Yang Merupakan Sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak Adalah?
Jenis-jenis yang termasuk objek PNBP –
Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah Penerimaan dari pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan Penerimaan dari pengelolaan barang milik negara Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak negara Contoh sederhana PNBP adalah layanan paspor, perpanjangan SIM, pembayaran tilang, dan biaya administrasi layanan publik yang disediakan oleh Kementerian / Lembaga lainnya.
Tarif atas penerimaan negara bukan pajak berbentuk tarif spesifik dan berbeda tergantung jenis PNBP itu sendiri, ditentukan berdasarkan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP bersangkutan, dan aspek keadilan pada pengenaan dampak terhadap masyarakat, serta kebijakan pemerintah itu sendiri terhadap jenis PNBP tersebut.
Pembayaran PNBP dilakukan oleh wajib bayar (orang pribadi dan badan) melalui tempat yang ditunjuk oleh Menteri. Saat ini cara pembayaran atau penyetoran PNBP menggunakan Modul Penerimaan Negara Generasi ke-3 (MPN G3). Modul ini merupakan sistem penerimaan negara yang dikembangkan untuk membantu pemerintah dalam mengurangi kesalahan perhitungan PNBP.
Sedangkan untuk penyetoran PNBP dapat dilakukan melalui ATM, Teller bank, ataupun internet banking. : Mengenal Penerimaan Negara Bukan Pajak
Contents
- 1 Apa saja sumber penerimaan negara bukan pajak?
- 2 Apakah ada sumber penerimaan negara selain pajak?
- 3 Apakah laba BUMN termasuk PNBP?
- 4 Apakah PNBP kena pajak?
- 5 Apakah cukai termasuk pendapatan negara?
- 6 Apakah hibah termasuk pendapatan negara?
- 7 Apakah minyak bumi dan gas alam merupakan sumber penerimaan negara?
Apa saja sumber penerimaan negara bukan pajak?
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) dari pertambangan non minyak bumi dan gas alam, adalah sumber PNBP yang diperoleh dari kegiatan antara lain dari pertambangan umum, panas bumi, kehutanan, dan perikanan. Selain itu akan diungkapkan penerimaan PNBP, yaitu pajak daerah dan retribusi daerah.
Apa itu PNBP dan contohnya?
Pengelolaan Dana – Pengelolaan Dana ialah pengelolaan atas dana pemerintah, baik yang berasal dari APBN maupun perolehan lain yang sah, untuk tujuan tertentu. Contoh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengelolaan dana pemerintah antara lain, seperti penerimaan dari jasa giro, maupun penerimaan dari sisa-sisa anggaran yang telah digunakan.
Apakah ada sumber penerimaan negara selain pajak?
Menurut Pasal 11 Ayat (3) UU No.17 Tahun 2003, sumber pendapatan negara terdiri dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan hibah.
Apakah laba BUMN termasuk PNBP?
Jawaban yang benar adalah penerimaan negara bukan pajak. Berikut pembahasannya. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Sedangkan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih. Sumber pendapatan negara terdiri dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah.
Sumber penerimaan negara yang utama berasal dari pajak. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terdiri dari: 1. Pemanfaatan sumber daya alam.2. Pelayanan, yaitu segala bentuk penyediaan barang, jasa, atau pelayanan administratif yang menjadi tanggung jawab pemerintah.3. Pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, seperti bagian laba BUMN.4.
Pengelolaan barang milik negara.5. Pengelolaan dana pemerintah yang berasal dark APBN atau perolehan lain yang sah untuk tujuan tertentu.6. Hak negara selain sumber penerimaan yang disebutkan sebelumnya. Jadi, bagian laba BUMN termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Apakah PNBP kena pajak?
PNBP adalah Penerima Negara Bukan Pajak, Berikut Pengertian dan Klasifikasinya | merdeka.com Merdeka.com – merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk mendanai kegiatan dan kebutuhan negara dalam rangka membangun negara. Di negara-negara yang sudah sangat maju pajak adalah sumber utama dari pembelanjaan pemerintah, sebagian dari pengeluaran pemerintah adalah untuk membiayai administrasi pemerintahan dan sebagian lainnya adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan.
- Selain itu, pajak juga digunakan untuk membayar gaji pegawai-pegawai pemerintah, membiayai sistem pendidikan dan kesehatan rakyat, membiayai pembelajaran untuk angkatan bersenjata dan membiayai berbagai jenis infrastruktur yang penting yang akan dibiayai pemerintah.
- Selain bersumber dari penerimaan pajak, pendapatan negara juga bersumber dari penerimaan negara bukan pajak.
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang terdapat banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan. Dalam hal ini Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah salah satu sumber pendapatan negara yang diperlukan sebagai upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih jauh berikut ini informasi mengenai PNBP adalah Penerimaan Negara Bukan, lengkap dengan pengertian dan Klasifikasinya telah dirangkum dari lib.ui.ac.id dan repository.radenintan.ac.id: 2 dari 3 halaman Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara.
Penerimaan itu beerdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Dalam Pasal I butir I UU Nomor 20 Tahun 1997, definisi penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri
Pengaturan selanjutnya, kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Demikian juga dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah cukai termasuk pendapatan negara?
I. UMUM 1. Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung untuk memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara sehingga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai perlu diubah sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah. 2. Cukai sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sesuai dengan undang-undang merupakan penerimaan negara guna mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan. 3. Pengenaan cukai perlu dipertegas batasannya sehingga dapat memberikan landasan dan kepastian hukum dalam upaya menambah atau memperluas obyek cukai dengan tetap memperhatikan aspirasi dan kemampuan masyarakat. 4. Untuk dapat mengoptimalkan upaya penerimaan negara dari sektor cukai, selain upaya penegasan batasan obyek cukai, juga perlu penyempurnaan sistem administrasi pungutan cukai dan peningkatan upaya penegakan hukum (law enforcement) serta penegasan pembinaan pegawai dalam rangka tata pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena itu, materi perubahan undang – undang ini antara lain juga meliputi: a. perluasan cara pelunasan cukai yang lebih akomodatif untuk menyesuaikan dengan praktek bisnis tanpa mengabaikan pengamanan hak-hak negara; b. penyempurnaan sistem penagihan utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dengan menambah skema pembayaran secara angsuran tanpa mengabaikan pengamanan hak-hak negara; c. menghapus ketentuan yang mengatur lembaga banding untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang mengatur mengenai badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; d. penyelenggaraan pembukuan yang diselaraskan dengan perkembangan zaman dan ketentuan audit cukai; e. penegasan penggunaan dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data elektronik dan sanksi terhadap pelanggaran terhadap pihak yang mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai secara tidak sah; f. pengaturan tentang pembinaan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan kode etik dan penyelesaian pelanggarannya (punishment) melalui komisi kode etik serta pemberian insentif kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan kinerja; g. pengaturan pemberian penghargaan (reward) bagi yang berjasa; dan h. pengaturan tentang bagi hasil dari cukai hasil tembakau kepada pemerintah daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b. Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d. Yang dimaksud dengan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan adalah pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok, sehingga tetap terjaga keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 3A Cukup jelas. Pasal 3B Pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Angka 4 Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “etil alkohol atau etanol” adalah barang cair, jernih, dan tidak berwarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi. Huruf b Yang dimaksud dengan “minuman yang mengandung etil alkohol” adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antara lain bir, shandy, anggur, gin, whisky, dan yang sejenis. Yang dimaksud dengan “konsentrat yang mengandung etil alkohol” adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol. Huruf c Yang dimaksud dengan “sigaret” adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri dari sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan. Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri dari sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin. Yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. Yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Yang dimaksud dengan cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaranlembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan hasil pengolahan tembakau lainnya adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut dalam huruf ini yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Ayat (2) Penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai disampaikan oleh pemerintah kepada alat kelengkapan DPR RI yang membidangi keuangan untuk mendapatkan persetujuan dan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Angka 5 Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Penetapan tarif paling tinggi 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga jual pabrik atau 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga jual eceran didasarkan atas pertimbangan bahwa apabila barang kena cukai yang karena sifat atau karakteristiknya berdampak negatif bagi kesehatan ingin dibatasi secara ketat peredaran dan pemakaiannya maka cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga barang kena cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai paling tinggi. Huruf b Penetapan tarif paling tinggi 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari nilai pabean ditambah bea masuk atau 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga jual eceran didasarkan atas pertimbangan bahwa apabila barang kena cukai yang karena sifat atau karakteristiknya berdampak negatif bagi kesehatan, ingin dibatasi secara ketat impor, peredaran, dan pemakaiannya, maka cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga barang kena cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai paling tinggi. Ayat (2) Huruf a Penetapan tarif paling tinggi 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga jual pabrik atau 80% (delapan puluh persen) dari harga jual eceran didasarkan atas pertimbangan bahwa apabila barang kena cukai yang karena sifat atau karakteristiknya berdampak negatif bagi kesehatan, lingkungan hidup, dan tertib sosial ingin dibatasi secara ketat peredaran dan pemakaiannya, maka cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga barang kena cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai paling tinggi. Selain itu tarif paling tinggi juga dapat dikenakan dalam rangka keadilan dan keseimbangan misalnya barangbarang yang dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Huruf b Penetapan tarif paling tinggi 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari nilai pabean ditambah bea masuk atau 80% (delapan puluh persen) dari harga jual eceran didasarkan atas pertimbangan bahwa apabila barang kena cukai yang karena sifat atau karakteristiknya berdampak negatif bagi kesehatan, lingkungan hidup, dan tertib sosial, ingin dibatasi secara ketat impor, peredaran, dan pemakaiannya, maka cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga barang kena cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai paling tinggi. Selain itu tarif paling tinggi juga dapat dikenakan dalam rangka keadilan dan keseimbangan misalnya barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Ayat (3) Perubahan tarif cukai yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa perubahan dari persentase harga dasar (advalorum) menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai (spesifik) atau sebaliknya. Demikian pula dapat berupa gabungan dari kedua sistem tersebut. Perubahan tarif ini mempunyai beberapa tujuan antara lain untuk kepentingan penerimaan negara, untuk pembatasan konsumsi barang kena cukai, dan untuk memudahkan pemungutan atau pengawasan barang kena cukai. Ayat (4) Yang dimaksud dengan DPR RI adalah komisi yang membidangi keuangan. Yang dimaksud dengan alternatif kebijakan adalah kebijakan besaran tarif cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia. Persetujuan DPR RI pada ayat ini antara lain sebagai upaya perlindungan dan keberpihakan terhadap industri hasil tembakau yang padat karya terutama yang proses produksinya menggunakan cara lain daripada mesin. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “harga jual pabrik” adalah harga penyerahan pabrik kepada penyalur atau konsumen yang di dalamnya belum termasuk cukai. Yang dimaksud dengan “harga jual eceran” adalah harga yang ditetapkan sebagai dasar penghitungan besarnya cukai. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “nilai pabean dan bea masuk” adalah nilai pabean dan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang kepabeanan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan diimpor untuk dipakai adalah dimasukkan ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai, dimiliki, atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. Ayat (3) Pada dasarnya pelunasan cukai atas barang kena cukai merupakan pemenuhan persyaratan dalam rangka mengamankan hak-hak negara yang melekat pada barang kena cukai sehingga barang kena cukai tersebut dapat disetujui untuk dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan, atau diimpor untuk dipakai. Barang kena cukai yang telah selesai dibuat dan digunakan sebelum dikeluarkan dari pabrik dianggap telah dikeluarkan dan harus dilunasi cukainya. Huruf a Pelunasan cukai dengan cara pembayaran dibuktikan dengan dokumen cukai yang dipersyaratkan. Untuk barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, pembayaran harus dilakukan sebelum barang kena cukai dikeluarkan dari pabrik atau tempat penyimpanan. Untuk barang kena cukai yang diimpor, pembayaran cukainya dilakukan pada saat barang kena cukai diimpor untuk dipakai. Huruf b Pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai dilakukan dengan cara melekatkan pita cukai yang seharusnya dan dilekatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, pelekatan pita cukainya harus dilakukan sebelum barang kena cukai dikeluarkan dari pabrik. Untuk barang kena cukai yang diimpor, pelekatan pita cukainya harus dilakukan sebelum barang kena cukai diimpor untuk dipakai. Pelekatan pita cukai tersebut dapat dilakukan di tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, atau di tempat pembuatan barang kena cukai di luar negeri. Huruf c Pelunasan cukai dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya dilakukan dengan cara membubuhkan tanda pelunasan cukai lainnya yang seharusnya dan dibubuhkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain: barcode dan hologram. Untuk barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya harus dilakukan sebelum barang kena cukai dikeluarkan dari pabrik. Untuk barang kena cukai yang diimpor, pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya harus dilakukan sebelum barang kena cukai diimpor untuk dipakai. Pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya tersebut dapat dilakukan di tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, atau di tempat pembuatan barang kena cukai di luar negeri. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (3b) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan disediakan adalah disediakan dalam bentuk fisik barang dan/atau spesifikasi desain. Ayat (5) Cukai dianggap tidak dilunasi apabila pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya pada barang kena cukai tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain: a. pita cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan tarif cukai dan/atau harga dasar barang kena cukai yang ditetapkan; b. pita cukai yang dilekatkan tidak utuh atau rusak; atau c. pita cukai yang dilekatkan atau tanda pelunasan cukai lainnya yang dibubuhkan pada barang kena cukai yang bukan haknya dan/atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 7A Ayat (1) Yang dimaksud dengan sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai adalah tanggal pendaftaran dokumen pengeluaran. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penundaan adalah kemudahan pembayaran yang diberikan kepada pengusaha pabrik dalam bentuk penangguhan pembayaran cukai tanpa dikenai bunga. Huruf a Yang dimaksud dengan sejak tanggal pemesanan pita cukai adalah tanggal pendaftaran dokumen pemesanan pita cukai. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan penundaan adalah kemudahan pembayaran yang diberikan kepada importir barang kena cukai dalam bentuk penangguhan pembayaran cukai tanpa dikenai bunga. Ayat (4) Jaminan dapat berupa jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi. Ayat (5) Jaminan dapat berupa jaminan bank, jaminan dari perusahaan asuransi, atau jaminan perusahaan (corporate guarantee) Jenis dan besaran jaminan ditetapkan dengan pertimbangan tingkat kepatuhan dari pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai selama mendapat penundaan. Misalnya, pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai yang tidak pernah melakukan pelanggaran atas penundaannya dapat menyerahkan jaminan dalam bentuk jaminan perusahaan (corporate guarantee). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 8 Ayat (1) Tidak dipungutnya cukai atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di beberapa daerah yang membuat barang tersebut secara sederhana dan merupakan sumber mata pencaharian. Yang dimaksud dengan “dikemas untuk penjualan eceran” adalah dikemas dalam kemasan dengan isi tertentu dengan menggunakan benda yang dapat melindungi dari kerusakan dan meningkatkan pemasarannya. Ayat (2) Kewajiban membayar cukai masih melekat pada barang kena cukai yang diatur pada ayat ini, tetapi pemungutannya tidak dilakukan selama memenuhi persyaratan yang ditentukan, dibuktikan dengan dokumen cukai yang diwajibkan dan barang kena cukai masih tetap berada dalam pengawasan. Huruf a Yang dimaksud dengan “diangkut terus” adalah diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan “diangkut lanjut” adalah diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dahulu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tidak dipungutnya cukai atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud huruf ini karena di dalam pabrik atau tempat penyimpanan dapat ditimbun barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya yang berasal dari pabrik atau tempat penyimpanan lain atau dari impor. Pemungutan atau pelunasan cukai atas barang kena cukai dimaksud dilakukan pada saat dikeluarkan kembali dari pabrik atau tempat penyimpanan. Huruf d Barang kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong menurut ketentuan huruf ini tidak dipungut cukai, karena cukainya akan dikenai terhadap barang hasil akhir yang juga merupakan barang kena cukai, seperti etil alkohol yang dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol atau sebagai bahan penolong dalam pembuatan hasil tembakau. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “melanggar ketentuan tentang tidak dipungutnya cukai” yaitu apabila barang kena cukai didapati menyimpang dari tujuan sehingga tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (2), misalnya barang kena cukai tidak dapat dibuktikan telah diangkut terus atau diekspor. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pembebasan” adalah fasilitas yang diberikan kepada pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan atau importir untuk tidak membayar cukai yang terutang. Huruf a Fasilitas pembebasan cukai berdasarkan ketentuan dalam huruf ini dimaksudkan untuk mendukung pertumbuhan atau perkembangan industri yang menggunakan barang kena cukai sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai, baik untuk tujuan ekspor maupun u ntuk pemasaran dalam negeri, seperti etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan etil asetat, asam asetat, obat-obatan dan sebagainya. Huruf b Barang kena cukai yang dapat diberikan pembebasan berdasarkan ketentuan dalam huruf ini dibatasi jumlahnya sesuai dengan kebutuhan yang wajar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Barang kena cukai yang dapat diberikan pembebasan berdasarkan ketentuan dalam huruf ini dibatasi jumlahnya sesuai dengan kebutuhan yang wajar. Huruf e 1. Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. 2. Yang dimaksud dengan “awak sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkutnya. 3. Yang dimaksud dengan “pelintas batas” adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas. Huruf f Yang dimaksud dengan “tujuan sosial”, antara lain untuk bantuan bencana alam. Huruf g Yang dimaksud dengan tempat penimbunan berikat adalah tempat penimbunan berikat sebagaimana diatur dalam undang-undang di bidang kepabeanan. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “etil alkohol yang dirusak sehingga tidak baik untuk diminum” adalah etil alkohol yang dirusak dengan bahan perusak tertentu, yang dalam istilah perdagangan lazim disebut spiritus bakar (brand spiritus). Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “melanggar ketentuan tentang pembebasan cukai” adalah menyalahgunakan fasilitas pembebasan cukai. Misalnya, etil alkohol diberikan pembebasan cukai karena akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir tertentu yang telah ditetapkan, ternyata digunakan untuk membuat barang hasil akhir lain selain yang ditetapkan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, antara lain: a. utang cukai yang timbul akibat cukai yang pembayarannya secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) tidak dibayar sampai dengan jangka waktu pembayaran berkala berakhir; dan b. utang cukai yang timbul akibat cukai yang pembayarannya mendapat penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2) dan ayat (3) tidak dibayar sampai dengan jatuh tempo penundaan berakhir. Huruf b Y ang dimaksud dengan kekurangan cukai, antara lain: a. kekurangan cukai akibat kesalahan hitung dalam dokumen pemberitahuan atau pemesanan pita cukai; dan b. kekurangan cukai akibat hasil pencacahan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau media antar lainnya. Dalam hal surat tagihan dikirim secara langsung, yang dirujuk adalah tanggal pada saat surat tagihan diterima secara langsung. Ayat (2a) Dalam pengenaan bunga, apabila jangka waktunya kurang dari 1 (satu) bulan, dihitung 1 (satu) bulan penuh. Misalnya, 7 (tujuh) hari dihitung 1 (satu) bulan penuh; 1 (satu) bulan 7 (tujuh) hari dihitung 2 (dua) bulan penuh. Ayat (2b) Yang dimaksud dengan dalam hal tertentu adalah pengusaha pabrik mengalami kesulitan keuangan atau dalam keadaan kahar. Ayat (2c) Yang dimaksud dengan dibulatkan dalam ribuan rupiah adalah dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi ribuan penuh. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kelebihan pembayaran karena kesalahan penghitungan” adalah kesalahan penghitungan dalam perkalian, pengurangan, dalam penerapan tarif atau harga, atau kesalahan dalam pencacahan. Dalam hal demikian, terhadap cukai yang telah dibayar, dapat diberikan pengembalian sebesar kelebihan pembayaran akibat adanya kesalahan penghitungan tersebut. Huruf b Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pembayaran atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya yang telah dibayar cukainya tetapi kemudian diekspor dapat diberikan pengembalian sepanjang dibuktikan realisasi ekspornya dengan bukti ekspor yang cukup. Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang telah dibayar cukainya tetapi kemudian diekspor dapat diberikan pengembalian sepanjang dibuktikan realisasi ekspornya dengan bukti ekspor yang cukup dan pita cukai yang telah dilekatkan harus dirusak sebelum diekspor. Pengembalian cukai atas barang kena cukai yang diekspor yang telah dilunasi cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya hanya dapat diberikan kepada pengusaha pabrik. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pita cukai yang dipesan dan telah diterima oleh pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai jika belum dilekatkan pada barang kena cukai dapat dikembalikan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pengembalian pita cukai tersebut disebabkan, antara lain: a. adanya perubahan desain pita cukai; b. perubahan tarif cukai atau harga eceran; c. pita cukai rusak sebelum dilekatkan; atau d. pabrik yang bersangkutan tidak lagi berproduksi. Atas pengembalian pita cukai, pengusaha pabrik atau importir barang kena cukai berhak mendapatkan pengembalian cukai yang telah dibayarkan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Kelebihan pembayaran dapat diketahui oleh pejabat bea dan cukai dari hasil pemeriksaan atau atas permohonan yang bersangkutan. Setelah diketahui dan terbukti adanya kelebihan pembayaran, pejabat bea dan cukai menerbitkan surat ketetapan. Pengembalian cukai dapat diperhitungkan dengan utang cukai yang belum dilunasi. Ayat (3) Dalam pemberian bunga, apabila jangka waktunya kurang dari 1 (satu) bulan, dihitung 1 (satu) bulan penuh. Misalnya, 7 (tujuh) hari dihitung 1 (satu) bulan penuh; 1 (satu) bulan 7 (tujuh) hari dihitung 2 (dua) bulan penuh. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (1b) Cukup jelas. Ayat (1c) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengertian izin wajib diperbaharui berarti setelah jangka waktu dua belas bulan berakhir, harus telah memiliki izin baru. Ayat (3a) Yang dimaksud dengan dibekukan adalah tidak diperbolehkannya melakukan kegiatan usaha di bidang cukai sampai dengan diterbitkannya keputusan pemberlakuan kembali atau pencabutan izin, tanpa mengurangi kewajiban yang harus diselesaikan kepada negara. Ayat (4) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu dipenuhi persyaratan yang ditetapkan; apabila persyaratan yang ditetapkan tidak lagi dipenuhi, izin dapat dicabut. Huruf d Izin untuk badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur pada ayat (2) hanya diberikan kepada badan hukum atau orang pribadi yang berada di Indonesia yang mewakilinya secara sah. Oleh karena itu, apabila badan hukum atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lagi mewakili secara sah badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia, izin dapat dicabut. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Pencabutan izin yang diatur dalam huruf ini merupakan sanksi tambahan yang bersifat administratif. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (5b) Cukup jelas. Ayat (6) Barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya dan berada di tempat usaha importir barang kena cukai, penyalur, dan pengusaha tempat penjualan eceran, yang izinnya telah dicabut, harus dipindahkan ke tempat usaha importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran lainnya atau dimusnahkan. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “menjalankan kegiatan” adalah segala perbuatan yang berindikasi ke arah menjalankan kegiatan produksi, penyimpanan, impor, penyaluran, atau penjualan barang kena cukai. Sanksi administrasi yang diatur pada ayat ini dikenakan terhadap pelanggaran yang tidak mengakibatkan kerugian negara. A yat (8) Cukup jelas. Angka 16 Cukup jelas. Angka 17 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan. Ayat (2) Kewajiban melakukan pencatatan dimaksudkan untuk memberi kemudahan dalam memenuhi ketentuan undang-undang ini dengan tetap menjamin pengamanan hak-hak negara. Yang dimaksud dengan pencatatan adalah proses pengumpulan dan penulisan data secara teratur tentang: a. pemasukan, produksi, dan pengeluaran barang kena cukai; dan b. penerimaan, pemakaian, dan pengembalian pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya. Yang dimaksud dengan pengusaha pabrik skala kecil dan penyalur skala kecil adalah orang pribadi yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan secara berkala dapat berupa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, yang disesuaikan dengan jenis barang kena cukai. Misalnya: a. untuk etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol, pengusaha pabrik memberitahukan barang kena cukai yang selesai dibuat kepada pejabat bea dan cukai setiap hari; b. untuk hasil tembakau, pengusaha pabrik memberitahukan barang kena cukai yang selesai dibuat kepada pejabat bea dan cukai setiap bulan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 19 Pasal 16A Ayat (1) Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan standar akuntansi keuangan, kecuali peraturan perundang – undangan di bidang cukai menentukan lain. Hal tersebut dimaksudkan agar pembukuan yang diselenggarakan dapat dipercaya dan diandalkan dalam rangka pengawasan terhadap produksi barang kena cukai, peredaran barang kena cukai, dan/atau nilai cukai yang seharusnya dibayar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai termasuk hasil pengolahan data elektronik harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia dengan maksud apabila akan dilakukan audit cukai, masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Dalam hal data yang disimpan berupa data elektronik wajib dijaga keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar data elektronik yang disimpan dapat dibuka, dibaca, atau diambil kembali suatu saat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16B Cukup jelas. Angka 20 Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “buku rekening barang kena cukai” adalah buku daftar yang berisi catatan tentang jumlah barang kena cukai tertentu yaitu etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol yang dibuat, dimasukkan, dikeluarkan serta potongan, kekurangan, dan kelebihan hasil pencacahan dari suatu pabrik atau tempat penyimpanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 21 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 19 Yang dimaksud dengan “buku rekening kredit” adalah buku yang berisi catatan tentang jumlah cukai yang diberikan penundaan pembayaran atau mendapat kemudahan pembayaran secara berkala serta penyelesaiannya. Angka 23 Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pencacahan” adalah kegiatan untuk mengetahui jumlah, jenis, mutu, dan keadaan barang kena cukai. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya manipulasi atau pelarian cukai, maka undang – undang ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan pencacahan terhadap barang kena cukai tertentu seperti etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol, baik yang berada di dalam pabrik maupun tempat penyimpanan. Dalam pencacahan yang dilakukan kemungkinan akan didapati kekurangan atau kelebihan barang kena cukai yang ada berdasarkan buku rekening barang kena cukai sesuai dengan sifat atau karakteristik barang kena cukai tersebut. Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan pencacahan harus dilengkapi dengan surat tugas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan menyediakan tenaga dan peralatan adalah menyediakan tenaga pekerja dan peralatan yang diperlukan untuk membantu kegiatan pejabat bea dan cukai dalam melakukan pencacahan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 24 Pasal 25 Ayat (1) Barang kena cukai yang ditimbun dalam pabrik atau tempat penyimpanan masih terutang cukai. Oleh karena itu, terhadap pemasukan barang kena cukai ke tempat tersebut wajib diberitahukan kepada Kepala Kantor dan dilindungi dokumen cukai. Demikian pula pada pengeluaran barang kena cukai dari tempat tersebut baik yang belum dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai maupun yang sudah dilunasi cukainya wajib diberitahukan kepada Kepala Kantor dan dilindungi dokumen cukai sebagai alat pengawasan atau sebagai bahan pencatatan dalam buku rekening barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). Ayat (2) Pada dasarnya untuk pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai berlaku sistem pemberitahuan sendiri yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pengusaha sehingga tidak memerlukan pengawasan secara fisik oleh pejabat bea dan cukai. Namun apabila ada dugaan bahwa pengusaha akan atau telah melakukan penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara, demikian pula terhadap barang kena cukai yang karena sifat atau karakteristiknya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ketertiban masyarakat, seperti minuman yang mengandung etil alkohol, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pengawasan atas pemasukan atau pengeluaran barang kena cukai ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (4a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 25 Pasal 26 Ayat (1) Pada dasarnya undang-undang ini menetapkan bahwa pemasukan, pengeluaran, atau pengangkutan barang kena cukai yang belum dilunasi cukainya ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan harus dilindungi dokumen cukai. Namun dalam keadaan darurat, seperti kebakaran, banjir atau bencana alam lainnya, maka untuk menyelamatkan barang kena cukai tersebut dapat dilakukan pemindahan tanpa dokumen cukai yang ditentukan. Ayat (2) Atas pemindahan barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan dalam jangka waktu yang ditetapkan harus melaporkannya kepada Kepala Kantor setempat serta wajib menaati petunjuk Kepala Kantor yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 26 Pasal 27 Ayat (1) Untuk mencegah pelarian cukai dan penyalahgunaan pemakaian barang kena cukai, pengangkutan barang kena cukai, baik dalam keadaan telah dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran maupun dalam keadaan curah atau dikemas dalam kemasan bukan untuk penjualan eceran, yang belum dilunasi cukainya harus dilindungi dengan dokumen cukai. Ayat (2) Dengan mempertimbangkan sifat kerawanan dari barang kena cukai tertentu seperti etil alkohol dan minuman yang mengandung etil alkohol, walaupun sudah dibayar cukainya, pengangkutannya harus dilindungi dengan dokumen cukai. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 27 Pasal 29 Ayat (1) Barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya harus dikemas untuk penjualan eceran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai dalam rangka pengawasan dan pengamanan penerimaan negara. Yang dimaksud dengan “pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang diwajibkan” adalah pita cukai yang dilekatkan atau tanda pelunasan cukai lainnya yang dibubuhkan pada kemasan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat ini, misalnya pengusaha pabrik melekatkan pita cukai hasil tembakau sigaret kretek tangan pada hasil tembakau sigaret kretek mesin, tetapi pita cukai tersebut benar-benar milik atau haknya. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 28 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Tindakan berupa penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan dilakukan dalam lingkup kewenangan administratif. Huruf b Tindakan berupa tidak melayani pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya dilakukan dalam lingkup kewenangan administratif. Huruf c Yang dimaksud dengan “menegah barang kena cukai” adalah melakukan tindakan administratif untuk menunda pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang kena cukai. Yang dimaksud dengan “menegah sarana pengangkut” adalah melakukan tindakan administratif untuk mencegah keberangkatan sarana pengangkut, kecuali sarana pengangkut umum. Ayat (2) Mengingat besarnya bahaya penggunaan senjata api bagi keamanan dan keselamatan orang, maka penggunaannya sangat dibatasi. Oleh karena itu, jenis dan syarat untuk dapat digunakannya senjata api akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 31 Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun militer bila diminta, berkewajiban memberi bantuan dan perlindungan atau memerintahkan untuk melindungi pejabat bea dan cukai dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Angka 32 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemeriksaan dilakukan mengingat pada waktu dilakukan pemeriksaan kemungkinan barang kena cukai oleh yang bersangkutan telah dipindahkan ke bangunan atau ke tempat lain yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan pabrik, tempat penyimpanan, atau tempat lain yang sedang dilakukan pemeriksaan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan sediaan barang adalah sediaan barang kena cukai, pita cukai, dan tanda pelunasan cukai lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 34 Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (1a) Yang dimaksud dengan yang mewakili adalah karyawan atau bawahan atau pihak lain yang bertanggung jawab oleh pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, penyalur, pengusaha tempat penjualan eceran, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 35 Pasal 37 Ayat (1) Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk menjamin hak-hak negara dan dipatuhinya peraturan perundang – undangan yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana pengangkut serta barang kena cukai hanya dilakukan secara selektif didasarkan informasi adanya barang kena cukai yang belum memenuhi persyaratan administrasi yang diwajibkan berdasarkan undang-undang ini. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai” adalah semua dokumen yang disyaratkan berdasarkan undang – undang ini untuk melindungi pengangkutan barang kena cukai. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 36 Pasal 39 Ayat (1) Audit cukai dimaksudkan untuk menilai kepatuhan pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Ayat (1a) H uruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait adalah pihak-pihak yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan transaksi yang dilakukan oleh pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Misalnya, pembeli, penjual, bank, serta pihak lain yang diyakini dapat memberikan keterangan sehubungan dengan transaksi tersebut. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan tindakan pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah tempat/ruangan sampai pemeriksaan dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh ketentuan dalam peraturan perundangundangan di bidang cukai dengan tetap mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha. Ayat (1b) Cukup jelas. Ayat (1c) Dalam hal pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, berupa badan hukum, maka yang dimaksud dengan tidak berada di tempat atau berhalangan adalah pimpinan dari badan hukum tersebut tidak berada di tempat atau berhalangan. Yang dimaksud dengan yang mewakili adalah karyawan atau bawahan yang bertanggung jawab atau pihak lain yang ditunjuk oleh pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang terhadapnya dilakukan audit cukai. A yat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 37 Pasal 40 Wewenang pejabat bea dan cukai dimaksudkan untuk lebih menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan keuangan negara. Angka 38 Pasal 40A Ayat (1) Huruf a Pembetulan surat tagihan atau surat keputusan keberatan menurut ketentuan ini dilaksanakan untuk menjalankan pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan manusiawi dalam suatu penetapan perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Istilah membetulkan dapat berarti menambah, mengurangi, atau menghapus sesuai dengan sifat kesalahan dan kekeliruannya. Direktur Jenderal karena jabatannya dapat membetulkan atau membatalkan surat tagihan yang tidak benar, misalnya tidak memenuhi persyaratan formal meskipun persyaratan materialnya telah terpenuhi. Huruf b Direktur Jenderal dapat mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi ternyata hanya melakukan kekhilafan, bukan kesalahan yang disengaja, atau kesalahan dimaksud terjadi akibat perbuatan orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha dengannya serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 39 Cukup jelas. Angka 40 Cukup jelas. Angka 41 Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal batas waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dilewati, hak yang bersangkutan untuk mengajukan keberatan menjadi gugur. Jaminan dapat berbentuk uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan asuransi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Keputusan Direktur Jenderal atas pengajuan keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian sehingga besarnya jaminan yang dikembalikan sesuai dengan keputusan. Ayat (6) Dalam pemberian bunga, apabila jangka waktunya kurang dari 1 (satu) bulan, dihitung 1 (satu) bulan penuh. Misalnya, 7 (tujuh) hari dihitung 1 (satu) bulan penuh; 1 (satu) bulan 7 (tujuh) hari dihitung 2 (dua) bulan penuh. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 42 Cukup jelas. Angka 43 Cukup jelas. Angka 44 Pasal 43A Cukup jelas. Pasal 43B Cukup jelas. Pasal 43C Cukup jelas. Angka 45 Cukup jelas. Angka 46 Cukup jelas. Angka 47 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 48 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 52 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 53 Cukup jelas. Angka 51 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 52 Pasal 55 Cukup jelas. Angka 53 Pasal 56 Cukup jelas. Angka 54 Pasal 57 Cukup jelas. Angka 55 Pasal 58 Cukup jelas. Angka 56 Pasal 58A Ayat (1) Yang dimaksud dengan mengakses adalah tindakan atau upaya yang dilakukan untuk login ke sistem cukai. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 57 Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “barang-barang lain” adalah barang-barang yang berkaitan langsung dengan barang kena cukai, seperti sarana pengangkut yang digunakan untuk mengangkut barang kena cukai, peralatan atau mesin yang digunakan untuk membuat barang kena cukai. Barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dapat dirampas untuk negara adalah sebagai penegasan bahwa tindak pidana di bidang cukai mempunyai sifat khusus sehingga memerlukan perlakuan tersendiri terhadap barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 58 Pasal 64A Cukup jelas. Pasal 64B Cukup jelas. Pasal 64C Cukup jelas. Pasal 64D Ayat (1) Yang dimaksud dengan berjasa yaitu berjasa dalam menangani: a. pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi, menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik, dan/atau sampai dengan penyelesaian penagihan oleh pejabat bea dan cukai; atau b. pelanggaran pidana di bidang cukai meliputi memberikan informasi, melakukan penangkapan, penyidikan, dan/atau sampai dengan penuntutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 64E Cukup jelas. Angka 59 Pasal 65 Cukup jelas. Angka 60 Pasal 66 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelanggar yang tidak dikenal adalah orang yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan cukai, baik ketentuan administrasi maupun ketentuan pidana, yang tidak diketahui. Dalam keadaan demikian, terhadap barang kena cukai dan barang lain yang tersangkut dalam pelanggaran tersebut dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dalam jangka waktu empat belas hari sejak dikuasai negara dinyatakan menjadi milik negara apabila pemiliknya tetap tidak diketahui. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 61 Pasal 66A Ayat (1) Cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagihasilkan kepada daerah karena barang kena cukai berupa hasil tembakau memiliki sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi serta memberikan dampak negatif bagi masyarakat dan mengoptimalkan upaya penerimaan negara dari cukai. Pengendalian dan pengawasan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dana bagi hasil cukai merupakan bagian kapasitas fiskal yang perhitungannya disesuaikan dengan formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang setiap tahun ditetapkan dalam pembahasan RAPBN. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembagian, pengelolaan, dan penggunaan pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada kabupaten/kota penyumbang cukai hasil tembakau dan dihitung berdasarkan kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 66B Cukup jelas. Pasal 66C Cukup jelas. Pasal 66D Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4755Apakah hibah termasuk pendapatan negara?
NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
Menimbang : a. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, guna mencapai Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, meningkatkan kesejahteraan rakyat serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; b. bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, telah terjadi perkembangan dan perubahan asumsi dasar ekonomi makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014; c. bahwa dalam rangka mengamankan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, perlu segera dilakukan penyesuaian terhadap sasaran pendapatan negara, belanja negara, defisit anggaran, serta kebutuhan dan sumber pembiayaan anggaran, agar menjadi lebih realistis dan mampu mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi tahun 2014 dan jangka menengah, baik dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, serta meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat dan mengurangi kemiskinan, di samping tetap menjaga stabilitas nasional sesuai dengan program pembangunan nasional; d. bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 60/DPD RI/IV/2013-2014 tanggal 4 Juni 2014; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5462); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2014. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5462) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan angka 22 Pasal 1 diubah, angka 12 dihapus, dan ditambahkan 1 (satu) angka yakni angka 42, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah. 3. Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional. 4. Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pendapatan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. 5. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar. 6. Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam, pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya, serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU). 7. Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa danjatau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 8. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. 9. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. 10. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat BA-BUN, adalah bagian anggaran yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal. 11. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. 12. Dihapus. 13. Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian. 14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. 15. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 16. Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 17. Dana Alokasi Khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 18. Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 19. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 20. Dana Penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 21. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahuntahun anggaran berikutnya. 22. Pembiayaan Dalam Negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, saldo anggaran lebih, hasil pengelolaan aset, penerbitan surat berharga negara neto, pinjaman dalam negeri neto, dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan, yang meliputi alokasi untuk, penyertaan modal negara, dana bergulir, kewajiban yang timbul akibat penjaminan Pemerintah, dan cadangan pembiayaan untuk dana pengembangan pendidikan nasional. 23. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yang selanjutnya disebut SiLPA, adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan. 24. Saldo Anggaran Lebih, yang selanjutnya disingkat SAL, adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan. 25. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disingkat SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 26. Surat Utang Negara, yang selanjutnya disingkat SUN, adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 27. Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 28. Surat Berharga Syariah Negara Berbasis Proyek ( Project Based Sukuk /PBS ) yang selanjutnya disingkat SBSN PBS adalah sumber pendanaan melalui penerbitan SBSN untuk membiayai kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga. 29. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya, yang selanjutnya disingkat BPYBDS, adalah bantuan Pemerintah berupa Barang Milik Negara yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh BUMN berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga atau pada BUMN. 30. Dana Investasi Pemerintah adalah alokasi dana investasi Pemerintah untuk Pusat Investasi Pemerintah, penyertaan modal negara, dan/atau dana bantuan perkuatan permodalan usaha yang sifat penyalurannya bergulir, yang dilakukan untuk mendapat manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. 31. Penyertaan Modal Negara, yang selanjutnya disingkat PMN, adalah dana APBN yang dialokasikan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya dan dikelola secara korporasi, termasuk penyertaan modal kepada organisasi/lembaga keuangan internasional dan penyertaan modal negara lainnya. 32. Dana Bergulir adalah dana yang dikelola oleh BLU untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. 33. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. 34. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang secara potensial menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam hal BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditur sesuai perjanjian pinjaman. 35. Pembiayaan Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. 36. Pinjaman Program adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai dimana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak seperti matrik kebijakan atau dilaksanakannya kegiatan tertentu. 37. Pinjaman Proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu Kementerian Negara/Lembaga, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan/atau diterushibahkan kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN. 38. Penerusan Pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah Pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 39. Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui Kementerian Negara/Lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. 40. Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. 41. Tahun Anggaran 2014 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2014. 42. Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2014 diperkirakan sebesar Rp1.635.378.485.045.000,00 (satu kuadriliun enam ratus tiga puluh lima triliun tiga ratus tujuh puluh delapan miliar empat ratus delapan puluh lima juta empat puluh lima ribu rupiah) yang diperoleh dari sumber: a. Penerimaan Perpajakan; b. PNBP; dan c. Penerimaan Hibah. 3. Ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Penerimaan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diperkirakan sebesar Rp1.246.106.955.600.000,00 (satu kuadriliun dua ratus empat puluh enam triliun seratus enam miliar sembilan ratus lima puluh lima juta enam ratus ribu rupiah), yang terdiri atas: a. Pendapatan Pajak Dalam Negeri; dan b. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional. (2) Pendapatan Pajak Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperkirakan sebesar Rp1.189.826.575.600.000,00 (satu kuadriliun seratus delapan puluh sembilan triliun delapan ratus dua puluh enam miliar lima ratus tujuh puluh lima juta enam ratus ribu rupiah), yang terdiri atas: a. pendapatan pajak penghasilan; b. pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah; c. pendapatan pajak bumi dan bangunan; d. pendapatan cukai; dan e. pendapatan pajak lainnya. (3) Pendapatan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2} huruf a termasuk pajak penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas: a. komoditas panas bumi sebesar Rp937.970.000.000,00 (sembilan ratus tiga puluh tujuh miliar sembilan ratus tujuh puluh juta rupiah); dan b. bunga, imbal hasil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran SBN di pasar internasional, namun tidak termasuk jasa konsultan hukum lokal, sebesar Rp5.057.100.000.000,00 (lima triliun lima puluh tujuh miliar seratus juta rupiah). (4) Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperkirakan sebesar Rp56.280.380.000.000,00 (lima puluh enam triliun dua ratus delapan puluh miliar tiga ratus delapan puluh juta rupiah), yang terdiri atas: a. pendapatan bea masuk; dan b. pendapatan bea keluar. (5) Pendapatan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a termasuk fasilitas bea masuk ditanggung Pemerintah (BM DTP) sebesar Rp518.762.310.000,00 (lima ratus delapan belas miliar tujuh ratus enam puluh dua juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah). (6) Rincian Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 4. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b diperkirakan sebesar Rp386.946.415.445.000,00 (tiga ratus delapan puluh enam triliun sembilan ratus empat puluh enam miliar empat ratus lima belas juta empat ratus empat puluh lima ribu rupiah) yang terdiri atas: a. penerimaan sumber daya alam; b. pendapatan bagian laba BUMN; c. PNBP lainnya; dan d. pendapatan BLU. (2) Penerimaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperkirakan sebesar Rp241.114.622.223.000,00 (dua ratus empat puluh satu triliun seratus empat belas miliar enam ratus dua puluh dua juta dua ratus dua puluh tiga ribu rupiah), yang terdiri atas: a. penerimaan sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi (SDA migas); dan b. penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA nonmigas). (3) Pendapatan bagian laba BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperkirakan sebesar Rp40.000.000.000.000,00 (empat puluh triliun rupiah). (4) Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan dilakukan: a. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Perseroan Terbatas (PT), BUMN, dan Perbankan; b. memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; dan c. Pemerintah melakukan pengawasan penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan tersebut. (5) PNBP lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperkirakan sebesar Rp84.968.409.424.000,00 (delapan puluh empat triliun sembilan ratus enam puluh delapan miliar empat ratus sembilan juta empat ratus dua puluh empat ribu rupiah). (6) Pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diperkirakan sebesar Rp20.863.383.798.000,00 (dua puluh triliun delapan ratus enam puluh tiga miliar tiga ratus delapan puluh tiga juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah). (7) Rincian PNBP Tahun Anggaran 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Penerimaan Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c diperkirakan sebesar Rp2.325.114.000.000,00 (dua triliun tiga ratus dua puluh lima miliar seratus empat belas juta rupiah). 6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 diperkirakan sebesar Rp1.876.872.758.707.000,00 (satu kuadriliun delapan ratus tujuh puluh enam triliun delapan ratus tujuh puluh dua miliar tujuh ratus lima puluh delapan juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah), yang terdiri atas: a. anggaran Belanja Pemerintah Pusat; dan b. anggaran Transfer ke Daerah. 7. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Pasal 8 diubah, huruf c ayat (3) dihapus, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a), sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a diperkirakan sebesar Rp1.280.368.574.301.000,00 (satu kuadriliun dua ratus delapan puluh triliun tiga ratus enam puluh delapan miliar lima ratus tujuh puluh empat juta tiga ratus satu ribu rupiah). (2) Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk program pengelolaan hibah negara sebesar Rp2.818.309.614.000 (dua triliun delapan ratus delapan belas miliar tiga ratus sembilan juta enam ratus empat belas ribu rupiah) yang diterushibahkan ke daerah. (3) Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan atas: a. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi; dan b. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi; c. Dihapus. (3a) Anggaran Belanja Pemerintah Pusat terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program. (4) Rincian anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden yang ditetapkan paling lambat pertengahan bulan Juli 2014. 8. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Anggaran Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diperkirakan sebesar Rp596.504.184.406.000,00 (lima ratus sembilan puluh enam triliun lima ratus empat miliar seratus delapan puluh empat juta empat ratus enam ribu rupiah), yang terdiri atas: a. Dana Perimbangan; dan b. Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian. 9. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diperkirakan sebesar Rp491.882.888.478.000,00 (empat ratus sembilan puluh satu triliun delapan ratus delapan puluh dua miliar delapan ratus delapan puluh delapan juta empat ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah) yang terdiri atas: a. DBH; b. DAU; dan c. DAK. (2) DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperkirakan sebesar Rp117.663.562.827.000,00 (seratus tujuh belas triliun enam ratus enam puluh tiga miliar lima ratus enam puluh dua juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu rupiah). (3) DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto atau diperkirakan sebesar Rp341.219.325.651.000,00 (tiga ratus empat puluh satu triliun dua ratus sembilan belas miliar tiga ratus dua puluh lima juta enam ratus lima puluh satu ribu rupiah). (4) PDN neto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan penjumlahan antara Penerimaan Perpajakan dan PNBP, dikurangi dengan: a. DBH; b. anggaran belanja yang sifatnya diarahkan berupa belanja PNBP Kementerian Negara/Lembaga; dan c. subsidi yang dihitung berdasarkan bobot/persentase tertentu. (5) Dalam hal terjadi perubahan APBN yang menyebabkan PDN neto bertambah atau berkurang, besaran DAU tidak mengalami perubahan. (6) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperkirakan sebesar Rp33.000.000.000.000,00 (tiga puluh tiga triliun rupiah), yang terdiri atas: a. DAK sebesar Rp30.200.000.000.000,00 (tiga puluh triliun dua ratus miliar rupiah); dan b. DAK tambahan sebesar Rp2.800.000.000.000,00 (dua triliun delapan ratus miliar rupiah). (7) DAK tambahan sebesar Rp2.800.000.000.000,00 (dua triliun delapan ratus miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dialokasikan kepada kabupaten daerah tertinggal dan digunakan untuk mendanai kegiatan: a. infrastruktur jalan sebesar Rp1.691.130.000.000,00 (satu triliun enam ratus sembilan puluh satu miliar seratus tiga puluh juta rupiah); b. infrastruktur irigasi sebesar Rp633.980.000.000,00 (enam ratus tiga puluh tiga miliar sembilan ratus delapan puluh juta rupiah); c. infrastruktur sanitasi sebesar Rp229.680.000.000,00 (dua ratus dua puluh sembilan miliar enam ratus delapan puluh juta rupiah); dan d. infrastruktur air minum sebesar Rp245.210.000.000,00 (dua ratus empat puluh lima miliar dua ratus sepuluh juta rupiah). (8) Dana pendamping untuk DAK tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan daerah pada daerah tertinggal, dengan ketentuan sebagai berikut: a. kemampuan keuangan daerah rendah sekali, diwajibkan menyediakan dana pendamping paling sedikit 0% (nol persen); b. kemampuan keuangan daerah rendah, diwajibkan menyediakan dana pendamping paling sedikit 1% (satu persen); c. kemampuan keuangan daerah sedang, diwajibkan menyediakan dana pendamping paling sedikit 2% (dua persen); dan d. kemampuan keuangan daerah tinggi, diwajibkan menyediakan dana pendamping paling sedikit 3% (tiga persen). (9) Rincian Dana Perimbangan Tahun Anggaran 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 10. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 11. Ketentuan ayat (1) dan ayat (13) Pasal 14 diubah, ayat (2) sampai dengan ayat (12) dan ayat (14) dihapus, dan di antara ayat (12) dan ayat (13) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (12a), sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2014 diperkirakan sebesar Rp403.035.574.566.000,00 (empat ratus tiga triliun tiga puluh lima miliar lima ratus tujuh puluh empat juta lima ratus enam puluh enam ribu rupiah). (2) Dihapus. (3) Dihapus. (4) Dihapus. (5) Dihapus. (6) Dihapus. (7) Dihapus. (8) Dihapus. (9) Dihapus. (10) Dihapus. (11) Dihapus. (12) Dihapus. (12a) Anggaran untuk Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan secara tepat sasaran. (13) Anggaran untuk subsidi energi yang merupakan bagian dari Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah. (14) Dihapus. 12. Ketentuan angka 3 huruf a ayat (1) Pasal 17 diubah, angka 2 dan angka 4 huruf a ayat (1) dihapus, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Perubahan rincian lebih lanjut dari anggaran Belanja Pemerintah Pusat berupa: a. pergeseran anggaran belanja: 1. dari Bagian Anggaran 999.08 (Bendahara Umum Negara Pengelola Belanja Lainnya) ke Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga; 2. Dihapus; 3. antarprogram dalam 1 (satu) Kementerian Negara/Lembaga untuk memenuhi kewajiban pengeluaran yang timbul sehubungan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) ; dan/atau 4. Dihapus; 5. antar subbagian anggaran dalam Bagian Anggaran 999 (BA BUN); b. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP; c. perubahan pagu pinjaman proyek dan hibah luar negeri dan pinjaman dan hibah dalam negeri (PHDN) sebagai akibat dari lanjutan dan percepatan penarikan pinjaman proyek dan hibah luar negeri dan PHDN, termasuk hibah luar negeri/hibah dalam negeri setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan; d. perubahan pagu pinjaman proyek luar negeri sebagai akibat pengurangan alokasi pinjaman luar negeri; e. perubahan anggaran belanja bersumber dari penerimaan hibah langsung dalam bentuk uang; dan f. perubahan pagu proyek yang dibiayai melalui penerbitan SBSN PBS sebagai akibat percepatan realisasi pelaksanaan proyek yang dananya bersumber dari SBSN PBS setelah undang-undang mengenai APBN ditetapkan, ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Penggunaan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP di atas pagu APBN untuk BLU ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Perubahan rincian Belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang masih dalam 1 (satu) provinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka tugas pembantuan dan Urusan Bersama (UB) atau dalam 1 (satu) provinsi untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi. (4) Perubahan rincian Belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antarprovinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh unit organisasi di tingkat pusat dan oleh instansi vertikalnya di daerah. (5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaporkan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2014 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan rincian anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. 13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Anggaran Pendidikan diperkirakan sebesar Rp375.374.487.804.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima triliun tiga ratus tujuh puluh empat miliar empat ratus delapan puluh tujuh juta delapan ratus empat ribu rupiah). (2) Persentase Anggaran Pendidikan adalah sebesar 20,0% (dua puluh koma nol persen), yang merupakan perbandingan alokasi Anggaran Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap total anggaran Belanja Negara sebesar Rp1.876.872.758.707.000,00 (satu kuadriliun delapan ratus tujuh puluh enam triliun delapan ratus tujuh puluh dua miliar tujuh ratus lima puluh delapan juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah). 14. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 20 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Jumlah anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2014, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, lebih kecil daripada jumlah anggaran Belanja Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sehingga dalam Tahun Anggaran 2014 terdapat defisit anggaran sebesar Rp241.494.273.662.000,00 (dua ratus empat puluh satu triliun empat ratus sembilan puluh empat miliar dua ratus tujuh puluh tiga juta enam ratus enam puluh dua ribu rupiah) yang akan dibiayai dari Pembiayaan Anggaran. (2) Pembiayaan Anggaran Tahun Anggaran 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sumber-sumber: a. Pembiayaan Dalam Negeri sebesar Rp254.931.959.172.000,00 (dua ratus lima puluh empat triliun sembilan ratus tiga puluh satu miliar sembilan ratus lima puluh sembilan juta seratus tujuh puluh dua ribu rupiah); dan b. Pembiayaan Luar Negeri Neto sebesar negatif Rp13.437.685.510.000,00 (tiga belas triliun empat ratus tiga puluh tujuh miliar enam ratus delapan puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu rupiah). (3) Pembiayaan Luar Negeri Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup pembiayaan utang luar negeri, namun tidak termasuk penerbitan SBN di pasar internasional. (4) Rincian Pembiayaan Anggaran Tahun Anggaran 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 15. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A (1) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit melampaui target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan, Pemerintah dapat menggunakan dana SAL, penarikan pinjaman siaga dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan. (2) Kewajiban yang timbul dari penggunaan dana SAL, penarikan pinjaman siaga dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran negara. (3) Penggunaan dana SAL, penarikan pinjaman siaga dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dan dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2014. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perkiraan defisit melampaui target serta penggunaan dana SAL, penarikan pinjaman siaga, dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. 16. Ketentuan huruf c ayat (1) Pasal 34 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2014 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2014, apabila terjadi: a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2014; b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarprogram; dan/atau d. keadaan yang menyebabkan SAL tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. (2) SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah SAL yang ada di rekening Bank Indonesia yang penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dilaporkan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. (3) Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 2014 berakhir. 17. Ketentuan angka 2 dan angka 3 ayat (1) Pasal 35 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Dalam keadaan darurat, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya yang menyebabkan turunnya pendapatan negara, dan/ atau meningkatnya belanja negara secara signifikan; b. krisis sistemik dalam sistem keuangan dan perbankan nasional, termasuk pasar SBN domestik, yang membutuhkan tambahan dana penjaminan perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) untuk penanganannya; dan/atau c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan langkah-langkah: 1. pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2014; 2. pergeseran anggaran belanja antarprogram dalam satu bagian anggaran dan/atau antarbagian anggaran; 3. pengurangan pagu Belanja Negara dalam rangka peningkatan efisiensi, dengan tetap menjaga sasaran program prioritas yang tetap harus tercapai; 4. penggunaan SAL untuk menutup kekurangan pembiayaan APBN, dengan terlebih dahulu memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan awal tahun anggaran berikutnya; 5. penambahan utang yang berasal dari pinjaman siaga dari kreditur bilateral dan multilateral dan/atau penerbitan SBN; dan 6. pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas. (2) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan penarikan pinjaman siaga yang berasal dari kreditur bilateral dan multilateral sebagai alternatif sumber pembiayaan dalam hal kondisi pasar tidak mendukung penerbitan SBN. (3) Biaya-biaya yang timbul akibat pengadaan pinjaman siaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 5 dan ayat (2) merupakan bagian pembayaran bunga utang. (4) Langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang berdampak pada APBN dilakukan setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). (5) Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI dengan Pemerintah, yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari satu kali dua puluh empat jam setelah usulan disampaikan Pemerintah kepada DPR. (6) Apabila persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena suatu dan lain hal belum dapat dilakukan, maka Pemerintah dapat mengambil langkahlangkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Pemerintah menyampaikan pelaksanaan langkah-langkah kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2014 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014. 18. Ketentuan huruf c Pasal 38 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 Pemerintah dalam melaksanakan APBN Tahun Anggaran 2014 harus mengupayakan pemenuhan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang tercermin dalam: a. penurunan kemiskinan menjadi sebesar 9,0% (sembilan koma nol persen) sampai dengan 10,5% (sepuluh koma lima persen); b. pertumbuhan ekonomi setiap 1% (satu persen) dapat menyerap sekitar 200.000 (dua ratus ribu) tenaga kerja; c. tingkat pengangguran terbuka menjadi sebesar 5,6% (lima koma enam persen) sampai dengan 5,9% (lima koma sembilan persen); dan d. penurunan Gini Ratio, peningkatan Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Nelayan, dengan tetap mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi, baik eksternal maupun internal. Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 142Apakah minyak bumi dan gas alam merupakan sumber penerimaan negara?
Penerimaan Negara dari sumber daya alam adalah penerimaan Negara yang berasal dari sektor pertambangan minyak bumi dan gas alam, sektor pertambangan umum, sektor kehutanan dan sektor perikanan yang dibagi hasilkan kepada Daerah.