Apakah Yang Diatur Dalam Hukum Pajak Formal?
Hukum Pajak Formil – Hukum pajak formil ialah hukum yang memuat terkait prosedur untuk mewujudkan hukum pajak materiil menjadi suatu kenyataan atau realisasi. Hukum pajak formil ini memuat tentang tata cara atau prosedur penetapan jumlah utang pajak, hak-hak fiskus untuk pengadaan monitoring dan evaluasi.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 mengenai penagihan pajak dengan surat paksa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 mengenai perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Hukum pajak formil menerangkan mengenai hak dan kewajiban wajib pajak serta hak dan kewajiban fiskus. Hak wajib pajak dapat dilihat dalam UUKUP yaitu mengajukan keberatan, meminta restitusi, dan mengajukan banding. Adapun, kewajiban pajak sesuai dengan yang diuraikan dalam UUKUP ialah mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP; mengisi, melaporkan, dan menandatangani Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP); melakukan pencatatan atau pembukuan; dan membayar pajak terutang bagi wajib pajak yang terutang.
Contents
- 1 Apakah yang diatur dalam hukum pajak formal brainly?
- 2 Apa yang disebut hukum pajak materiil dan hukum pajak formal?
- 3 Apakah ada pemisah antara hukum pajak formal dan material?
- 4 Apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak formal?
- 5 Kondisi seperti apa yang menyebabkan seorang wajib pajak bisa ditagih dengan Surat Paksa?
- 6 Apa itu dasar hukum pajak?
Apakah yang diatur dalam hukum pajak formal brainly?
Jawaban. Jawaban: Hukum pajak formal memuat tata cara atau prosedur penetapan jumlah utang pajak, hak-hak fiskus untuk mengadakan evaluasi. Hukum pajak formal juga menentukan kewajiban wajib pajak untuk mengadakan pembukuan, serta prosedur pengajuan surat keberatan maupun banding.
Apa saja yang diatur dalam hukum pajak materiil?
Jenis-Jenis Hukum Pajak – Berikut ini merupakan beberapa jenis dari hukum pajak, yaitu: 1. Hukum Pajak Formal Hukum ini memuat sejumlah ketentuan dalam mewujudkan hukum pajak material menjadi sebuah kenyataan. Norma-norma yang terkandung dalam hukum ini, yaitu:
-
- Tata cara penyelenggaraan atau prosedur terkait penetapan pada suatu utang pajak.
- Hak fiskus/pemerintah selaku pengelola pajak untuk mengadakan pengawasan terhadap Wajib Pajak yang berkaitan dengan keadaan, perbuatan, dan suatu peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
- Kewajiban bagi Wajib Pajak untuk dapat menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, serta hak-hak Wajib Pajak, misalnya adalah untuk mengajukan keberatan atau banding yang berkaitan dengan perpajakan.
Pada dasarnya, hukum pajak formal mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan prosedur yang berkaitan dengan perpajakan. Contoh dari hukum pajak formal ini adalah Tata Cara Perpajakan.2. Hukum Pajak Material Sedangkan untuk hukum pajak material ini memuat mengenai norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek pajak), tokoh yang dikenakan pajak (subjek pajak), besaran pajak yang dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu yang dapat menimbulkan atau terhapuskannya utang pajak, serta hubungan hukum antara Wajib Pajak dan pemerintah.
Contoh dari hukum pajak material adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berkaitan dengan contoh dari jenis hukum pajak formal dan material, pada Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hukum pajak formal dan material terpisah. Untuk hukum pajak formal dari kedua jenis pajak tersebut (Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai) mengacu pada Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah mengalami perubahan hingga perubahan terakhir pada Undang-Undang No.16 Tahun 2009.
Maka, dengan begitu hak dan kewajiban Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat ditemukan pada Undang-Undang KUP. Sedangkan untuk hukum pajak material pada jenis Pajak Penghasilan (PPh) terpisah dengan hukum pajak material pada jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Untuk hukum pajak material pada Pajak Penghasilan (PPh) mengacu pada Undang-Undang No.7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan hingga terakhir kali pada UU No.36 Tahun 2008. Sedangkan untuk hukum pajak material pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengacu pada Undang-Undang No.8 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan hingga terakhir kali pada Undang-Undang N0.42 Tahun 2009.
Fungsi Hukum Pajak Berikut ini merupakan fungsi dari adanya hukum pajak, yaitu:
- Hukum pajak memiliki fungsi untuk menjadi acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang berlandaskan pada keadilan, efisiensi, dan diatur dengan jelas dalam Undang-Undang yang berkaitan dengan hukum pajak tersebut.
- Hukum pajak memiliki fungsi sebagai sumber yang dapat menjelaskan mengenai subjek dan objek pajak yang perlu atau tidak perlu untuk dijadikan sebagai sumber pemungutan pajak demi peningkatan potensi pajak secara keseluruhan.
Apa yang disebut hukum pajak materiil dan hukum pajak formal?
Hukum Pajak Material: Pengertian dan Contohnya Pajak adalah sejumlah dana yang wajib disetorkan masyarakat kepada negara, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Ada dua jenis hukum pajak, yakni hukum pajak formal dan material. Hukum pajak formal berkaitan dengan prosedur penetapan suatu utang pajak. Sementara hukum pajak material berisi keadaan, peristiwa, atau transaksi yang akan dikenai pajak. Guna mewujudkannya, dibutuhkanlah hukum pajak formal. Pengertian hukum pajak material Menurut Safri Nurmantu dalam buku Pengantar Perpajakan (2003), hukum pajak material adalah hukum yang memuat ketentuan mengenai siapa yang dapat dikenakan atau dikecualikan dari pajak. Material tax law (hukum pajak formal) juga berisi apa sajakah barang yang dikenakan pajak dan berapa nominal yang harus dibayar. “Hukum pajak material adalah hukum yang memuat norma mengenai perbuatan, peristiwa, atau keadaan yang melibatkan secara langsung masalah obyek, subyek, dan tarif, beserta peraturan yang mendasari hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak.” Bisa disimpulkan bahwa hukum pajak material berisi siapa, apa, dan berapa nominal pajak yang harus dibayarkan. Contoh hukum pajak material Adapun yang termasuk hukum pajak material adalah PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Contoh peraturan hukum pajak material adalah: UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.Apakah ada pemisah antara hukum pajak formal dan material?
Abstraksi Karakteristik dari suatu sistem pajak dapat diketahui dari hukum pajak formal yang mengatur prosedur pemungutan pajak. Sistem hukum pajak Indonesia peninggalan kolonial merupakan gambaran sistem hukum pajak yang kompleks dan sulit dilaksanakan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, penyatuan hukum pajak formal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), bertujuan untuk menyederhanakan sistem hukum pajak nasional.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem hukum pajak Indonesia masih tetap kompleks. Ada tiga hal penyebab utama kompleksitas tersebut yaitu: (1) Inkonsistensi dari pembuat undang-undang dan pembuat kebijakan pajak. Pemisahan hukum pajak formal dan hukum pajak materil hanya terjadi pada awal reformasi undang-undang pajak.
Pada reformasi undang-undang pajak lanjutan, kedua jenis norma tersebut kembali digabung seperti pada periode sebelum reformasi sistem pajak nasional. Kedua, UU KUP belum mengakomodasi semua sistem pemungutan pajak yang digunakan dalam pemungutan pajak di Indonesia saat ini, termasuk sistem offi cial assessment.
Ketiga, terdapat disharmoni antara hukum pajak formal dalam UU KUP dan hukum pajak formal di luar UU KUP, seperti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengembalian UU KUP kepada posisi awal reformasi perpajakan tahun 1983 dan perubahan UU KUP untuk mengakomodasi semua sistem pemungutan pajak dapat menjadi solusi dan menjadi kesimpulan dalam penelitian ini. Dilihat 7 kali Diunduh 2 kali
Apakah yang diatur dalam hukum pajak material brainly?
Apa itu hukum pajak materil dan formil ? Formil a. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.b. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.Pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), hukum pajak formil dan materil terpisah.materilHukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan. hukum material adalah sumber hukum yang berdasarkan dari keyakinan/perasaan hukum individu serta pendapat umum yang menentukan isi hukum hukum formal adalah sumber hukum yang berupa kenyataan dimana kita dapat menemukan hukum yang berlaku : Apa itu hukum pajak materil dan formil ?
Pajak diatur dimana?
Fungsi Pajak Menurut Pasal 23A UUD NRI 1945 Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII menyelenggarakan diskusi “Bedah Pasal 23A UUD NRI 1945: Pajak dan Pungutan Lain untuk Keperluan Negara”. Diskusi daring pada Kamis (29/4) ini menghadirkan Dr. Murti Lestari, M.Si.
(Pengajar Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana) dan Siti Rahma Novikasari, S.H., M.H. (Pengajar Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia) sebagai narasumber. Dalam diskusi ini, Siti Rahma mengatakan bahwa pajak diatur dalam Pasal 23A UUD NRI 1945. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Selain itu, dalam pemungutan pajak, ada prinsip-prinsip global yang harus dipatuhi, salah satunya adalah no taxation without representation yang mengandung ketentuan bahwa dalam aturan pemungutan pajak harus dapat mewakili kepentingan masyarakat. Menurutnya, ada beberapa aspek pengaturan pajak yang harus diatur dalam UU itu sendiri.
Pertama, kepastian hukum sistem perpajakan yang menentukan objek, subjek pajak mengidentifikasi basis perpajakan, tarif, dan administrasi perpajakan. Kedua, dasar kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah yang mencakup bestuur, Dalam menjalankan UU ada pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Kemudian regelgeving yaitu adanya ada pembagian kewenangan dalam pemungutan pajak. Serta rechtspraak yaitu pemerintah harus melaksanakan upaya administrasi apabila ada masyarakat yang mengajukan gugatan administratif terhadap SKP. Ketiga, ada hubungan hukum antara wajib pajak dan pemungutnya sehingga memberi hak dan kewajiban antara negara dan masyarakat.
Keempat, penegakan hukum dengan penerapan sanksi administrasi dan pidana. Kelima, perlindungan hukum yang diatur dalam UU KUP dan UU No 14 Tahun 2020 tentang Pengadilan Pajak. Sementara itu, Murti Lestari mengatakan pajak di samping memiliki fungsi budgeter dan regulerend, ada juga fungsi pemerataan, yaitu mengurangi pendapatan dari yang kaya untuk mensubsidi yang miskin.
Contohnya bagi warga negara yang memiliki pendapatan tinggi maka pajak dan persentasenya juga semakin tinggi. Berbeda dengan warga negara yang pendapatannya rendah tidak dikenai pajak, inilah yang akhirnya memunculkan program keluarga harapan (PKH), program-program untuk pengangguran, dll.
Fungsi lainnya adalah stabilisasi yaitu pajak digunakan untuk mengurangi siklus ekonomi, menjaga stabilitas perekonomian negara. Misalnya pada masa resesi yaitu masa ketika kegiatan ekonomi lumpuh, pemerintah mengeluarkan dana untuk mendorong kegiatan ekonomi, dengan menyelenggarakan program padat karya, mengadakan pemberian intensif pajak, dll.
guna meningkatkan perekonomian negara,” ucapnya. “Artinya untuk mendanai kehidupan negara, dananya itu didanai oleh masyarakat itu sendiri melalui pemungutan pajak dan pungutan lainnya, sehingga terwujud APBN yang sehat dari kita, oleh kita, dan untuk kita,” pungkasnya.
Hukum pajak ada berapa?
Ada 2 macam hukum pajak yaitu: 1. Hukum pajak material, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak ), siapa yang dikenakan pajak (sebjek pajak ), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan
Mengapa pemungutan pajak harus diatur dalam peraturan perundang-undangan?
2. Dalam hal yuridis ( perpajakan harus berdasarkan hukum ) – Sistem perpajakan diharuskan untuk selalu berdasarkan hukum yang berlaku seperti apa yang telah tercantum dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 yang mengatur tentang ketentuan perpajakan umum.
UU KUP termasuk hukum pajak apa?
Oleh karena itu UU KUP adalah kaderwet untuk hukum pajak formal.
Hukum pajak yang mengatur tentang apa yang dikenakan pajak dan berapa besarnya pajak yang harus dibayar disebut?
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Hukum pajak adalah hukum yang bersifat public dalam mengatur hubungan negara dan orang/badan hukum yang wajib untuk membayar pajak, Selain itu, hukum pajak diartikan sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mencakup tentang kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui uang/ kas negara,
- Hukum pajak dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1.
- Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat adanya ketentuan-ketentuan dalam mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan.2.
- Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan terhadap siapa yang dikenakan pajak dan siapa yang dikecualikan dengan pajak serta berapa harus dibayar.
Selain itu, hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum publik, Hal ini disebabkan karena hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan wajib pajak atau warga negara, Meski demikian, walaupun hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, tetapi hukum pajak juga banyak berkaitan dengan hukum privat, yakni hukum perdata,
Apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak formal?
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana WP memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- undang Perpajakan.
Kondisi seperti apa yang menyebabkan seorang wajib pajak bisa ditagih dengan Surat Paksa?
Pasal 6 (1) Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila : a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya; c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. (2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat : a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; b. besarnya utang pajak; c. perintah untuk membayar; dan d. saat pelunasan utang pajak. (3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. B A B III S U R A T P A K S A Pasal 7 (1) Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat : a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; b. besarnya utang pajak; dan c. perintah untuk membayar. Pasal 8 Surat Paksa diterbitkan apabila : a. Penanggung Pajak tidak melunasi uatang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Pasal 9 (1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena Jabatan. (2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekotorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Pakasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Pasal 10 (1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. (2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa. (3) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurisita kepada : a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan; b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai; c. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau d. para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi. (4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada : a. pengurus, pemegang saham, dan pemilik modal baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempay lain yang memungkinkan; atau b. pengawai tingkat pimpinan di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a. (5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Hakim Komisaris atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator. (6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa dimaksud. (7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat. (8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melaui media massa, atau cara lain yang ditetapkan oleh Menteri atau Kepala Daerah. (9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri atau Kepala Daerah. (10) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib membantu dan memberitahukan tidakan yang telah dilaksana- kannya kepada Pejabat yang meminta bantuan. (11) Dalam hal Penanggung Pajak menolak atau menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah siberitahukan. Pasal 11 Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. B A B IV PENYITAAN Pasal 12 (1) Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. (2) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. (3) Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi. (4) Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan syarat seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berasal dari Pemerintah Daerah setempat. (5) Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak dan saksi-saksi. (6) Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap mempunyai kekuatan mengikat, meskipun Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita abara Pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (7) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita berada, dan atau di tempat-tempat umum. (8) Atas barang yang disita dapat ditempel atau diberi segel sita.Bagaimana bentuk bentuk atau cara Pemaksaannya dalam hukum pajak di Indonesia?
Mengkaji Kepastian Hukum dalam Ketentuan Pidana Perpajakan Mengkaji Kepastian Hukum dalam Ketentuan Pidana Perpajakan Oleh: Priawan Wibisono (Pegawai Tugas Belajar Politeknik Keuangan Negara ‘STAN’) Sesuai dengan pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pajak memiliki sifat memaksa.
- Onsekuensi logis dari sifat tersebut, yaitu adanya bentuk pemaksaan dalam ketentuan perundang-undangan agar Wajib Pajak mau melaksanakan kewajiban perpajakannya.
- Wujud pemaksaan tersebut, misalnya berupa adanya Surat Teguran, Surat Paksa, penyitaan bahkan penyanderaan ( gijzeling ) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Upaya-upaya tersebut merupakan upaya administratif yang dapat ditempuh Direktorat Jenderal Pajak demi mengamankan penerimaan negara. Namun ‘senjata’ yang dimiliki DJP untuk memaksa rupanya tidak hanya itu saja. Dalam batang tubuh UU KUP sendiri terselip berbagai sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran, yaitu sanksi bunga (Pasal 8, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 19), sanksi denda (Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 14), serta sanksi kenaikan (Pasal 8, Pasal 13 dan Pasal 15).
Banyaknya sanksi administrasi tersebut karena memang hukum pajak sendiri merupakan hukum administrasi sehingga apabila ada suatu permasalahan diusahakan untuk diselesaikan dengan cara-cara administrasi. Apabila UU KUP dirunut lebih jauh lagi, dapat kita temukan bentuk-bentuk pemaksaan yang dengan sanksi yang lebih serius dan bukan lagi berwujud penyelesaian secara administrasi.
Menjelang akhir undang-undang terdapat ketentuan pidana bagi orang-orang yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya seperti yang diatur dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP. Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang awam terjadi di masyarakat, seperti sengaja tidak mendaftar NPWP, sengaja tidak melaporkan SPT/melaporkan SPT yang isinya tidak benar, sengaja tidak membuat pembukuan, dan lain sebagainya.
Bahkan perbuatan yang dilandasi karena kealpaan pun dapat dikenai sanksi pidana juga walaupun dengan intensitas hukuman yang lebih ringan daripada yang dilakukan dengan sengaja. Hal yang menarik, hampir setiap perbuatan dalam ketentuan pidana Pasal 38 dan Pasal 39 sebenarnya juga memiliki penyelesaian administratif seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penyelesaian Pidana dan Administratif dalam Pelanggaran Perpajakan Sumber: UU KUP No.28 Tahun 2007, diolah. Atas suatu perbuatan pelanggaran yang merugikan keuangan negara, terdapat dua jalur penyelesaian yaitu diselesaikan secara administratif dengan cara sanksi dan SKP ataupun dengan jalur pidana. Dalam Gambar 1, suatu perbuatan yang yang dilakukan baik secara sengaja maupun alpa dapat diselesaikan baik dengan administrasi (jalur A) ataupun pidana yang diawali dengan pemeriksaan bukti permulaan (jalur B).
Dalam UU KUP sendiri tidak ada penegasan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang cukup dikenai sanksi administrasi walaupun suatu kerugian negara memang terjadi. Mengingat perbuatan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 adalah perbuatan yang awam terjadi di masyarakat, maka sebenarnya ada banyak sekali orang yang dapat dijerat sanksi pidana berdasarkan ketentuan pidana perpajakan yang ada.
Gambar 1. Dua jalur penyelesaian atas suatu pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara Sumber: UU KUP No.28 Tahun 2007, diolah. Dalam praktiknya, sebenarnya DJP bukanlah institusi yang mengedepankan pemidanaan terhadap Wajib Pajak yang belum patuh. Dilansir dalam Okezone.com, Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Yoyok Satiotomo menyatakan bahwa pemidanaan merupakan ultimum remedium alias upaya terakhir sehingga DJP mengedepankan upaya-upaya administrasi terlebih dahulu.
Data dari Direktorat Penegakan Hukum DJP pun juga menunjukkan bahwa rata-rata dari tahun 2013 hingga 2015 terdapat 80 usulan penyidikan dan 38 penuntutan, sementara sebanyak 161 usulan pemeriksaan bukti permulaan diselesaikan dengan Pengungkapan Ketidakbenaran SPT (Pasal 8 ayat 4) ataupun Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan (Pasal 8 ayat 3).
Perlu kita ingat pula kasus pajak Paulus Tumewu yang bisa diselesaikan dengan ‘jalan damai’ yaitu dengan membayar utang pajak serta denda senilai empat kali seperti yang telah diatur dalam Pasal 44B UU KUP. Pengedepanan penyelesaian sengketa dengan cara administratif ini sejatinya selaras dengan fungsi pajak sebagai budgetair yang tujuan utamanya adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945.
- Sayangnya, pasal-pasal dalam UU KUP belum memberi kepastian prinsip ultimum remedium bahwa pidana perpajakan baru dapat ditempuh apabila upaya-upaya administratif memang telah dilakukan terlebih dahulu.
- Pasal 13A yang sekiranya bermaksud mewakili prinsip ultimum remedium melingkupi perbuatan yang sangat terbatas, yaitu hanya orang yang melakukan kealpaan pertama kali saja yang tidak dikenai sanksi pidana.
Selain perbuatan yang memenuhi ketentuan Pasal 13A, maka seharusnya perbuatan kealpaan setelah pertama kali dan kesengajaan seharusnya dikenai pidana. Padahal penyelesaian sengketa dengan jalur hukum memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit, sementara perlu diingat salah satu prinsip pemungutan pajak adalah economic of collection yang mensyaratkan bahwa biaya pengumpulan pajak tidak boleh lebih besar daripada pajak yang dihimpun.
Pemidanaan dalam konteks perpajakan juga mengakibatkan double loss karena selain terdapat biaya dalam proses pemidanaan, ada pula potensi ekonomi yang hilang dibandingkan apabila Wajib Pajak tidak dikenai pidana badan/penjara dan melakukan kegiatan usahanya secara normal sehingga memberi kontribusi pada perkembangan perekonomian.
Dapat dilihat bahwa terdapat ketidakjelasan dalam penyelesaian pelanggaran perbuatan pidana dalam Pasal 38 dan 39 UU KUP. Salah satu ketentuan pidana yang sekiranya perlu dibenahi yaitu penghilangan unsur kealpaan dari unsur pidana perpajakan. Dalam Surcharge and Penalty in Tax Law disebutkan bahwa syarat utama agar suatu perbuatan dikualifikasi sebagai perbuatan pidana adalah apabila terdapat unsur willfulness atau kesengajaan.
- Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Malaysia, Filipina dan negara-negara Eropa lain juga menerapkan ketentuan bahwa hanya perbuatan yang dilandasi unsur kesengajaan saja yang dikenai sanksi pidana.
- Selain itu perlu diingat bahwa sistem perpajakan di Indonesia adalah self-assessment, dimana masyarakat diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Namun pada praktiknya, tidak semua wajib pajak paham mengenai kewajiban perpajakan yang diamanatkan undang-undang kepadanya. Ketidakpahaman tersebut bisa disebabkan karena kompleksnya formulir, rumitnya peraturan perpajakan atau bisa juga karena kurangnya sosialisasi.
Etidakpahaman tersebut menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam proses menjalankan kewajiban perpajakan seperti salah hitung, salah isi formulir, tidak melaporkan SPT dan lain-lain yang sifatnya berupa kealpaan. Artinya kealpaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak merupakan sebuah resiko dari pemberlakuan self-assessment system,
Atas suatu kealpaan tersebut, kiranya akan lebih baik jika otoritas pajak memberikan penyuluhan bagi Wajib Pajak yang tidak paham mengenai kewajiban perpajakan yang seharusnya dan bukan malah menghukumnya dengan sanksi pidana. Pengenaan sanksi pidana haruslah memperhatikan prinsip proporsionalitas kesalahan, sementara unsur kealpaan sekiranya tidak layak untuk dikenai sanksi seberat sanksi pidana.
- Mempertimbangkan hal tersebut, selayaknya unsur kealpaan lebih baik dihapus dari ketentuan pidana perpajakan.
- Pembenahan lain yang tidak kalah penting yaitu penegasan dalam UU KUP bahwa sanksi pidana perpajakan diterapkan berdasar konteks ultimum remedium.
- Adanya penegasan tersebut akan memperbaiki adanya ketidakpastian hukum dalam Gambar 1, berubah menjadi lebih jelas seperti yang ditunjukkan Gambar 2.
Berbeda dengan Gambar 1 yang membolehkan perbuatan ‘menyampaikan SPT yang isinya tidak benar’ untuk langsung diselesaikan dengan cara pidana, prinsip ultimum remedium dalam Gambar 2 mengharuskan agar otoritas pajak memberi himbauan pembetulan SPT terlebih dahulu, melakukan pemeriksaan dan memberikan hak pengungkapan ketidakbenaran SPT kepada Wajib Pajak.
Apabila ternyata Wajib Pajak memilih untuk bandel dan tidak menunjukkan intensi untuk menyelesaikan secara administratif, DJP baru dapat mengusulkan pemeriksaan bukti permulaan sebagai awal dari penyelesaian dengan cara pemidanaan. Adanya eskalasi dari himbauan hingga pemeriksaan akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta kesetaraan informasi terkait perbuatan pelanggaran apa yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Adanya kepastian hukum dapat menjaga agar tidak ada potensi abuse of power oleh otoritas pajak terhadap Wajib Pajak. Upaya meminimalisasi diskresi tersebut juga akan berpengaruh baik dengan tingkat kepercayaan antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak, dimana kepercayaan terhadap otoritas pajak merupakan salah satu komponen dalam upaya meningkatkan tax compliance. Sumber: UU KUP No.28 Tahun 2007, diolah. Namun perlu dicermati bahwa tidak semua perbuatan pidana dalam ketentuan pidana perpajakan harus didahulukan penyelesaian administratifnya. Ada beberapa perbuatan yang sifatnya memang jahat sehingga atas perbuatan-perbuatan tersebut akan lebih adil apabila diselesaikan dengan jalur pidana, seperti perbuatan pemalsuan faktur, penyalahgunaan NPWP/PKP (biasanya digunakan untuk pemalsuan faktur), pembukuan fiktif serta pemotongan/pemungutan pajak namun tidak disetor.
Perbuatan-perbuatan tersebut sejatinya sama dengan perbuatan pemalsuan dan penggelapan yang diatur dalam KUHP. Untuk itu perlu juga ditegaskan bahwa prinsip ultimum remedium tidak berlaku untuk perbuatan-perbuatan dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b, f, i dan Pasal 39A UU KUP. Saran perubahan yang diusulkan mungkin terkesan menghilangkan ‘taring’ yang dimiliki DJP karena ketidakjelasan penyelesaian administrasi/pidana sebenarnya bisa digunakan untuk menakut-nakuti Wajib Pajak.
Namun dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat yang semakin ‘melek’ hukum dan menuntut adanya transparansi dalam setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah maka kepastian hukum menjadi suatu hal yang krusial dan sangat diharapkan. Terlebih lagi, sanksi pidana merupakan hukuman yang paling berat yang dapat dijatuhkan negara pada warganya sehingga ketentuan mengenai sanksi pidana harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang.
Kejelasan suatu aturan juga akan menghindarkan Wajib Pajak dari kekhawatiran adanya abuse of power sehingga menumbuhkan rasa percaya bahwa seluruh tindakan yang dilakukan pegawai pajak memang telah sesuai dengan koridor hukum yang seharusnya tanpa ada maksud-maksud yang tersembunyi. Pada akhirnya, saran perubahan tersebut tak lain demi kebaikan DJP sendiri dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai penghimpun pundi-pundi penerimaan negara.
Ilyas, W.B. (2011). Kontradiktif Sanksi Pidana Dalam Hukum Pajak. Journal Hukum No 4, 18, 525–542. Situs Resmi Direktorat Jenderal Pajak (2016). Refleksi Tingkat Kepatuhan Pajak. Retrieved June 12, 2017, from http://www.pajak.go.id/content/article/refleksi-tingkat-kepatuhan-wajib-pajak Okezone Ekonomi (2016).
- Penyidikan Upaya Terakhir Penegakan Hukum Pajak,
- Retrieved June 11, 2017, from http://economy.okezone.com/read/2016/03/09/20/1331707/penyidikan-upaya-terakhir-penegakan-hukum-pajak Okezone Ekonomi.
- 2010, April 3).
- Paulus Tumewu Dihukum Bayar Pajak 400%.
- Retrieved from http://economy.okezone.com/read/2010/04/30/20/327985/paulus-tumewu-dihukum-bayar-pajak-400 Gunadi.
(2016). Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Jakarta: Bee Media Indonesia. Mazza, S.W., Lederman, L., & Johnson, S.R. (2015). “Surcharges and Penalties in Tax Law.” Mardiasmo. (2009). Perpajakan Edisi Revisi 2009 (9th ed.). Jakarta: ANDI. Dwiana, I.
- 2010). Pengaruh Kompleksitas Panjang Formulir SPT Dan Self Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Survey Pada Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Surakarta). Saad, N. (2014).
- Tax Knowledge, Tax Complexity and Tax Compliance: Taxpayers’,
- Procedia – Social and Behavioral Sciences, 109, 1069–1075.
Prasetyono, L.R., & Rimawati, Y. (2011). Pengaruh Sosialisasi Dan Pengetahuan Perpajakan Terhadap Tingkat Kesadaran Dan Kepatuhan Wajib Pajak (Studi pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha dan Pekerjaan Bebas pada KPP Pratama Gresik Utara),
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4. McKerchar, M. (1995). Understanding small business taxpayers: Their sources of information and level of knowledge of taxation, Australian Tax Forum, 12(1), 25. Walen, A. (2016). Stanford Encyclopedia of Philosophy – Retributive Justice. California: Stanford University.
Utrecht, E. (1963). Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Penerbit dan Balai Buku Ichtiar. Evans, C., Freedman, J., Krever, R.E., & Brooks, K. (2011). The Delicate Balance: Tax, Discretion and the Rule of Law, IBFD Erich Kirchler, Erik Hoelzl, Ingrid Wahl (2008).
- Enforced versus voluntary tax compliance: The “slippery slope” framework,
- Journal of Economic Psychology, Volume 29, Issue 2, 2008 Husak, D. (2008).
- Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law,
- Oxford University Press.
- Post Views: 777 KOMPAS CETAK | 12 JANUARI 2016 Opini : “Quo Vadis” Kebijakan Perpajakan Indonesia oleh Yustinus Prastowo Sepanjang tahun 2015 kita menjalani masa-masa sulit yang menguji kesabaran dan daya tahan.
Berkah yang tersembunyi, kita mulai membiasakan diri dengan ketakpastian, krisis, dan kejutan. Namun ada satu hal mendasar di 2015 yang hampir luput dari Post Views: 949 SINDOWEEKLY | edisi 31 Mei- 5 Juni 2016 “Pemerintah selayaknya berada pada paradigma yang memperlakukan pengampunan pajak sebagai sarana bagi reformasi perpajakan yang menyeluruh.” Komentar Anda Post Views: 780 CITA | 24 Agustus 2016 Menghadapi Risiko Arus Modal Masuk : Fenomena Brexit dan Tax Amnesty Oleh: Muhammad Fajar Nugraha  Akhir Juni lalu setidaknya perekonomian Indonesia mengalami dua kejadian ekonomi baik di tingkat domestik (Tax Amnesty) maupun global (Brexit).
Upaya Pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan basis pajak melalui Tax Amnesty (Center for Indonesia Taxation Analysis) adalah lembaga kajian independen yang diabdikan untuk mengarusutamakan isu-isu terkait kebijakan perpajakan. Didirikan pada tahun 2014, CITA juga didukung oleh para profesional dan pegiat muda dari berbagai profesi dan latar belakang yang memiliki minat terhadap kebijakan perpajakan.
: Mengkaji Kepastian Hukum dalam Ketentuan Pidana Perpajakan
Apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak formal?
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana WP memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- undang Perpajakan.
Apa itu dasar hukum pajak?
Dasar Hukum Perpajakan d i Indonesia – Setelah tahu bagaimana sejarah perpajakan di Indonesia, kini kita akan membahas dasar hukum perpajakan di Indonesia pada era kemerdekaan. Untuk lebih jelasnya lagi, berikut ini berbagai dasar hukum yang mengatur perpajakan di Indonesia.
- Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur dalam UU No.6/1983 dan diperbarui oleh UU No.16/2000.
- Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No.7/1983 dan diperbarui oleh UU No.17/2000.
- Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan yang diatur oleh UU No.8/1983 dan diganti menjadi UU No.18/2000.
- Undang-undang penagihan pajak dan surat paksa yang diatur dalam UU No.19/1997 dan diganti menjadi UU No.19/2000.
- Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU N0.14/2002.