) dimana pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Namun, tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan.

PPh final untuk siapa?

b. Objek Pajak Final dan Tidak Final – Objek Pajak PPh Final Sedangkan yang termasuk Objek Pajak PPh Final menurut perundangan perpajakan adalah sebagai berikut:

  1. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
  2. Bunga Obligasi
  3. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
  4. Hadiah Undian
  5. Transaksi Penjualan Saham dan sekuritas lainnya
  6. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya
  7. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah objek pajak PPh final
  8. Penghasilan dari Pengalihan Real Estate dalam Skema Kontrak Investasi
  9. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  10. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
  11. Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
  12. Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
  13. Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
  14. Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap.

Baca Juga: Jenis, Tarif, Hingga Cara Perhitungan PPh 21 Bagi Kelompok Bukan Pegawai Objek Pajak PPh Tidak Final Adapun Objek Pajak PPh Tidak Final adalah sebagai berikut:

  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
  2. Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
  3. Laba usaha
  4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
  5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
  6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
  7. Dividen
  8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
  9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
  10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
  11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah
  12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
  13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
  14. Premi asuransi
  15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
  16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
  17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
  18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
  19. Surplus Bank Indonesia.
You might be interested:  Jenis Pajak Yang Menjadi Sumber Penerimaan Daerah?

Demikian penjelasan singkat mengenai PPh final objek pajak final, juga perbedaannya. Sehubungan dengan ketentuan PPh Tidak Final, Wajib Pajak diberikan kesempatan sampai akhir tahun buku untuk menuntaskan kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak diperbolehkan untuk menghitung sendiri seluruh penghasilan dan biaya-biaya lainnya selama satu Tahun Pajak, untuk selanjutnya diperhitungkan dengan PPh Final yang sudah dibayarkan. Saya Mau Coba Gratis Klikpajak Sekarang!

Kredit pajak PPN pasal berapa?

Pengkreditan Pajak Masukan PPN pada UU Cipta Kerja Apa Yang Dimaksud Dengan Kredit Pajak Pada peraturan UU pasal 112 menganai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam pasal 54 dan 55 ayat (1) PMK-18/2021 membahas mengenai pengkreditan pajak masukan bagi PKP yang belum melakukan penyerahan. Adapun kriteria PM yang dapat dikreditkan bagi PKP yang belum melakukan penyerahan atas perolehan sebagai berikut:

  • Perolehan Barang Kena Pajak
  • Perolehan Jasa Kena Pajak
  • Impor Barang Kena Pajak
  • Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan
  • Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

Pengkreditan PM dilakukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan PM sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan atas kelebihan PM dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Namun PM menjadi tidak dapat dikreditkan apabila PKP Belum Melakukan Penyerahan dalam jangka waktu tertentu dan PKP Belum Melakukan Penyerahan dan melakukan pembubaran usaha, melakukan pencabutan PKP, atau dilakukan pencabutan PKP secara jabatan.

  1. PKP yang kegiatan usaha utamanya Perdagangan, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan kegiatan penyerahan BKP dan/atau ekspor BKP
  2. PKP yang kegiatan usaha utamanya Jasa, apabila dalam jangka waktu tertentutidak melakukan kegiatan penyerahan JKP dan/atau ekspor JKP
  3. PKP yang kegiatan usaha utamanya Menghasilkan BKP, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan kegiatan penyerahan BKP dan/atau ekspor BKP yang dihasilkan sendiri

Adapun termasuk dalam kriteria belum melakukan penyerahan adalah sebagai berikut:

  1. PKP melakukan kegiatan pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP.
  2. PKP melakukan kegiatan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang.
  3. PKP melakukan kegiatan penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
  4. PKP melakukan kegiatan penyerahan BKP dan/atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha utama.

Jangka Waktu Pengkreditan PM Sebelum Penyerahan adalah 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali PM dan ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali PM bagi Pengusaha Kena Pajak dalam sektor usaha tertentu seperti sektor usaha yang menghasilkan BKP, ditetapkan sampai dengan 5 (lima) tahun dan sektor usaha yang termasuk dalam proyek strategis nasional yang mendapatkan penugasan pemerintah, ditetapkan sampai dengan 6 (enam) tahun.

  • PM yang telah dikreditkan dan belum dimintakan pengembalian dapat dikreditkan dalam hal BKP dan/atau JKP dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud digunakan untuk kegiatan usaha yang baru.
  • PM yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembalian, wajib dibayar kembali ke kas negara dalam hal BKP dan/atau JKP dan/atau BKP Tidak Berwujud tidak digunakan untuk kegiatan usaha yang baru.
  • PM yang telah dikreditkan dan belum dimintakan pengembalian menjadi tidak dapat dikreditkan dalam hal BKP dan/atau JKP dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tidak digunakan untuk kegiatan usaha yang baru maka yang harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN dalam hal pajak masukan menjadi tidak dapat dikreditkan.

Perlakuan pajak masukan yang menjadi tidak dapat dikreditkan wajib dibayar kembali ke kas Negara dalam hal telah menerima pengembalian dan/atau telah mengkreditkan PM dengan PK (PK atas kegiatan yang termasuk dalam kriteria Belum Melakukan Penyerahan) dan tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya, serta tidak dapat diajukan permohonan pengembalian dalam hal belum dimintakan pengembalian.

  • akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu tertentu (3 tahun)
  • akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu tertentu bagi sektor usaha tertentu (5 tahun/ 6 tahun)
  • akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya perubahan kegiatan usaha

lalu, pembayaran kembali PM memiliki jatuh tempo dapat dilakukan dengan Tata Cara sebagai berikut:

  1. menggunakan Surat Setoran Pajak dengan mencantumkan keterangan “Pembayaran kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian”.
  2. dilaporkan pada masa pajak dilakukan pembayaran
  3. Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar atas pembayaran kembali Pajak Masukan, tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan
  4. Pembayaran kembali Pajak Masukan menggunakan Kode Jenis Pajak (KJP) 411219 untuk jenis pajak PPN Lainnya dan Kode Jenis Setor (KJS) 100 untuk pembayaran PPN terutang Lainnya.

Selnajutanya adalah penetapan dan sanksi-sanksi mengenai pengkreditan pajak masukan bagi PKP yang belum melakukan penyerahan:

  • Terhadap PKP yang melakukan pembayaran kembali setelah tanggal jatuh tempo pembayaran pajak dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP
  • Terhadap PKP yang tidak melakukan pembayaran kembali dalam jangka waktu yang telah ditentukan, diterbitkan SKPKB dan dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang KUP
  • PM yang tercantum dalam SKPKB tidak termasuk dalam PM yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9c) Undang-Undang PPN

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, PMK-31/PMK.03/2014 tentang Saat Penghitungan dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan yang Telah Dikreditkan dan Telah Diberikan Pengembalian bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

  1. Demikian penjelasan mengenai pengkreditan pajak masukan bagi PKP yang belum melakukan penyerahan, terhadap PKP yang belum penyerahan dan telah mengkreditkan PM, jangka waktu tertentu ditetapkan sesuai dengan PMK ini.
  2. Pembetulan SPT Masa PPN pada Masa Pajak sebelum 2 November 2020 yang menyebabkan lebih bayar, ketentuan pengembalian atas kelebihan PM dilakukan berdasarkan ketentuan dalam PMK ini.

: Pengkreditan Pajak Masukan PPN pada UU Cipta Kerja

Apa yang dimaksud pajak yang tidak dapat dikreditkan?

Faktur Pajak Tidak Dapat Dikreditkan, Berikut Ini Penjelasannya Faktur pajak yang terkadang tidak dapat dikreditkan ialah faktur pajak masukan. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran disebut dengan faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan.

  1. Artinya, bahwa pajak masukan yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak dapat menjadi pengurang pajak keluaran.
  2. Berdasarkan Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan ialah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya dibayar oleh PKP karena perolehan Barang dan/atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan/atau impor BKP.

Dalam peraturan perpajakan Pasal 9 UU PPN, disebutkan bahwa terdapat prinsip dasar dalam mengkreditkan faktur pajak masukan yang antara lain ialah: 1. Pajak masukan dalam suatu tahun masa dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.2.

  • Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat masa pajak yang sama, masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, paling lama 3 bulan setelah masa pajak yang bersangkutan dengan catatan belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.3.
  • Mencatumkan identitas dalam faktur pajak yang memuat keterangan penyerahan BKP/JKP antara lain: – Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP.

– Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP/JKP. – Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga. – PPN yang dipungut. – Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak. – Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.4.

  • PKP yang belum melakukan kegiatan produksi sehingga secara otomatis belum melakukan penyerahan terutang pajak, maka pajak masukan terkait perolehan dan/atau impor barang dapat dikreditkan.5.
  • Pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Tercantum dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN 42/2009 terkait jenis faktur pajak yang dibuat dari PPN atau pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan antara lain: 1.

Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.4.

Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhan sebagai PKP.5. Perolehan BKP/JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan seperti mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP atau tidak mencantumkan identitas seperti nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP/JKP.6.

Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan seperti yang telah diatur DJP terkait penetapan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak.7. Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.8.

  • Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.9.
  • Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.
  • Dalam hal ini, PKP dapat mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran yang sama.

Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran maka kelebihan tersebut harus disetorkan ke kas negara, sebaliknya jika dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran maka kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau diajukan restitusi.

Kapan faktur Pajak Masukan dapat dikreditkan?

Pengkreditan PPN Masukan pada Masa Pajak yang Tidak Sama Soal 1 PT. EFG adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang bergerak di bidang pengolahan kayu. Pada tanggal 8 Agustus PT. EFG melakukan transaksi pembelian barang kena pajak (BKP) dari PT. HIJ yang juga merupakan PKP.

  1. Adapun BKP tersebut digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan usaha PT. EFG.
  2. Atas transaksi tersebut, diterbitkan faktur pajak oleh PT.
  3. HIJ saat tanggal dilakukannya transaksi yaitu 8 Agustus 2018.
  4. Akan tetapi, faktur pajak tersebut baru diterima oleh PT.
  5. EFG pada tanggal 14 Desember 2021.
  6. Dalam hal ini, PT.EFG telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Masa Pajak Agustus 2021, September 2021, dan Oktober 2021.

Akan tetapi, PT. EFG belum menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak November 2021. Selain itu, PT. EFG juga belum membebankan sebagai biaya dan tidak menambahkan pajak masukan tersebut ke dalam harga perolehan BKP. Berdasarkan ilustrasi tersebut, bagaimana perlakuan perpajakannya? Jawab: Berdasarkan ketentuan dalam PMK 18/2021 disebutkan bahwa pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama 3 masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat faktur pajak dibuat.

  1. Adapun pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang berbeda tersebut dilakukan melalui pembetulan SPT Masa PPN.
  2. Dalam kasus di atas, faktur pajak masukan atas perolehan BKP tertanggal 8 Agustus 2021 baru diterima dari PT.
  3. HIJ pada 14 Desember 2021.
  4. Adapun faktur pajak tertanggal 8 Agustus 2021 tersebut dapat dikreditkan dengan pajak keluaran oleh PT.

EFG melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Agustus 2021, September 2021, atau Oktober 2021. Selain itu, pengkreditan pajak masukan tersebut dapat dilakukan melalui penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak November 2021.

REFERENSI:

Pengkreditan PPN Masukan pada Masa Pajak yang Tidak Sama