Subjek Pajak Yang Menerima Atau Memperoleh Penghasilan Disebut?
Subjek Pajak Penghasilan PPh adalah subjek yang dikenakan terhadapnya pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun pajak Adapun yang menjadi subjek pajak penghasilan PPh adalah: 1. Orang pribadi; 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; 3.
- Badan; dan 4.
- Bentuk Usaha Tetap (BUT).
- Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
- Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a.
tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; baca juga: pajak penghasilan PPh h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k.
- Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l.
- Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m.
- Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 dua belas) bulan; n.
- Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas o.
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yangtidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
- Subjek pajak Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.1.
- Subjek pajak dalam negeri adalah: a.
- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b.
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan c.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.2. Subjek pajak luar negeri adalah: a. orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia apabila: 1) tidak bertempat tinggal di Indonesia, 2) berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, b.
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang 1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia; 2) menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT Pengertian Pajak Subjektif meliputi: a.
- Subjek pajak dalam negeri yakni: (1).
- Orang Pribadi dimulai saat dilahirkan, berada atau berniat tinggal di Indonesia, dan berakhir saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia. (2).
- Badan dimulai saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.b.
Subjek pajak luar negeri yakni: 1) Non-BUT dimulai saat mempunyai penghasilan di Indonesaia dan berakhir saat tidak lagi mempunyai penghasilan dari Indonesia.2) BUT dimulai saat melakukan usaha.kegiatan melalui BUT di Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha/kegiatan di Indonesia.c.
- Warisan belum terbagi dimulai saat timbulnya warisan dan berakhir saat warisan selesai dibagi.
- Tidak Termasuk Subjek Pajak Beberapa pihak yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: a.
- Kantor perwakilan negara asing; b.
- Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c.
organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; c.
- Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
- Referensi Herry Purwono.2010.
- Dasar-dasar Perpajakan dan Akuntansi Pajak,
Jakarta: Erlangga. Mardiasmo.2010. Perpajakan. Yogyakarta: BPFE. Mienati Somya Lasmana dan Budi Setioraharjo, 2010. Cara Perhitungan dan Pemotongan PPh Pasal 21,Graha Ilmu, Yogyakarta. Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati.2010. Perpajakan Teori dan Teknis Perhitungan,
Contents
Siapa yang disebut sebagai subjek pajak penghasilan?
Pengertian Subjek Pajak Penghasilan – Subjek pajak penghasilan adalah badan atau perorangan yang wajib membayar pajak karena sudah dikenakan pajak dari negara. Subjek pajak juga dibagi menjadi 4 jenis atau bagian. Berdasarkan domisilinya, subjek pajak terbagi menjadi dua yakni pajak penghasilan dalam negeri dan pajak penghasilan luar negeri.
- Sedangkan, 4 kategori tersebut yaitu orang pribadi, warisan, badan, dan juga BUT (badan usaha tetap).
- Secara singkat, subjek pajak orang pribadi adalah semua warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia ataupun bertempat tinggal di luar negeri, namun mempunyai penghasilan dari Indonesia.
Sedangkan, subjek pajak badan adalah semua badang yang telah berkembang dan berdiri di Indonesia. Akan tetapi, badan non-komersial dan badan yang biayanya berasal dari APBN/APBD tidak termasuk dalam subjek pajak badan. Selanjutnya, subjek pajak warisan yang belum dibagi adalah semua pewaris yang nantinya menurunkan atau membagikan harta warisannya.
- Maka, pewaris tersebut wajib untuk melakukan pendaftaran terkait harta benda tersebut serta membayar pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
- Badan Usaha Tetap adalah gedung, kantor, bengkel, pabrik, dan bentu usaha tetap lainnya yang dibangung oleh WNA ataupun WNI yang tinggal di wilayah Indonesia.
Baca juga: Jenis Pajak dan Keuntungannya bagi Bisnis
Apa yang dimaksud dengan penerima penghasilan?
Jakarta – Pada artikel ini pembaca akan diajak untuk mengetahui penghasilan yang tidak akan dipotong PPh Pasal 21. Sebelum memulai pembahasan ada baiknya untuk mengetahui definisi PPh 21. Yuk, disimak! Pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah pajak atas penghasilan dalam bentuk upah, gaji, honorarium, tunjangan atau suatu pembayaran dengan nama atau bentuk apapun yang diperoleh melalui pekerjaan, jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukan orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri.
Penerima penghasilan adalah seorang pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat dari negara asing. Dengan demikian, penerima penghasilan merupakan orang-orang yang dibantu kepada pihak yang bekerja dan tinggal di Indonesia. Adapun syarat dimana penerima tidak akan dipotong PPh 21 apabila penerima seorang warga negara asing dan tidak menerima penghasilan lain di luar pekerjaan atau jabatannya di Indonesia, serta di negara bersangkutan yang memberikan perlakuan timbal balik.Pejabat perwakilan organisasi internasional.
Kemudian, suatu penghasilan dapat dikategorikan sebagai tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila termasuk dalam kondisi-kondisi :
Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, serta beasiswa.Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila penerimaan dalam bentuk natura dan dalam bentuk apapun yang diberikan wajib pajak atau pemerintah kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak selain pemerintah, atau wajib pajak yang dikenakan PPh Final dan dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus.Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila iuran pensiun, iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggaran jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh 21 apabila zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang disahkan atau dibentuk pemerintah.
Perlu diketahui, dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan kenali juga pihak yang memotong PPh 21, yaitu :
Pemberi kerja.Bendahara dan pemegang kas pemerintah.Dana pensiun.Orang pribadi pembayaran honorarium.Penyelenggara kegiatan.
Adapun penerima penghasilan yang dipotong PPh 21, diantaranya yaitu :
Pegawai tetap.Tenaga lepas seperti seniman, penceramah, olahragawan, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar, asuransi distributor MLM, dan kegiatan sejenisnya.Penerima pensiun mantan pegawai termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tabungan hari tua atau jaminan hari tua.Penerima honorarium.Penerima upah.Tenaga ahli seperti aktuaris, penilai, notaris, pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan)
Apa itu subjek dan objek pajak penghasilan?
Apa itu Objek Pajak dan Subjek Pajak – Pengertian mendasar Objek pajak adalah sumber penghasilan atau pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan Subjek pajak adalah perseorangan atau sebuah badan usaha yang ditetapkan menjadi pelaku pajak tersebut. Sehingga bisa dikatakan setiap subjek pajak pasti mempunyai objek pajak sementara perseorangan atau badan usaha disebut sebagai wajib pajak.
Subjek pajak ada berapa?
Perbedaan Subjek Pajak Luar Negeri dan Dalam Negeri – Setelah mengetahui subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri maka ada perbedaan yang jelas antara keduanya. terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya diantaranya:
- Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
- Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan alias tarif tunggal terhadap semua objek pajak berapapun nilainya. Bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang undang ini dan undang undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
- Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Jika Grameds ingin mempelajari lebih lanjut mengenai subjek pajak dan pajak internasional. Grameds bisa membaca buku dan dapatkan bukunya yang tersedia di www.gramedia.com, Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik! Penulis: Yufi Cantika Sukma Ilahiah BACA JUGA:
- Pengertain Pajak: Fungsi, Manfaat, Jenis, dan Cara Membayar
- Mengenal Jenis-Jenis Pajak yang Ada di Indonesia
- Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan Ekonomi
- Pengertian NPWP: Jenis, Manfaat, dan Cara Membuat NPWP
- Cara Membuat NPWP Secara Online dan Offline
Siapa saja subjek pajak?
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. 3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment, Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Hruruf a. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu: 1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya, Ayat (2) Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2 Pasal 3 Huruf a dan huruf b Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: – penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; – penghasilan dari usaha dan kegiatan; – penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; – penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4) pembagian laba dalam bentuk saham; 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.Apa yang dimaksud dengan pajak penghasilan?
Seperti diketahui bahwa pajak penghasilan awalnya diterapkan pada perusahaan perkebunan yang menyebar dan banyak didirikan di Indonesia. Namun saat ini, pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;
Selain itu, ketentuan terbaru tentang PPh telah disempurnakan dan diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 17 ayat (1) UU HPP bahwa besarnya tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (PPh 21) adalah sebagai berikut:
5% untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 60.000.000.15% untuk penghasilan diatas Rp 60.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000.25% untuk penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.30% untuk penghasilan di atas Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 5.000.0000.0000 35% untuk penghasilan di atas Rp 5.000.000.000 Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan dengan tarif yang lebih tinggi.
Siapa saja penerima penghasilan yang bukan pegawai?
Siapa saja yang termasuk Bukan Pegawai? – Bukan Pegawai adalah wajib pajak orang pribadi selain pegawai dan penerima pensiun yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan berdasarkan perintah/permintaan dari pemberi penghasilan.
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
- Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
- Olahragawan
- Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
- Pengarang, peneliti, dan penerjemah
- Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan
- Agen iklan
- Pengawas atau pengelola proyek
- Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara
- Petugas penjaja barang dagangan
- Petugas dinas luar asuransi
- Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya
Apa sajakah yang menjadi objek dari Pajak Penghasilan?
Apa Saja Objek Pajak Penghasilan – Secara garis besar, objek pajak penghasilan di sini dikelompokkan menjadi tiga kategori, yang akan mengarah pada jenis-jenis PPh yang menjadi kewajiban wajib pajak, yakni: a. Penghasilan sebagai Objek Pajak Objek PPh dalam UU PPh dirincikan sebagai berikut: 1.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang industri, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan 3.
Laba usaha 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk industri, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi 8.
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing 13.
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva 14. Premi asuransi 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak 17.
PPh dikenakan kepada siapa saja?
Mengenal PPh Pasal 21 Lebih Jauh Setiap bulan, saat menerima gaji pasti ada pemotongan PPh Pasal 21 yang dikurangi langsung oleh bendahara gaji kan? Nah apa sih yang dimaksud dengan PPh Pasal 21? Yuk menelisik lebih jauh mengenai PPh Pasal 21. Sebelum membahas PPh Pasal 21, kita lihat pengertian pajak terlebih dahulu ya.
- Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Sementara, Pajak penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah “pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak”.
Yang termasuk penghasilan disini yaitu “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan; honorarium, hadiah undian dan penghargaan; laba bruto usaha.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya; bunga; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha Koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota; royalti; sewa dari harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; dan keuntungan karena pembebasan hutan”.
Nah, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri, inilah yang disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21.
- Sedangkan yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri disebut PPh Pasal 26, namun hal tersebut tidak akan kita bahas dalam artikel ini.
- Selanjutnya yang perlu diketahui adalah pemotong PPh Pasal 21 yaitu pemberi kerja, dalam hal ini terdiri dari orang pribadi dan badan maupun cabang, perwakilan atau unit; bendahara atau pemegang kas pemerintah; dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan badan-badan lain; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan penyerahan jasa; dan penyelenggara kegiatan.
Penerima penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 yaitu pegawai; penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, THT, JHT, termasuk ahli warisnya; bukan pegawai; anggota dewan komisaris/pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai; mantan pegawai; dan peserta kegiatan baik perlombaan, rapat, konferensi, sidang, pertemuan, kunjungan kerja, peserta/anggota kepanitiaan, pendidikan, pelatihan dan magang, serta kegiatan lainnya. JIka dirumuskan maka Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Pasal 21 adalah Penghasilan Netto. Yakni Penghasilan Bruto dalam setahun dikurangi dengan (biaya jabatan + 5 % penghasilan bruto maks 6 juta pertahun) dikurangi dengan (iuran pensiun + THT/JHT yang dibayar sendiri) dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Atau dapat ditulis sebagai berikut:
Besaran PTKP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 yaitu sebesar Rp.24.300.000,- per tahun untuk diri wajip pajak, ditambah Rp.2.025.000,- untuk Wajib Pajak Kawin, ditambah Rp.2.025.000,- untuk anak kandung dan anak angkat yang menjadi tanggungan dengan jumlah maksimal 3 orang.
Setelah Jumlah Penghasilan Netto setahun dikurangi dengan PTKP, maka dikenakan tarif pajak penghasilan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 5 % untuk penghasilan sampai dengan 50 juta, 15 % untuk penghasilan diatas 50 juta hingga 250 juta, 25 % untuk penghasilan diatas 250 juta hingga 500 juta, dan 30 % untuk penghasilan di atas 500 juta.
Meskipun perhitungan penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 dihitung per 1 tahun akan tetapi pemberi kerja/ bendahara memotong PPh Pasal 21 saat dilakukannya pembayaran atau penghasilan si wajib pajak. Dikarenakan kebijakan Pajak di Indonesia menggunakan sistem self assessment alias menghitung sendiri, maka setiap wajib pajak hendaknya memahami cara perhitungan PPh Pasal 21 dan melaporkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di daerah masing-masing paling lambat Tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
- Sebagai penutup artikel ini berikut akan diberikan sekilas contoh sederhana mengenai perhitungan PPh Pasal 21.
- Dimas adalah PNS golongan III/c di Setda Kab Inhu.
- Dimas memperoleh gaji Rp.2.688.900,- setiap bulan.
- Arena Dimas memegang jabatan eselon IV/a, maka ia mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp.540.000,- per bulan.
Dimas telah menikah, namun belum memiliki anak. Maka PPh Pasal 21 yang harus dibayar oleh Dimas adalah sebagai berikut:”
Gaji Pokok | Rp.02.688.900, | ||
Tunjangan Istri | Rp.00.268.890,- | ||
Jumlah Gaji dan Tunj. Istri | Rp.02.957.790,- | ||
Tunjangan Jabatan | Rp.00.540.000,- | ||
Tunjangan Beras | Rp.00.139.520,- | ||
Jumlah Penghasilan Bruto | Rp.03.637.310,- | ||
Pengurangan | Rp.00.322.360,- | ||
-Biaya Jabatan | |||
5 % x Rp.3.637.310,- | Rp.00.181.865,- | ||
Iuran Pensiun | |||
4,75 % x 2.957.790,- | Rp.00.140.495,- | ||
Penghasilan Netto | Rp.03.314.949,- | ||
Penghasilan Netto setahun | Rp.39.779.393,- | ||
PTKP (kawin) | Rp.26.325.000,- | ||
Wajib Pajak | Rp.24.300.000,- | ||
Status WP Kawin | Rp.02.025.000,- | ||
Penghasilan Kena Pajak (PKP) | Rp.13.454.393,70,- | ||
PKP dibulatkan | Rp.13.454.000,-< | ||
PPh Pasal 21 ? 50 juta (5 %) setahun | Rp.00.672.700,- | ||
PPh Pasal 21 sebulan | Rp.00.056.058,- |
Sumber:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PerubahanKeempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 162/PMK.011/2012 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak Website Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI
: Mengenal PPh Pasal 21 Lebih Jauh
Siapa Penerima penghasilan yang dipotong pajak penghasilan Pasal 21?
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan : 1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. 6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut. 7. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun. 8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun. 9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. 10. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh ( full time ) dalam pekerjaan tersebut. 11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. 12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. 13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya ( workshop ), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut. 14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. 15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. 16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tandem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun. 17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. 18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. 19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. 20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu. 21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya. 22. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya. 23. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja. BAB II PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Pasal 2 (1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi : a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : 1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya ; 2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; 3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. (2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah : a. kantor perwakilan negara asing; b. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Kuangan; c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. (3) Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak. BAB III PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN ATAU PPh PASAL 26 Pasal 3 Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan : a. pegawai; b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi : 1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; 3. olahragawan; 4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5. pengarang, peneliti, dan penerjemah; 6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; 7. agen iklan; 8. pengawas atau pengelola proyek; 9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; 10. petugas penjaja barang dagangan; 11. petugas dinas luar asuransi; 12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : 1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; 2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; 3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 4. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5. peserta kegiatan lainnya. Pasal 4 Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah : a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; b. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. BAB IV PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ ATAU PPh PASAL 26 Pasal 5 (1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah : a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. (2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pads ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh : a. bukan Wajib Pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus ( deemed profit ). Pasal 6 (1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21. (2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26. Pasal 7 (1) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan. (2) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya. Pasal 8 (1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : a. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan. (2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. BAB V DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Pasal 9 (1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut : a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi : 1. pegawai tetap; 2. penerima pensiun berkala; 3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri; 4. bukan pegawai, yang meliputi : a) distributor multi level marketing atau direct selling ; b) petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai; c) penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai; dan/atau d) penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender. b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri. c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (2) PTKP sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PTKP dibagi 12 (dua belas). (3) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto. BAB VI PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN Pasal 10 (1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan. (2) Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut : a. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi PTKP; b. bagi pegawai tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP; c. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan. (3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan : a. biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan; b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. (4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan. (5) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut : a. bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; b. bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. (6) Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. (7) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. (8) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan. Pasal 11 (1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut : a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. (2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan. (3) Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya. (4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya. (5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari. (6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 12 (1) penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh penghasilan lainnya. (2) Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima penghasilan bukan pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi Surat nikah dan kartu keluarga. BAB VII TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA Pasal 13 (1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari : a. pegawai tetap; b. penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan; c. pegawai tidak tetap, atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan. (2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut : a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas); b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur. (3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah : a. atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas); b. atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun kelender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana, dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja. (5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan. (6) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan. (7) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja. Pasal 14 (1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas : a. jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri. (2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan. (3) Besarnya batasan jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan sepanjang terdapat perubahan besarnya PTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 15 (1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas : a. jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran yang didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya tidak bersifat berkesinambungan, yang diterima oleh bukan pegawai; b. jumlah bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan; atau c. jumlah kumulatif penghasilan bruto sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau berdasarkan keadaan yang sebenarnya, yang diterima oleh bukan pegawai. (2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif Penghasilan Kena Pajak sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, yang dihitung setiap bulan. Pasal 16 Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas penghasilan bruto kumulatif berupa : a. honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama; b. jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; c. penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan. Pasal 17 Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Pasal 18 Tata cara pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Pasal 19 (1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut. (2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri. BAB VIII TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK Pasal 20 (1) Bagi Penerima penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. (2) jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. (3) pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. (4) Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. BAB IX SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 Pasal 21 (1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan. (2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak. (3) Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK Pasal 22 (1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kontor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang belaku. (2) pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun. (3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya. (4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender. (5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil. (7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 yang terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. (8) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak. (9) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 23 (1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. (2) Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan mengenai pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, dan contoh perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2008 MENTERI KEUANGAN ttd. SRI MULYANI INDRAWATIApa yang bukan subjek pajak?
BUKAN SUBJEK PAJAK – Yang dimaksud bukan adalah: (Pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008)
- kantor perwakilan negara asing;
- pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
- organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
- pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
- Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
- Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
- Organisasi Internasional lainnya (PMK-166/PMK.011/2012)
Jelaskan apa yang dimaksud dengan pajak subjektif?
Pajak Subjektif Adalah – Sumber foto : Easybiz.id Mungkin masih banyak orang yang belum mengenal atau mendengar dua jenis pajak ini. Pajak subjektif dan pajak objektif ini nanti masih akan terbagi menjadi beberapa macam lagi. Di sini pengertian pajak subjektif adalah pungutan yang ditetapkan dari Wajib Pajak perorangan atau pribadi.
Pajak subjektif adalah pajak dimana wajib pajak perorangan yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai syarat administrasi untuk melaksanakan hak serta kewajiban pajak. Jadi pada dasarnya setiap WNI mempunyai kewajiban pajak dan harus membayar pajak. Jika sampai ada kewajiban yang tidak dipenuhi maka WP tersebut akan mendapatkan sanksi.
Artinya di sini pajak subjektif adalah pungutan yang berasal dari Wajib Pajak itu sendiri khususnya untuk WP perorangan yang telah memiliki NPWP. Setiap orang yang sudah memiliki NPWP harus memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan dan hukum perpajakan yang berlaku agar tidak terkena sanksi atau hukuman.
- Pajak yang termasuk jenis pajak subjektif adalah pajak penghasilan atau yang biasa disingkat dengan PPh.
- Pungutan pajak ini berdasarkan pada pendapatan atau penghasilan yang didapatkan oleh Wajib Pajak perorangan dalam satu tahun pajak.
- Baca Juga : Contoh Pajak Langsung dan Tidak Langsung Lengkap Pajak penghasilan ini sendiri biasanya dikenakan kepada WP yang mendapatkan tambahan nilai ekonomis dari pendapatan atau pemasukannya.
PPh ini secara umum dan berdasarkan UU yang berlaku dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Setiap jenisnya mempunyai aturan dan ketentuannya sendiri-sendiri. Sementara itu, ada juga pajak objektif. Ini merupakan pajak yang fokusnya pada penetapan atau pengenaan pungutan pajak yang memperhatikan pribadi dari WP yang menjadi subjek pajak.
Pungutan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan yang ditetapkan objek untuk pajaknya. Besaran atau jumlah pajak untuk pajak subjektif adalah pajak yang dipengaruhi oleh kondisi atau keadaan perorangan yang menjadi subjek pajak. Oleh karena itu pajak objektif ini tarifnya mengikuti atau melihat ketentuan yang sudah diatur dalam UU perpajakan yang berlaku sekarang.
Kriteria dari penghasilan atau pendapatan untuk tarif pajak objektif ini diantaranya:
Orang pribadi atau badan usaha yang menggunakan dan mengkonsumsi BKP atau barang kena pajak. Pajak yang berkaitan dengan pemindahan harta dari dalam negeri ke luar negeri. Pajak atau pungutan atas kekayaan, kepemilikan barang mewah maupun aset yang ada di luar negeri.
Itu dia penjelasan tentang pengertian pajak subjektif dan pajak objektif. Keduanya memang sangat berbeda namun saling berkaitan. Jadi pajak subjektif dan pajak objektif ini dapat dikatakan dua jenis pajak yang saling berhubungan dalam prakteknya.
Apakah semua penghasilan dikenakan pajak?
Bantuan atau Sumbangan dan Harta Hibahan – Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan membagi penghasilan yang dikecualikan menjadi 2 yaitu: bantuan atau sumbangan, dan hibah. Tetapi saya membagi menjadi 3 saja karena sumbangan termasuk zakat.
- Jadi saya bagi menjadi: bantuan atau sumbangan, zakat atau sumbangan keagamaan, dan harta hibahan.
- Bantuan atau sumbangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
- Ata sepanjang maksudnya adalah syarat supaya bantuan atau sumbangan dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2009 bahwa bantuan atau sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan. Jadi, syarat bantuan atau sumbangan supaya dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan, yaitu:
- berbentuk uang atau barang;
- tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan.
- badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
- penerima zakat yang berhak.
Begitu juga dengan sumbangan keagamaan, supaya penghasilan dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2009 mengatur: Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:
- lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
- penerima sumbangan yang berhak.
Penjabaran Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008. Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008, harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan yaitu harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh :
- keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu adalah orang tua dan anak kandung.
- badan keagamaan, yaitu badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan.
- badan pendidikan, yaitu badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan.
- orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut : :
- memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;atau
- memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miyar lima ratus juta rupiah).
- badan sosial termasuk yayasan dan koperasi, yaitu badan sosial yang tidak mencari keuntungan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
- pemeliharaan kesehatan;
- pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
- pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
- santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
- pemberian beasiswa;
- pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
- kegiatan sosial lainnya.
Siapa saja yang bukan subjek dari pajak penghasilan?
BUKAN SUBJEK PAJAK – Yang dimaksud bukan adalah: (Pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008)
- kantor perwakilan negara asing;
- pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
- organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
- pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
- Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
- Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau kebudayaan (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
- Organisasi Internasional lainnya (PMK-166/PMK.011/2012)
Siapa saja yang bukan merupakan subjek pajak?
Menurut undang-undang, ada 3 golongan bukan subjek pajak : kantor perwakilan negara asing; pejabat diplomatik; dan. organisasi internasional.
Apa saja yang termasuk dalam objek pajak penghasilan?
Apa Saja yang Menjadi Objek Pajak Penghasilan? BUKANLAH sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa diskusi terpanjang dalam teori perpajakan adalah mengenai, Salah satunya ketika menyusun dan menetapkan apa saja yang menjadi objek PPh (Shome, 2014).
- Secara universal, telah diterima dan diakui bahwa yang menjadi objek dari pengenaan PPh adalah “penghasilan.” Namun, penentuan objek PPh ini bukannya tanpa batasan.
- Faktanya, terdapat pula jenis-jenis penghasilan tertentu yang dikecualikan pengenaannya dari PPh.
- Lantas, penghasilan apa saja yang menjadi objek PPh dan bagaimana penerapannya di beberapa negara? Konsep dan Penerapan McCaffery (2012) dalam bukunya yang berjudul Income Tax Law: Exploring the Capital-Labor Divide menyebutkan bahwa, utamanya, suatu penghasilan berasal dari pekerjaan, modal, atau kombinasi keduanya.
Selain itu, penghasilan juga dapat diperoleh dari kegiatan usaha atau dikenal dengan istilah business income, Namun, tidak tertutup kemungkinan pula suatu penghasilan diperoleh selain dari pekerjaan, modal, ataupun kegiatan usaha. Untuk penghasilan yang terakhir ini sering disebut dengan istilah penghasilan lain-lain.
Objek PPh pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, penghasilan dari hubungan pekerjaan, yaitu penghasilan dari adanya hubungan antara karyawan dan pemberi kerja, misalnya gaji, honorarium, tunjangan, upah dan lainnya. Setiap negara berbeda menentukan apa saja yang menjadi elemen dari penghasilan ini.
Subjek Pajak Penghasilan
Oleh karena itu, sangat mungkin terdapat perbedaan atas jenis penghasilan dari hubungan pekerjaan antara satu negara dengan negara lainnya. Beberapa negara, misalnya UK yang menganut schedular tax system, mengkategorikan penghasilan dari hubungan pekerjaan ke dalam tiga kelompok, yaitu honorarium, pensiun, dan manfaat jaminan sosial (Nightingale, 1997).
Edua, penghasilan dari kegiatan usaha yang didefinisikan sebagai penghasilan dari kegiatan yang dilakukan seseorang secara teratur untuk dapat menghasilkan keuntungan. Misalnya, dengan melakukan perdagangan atau suatu usaha. Sejak UU PPh UK yang pertama berlaku pada tahun 1799, penghasilan dari kegiatan usaha telah menjadi salah satu objek PPh.
Demikian pula, di Selandia Baru, PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha telah diterapkan sejak tahun 1891. Penerapan PPh atas penghasilan ini pun kian meluas ke berbagai macam negara hingga penghasilan dari kegiatan usaha menjadi salah satu komponen penting penerimaan pajak (Avi-Yonah, Satori, dan Marian, 2014).
- Etiga, penghasilan modal, yaitu penghasilan yang diterima sebagai imbalan atas modal berupa uang, barang modal, atau kekayaan intelektual.
- Misalnya, bunga sebagai imbalan atas peminjaman uang, dividen sebagai imbalan atas penyertaan modal ekuitas dalam bentuk saham, royalti sebagai imbalan atas penggunaan hak cipta, panten, atau know how serta atas sewa tanah, bangunan dan peralatan (Mansury, 1992).
Keempat, penghasilan lainnya yang mencakup segala sesuatu yang memenuhi konsep dasar penghasilan, tetapi tidak termasuk dalam penghasilan dari hubungan pekerjaan, penghasilan dari kegiatan usaha, atau penghasilan modal. Beberapa contoh dari penghasilan yang masuk dalam kategori penghasilan lainnya, antara lain hadiah dan penghargaan, pembebasan utang, beasiswa, penghasilan judi, imbalan yang didapat karena adanya perjanjian untuk tidak bersaing, dan penghasilan dari sanksi yang dikenakan atas keterlambatan dalam melakukan suatu pembayaran (Detweiler, 2009).
- Terlepas dari pengelompokkan objek PPh di atas, dalam praktiknya, penentuan apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek PPh atau tidak, bergantung pada ketentuan perundang-undangan PPh yang berlaku di setiap negara.
- Selain itu, penentuan objek PPh ini turut pula dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan.
Akibatnya, tidak ada satu negara pun menetapkan objek PPh dengan format yang sama persis dengan negara lainnya. Di Singapura, misalnya. Sesuai dengan ketentuan dalam Income Tax Act, objek PPh di Singapura adalah penghasilan sebagaimana diatur dalam Section 10 (1).
- Adapun yang dimaksud dengan penghasilan dalam ketentuan ini tidak termasuk capital gains karena Singapura tidak mengenal pemajakan atas capital gains,
- Dengan demikian, segala penerimaan yang berasal dari modal tidak termasuk sebagai objek PPh di Singapura (Teck dan Oei, 2018).
- Income Tax Act juga tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan penghasilan.
Namun, UU PPh Singapura ini membagi penghasilan yang menjadi objek PPh ke dalam enam kategori. Pertama, penghasilan dari perdagangan, kegiatan usaha, profesi, atau vokasi. Kedua, penghasilan dari hubungan pekerjaan. Ketiga, dividen, bunga atau diskonto.
Eempat, pensiun, pembayaran yang dilakukan sesuai dengan perintah hukum atau pengadilan, atau anuitas. Kelima, sewa, royalti, premium, dan keuntungan lainnya yang berasal dari harta. Keenam, keuntungan atau laba lainnya di luar yang belum diatur dalam Section 10(1)(a) sampai 10(1)f Income Tax Act,
Sama halnya dengan Income Tax Act yang berlaku di Singapura. Income Tax Act 1961 sebagai UU PPh di India menetapkan bahwa objek PPh di India adalah penghasilan. Sayangnya, undang-undang ini pun tidak mendefinisikan istilah penghasilan. Dalam Section 2(24) Income Tax Act 1961, hanya diberikan contoh-contoh penghasilan yang menjadi objek PPh.
- Akan tetapi, contoh-contoh penghasilan dalam ketentuan ini bersifat inklusif dan tidak lengkap.
- Artinya, penghasilan tidak hanya merujuk pada contoh-contoh yang diberikan dalam Income Tax Act 1960, tetapi juga mencakup segala hal yang dapat didefinisikan sebagai penghasilan berdasarkan makna secara umum (CCH India, 2013).
Kalau begitu, bagaimana dengan objek PPh di Indonesia? Berdasarkan sejarahnya, PPh merupakan penggabungan antara Pajak Pendapatan (PPd) dan Pajak Perseroan yang sebelumnya berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, objek pajak dalam PPh mempunyai arti yang lebih luas karena mencakup objek dari dua jenis pajak tersebut.
- Pada tahun 1983, Indonesia melakukan reformasi pajak dengan disetujuinya undang-undang perpajakan yang baru.
- Salah satu undang-undang perpajakan yang disetujui pemberlakuannya adalah UU PPh Nomor 7 Tahun 1983.
- Terjadinya pergantian undang-undang pada saat itu berimbas pada berubahnya sistem PPh yang selama ini berlaku di Indonesia.
Salah satunya mengenai apa saja yang menjadi objek PPh. Dalam undang-undang tersebut ditetapkan bahwa yang menjadi objek PPh adalah penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 ayat (1). Selain menjabarkan definisi penghasilan, Pasal 4 ayat (1) juga memberikan contoh-contoh jenis penghasilan yang menjadi objek PPh.
Sementara itu, Pasal 4 ayat (3) mengatur apa saja yang dikecualikan sebagai objek PPh. Hingga saat ini, penetapan penghasilan sebagai objek PPh tidak mengalami perubahan dan masih digunakan dalam UU PPh di Indonesia. Definisi penghasilan pun tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perkembangan dan penyesuaian terkait objek PPh yang terjadi sejak berlakunya UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 hingga UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 hanya mencakup penambahan maupun pengurangan contoh-contoh objek PPh,
Misalnya, dalam UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 terdapat 16 contoh jenis penghasilan yang merupakan objek PPh. Sementara itu, dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, contoh jenis penghasilan yang menjadi objek PPh bertambah menjadi 19 jenis penghasilan. : Apa Saja yang Menjadi Objek Pajak Penghasilan?