Sebutkan Beberapa Nilai Lain Yang Ditetapkan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak?

Sebutkan Beberapa Nilai Lain Yang Ditetapkan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak

  1. Apa saja nilai lain yang ditetapkan secara umum sebagai DPP ?
  2. Apa saja nilai lain yang ditetapkan secara khusus untuk BKP tertentu ?

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Apa saja nilai lain yang ditetapkan secara umum sebagai DPP ?

  1. Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual atau penggantian tidak termasuk laba kotor. Pajak Masukan yang telah dibayar dapat dikreditkan.
  2. Persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar. Pajak Masukannya yang telah dibayar dapat dikreditkan.
  3. Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar. Pajak Masukan yang telah dibayar dapat dikreditkan.

Apa saja nilai lain yang ditetapkan secara khusus untuk BKP tertentu ?

  1. Untuk kaset isi jenis A/kaset rekaman dalam negeri :
    1. Kaset lagu untuk seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia dan masternya dibuat di dalam negeri;
    2. Kaset lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia dan maternya dibuat didalam segeri;
    3. Kaset rekaman cerita, lawak, wayang dan rekaman lainnya dalam bahasa Indonesia/daerah dan masternya dibuat di dalam negeri;
    4. Kaset suara burung dan suara hewan lainnya yang masternya dibuat di dalam negeri; ditetapkan sebesar Rp 4.000,00.
  2. Untuk kaset isi jenis B/kaset rekaman asing :
    1. Kaset lagu yang salah satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing;
    2. Kaset lagu yang masternya dibuat di luar negeri ;
    3. Kaset lagu instrumentalia yang salah satu atau lebih penciptanya warga negara asing ;
    4. Kaset pelajaran bahasa asing ; ditetapkan sebesar Rp 8.000,00.
  3. Untuk compact disc jenis CDI/compact disc rekaman dalam negeri :
    1. compact disc lagu yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia, dan stempel/ masternya dibuat di dalam negeri;
    2. compact disc lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia, dan stempel/ masternya dibuat di dalam negeri; ditetapkan sebesar Rp l0.000,00.
  4. Untuk compact disc jenis CD2/compact disc rekaman asing:
    1. Compact disc lagu yang salah satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing ;
    2. Compact disc lagu yang stempel/masternya dibuat di luar negeri ;
    3. compact disc lagu instrumentalia yang salah satu atau lebih penciptanya warga negara asing;
    4. compact disc pelajaran bahasa asing ; ditetapkan sebesar Rp l5.000,00.
  5. Untuk laser disc jenis LDK yaitu semua jenis laser disc yang berisi lagu beserta tayangan gambar (LD Karaoke), ditetapkan Rp 75.000,00.
  6. Film impor :
    1. DPP untuk film yang diimpor untuk pertama kali adalah taksiran harga rata-rata per judul film yaitu untuk :
      • film-film Amerika/Eropa ditetapkan sebesar Rp 87.000.000,00;
      • film Mandarin Rp 54.375.000,00 dan
      • film Asia non Mandarin Rp 40.600.000,00
    2. DPP untuk impor yang kedua kalinya dan seterusnya yang dilakukan tanpa harus meminta ijin baru dari Pemerintah adalah biaya-biaya yang jumlahnya ditetapkan sementara Rp 3.000.000,00 per copy film.
    3. Sedangkan untuk yang memerlukan ijin baru Pemerintah, DPP adalah sama dengan butir (7a) di atas.
      • Jasa biro perjalanan / pariwisata dan jasa pengiriman paket adalah l0% dari jumlah yang seharusnya ditagih. Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan.
      • Jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah service charge, provisi dan diskon. Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan.
      • Pedagang Eceran memungut l0% dari harga jual BKP, tetapi yang disetor adalah 2% dari jumlah seluruh penyerahan barang dagangan. Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan.
      • Pesawat telepon selular yang dibawa sendiri oleh pelanggan tanpa disertai Faktur Pajak adalah Rp 4.000.000,00. Besarnya PPN yang harus dipungut atas ponsel yang akan diaktifkan adalah sebagai berikut :
        • Dalam hal ponsel tersebut mereknya terdaftar dan operator adalah juga ATPM/dealer dari ponsel tersebut, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x harga ponsel ditambah biaya pengaktifan.
        • Dalam hal ponsel tersebut mereknya terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut didukung dengan Faktur Pajak dari ATPM/ dealer, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x biaya pengaktifan saja.
        • Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut tidak didukung Faktur Pajak, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x (4.000.000,00 ditambah biaya pengaktifan).
        • Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut didukung Faktur Pajak yang bukan dari ATPM/ dealer, maka besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x (Rp 4.000.000,00 dikurangi DPP yang ada dalam Faktur Pajak, ditambah biaya pengaktifan).
        • Dalam hal ponsel tersebut mereknya tidak terdaftar dan ponsel tersebut didukung Faktur Pajak, besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x Rp 4.000.000,00 /dikurangi DPP yang ada dalam Faktur Pajak tersebut, ditambah biaya pengaktifan).
        • Dalam hal ponsel tersebut mereknya tidak terdaftar dan ponsel tersebut tidak didukung Faktur Pajak, besarnya PPN yang harus dipungut = l0% x (Rp 4.000.000,00 ditambah biaya pengaktifan).
      • Tarip efektif hasil tembakau / rokok adalah 8,2% dari harga pita cukai.

    4 Apa saja dan jelaskan dasar pengenaan pajak?

    DASAR PENGENAAN PAJAK

    • Dalam Pasal 1 angka 17 UU PPN disebutkan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
    • PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak:
    • Jenis-jenis DPP dapat dibedakan menjadi:
    • Harga Jual untuk penyerahan BKP;
    • Penggantian untuk penyerahan JKP, ekspor JKP, ekspor BKP tidak berwujud;
    • Nilai Impor untuk Impor BKP;
    • Nilai Ekspor untuk Ekspor BKP;
    • Nilai Lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
    1. Harga Jual
    2. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
    3. Penggantian
    4. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
    5. Nilai Impor
    6. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN.
    7. Nilai Ekspor
    8. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
    9. Nilai Lain
    10. Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak berupa Nilai Lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dengan maksud untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
    • Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
    • penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik

    : DASAR PENGENAAN PAJAK

    Apa dasar pengenaan pajak penghasilan?

    a. Jenis Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan ( DPP PPh ) – Sebagaimana tercantum dalam kentetuan Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), dasar pengenaan pajak penghasilan (DPP PPh) adalah: 1. DPP PPh Pasal 4 ayat 2 Dasar pengenaan pajak Pasal 4 ayat 2 adalah pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan atas jasa tertentu dan sumber tertentu seperti jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadian undian, dan lainnya.

    Jadi, dasar pemotongan pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 adalah dari jumlah penghasilan atas jasa atau sewa tersebut.2. DPP PPh Pasal 15 PPh Pasal 15 ini adalah pengenaan pajak pada wajib pajak perusahaan pelayaran. Dasar pengenaan pajak PPh 15 adalah norma penghitungan khusus penghasilan neto, yakni 4% dari peredaran bruto.

    Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% dari peredaran bruto dan bersifat final. Peredaran bruto dalam PPh 15 adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa: Uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh WP perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.3.

    No. Subjek yang dipotong Dasar Pengenaan Pajak
    1. Pegawai Tetap Penghasilan Kena Pajak = Jumlah seluruh penghasilan bruto setelah dikurangi: a. Biaya jabatan 5% dari penghasilan bruto, maksimal Rp500 ribu sebulan atau Rp6 juta setahun b. Iuran terkait gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menkeu atau badan penyelenggara jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menkeu (-) Dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
    2 Penerima Pensiun Berkala Penghasilan Kena Pajak = Seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun 5% dari penghasilan bruto, maksimal Rp200 ribu sebulan atau Rp2,4 juta setahun; (-) Dikurangi PTKP
    3. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima alam 1 bulan kalender telah melebihi Rp2,025 juta Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto (-) Dikurangi PTKP
    4. Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp2,025 juta Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto dikurangi Rp200 ribu
    5. Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima telah melebihi Rp2,025 juta belum melebihi Rp7 juta. Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto dikurangi PTKP sebenarnya (PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya)
    6. Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima adlam 1 bulan kalender telah melebihi Rp7 juta Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto dikurangi PTKP
    7. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan Penghasilan Kena Pajak = 50% dari jumlah penghasilan bruto (-) Dikurangi PTKP perbulan
    8. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan 50% dari jumlah penghasilan bruto
    9. Selain di atas Jumlah penghasilan bruto
    You might be interested:  Yang Menjadi Obkek Pajak Penghasilan Adalah?

    4. DPP PPh Pasal 22 atau DPP Nilai Impor Nilai impor merupakan nilai uang yang menjadi dasar untuk penghitungan bea masuk, ditambah pungutan lain yang dikenakan pajak sesuai Undang-Undang Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, Nilai impor ini tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN.

    Baca juga: Ini Dia Cara Menghitung PPh Pasal 22 serta Contoh Soalnya 5. DPP PPh Pasal 23 DPP PPh 23 adalah nilai atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan kasa lain yang dipotong dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Baca juga tentang ketentuan pajak jasa ini dalam PMK PPh 23,6.

    DPP PPh Pasal 26 Dasar Pengenaan Pajak Pasal 26 ini terbagi menjadi tiga jenis DPP PPh 26, yakni yang didasarkan pada jumlah penghasilan bruto dan penghasilan neto.a. DPP PPh 26 adalah sebesar jumlah penghasilan brutoyang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:

    • Dividen
    • Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran pinjaman
    • Royalti,sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
    • Insentif yang berkaitandengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
    • Hadiah dan penghargaan
    • Pensiun dan pembayaran berkala
    • Premi swap dan transaksi lindung lainnya
    • Perolehan keuntungan dari penghapusan utang

    b. DPP PPh 26 adalah sebesar jumlah perkiraan penghasilan netoyang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:

    • Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia
    • Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri
    • Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham

    Baca Juga : Cara Mudah Bayar Pajak Online di e-Billing

    3 Apa yang dimaksud Dasar Pengenaan Pajak PPN?

    G. Rumus Dan Cara Menghitung Tarif PPN – Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ), ​ Proses perhitungan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) Dasar pengenaan pajak terdiri dari: 1.

    Harga jual & penggantian Harga jual dan penggantian adalah biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP/JKP.2. Nilai ekspor & impor Nilai ekspor dan impor adalah nilai yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan kepabeanan dan cukai untuk impor BKP atau semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.3.

    Nilai lain Sedangkan nilai lain ini diatur dengan atau berdasarkan PMK hanya untuk menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Contoh kasus 1: Jika di dalam harga jual atau penggantian atau nilai lain belum termasuk PPN, perhitungannya sebagai berikut: Pada tanggal 3 Juli 2022 terjadi transaksi: PKP PT AAA di Semarang menjual 1 buah kulkas seharga Rp6.000.000 belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai kepada Bapak Kelik di Magelang.

    Transaksi menjual di Semarang adalah penyerahan di dalam daerah pabean. Kulkas adalah barang kena pajak, yang menyerahkan kulkas adalah pengusaha kena pajak. Jadi transaksi atau peristiwa ini dikenai PPN. Transaksi ini tidak mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan. Besarnya PPN terutang atas penyerahan kulkas pada tanggal 3 Juli 2022 di Semarang dihitung oleh PKP PT AAA di Semarang untuk dipungut dengan Faktur Pajak sebagai berikut: Harga Jual/DPP PPN x Tarif PPN = Rp6.000.000 x 11% PPN terutang = Rp 660.000 Bapak Kelik harus membayar ke PKP PT AAA sebesar Rp6.660.000, yang terdiri atas harga kulkas Rp6.000.000 dan Pajak Pertambahan Nilai Rp660.000,

    Contoh kasus 2: Jika di dalam harga jual atau penggantian atau nilai lain sudah termasuk PPN, perhitungannya sebagai berikut: Pada tanggal 13 April 2022 PKP PT BBB di Surabaya menerima tagihan jasa akuntansi termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp132.000.000 dari PKP PT CCC di Bandung yang memberikan jasa akuntansi.

    1. Transaksi menagih jasa akuntansi di Bandung adalah penyerahan di dalam daerah pabean, jasa akuntansi adalah jasa kena pajak, yang memberikan jasa akuntansi adalah pengusaha kena pajak.
    2. Jadi transaksi itu dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
    3. Transaksi ini tidak mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan, sehingga besarnya PPN terutang atas penyerahan jasa akuntansi pada tanggal 13 April 2022 di Bandung dihitung oleh PKP PT CCC di Bandung untuk dipungut dengan Faktur Pajak sebagai berikut: Harga jual termasuk Pajak Pertambahan Nilai = Rp132.000.000 DPP = 100 x harga jual termasuk PPN 100 + %tarif PPN = 100 x Rp132.000.000 110 = Rp120.000.000 PPN terutang = DPP PPN x Tarif PPN = Rp120.000.000 x 11% = Rp13.200.000 Jadi, PPN dipungut oleh PKP PT CCC Bandung sebesar Rp13.200.000 Contoh Kasus 3: Pada Oktober 2022, PT AAA menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000 pada PT BBB.

    Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 11% x Rp25.000.000 = Rp2.750.000 Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.750.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak PT AAA dari PT BBB. Selengkapnya cara menghitung PPN dan mengelola Faktur Pajaknya, baca Panduan Lengkap Alur Pengelolaan eFaktur PPN

    Apa yang dimaksud dengan pengenaan pajak?

    Pengertian DPP – Sebelum kita masuk lebih dalam tentang cara menghitung DPP, kita harus memahami terlebih dahulu tentang pengertian DPP. Dasar Pengenaan Pajak atau DPP adalah jumlah harga jual, nilai impor, nilai ekspor, penggantian, ataupun nilai lainnya yang digunakan sebagai suatu rujukan dalam menghitung nilai pajak terutang.

    Pajak terutang tersebut berbentuk PPN atau PPh 22, PPh 23, dan juga PPh pasal 4 ayat 2. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan. Di dalamnya terdapat beberapa jenis dasar pengenaan pajak, yang mana setiap jenis tersebut memiliki berbagai jenis dasar untuk bisa menghitung pajak terutang tersebut.

    Baca juga: Pajak Saham: Ini Aturan dan Cara Lapornya!

    Berapa nilai PPN dan PPh?

    Tarif atas PPN dan PPh Pembelian Barang – Tarif PPN atas pembelian barang adalah 11% dari nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau harga barang itu sendiri. Sedangkan tarif PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan bendahara pemerintah, BUMN adalah sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.

    Berapa dasar pengenaan pajak untuk kegiatan membangun sendiri?

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.03/2012 TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, perlu mengatur kembali batasan dan tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri; b. bahwa untuk lebih menjamin rasa keadilan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, berdasarkan ketentuan Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 2. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 3. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Pasal 2 (1) Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. (2) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. (3) Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. (4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan c. luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). Pasal 3 (1) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak. (2) Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Pasal 4 (1) Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. (2) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. (3) Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Pasal 5 Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Pasal 6 (1) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ke kas negara, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi. (2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri: a. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau b. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 7 (1) Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. (2) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut. (4) Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut: a. kolom NPWP diisi dengan: 1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan 3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. b. pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. (5) Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut: a. kolom NPWP diisi dengan: 1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan 3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. b. pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Pasal 8 (1) Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. (2) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (3) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). Pasal 9 (1) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. (4) Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri. (5) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. (6) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 10 Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan. Pasal 11 Tata cara penetapan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 12 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: 1. kegiatan membangun sendiri yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan belum selesai pembangunannya pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, termasuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2012 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1036
    You might be interested:  Modal Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Adalah?

    Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak penghasilan pasal 21?

    Apa itu DPP PPh 21? – Sebutkan Beberapa Nilai Lain Yang Ditetapkan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak DPP PPh 21 Dasar Pengenaan Pajak | Gadjian Dasar pengenaan dan pemotongan pajak PPh 21 adalah bagian dari penghasilan wajib pajak yang dikenakan tarif pajak PPh 21. Dengan kata lain, besaran pajak adalah hasil kali DPP dengan tarif pajak. PPh 21 = DPP x tarif pajak Menurut Peraturan Dirjen Pajak No 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh 21 dan/atau PPh 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, Pasal 9, ada empat DPP PPh 21, yakni: Baca Juga: Menghitung Tarif Pajak PPh 21 Orang Pribadi dan Keluarga

    Apa tujuan pengenaan pajak?

    Urgensi Memahami Proses Penagihan Pajak di Indonesia Dalam menjalankan kewajiban perpajakan di Indonesia, seorang Wajib Pajak tidak jarang menunggak pajak atau bahkan tidak melunasi hutang pajaknya kepada negara. Sebagaimana layaknya hutang pada umumnya, hutang pajak juga memiliki proses penagihan yang dilakukan oleh otoritas pajak.

    • Tujuan dari penagihan pajak ini tentu adalah untuk menagih hutang pajak dari Wajib Pajak.
    • Seorang Wajib Pajak sebaiknya mengerti bagaimana proses penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak () supaya dapat memitigasi risiko yang timbul dari tindakan penagihan pajak tersebut.
    • Dengan memahami prosesnya, wajib pajak dapat terhindar dari dampak-dampak negatif yang dapat timbul dari penagihan hutang pajak.

    Lalu apa dan bagaimanakah proses penagihan pajak di Indonesia? Sebelum masuk ke proses, ada baiknya kita mengetahui definisi dari penagihan pajak yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU nomor 19 tahun 1997 sebagaimana terakhir diubah dengan UU nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).

    Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang disita.

    Kemudian apa yang mendasari tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh DJP? Sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terakhir diubah dengan UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dasar penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), SKPKB Tambahan, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh seorang wajib pajak bertambah.

    Jika DJP menerbitkan produk – produk diatas, artinya proses penagihan pajak dimulai. Dari dasar penagihan pajak tersebut, proses dibagi menjadi tiga jenis, yakni penagihan pasif/persuasif, penagihan aktif, dan penagihan seketika dan sekaligus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 189 tahun 2020.

    Penagihan pasif dimulai saat diterbitkannya dasar penagihan pajak hingga jatuh tempo dasar penagihan pajak tersebut, misalnya 1 bulan dari saat terbit untuk SKPKB. Kemudian apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak masih belum melunasi hutang pajaknya, penagihan aktif dimulai dengan mengirimkan surat teguran paling cepat 7 hari setelah jatuh tempo tersebut,.

    1. Berjangka waktu paling cepat 21 hari kemudian, jurusita pajak KPP tempat Wajib Pajak terdaftar akan mendatangi wajib pajak untuk mengirimkan surat paksa yang memiliki hak eksekutorial.
    2. Dengan adanya surat paksa, berarti telah timbul biaya penagihan pajak, dan semakin lama Anda menunggak pajak maka akan semakin berat konsekuensi yang diterima.
    You might be interested:  Apa Dampak Dari Kesadaran Membayar Pajak?

    Dari sini kemudian proses penagihan pajak dapat bermacam–macam, yang tergantung pertimbangan subyektif dan objektif wajib pajak. Terhadap wajib pajak dapat dilakukan penyitaan, pengumuman di media massa, pemblokiran, pencegahan, hingga penyanderaan. Apabila dilakukan penyitaan terhadap aset wajib pajak, maka berpotensi akan dilakukan lelang terhadap aset tersebut demi melunasi hutang pajaknya.

    Apa yang dimaksud dengan pengenaan pajak?

    Pengertian DPP – Sebelum kita masuk lebih dalam tentang cara menghitung DPP, kita harus memahami terlebih dahulu tentang pengertian DPP. Dasar Pengenaan Pajak atau DPP adalah jumlah harga jual, nilai impor, nilai ekspor, penggantian, ataupun nilai lainnya yang digunakan sebagai suatu rujukan dalam menghitung nilai pajak terutang.

    Pajak terutang tersebut berbentuk PPN atau PPh 22, PPh 23, dan juga PPh pasal 4 ayat 2. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan. Di dalamnya terdapat beberapa jenis dasar pengenaan pajak, yang mana setiap jenis tersebut memiliki berbagai jenis dasar untuk bisa menghitung pajak terutang tersebut.

    Baca juga: Pajak Saham: Ini Aturan dan Cara Lapornya!

    Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak PBB dan berapa besarnya?

    Pajak Bumi & Bangunan P2

    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
    NILAI JUAL OBJEK PAJAK (NJOP) Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
    HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
    OBJEK PBB-P2 Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

    1. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
    2. jalan tol;
    3. kolam renang;
    4. pagar mewah;
    5. tempat olahraga;
    6. galangan kapal, dermaga;
    7. taman mewah;
    8. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
    9. menara.
    DIKECUALIKAN Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:

    1. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
    2. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
    3. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
    4. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
    5. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
    6. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

    Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

    SUBJEK PBB-P2 Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    WAJIB PBB-P2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek Pajak sebagaimana dimaksud yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Peraturan Daerah ini.
    DASAR PENGENAAN Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP. Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerah. Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan oleh Bupati.
    TARIF PBB-P2 Tarif Pajak ditetapkan sebagai berikut :

    • Untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) per tahun.
    • Untuk NJOP di atas Rp.1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2 % (nol koma dua persen) per tahun.
    • Untuk NJOP di atas Rp.5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,225 % (nol koma dua dua lima persen) per tahun.
    BESARAN POKOK PBB-P2 Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak.

    SIMULASI PERHITUNGAN PBB-P2

    Perhitungan Besaran PBB: Sebuah rumah dengan bangunan 100 m2 berdiri di atas lahan 200 m2. Misalnya, berdasarkan NJOP (nilai jual obyek pajak) harga tanah Rp.700.000 per m2 dan nilai bangunan Rp.600.000 per m2. Berapa besaran PBB yang harus dibayar oleh pemilik rumah tersebut?
    Harga tanah : 200 m2 x Rp.700.000 = Rp 140.000.000
    Harga Bangunan : 100 m2 x Rp.600.000 = Rp 60.000.000
    NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp 200.000.000
    NJOP Tidak Kena Pajak : Rp 10.000.000
    NJOP untuk penghitungan PBB = Rp 190.000.000
    Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang : 0,1% x Rp 190.000.000 = Rp 190.000
    PBB YANG HARUS DIBAYARKAN = Rp 190.000

    Untuk pertanyaan seputar pajak, silahkan kirim pertanyaan melalui form dibawah ini : : Pajak Bumi & Bangunan P2

    Apa pengertian dasar pengenaan PPN?

    Definisi Dasar Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Jakarta – Pajak Pertambahan Nilai merupakan salah satu jenis pajak yang memiliki penghitungan yang tertata secara sistematis. Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan PPN dengan dasar pengenaan pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai yang ditetapkan yang didasari oleh peraturan undang – undang pajak pertambahan nilai yang ditetapkan oleh setiap pemerintah dari setiap negara.

    Dalam menentukan jumlah dari PPN terutang dari suatu transaksi, terdapat dua buah komponen penting. Yaitu, tarif PPN dan DPP PPN. Dalam bahasa Inggris, terdapat beberapa istilah yang mengacu pada istilah DPP PPN. Yaitu, value, value of supply, value of taxable supply, taxable basis, atau taxable amount.

    Meskipun istilah tersebut memiliki banyak jenis yang berbeda, pengertian dari istilah tersebut tetap sama, yaitu dasar dari pengenaan PPN yang terutang. Dikarenakan DPP PPN mempengaruhi jumlah dari PPN terutang yang signifikan, mengetahui apa saja yang menjadi komponen penentu DPP PPN sangat penting, sehingga nilai dari PPN terutang dari sebuah transaksi dapat ditentukan secara benar.

    1. Pada umumnya, DPP PPN adalah sebagai harga yang dibebankan pada pihak penyedia dari barang atau jasa pada penyerahan yang dilakukannya.
    2. Dengan kata lain, DPP PPN adalah harga dari sebuah barang atau jasa yang diserahkan.
    3. Peraturan umum dalam membuat ketentuan besaran dari DPP PPN adalah dengan menghitung pembayaran atau nilai yang diterima oleh pihak yang menyerahkan barang secara keseluruhan atau pihak yang berhak menerima pembayaran tersebut sebagai sebuah hasil dalam menyerahkan barang atau jasa.

    Sehingga dapat dikatakan, nilai realisasi yang sebenarnya adalah dasar dalam menentukan DPP PPN. Ketentuan PPN untuk negara yang merupakan anggota dari Uni Eropa, yaitu VAT Directive memberikan pengaturan secara khusus mengenai pengertian DPP PPN. Dalam VAT Directive, DPP PPN meliputi segala komponen yang merupakan nilai yang diperoleh atau seharusnya diperoleh oleh pihak yang melakukan penyerahan dari barang atau jasa, yang berasal dari konsumen, sebagai sebuah imbalan dalam melakukan penyerahan yang terjadi.

    1. Dalam nilai tersebut, terdapat beberapa komponen yang juga wajib dimasukkan, antara lain adalah.
    2. Pajak, bea masuk, retribusi dan biaya, tidak termasuk PPN terhutang.
    3. Selain itu, biaya komisi, biaya pengepakkan, biaya transportasi dan asuransi, yang dikenakan kepada konsumen oleh pihak yang menyerahkan barang atau jasa.

    Sehingga, dengan kata lain, besar nilai dari DPP PPN menurut VAT Directive adalah jumlah total dari nilai yang diperoleh atau seharusnya diperoleh oleh pihak yang menyerahkan barang atau jasa bersama dengan komponen lainnya seperti yang telah disebutkan.

    1. Namun, penting untuk diingat, PPN tidak pernah menjadi bagian dari DPP PPN.
    2. Pada sisi lain, penentuan dari besarnya nilai DPP PPN dalam VAT Directive diwajibkan bersih dari beberapa komponen, antara lain adalah.
    3. Pengurangan harga dengan pemberian diskon, potongan harga dan rabat yang diberikan kepada konsumen dan diterima oleh konsumen pada saat penyerahan, jumlah yang diterima PKP dari konsumen sebagai pembayaran kembali dari pengeluaran yang telah dilakukan oleh konsumen dan pengeluaran tersebut masuk ke dalam pembukuan dari konsumen tersebut.

    Secara umum, harga jual dari suatu barang atau jasa adalah DPP PPN. Jika harga dari penjualan tidak disebutkan dengan jelas yang menyebabkan penyerahan dilakukan dengan nilai tertentu, maka besar dari nilai DPP PPN seharusnya mengacu pada nilai yang sebenarnya diterima oleh pihak yang menyerahkan barang atau jasa tersebut.