Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri?

Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri
Apakah but termasuk subjek pajak dalam negeri? – Jadi, BUT adalah sebuah usaha yang dipergunakan subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan untuk menjalankan kegiatan usaha di Indonesia. : Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri?

Siapa saja yang termasuk subjek pajak luar negeri?

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. 3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment, Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Hruruf a. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu: 1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya, Ayat (2) Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2 Pasal 3 Huruf a dan huruf b Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: – penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; – penghasilan dari usaha dan kegiatan; – penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; – penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4) pembagian laba dalam bentuk saham; 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
You might be interested:  Berikut Ini Yang Termasuk Objek Pajak Adalah?

Apa yang dimaksud dengan pengecualian pajak?

Pengecualian Pajak adalah tax exemption yaitu hak yang dijamin undang-undang untuk dibebaskan dari kewajiban membayar pajak karena bukan subjek dan objek pajak, seperti properti yang digunakan untuk tujuan pendidikan, keagamaan, sosial, konsul-konsul, dan wakil diplomat asing. Referensi : Kamus BI

Apa yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri?

Perbedaan Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri – Setelah mengetahui subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri maka ada perbedaan yang jelas antara keduanya. terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya diantaranya:

  • Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
  • Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan alias tarif tunggal terhadap semua objek pajak berapapun nilainya. Bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang undang ini dan undang undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
  • Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Jika Grameds ingin mempelajari lebih lanjut mengenai subjek pajak dan pajak internasional. Grameds bisa membaca buku dan dapatkan bukunya yang tersedia di www.gramedia.com, Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik! Penulis: Yufi Cantika Sukma Ilahiah BACA JUGA:

  1. Pengertain Pajak: Fungsi, Manfaat, Jenis, dan Cara Membayar
  2. Mengenal Jenis-Jenis Pajak yang Ada di Indonesia
  3. Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan Ekonomi
  4. Pengertian NPWP: Jenis, Manfaat, dan Cara Membuat NPWP
  5. Cara Membuat NPWP Secara Online dan Offline

Dapatkah subjek pajak dikenakan pajak atas penghasilan dari luar negeri?

Punya Penghasilan dari Luar Negeri, Bagaimana Pajaknya? Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri, DDTC Fiscal Research. Pertanyaan: PERKENALKAN, saya Ridwan. Saya adalah staf pajak salah satu perusahaan ritel di Jakarta. Perusahaan kami memiliki cabang di Malaysia dan telah memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku di sana, termasuk membayar pajak penghasilan (PPh) setiap tahunnya.

Pertanyaan saya, bagaimana tata cara pelaporan penghasilan dan pajak atas cabang kami di Malaysia dalam surat pemberitahuan (SPT) PPh badan? Jawaban: TERIMA kasih Bapak Ridwan atas pertanyaannya. Penghasilan dari cabang di Malaysia termasuk dalam objek pajak sesuai Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja () yang berbunyi: “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.” Selanjutnya, tata cara pengkreditan pajak dari luar negeri diatur dalam Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) UU PPh sebagai berikut: “(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.

(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini, (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,” Tata cara pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri ().

Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PMK 192/2018 mengatur bahwa: “(1) WPDN dikenai Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri, (2) Dalam hal WPDN dikenai PPh luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPh luar negeri tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia,” Berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PMK 192/2018, diketahui penghasilan dari luar negeri akan dikenakan PPh di Indonesia.

PPh yang dibayarkan atas penghasilan dari luar negeri tersebut dapat dikreditkan di Indonesia. Selanjutnya, penghitungan penggabungan penghasilan dari luar negeri diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 192/2018 yang berbunyi: “(1) Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, WPDN wajib melakukan penggabungan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di Indonesia,

  1. penghasilan usaha termasuk penghasilan dari cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri adalah sebesar penghasilan neto ;
  2. penghasilan yang berasal dari Trust di luar negeri adalah sebesar penghasilan neto atau bagian penghasilan neto yang diterima atau diperoleh WPDN; dan
  3. penghasilan lainnya adalah sebesar penghasilan neto.”
  • Adapun jangka waktu penggabungan penghasilan neto dari luar negeri harus mengacu pada Pasal 5 ayat (1) PMK 192/2018 sebagai berikut:
  • “Penggabungan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan pada tahun pajak diterimanya atau diperolehnya penghasilan dari sumber penghasilan di luar negeri tersebut,”
  • Setelah melakukan penggabungan penghasilan neto dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia, selanjutnya wajib pajak dapat mengkreditkan PPh yang telah dibayar di luar negeri. Tata cara pengkreditan PPh luar negeri diatur dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (4), dan ayat (7) PMK 192/2018 yang berbunyi:
  • “(1) PPh Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat dikreditkan pada Tahun Pajak dilakukannya penggabungan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (4) Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara :
  1. jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
  2. jumlah PPh Luar Negeri ; dan
  3. jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut,
You might be interested:  Bagaimana Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak?

(7) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dibanding jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar jumlah Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak,” Demikian jawaban kami.

Siapakah Penerima penghasilan yang tidak dipotong pajak?

Jakarta – Pada artikel ini pembaca akan diajak untuk mengetahui penghasilan yang tidak akan dipotong PPh Pasal 21. Sebelum memulai pembahasan ada baiknya untuk mengetahui definisi PPh 21. Yuk, disimak! Pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah pajak atas penghasilan dalam bentuk upah, gaji, honorarium, tunjangan atau suatu pembayaran dengan nama atau bentuk apapun yang diperoleh melalui pekerjaan, jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukan orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri.

Penerima penghasilan adalah seorang pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat dari negara asing. Dengan demikian, penerima penghasilan merupakan orang-orang yang dibantu kepada pihak yang bekerja dan tinggal di Indonesia. Adapun syarat dimana penerima tidak akan dipotong PPh 21 apabila penerima seorang warga negara asing dan tidak menerima penghasilan lain di luar pekerjaan atau jabatannya di Indonesia, serta di negara bersangkutan yang memberikan perlakuan timbal balik.Pejabat perwakilan organisasi internasional.

Kemudian, suatu penghasilan dapat dikategorikan sebagai tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila termasuk dalam kondisi-kondisi :

Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, serta beasiswa.Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila penerimaan dalam bentuk natura dan dalam bentuk apapun yang diberikan wajib pajak atau pemerintah kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak selain pemerintah, atau wajib pajak yang dikenakan PPh Final dan dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus.Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila iuran pensiun, iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggaran jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang disahkan atau dibentuk pemerintah.

Perlu diketahui, dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan kenali juga pihak yang memotong PPh 21, yaitu :

Pemberi kerja.Bendahara dan pemegang kas pemerintah.Dana pensiun.Orang pribadi pembayaran honorarium.Penyelenggara kegiatan.

Adapun penerima penghasilan yang dipotong PPh 21, diantaranya yaitu :

Pegawai tetap.Tenaga lepas seperti seniman, penceramah, olahragawan, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar, asuransi distributor MLM, dan kegiatan sejenisnya.Penerima pensiun mantan pegawai termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tabungan hari tua atau jaminan hari tua.Penerima honorarium.Penerima upah.Tenaga ahli seperti aktuaris, penilai, notaris, pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan)

Apakah WNI yang ada di luar negeri berkewajiban membayar pajak?

Pemerintah Pastikan WNI di Luar Negeri Tidak Kena Pajak Berganda KEBIJAKAN PAJAK | Jum’at, 19 Maret 2021 | 17:14 WIB Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti dalam webinar bertajuk Hak dan Kewajiban Perpajakan Diaspora, Jumat (19/3/2021). JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memastikan warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri tidak akan terkena pemajakan berganda.

  • Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan dengan adanya Pasal 111 UU Cipta Kerja yang merevisi UU Pajak Penghasilan (PPh), perlakuan pajak atas subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN) menjadi makin jelas.
  • Pemenuhan syarat WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan untuk menjadi SPLN dilakukan dengan mengadopsi skema tie breaker rule yang lazim digunakan pada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B),” ujarnya dalam webinar bertajuk Hak dan Kewajiban Perpajakan Diaspora, Jumat (19/3/2021).

WNI yang berada di luar Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam 1 tahun harus memenuhi syarat untuk menjadi SPLN, yakni bertempat tinggal di luar Indonesia, memiliki pusat kegiatan utama di luar Indonesia, dan/atau menjalankan kebiasaan di luar Indonesia.

  • Frans mengatakan WNI harus menjadi subjek pajak dari negara lain terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan untuk menjadi SPLN.
  • Hal ini diperlukan agar tidak ada wajib pajak orang pribadi yang berstatus stateless,
  • WNI yang hendak menjadi SPLN juga harus menyelesaikan kewajiban perpajakannya atas seluruh penghasilan selama WNI menjadi SPDN serta memiliki surat keterangan memenuhi syarat menjadi SPLN.

“Jika WNI telah memenuhi syarat sebagai SPLN maka hak dan kewajiban perpajakannya mengikuti negara yang ditinggali,” ujar Nufransa. Bila WNI SPLN masih memiliki penghasilan yang bersumber dari Indonesia, penghasilan WNI SPLN tersebut dikenai pajak sesuai dengan Pasal 26 UU PPh.

Namun, WNI SPLN yang memiliki penghasilan berupa bunga obligasi yang bersumber dari Indonesia, tarif PPh Pasal 26-nya sebesar 10%, turun dari sebelumnya 20%. Sebagai informasi, acara ini yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK) bekerja sama dengan Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (Intact-UK) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London.

(kaw) Cek berita dan artikel yang lain di : Pemerintah Pastikan WNI di Luar Negeri Tidak Kena Pajak Berganda

Hal apa saja yang dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan Pasal 22?

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22 –

Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.Pembelian barang dengan dana BOSpembelian barang dengan nilai maksimal pembelian Rp 2.000.000,00 dengan tidak dipecah- pecah dalam beberapa faktur;pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos; danpembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Penghasilan Dari manakah yang dikecualikan dari pemotongan pajak penghasilan Pasal 21?

Iuran Yang Diterima atau Yang Diperoleh Dana Pensiun Yang Pendiriannya Telah Disahkan Menteri Keuangan, Baik Yang Dibayar oleh Pemberi Kerja maupun Pegawai. – Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan,

Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya.

Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.

Mengapa penghasilan Natura dikecualikan sebagai objek pajak?

b. Dikecualikan dari Natura Pajak – Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU HPP No.7 Tahun 2021, natura tertentu yang bukan sebagai penghasilan bagi penerima adalah:

Penyediaan makanan/minuman bagi seluruh pegawai Natura di daerah tertentu Natura karena keharusan pekerjaan, contohnya alat Kesehatan kerja atau seragam Natura yang bersumber dari APBN/APBD Natura dengan jenis dan batasan tertentu

Karena natura tersebut bukan merupakan penghasilan, artinya imbalan yang diterima pegawai tersebut bukan merupakan objek pajak penghasilan. Sehingga fasilitas atau kenikmatan yang diberikan perusahaan ke pegawai atau karyawan itu tidak bisa menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan/pemberi kerja (deductible expense).

Siapa saja yang tidak termasuk subjek pajak berdasarkan Pasal 3 UU PPh?

Dasar Hukum Pasal 3 UU No.7/1983 diubah terakhir dengan UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) Ayat (1): “Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: a. Kantor perwakilan negara asing; b. Pejabat – pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat – pejabat lain dari negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama – sama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c.

Organisasi – organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan 2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan jaminan kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d. Pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.” Ayat (2): “Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.” Diskusi Dalam UU PPh telah diatur secara jelas subjek termasuk dalam subjek PPh, namun dalam UU PPh bersamaan diatur juga mengenai subjek – subjek yang dikecualikan atau tidak dapat dikatakan sebagai subjek PPh.

Pengecualian tersebut telah diatur dalam Pasal 3 UU PPh. Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat – pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat – pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.

Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat – pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

Studi Kasus: · Saya bekerja sebagai seorang Duta Besar di Indonesia untuk negara Inggris, selain berpenghasilan dari bekerja di kedutaan saya memiliki usaha restoran di daerah Jakarta Selatan. Apakah saya tetap dapat dikenakan pajak atas penghasilan saya di Indonesia? Jawaban: Ya karena terdapat syarat dalam pengecualian sebagai subjek PPh salah satunya yaitu tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

  1. · Saya merupakan karyawan di Kedutaan Besar Jepang di Indonesia dan Warga Negara Indonesia (WNI).
  2. Apakah saya tetap akan dikenakan pajak penghasilan dari Indonesia? Jawaban: Ya, karena salah satu syarat pengecualian sebagai subjek penghasilan adalah bukan warga negara Indonesia.
  3. · Saya bekerja di organisasi internasional kantor perwakilan United Nations High Commissioner Refugees di Indonesia dan saya berkewarganegaraan Swiss.

Apakah saya akan dikenakan pajak penghasilan dari Indonesia? Jawaban: Tidak, karena pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional dikecualikan sebagai Subjek Pajak Penghasilan. · World Health Organization (WHO) memiliki kantor perwakilan di Indonesia.

Apakah WHO di Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan? Jawaban: Tidak, karena salah satu subjek yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah organisasi internasional. · Saya seorang Warga Negara Jerman dan bekerja di Kedutaan Negara Jerman di Indonesia dan merupakan pengusaha di negara asal saya. Apakah saya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia? Jawaban: Tidak, karena telah memenuhi syarat agar dapat dikecualikan sebagai subjek pajak penghasilan, yaitu bukan merupakan WNI dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lainuntuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Kata Kunci: Subjek Pajak Penghasilan

Sebutkan siapa yang menjadi subjek dan objek pajak?

Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri Apa itu Objek Pajak dan Subjek Pajak – Pengertian mendasar Objek pajak adalah sumber penghasilan atau pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan Subjek pajak adalah perseorangan atau sebuah badan usaha yang ditetapkan menjadi pelaku pajak tersebut. Sehingga bisa dikatakan setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak sementara perseorangan atau badan usaha disebut sebagai wajib pajak.

You might be interested:  Dibawah Ini Yang Merupakan Bagian Faktor Produksi Modal Adalah?

Apa saja transaksi yang dikecualikan dari PPh 23?

Pengecualian PPh 23 – Meskipun PPh 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa bunga, royalti, sewa, jasa dan hadiah selain yang telah dipotong oleh PPh 21, namun ada beberapa hal yang dikecualikan dalam PPh 23, di antaranya :

Penghasilan yang mempunyai ikatan hutang dari bank Sewa yang terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi Dividen yang diperoleh PT (Perseroan Terbatas) yang bertempat tinggal di Indonesia yang berasal dari cadangan laba yang ditahan sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi dan BUMN/BUMD. SHU koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya Penghasilan yang terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman atau pembiayaan.

Siapa saja yang tidak termasuk subjek pajak berdasarkan Pasal 3 UU PPh?

Dasar Hukum Pasal 3 UU No.7/1983 diubah terakhir dengan UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) Ayat (1): “Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: a. Kantor perwakilan negara asing; b. Pejabat – pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat – pejabat lain dari negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama – sama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c.

  1. Organisasi – organisasi internasional dengan syarat: 1.
  2. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan 2.
  3. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan jaminan kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d.
  4. Pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.” Ayat (2): “Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.” Diskusi Dalam UU PPh telah diatur secara jelas subjek termasuk dalam subjek PPh, namun dalam UU PPh bersamaan diatur juga mengenai subjek – subjek yang dikecualikan atau tidak dapat dikatakan sebagai subjek PPh.

Pengecualian tersebut telah diatur dalam Pasal 3 UU PPh. Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat – pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat – pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.

Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat – pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

Studi Kasus: · Saya bekerja sebagai seorang Duta Besar di Indonesia untuk negara Inggris, selain berpenghasilan dari bekerja di kedutaan saya memiliki usaha restoran di daerah Jakarta Selatan. Apakah saya tetap dapat dikenakan pajak atas penghasilan saya di Indonesia? Jawaban: Ya karena terdapat syarat dalam pengecualian sebagai subjek PPh salah satunya yaitu tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

· Saya merupakan karyawan di Kedutaan Besar Jepang di Indonesia dan Warga Negara Indonesia (WNI). Apakah saya tetap akan dikenakan pajak penghasilan dari Indonesia? Jawaban: Ya, karena salah satu syarat pengecualian sebagai subjek penghasilan adalah bukan warga negara Indonesia. · Saya bekerja di organisasi internasional kantor perwakilan United Nations High Commissioner Refugees di Indonesia dan saya berkewarganegaraan Swiss.

Apakah saya akan dikenakan pajak penghasilan dari Indonesia? Jawaban: Tidak, karena pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional dikecualikan sebagai Subjek Pajak Penghasilan. · World Health Organization (WHO) memiliki kantor perwakilan di Indonesia.

Apakah WHO di Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan? Jawaban: Tidak, karena salah satu subjek yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah organisasi internasional. · Saya seorang Warga Negara Jerman dan bekerja di Kedutaan Negara Jerman di Indonesia dan merupakan pengusaha di negara asal saya. Apakah saya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia? Jawaban: Tidak, karena telah memenuhi syarat agar dapat dikecualikan sebagai subjek pajak penghasilan, yaitu bukan merupakan WNI dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lainuntuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Kata Kunci: Subjek Pajak Penghasilan

Siapa saja yang disebut sebagai subjek pajak?

Siapa Saja yang Seharusnya Menjadi Subjek Pajak? PAJAK Penghasilan (PPh) merupakan jenis pajak subjektif sehingga subjek pajak mempunyai arti yang sangat penting dalam penerapan sistem PPh. Alasannya, subjek pajak merupakan pihak yang dituju untuk dikenakan pajak.

Selain itu, penentuan subjek pajak juga menjadi salah satu tolak ukur dalam menentukan apakah suatu pihak wajib atau tidak memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Pentingnya penentuan subjek pajak juga dikemukakan oleh Peter Harris. Menurut Harris, dalam tulisannya yang berjudul IFRS and the Structural Features of an Income Tax Law, undang-undang PPh harus mengidentifikasi pihak yang menjadi subjek pajak untuk dua tujuan utama.

Pertama, untuk mengalokasikan kewajiban PPh, yaitu siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak. Kedua, untuk mengidentifikasi siapa saja pihak-pihak yang bisa memiliki penghasilan sehingga diketahui batasan dari suatu entitas yang wajib membayar pajak (Harris, 2015).

  • Secara konsep, subjek pajak adalah person (orang pribadi dan badan) yang dituju oleh undang-undang PPh untuk dikenakan pajak (Mansury, 1992).
  • Untuk menentukan siapa atau pihak yang menjadi subjek pajak, UU PPh harus dirancang sedemikian rupa sehingga ketentuannya jelas dan komprehensif mencakup pihak-pihak yang memang harus menjadi subjek pajak,

Rancangan ini juga mencakup pengkategorian dari setiap subjek pajak. Kalau begitu, siapa saja yang seharusnya menjadi subjek pajak untuk tujuan penerapan PPh? Pihak-pihak yang Menjadi Subjek Pajak Berdasarkan Avi-Yonah, Sartori, dan Marian (2011), subjek pajak disebut juga dengan istilah unit pembayar pajak ( tax paying unit atau tax unit ).

  1. Unit pembayar pajak terdiri dari orang pribadi, pasangan yang menikah, keluarga, entitas bisnis, dan sebagainya, yang memperoleh penghasilan kena pajak.
  2. Unit pembayar pajak berkewajiban untuk membayar pajak dan menyetorkan pajak yang terutang kepada otoritas pajak.
  3. UU PPh umumnya mengkategorikan subjek pajak berdasarkan jenis person atau entitas dominan yang diatur dalam ketentuan domestik, yaitu orang pribadi, perusahaan, dan kemitraan ( partnership ).

Bahkan, di beberapa negara yang menganut common law, subjek pajak juga mencakup trust, Selain itu, terdapat pula beberapa negara yang dalam UU PPh-nya secara khusus menyebut jenis entitas lainnya, seperti klub, perkumpulan, joint ventures, lembaga, dan sebagainya sebagai subjek pajak.

  • Namun, jika mengikuti rumusan OECD dan United Nations (UN), subjek pajak hanya dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu orang pribadi dan badan (Darussalam, Septriadi, dan Hutagaol, 2007).
  • Rumusan OECD inilah yang diadopsi oleh banyak negara dalam menggolongkan subjek pajaknya.
  • Dalam OECD Tax Policy (2006), subjek pajak orang pribadi didefinisikan dalam dua model.

Pertama, setiap orang pribadi dianggap sebagai subjek pajak tersendiri dan terpisah dengan anggota keluarga yang lain. Dengan kata lain, yang menjadi unit pembayar pajak adalah orang pribadi sehingga setiap orang pribadi wajib memenuhi kewajiban PPh-nya masing-masing.

Contoh negara yang menerapkan subjek pajak dengan model orang pribadi adalah Australia, Kanada, Italia, Jepang, Swedia, United Kingdom (UK), China, Brazil, dan India. Kedua, suatu keluarga yang setiap anggota keluarganya dianggap sebagai bagian dari subjek pajak keluarga sehingga unit pembayar pajak dalam model kedua ini adalah keluarga,

Berdasarkan model ini, setiap orang pribadi dianggap sebagai bagian dari keluarganya dan keluargalah yang wajib melaksanakan kewajiban PPh-nya. Belgia, Prancis, dan Luksemburg adalah beberapa negara yang menerapkan subjek pajak dengan model ini (Avi-Yonah, Sartori, dan Omri Marian, 2011).

Terlepas dari kedua model di atas, faktanya terdapat pula negara yang mengadopsi model hybrid dalam penentuan unit pembayar pajaknya. Dalam model hybrid ini, elemen dari model orang pribadi dan model keluarga diterapkan bersamaan. Beberapa negara yang mengadopsi model hybrid adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Israel (Thuronyi, 2003).

Perbedaan Subjek Pajak Luar Negeri dan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Perubahan UU Cipta Kerja

Sementara itu, istilah badan memiliki pengertian yang berbeda-beda di tiap negara. Misalnya, di Kanada. The Canadian Income Tax (CITA) sebagai UU PPh Kanada tidak mendefinisikan dengan jelas apa itu badan. Section 248(1) CITA hanya menyatakan bahwa badan juga mencakup perusahaan yang berbadan hukum.

Lain halnya dengan Kanada. Italia merupakan negara yang sudah menetapkan dengan jelas siapa yang menjadi subjek pajak badannya. Berdasarkan ketentuan PPh di negara tersebut, subjek pajak badan terdiri dari perusahaan joint-stock, kemitraan atau persekutuan terbatas dengan modal berupa saham, perseroan terbatas, perusahaan kerja sama, dan entitas publik lainnya selain perusahaan.

Salah satu isu yang sering muncul ketika membahas subjek pajak badan adalah mengenai status dari kemitraan ( partneship ), Tidak dapat dipungkiri, perbedaan perlakuan pajak di tiap negara dalam memperlakukan entitas ini menjadi penyebab isu ini kerap diperbincangkan.

  • Pada dasarnya, terdapat dua jenis perlakuan kemitraan untuk tujuan pajak.
  • Pertama, Kemitraan berfungsi sebagai ” t ransparent entity ” sehingga tidak diperlakukan sebagai subjek pajak.
  • Dalam kasus ini, yang diperlakukan sebagai subjek pajak adalah mitranya.
  • Perlakuan ini diterapkan di beberapa negara, seperti di Kanada dan Austria.

Kedua, kemitraan berfungsi sebagai ” non-transparent entity ” sehingga diperlakukan sebagai subjek pajak seperti bentuk perusahaan pada umumnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan perlakuan ini (Darussalam dan Septriadi, 2017). Sama halnya dengan kemitraan.

  • Status subjek pajak dari joint-venture juga sering menjadi perdebatan.
  • Secara umum, joint venture sebagai bentuk usaha kerja sama antara dua entitas atau lebih ( collective investment vehicle ) dikecualikan sebagai subjek pajak sehingga penghasilan yang diterima oleh bentuk usaha ini hanya dikenai pajak di level masing-masing entitas yang melakukan kerja sama tersebut.

Dikecualikannya joint venture sebagai subjek pajak badan tidak terlepas dari adanya alasan untuk menghindari perlakuan pajak yang tidak menguntungkan bagi entitas yang melakukan kerja sama. Misalnya, dikenai pajak berganda (Vermaulen, 2015). Subjek Pajak di Indonesia Ketentuan mengenai subjek pajak di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh.

  1. Berdasarkan rumusan pasal ini, subjek pajak di Indonesia terdiri dari empat.
  2. Pertama, orang pribadi,
  3. Secara prinsip, subjek pajak orang pribadi di Indonesia menganut model keluarga.
  4. Ini sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (3) PP 74/2011.
  5. Sementara itu, orang pribadi yang menjadi subjek pajak dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ UU PPh, yaitu mencakup orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

Kedua, warisan yang belum terbagi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 2 UU PPh. Penetapan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Alasannya, atas warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan belum dibagikan kepada ahli waris dapat saja memberikan penghasilan meskipun si pewaris sendiri telah meninggal dunia. Ketiga, badan, Sebagai subjek pajak, badan didefinisikan sebagai sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.

Badan dapat berupa perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lain sebagainya. Keempat, Bentuk Usaha Tetap ( BUT ). BUT merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Berdasarkan UU PPh, BUT diperlakukan sebagai subjek pajak badan luar negeri yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri. BUT wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, menyampaikan SPT sebagai sarana untuk pelaporan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.

: Siapa Saja yang Seharusnya Menjadi Subjek Pajak?

Siapa saja yang menjadi subjek dan objek pajak?

Siapakah Yang Dikecualikan Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri Apa itu Objek Pajak dan Subjek Pajak – Pengertian mendasar Objek pajak adalah sumber penghasilan atau pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan Subjek pajak adalah perseorangan atau sebuah badan usaha yang ditetapkan menjadi pelaku pajak tersebut. Sehingga bisa dikatakan setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak sementara perseorangan atau badan usaha disebut sebagai wajib pajak.

Siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak?

Objek Pajak dan Subjek Pajak – Setiap jenis pajak tentu memiliki objek pajak dan subjek pajak. Secara sederhana, objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak.