Yang Termasuk Hukum Pajak Material Adalah?
Jenis-Jenis Hukum Pajak – Berikut ini merupakan beberapa jenis dari hukum pajak, yaitu: 1. Hukum Pajak Formal Hukum ini memuat sejumlah ketentuan dalam mewujudkan hukum pajak material menjadi sebuah kenyataan. Norma-norma yang terkandung dalam hukum ini, yaitu:
-
- Tata cara penyelenggaraan atau prosedur terkait penetapan pada suatu utang pajak.
- Hak fiskus/pemerintah selaku pengelola pajak untuk mengadakan pengawasan terhadap Wajib Pajak yang berkaitan dengan keadaan, perbuatan, dan suatu peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
- Kewajiban bagi Wajib Pajak untuk dapat menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, serta hak-hak Wajib Pajak, misalnya adalah untuk mengajukan keberatan atau banding yang berkaitan dengan perpajakan.
Pada dasarnya, hukum pajak formal mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan prosedur yang berkaitan dengan perpajakan. Contoh dari hukum pajak formal ini adalah Tata Cara Perpajakan.2. Hukum Pajak Material Sedangkan untuk hukum pajak material ini memuat mengenai norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek pajak), tokoh yang dikenakan pajak (subjek pajak), besaran pajak yang dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu yang dapat menimbulkan atau terhapuskannya utang pajak, serta hubungan hukum antara Wajib Pajak dan pemerintah.
Contoh dari hukum pajak material adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berkaitan dengan contoh dari jenis hukum pajak formal dan material, pada Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hukum pajak formal dan material terpisah. Untuk hukum pajak formal dari kedua jenis pajak tersebut (Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai) mengacu pada Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah mengalami perubahan hingga perubahan terakhir pada Undang-Undang No.16 Tahun 2009.
Maka, dengan begitu hak dan kewajiban Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat ditemukan pada Undang-Undang KUP. Sedangkan untuk hukum pajak material pada jenis Pajak Penghasilan (PPh) terpisah dengan hukum pajak material pada jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
- Untuk hukum pajak material pada Pajak Penghasilan (PPh) mengacu pada Undang-Undang No.7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan hingga terakhir kali pada UU No.36 Tahun 2008.
- Sedangkan untuk hukum pajak material pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengacu pada Undang-Undang No.8 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan hingga terakhir kali pada Undang-Undang N0.42 Tahun 2009.
Fungsi Hukum Pajak Berikut ini merupakan fungsi dari adanya hukum pajak, yaitu:
- Hukum pajak memiliki fungsi untuk menjadi acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang berlandaskan pada keadilan, efisiensi, dan diatur dengan jelas dalam Undang-Undang yang berkaitan dengan hukum pajak tersebut.
- Hukum pajak memiliki fungsi sebagai sumber yang dapat menjelaskan mengenai subjek dan objek pajak yang perlu atau tidak perlu untuk dijadikan sebagai sumber pemungutan pajak demi peningkatan potensi pajak secara keseluruhan.
Contents
Pajak material apa saja?
Hukum Pajak Materil – Hukum pajak materil memuat norma-norma yang menjelaskan mengenai perbuatan, keadaan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (obyek pajak), besaran pajak yang dikenakan (tarif pajak), serta segala sesuatu yang berhubungan dengan timbul dan dihapusnya utang pajak dan dinas sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Hukum pajak materiil ialah kaidah-kaidah atau berbagai ketentuan dari suatu peraturan perundang-undangan pajak yang berkaitan dengan isi dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hukum pajak material ini menerangkan tentang Objek, Subjek, dan Tarif Pajak. Berbeda dengan hukum pajak formil, hukum pajak materil PPh terpisah dari hukum pajak materil PPN.
Hukum pajak materil PPh ialah II No.7 Tahun 1983 setelah perubah terakhir dari UU No.36 Tahun 2008, sedangkan untuk PPN ialah UU No.8 Tahun 1983 sesuai dengan pengubahan terakhir yaitu UU No.42 Tahun 2009. Contoh bentuk dari hukum pajak materiil ialah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
Apa saja yang diatur dalam hukum pajak material?
Hukum Pajak Material: Pengertian dan Contohnya Pajak adalah sejumlah dana yang wajib disetorkan masyarakat kepada negara, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Ada dua jenis hukum pajak, yakni hukum pajak formal dan material. Hukum pajak formal berkaitan dengan prosedur penetapan suatu utang pajak. Sementara hukum pajak material berisi keadaan, peristiwa, atau transaksi yang akan dikenai pajak. Guna mewujudkannya, dibutuhkanlah hukum pajak formal. Pengertian hukum pajak material Menurut Safri Nurmantu dalam buku Pengantar Perpajakan (2003), hukum pajak material adalah hukum yang memuat ketentuan mengenai siapa yang dapat dikenakan atau dikecualikan dari pajak. Material tax law (hukum pajak formal) juga berisi apa sajakah barang yang dikenakan pajak dan berapa nominal yang harus dibayar. “Hukum pajak material adalah hukum yang memuat norma mengenai perbuatan, peristiwa, atau keadaan yang melibatkan secara langsung masalah obyek, subyek, dan tarif, beserta peraturan yang mendasari hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak.” Bisa disimpulkan bahwa hukum pajak material berisi siapa, apa, dan berapa nominal pajak yang harus dibayarkan. Contoh hukum pajak material Adapun yang termasuk hukum pajak material adalah PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Contoh peraturan hukum pajak material adalah: UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.Apakah yang diatur dalam hukum pajak material brainly?
Apa itu hukum pajak materil dan formil ? Formil a. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.b. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.Pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), hukum pajak formil dan materil terpisah.materilHukum pajak materil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan. hukum material adalah sumber hukum yang berdasarkan dari keyakinan/perasaan hukum individu serta pendapat umum yang menentukan isi hukum hukum formal adalah sumber hukum yang berupa kenyataan dimana kita dapat menemukan hukum yang berlaku : Apa itu hukum pajak materil dan formil ?
UU KUP termasuk hukum pajak apa?
Oleh karena itu UU KUP adalah kaderwet untuk hukum pajak formal.
Hukum pajak ada berapa?
Ada 2 macam hukum pajak yaitu: 1. Hukum pajak material, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak ), siapa yang dikenakan pajak (sebjek pajak ), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan
Apa saja contoh pajak langsung?
Pertanyaan Terkait –
- Apa saja contoh pajak langsung? Contoh pajak langsung antara lain: (1) Pajak kendaraan bermotor, (2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (3) Pajak Penghasilan.
- Apa yang dimaksud dengan pajak langsung? Pengertian pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara berkala terhadap orang atau badan sesuai dengan surat ketetapan pajak; pajak ini harus dipikul sendiri oleh wajib pajak (direct tax).
Apa saja contoh pajak tidak langsung?
Contoh pajak langsung – Setelah mengetahui pengertian pajak langsung dan perbedaannya dengan pajak tidak langsung, kita akan membahas contoh dari keduanya. Dari contoh pajak yang disebutkan di bawah ini, kamu pasti sudah cukup familiar. Hanya saja, banyak yang tidak menyadari apakah contoh pajak berikut ini merupakan contoh pajak langsung atau pajak tidak langsung.
Pajak penghasilan (PPh) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Kendaraan Bermotor
Semenara contoh pajak tidak langsung antara lain:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak bea masuk Pajak ekspor
Selengkapnya, berikut contoh dari pajak langsung dan tidak langsung.
Apa perbedaan hukum pajak formal dan material?
KOMPAS.com – Pajak adalah sejumlah dana yang wajib disetorkan masyarakat kepada negara, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Ada dua jenis hukum pajak, yakni hukum pajak formal dan material. Hukum pajak formal berkaitan dengan prosedur penetapan suatu utang pajak.
Apakah dana swakelola kena PPN?
Dalam kaitan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.31/1988 tanggal 29 Februari 1988 (Seri PPN -110), proyek swakelola tidak terutang PPN sepanjang dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan secara umum.
Apakah dana desa kena pajak?
PERPAJAKAN YANG BERKAITAN DENGAN PENGGUNAAN DANA DESA – Sumber : Galih Wicaksono PERPAJAKAN YANG BERKAITAN DENGAN PENGGUNAAN DANA DESA Galih Wicaksono Abstraksi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan mengatur bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Dana yang masuk ke desa yang bersumber dari APBN maupun APBD, tentu saja dalam praktek pelaksanaannya akan terutang pajak sesuai dengan jenis transaksinya.
- Oleh karena itu Kepala Desa beserta Perangkat Desa, khususnya Bendahara Desa.
- Bendahara desa harus mengetahui dan memahami dengan baik beberapa jenis pajak yang terutang dalam setiap transaksi, serta hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan terkait pajak yang ada di desa, misalkan kewajiban pengajuan NPWP, kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 4 (2), PPN, serta Bea Materai.
Dengan berbekal pemahaman yang baik mengenai jenis transaksi dan pajak yang terutang, diharapkan praktek perpajakan di desa sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Kata Kunci : Bendahara Desa, NPWP, PPh, PPN, Bea Materai. PENDAHULUAN Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan / atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Permendagri No.113 Tahun 2014).
- Desa dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimanapun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, terutama tergantung pada sektor pertanian (Indrizal, 2006).
- Emajuan sebuah negara pada dasarnya sangat ditentukan oleh kemajuan desa, karena tidak ada negara yang maju tanpa provinsi yang maju, tidak ada provinsi yang maju tanpa kabupaten dan kota yang maju, dan tidak ada kabupaten dan kota yang maju tanpa desa dan kelurahan yang maju.
Ini berarti basis kemajuan sebuah negara ditentukan oleh kemajuan desa (Soleh dan Rochmansjah, 2015). Desa mempunyai sumber pendapatan berupa pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten / kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten / kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga (UU No.6 Tahun 2014).
Sumber pendapatan desa tersebut secara keseluruhan digunakan untuk mendanai seluruh kewenangan yang menjadi tangggung jawab desa. Dana tersebut digunakan untuk mendanai penyelenggaraan kewenangan desa yang mencakup penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Dengan demikian, pendapatan desa yang bersumber dari APBN juga digunakan untuk mendanai kewenangan tersebut. Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer oleh pemerintah pusat melalui APBD kabupaten / kota.
Dana desa harus dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat (PP No.60 Tahun 2014). Seperti diketahui, desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa.
Ini artinya dana desa akan digunakan untuk mendanai keseluruhan kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dan desa tersebut. Dengan tata kelola keuangan desa yang baik, maka akan terciptalah desa yang mandiri dan akhirnya akan mencapai pembangunan Indonesia yang lebih maksimal (Sujarweni, 2015).
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahwa kepala desa, bendahara desa, beserta perangkat desa lainnya sebagai pelaksana teknis bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan desa. Dalam pengelolaan keuangan desa tersebut, bendahara desa bertugas dalam urusan penatausahaan. Artinya bahwa kepala desa dalam melaksanakan penatausahaan keuangan desa harus menetapkan bendahara desa.
Penetapan bendahara desa harus dilakukan sebelum dimulainya tahun anggaran bersangkutan dan berdasarkan keputusan kepala desa. Bendahara adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh kepala desa untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayar, dan mempertanggungjawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa (Hamzah, 2015).
Bendahara desa adalah unsur staf sekretariat desa yang membidangi urusan administrasi keuangan untuk menatausahakan keuangan desa. Bendahara desa merupakan bagian dari pengelola teknis pengelolaan keuangan desa (PTPKD). PTPKD merupakan unsur perangkat desa yang membantu kepala desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa.
Bendahara desa dijabat oleh staf urusan keuangan. Bendahara desa wajib melakukan pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir bulan secara tertib. Bendahara desa wajib mempertanggungjawabkan uang melalui laporan pertanggungjawaban.
Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan setiap bulan kepada kepala desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Berkaitan dengan adanya beberapa transaksi penggunaan dana desa yang ada di setiap wilayah desa, pemahaman tentang pajak harus lebih ditingkatkan seiring dengan adanya perkembangan transaksi ekonomi.
Setiap transaksi ekonomi selalu dapat dikaitkan dengan aspek pengenaan pajak, baik yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun dilakukan oleh perangkat instansi pemerintah yang dananya bersumber dari APBN / APBD. Selain itu, adanya beberapa sumber dana yang berasal dari kabupaten / kota dan provinsi, maka aspek perpajakan hendaknya harus benar-benar diperhatikan oleh segenap perangkat desa.
- Adanya belanja barang dan jasa dari perangkat desa, akan menggiatkan sektor ekonomi di pedesaan dan meningkatkan omset para pelaku usaha, otomatis meningkatkan jmlah wajib pajak dan penerimaan pajak untuk negara.
- Seperti diketahui bahwa pihak yang berperan dalam melaksanakan fungsi perbendaharaan dan fungsi pemungutan pajak dalam pengelolaan APBN / APBD adalah bendahara satuan kerjanya.
Demikian pula di desa, bendaha desa adalah yang melaksanakan pengeluaran anggaran yang dananya bersumber dari APBN / APBD memiliki kewajiban untuk memungut / memotong, menyetor, dan melaporkan pajak atas transaksi yang timbul di desa. Aparatur desa memiliki tanggung jawab untuk mengamankan penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Potensi perpajakan yang terkait dengan alokasi dana desa ini sangat bervariasi, tergantung dari jenis transaksi yang merupakan obyek pajak, serta transaksi atas pengadaan barang / jasa yang dapat dikenakan pajak ( www.pajak.go.id ).
- Memang disadari bahwa masih banyak desa yang melakukan pembangunan fisik / konstruksi masih menggunakan sistem swakelola, sehingga ada saja terdapat pembelian material-material yang merupakan bukan barang kena pajak, sedangkan pembayaran tenaga kerjanya menggunakan cara upah harian atau borongan.
Hal demikian tentu saja akan merepotkan bendahara desa dalam menghitung pajak terutang maupun untuk mengidentifikasi jenis barang yang merupakan obyek pajak atau bukan. Selain hal tersebut, banyak bendahara desa yang masih kebingungan dalam menentukan jenis pajak, obyek pajak, dan wajib pajak dalam beberapa transaksi.
Kebingungan itu menyebabkan kadang bendahara desa salah dalam penentuan tarif pajak yang seharusnya dipungut atau dipotong, yang tentu saja hal ini akan mengakibatkan kerugian bagi penerimaan negara. Berdasarkan beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, sangat dipandang perlu bagi aparatur desa pada umumnya, serta bendahara desa pada khususnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai berkaitan dengan aspek perpajakan dalam transaksi yang berkaitan dengan penggunaan dana desa.
Hal ini agar tidak terjadi kesalahan dalam pemungutan, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan dalam aspek perpajakan yang berkaitan dengan transaksi penggunaan dana desa. Dengan adanya pengetahuan yang mendalam tentang perpajakan dalam penggunaan dana desa, akan membantu negara dalam penerimaan pajak.
Oleh karena itu, diharapkan bagi aparatur desa pada umumnya, serta bendahara desa pada khususnya, untuk menguasai aspek-aspek perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa. PEMBAHASAN Pada tahun 2014, dana desa menjadi bahasan politik yang akhirnya direalisasikan dalam bentuk Undang-Undang Desa yaitu UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Dana desa yang bergulir ke kas desa tentu harus dikelola sebaik mungkin dan perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa harus memahami fungsinya sebagai juru bayar dan juga wajib pungut yang bertugas menghitung, memotong / memungut, menyetor, dan melaporkan pajak atas pembelanjaan dana desa tersebut.
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
Nomor pokok wajib pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. NPWP dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
- Pendaftaran NPWP bisa dilakukan melalui kantor pelayanan pajak (KPP) atau melalui elektronik secara online pada alamat www.pajak.go.id dengan mengklik menu e-registration,
- Ewajiban dasar sebagai wajib pajak / wajib pungut yaitu memiliki NPWP.
- NPWP yang didaftarkan adalah NPWP atas nama desa / bendahara desa.
Perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa tentunya harus memiliki NPWP pribadi dan atas NPWP bendahara desa. Persyaratan yang harus dilengkapi untuk memiliki NPWP bendahara desa adalah fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara desa, serta fotokopi KTP bendahara yang bersangkutan, kemudian mengisi formulir pendaftaran NPWP bendahara (Resmi, 2014).
PPh Pasal 21
Pajak yang dipotong oleh bendahara desa yang berkaitan dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, bonus, insentif atau pembayaran lain kepada orang pribadi. Termasuk di dalamnya adalah atas pembayaran kepada individu bendahara desa itu sendiri, apabila telah melebihi batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka bendahara desa wajib memotong pajak untuk dirinya sendiri.
penghasilan yang diterima pegawai tetap (bersifat teratur maupun tidak teratur), penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas (upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan), imbalan kepada bukan pegawai (honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan / jasa / kegiatan), imbalan kepada peserta kegiatan (uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan imbalan yang sejenis), penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima oleh mantan pegawai, penghasilan berupa honorarium, uang perangsang, uang hadir, dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat negara, PNS, TNI, POLRI, yang sumber dananya berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II/d ke bawah dan anggota TNI / POLRI berpangkat pembantu letnan satu ke bawah atau ajun inspektur tingkat satu ke bawah.
PPh Pasal 22
Pajak yang dipungut dari pihak ketiga (pengusaha / toko) oleh bendahara desa dalam hal pembayaran / pembelian barang dengan nilai diatas Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan bukan transaksi yang terpecah-pecah. Tarifnya adalah 1,5 % dari dasar pengenaan pajak apabila pihak ketiga tersebut (pengusaha / toko) memiliki NPWP, sedangkan apabila tidak memiliki NPWP maka tarifnya menjadi 3 %.
Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara desa, Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan oleh bendahara, Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung.
PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima rekanan atas sewa (tidak termasuk sewa tanah dan atau bangunan), serta imbalan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan, dan jasa lainnya. Tarifnya untuk penghasilan atas jasa adalah 2% jika rekanan ber NPWP, jika belum punya NPWP dipotong 4%.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 4 ayat (2) Final, tarif 2%. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, tarif 2%.
PPh Pasal 4 Ayat (2) Final
Pajak yang dipotong atas pembayaran: sewa tanah dan atau bangunan, pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, jasa konstruksi (perencana, pelaksana, dan pengawas). Beberapa transaksi yang dilakukan oleh desa yang dapat dilakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) Final antara lain sebagai berikut (UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan) :
Persewaan tanah dan atau bangunan, tarif 10%. Jasa konstruksi, meliputi : perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi, tarif antara 2% – 6% sesuai kualifikasi usaha. Wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, tarif 5%.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN merupakan pemungutan pajak atas pembelian barang / jasa kena pajak yang jumlah nominalnya di atas Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Tarif PPN adalah 10 % dari dasar pengenaan pajak (harga tidak termasuk PPN).
Bendahara desa sangat dianjurkan memilih rekanan yang sudah menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan sudah menerbitkan nomor seri faktur pajak. Rekanan diusahakan harus PKP, karena hanya rekanan yang ber-PKP yang bisa menerbitkan faktur pajak. Jika dalam transaksi tidak menggunakan rekanan yang ber-PKP, maka PPN tetap dipungut oleh bendahara desa, akan tetapi untuk pertanggungjawaban administrasinya kurang lengkap, dikarenakan tidak ada faktur pajak.
Hal ini tentu saja akan menjadi temuan bagi inspektorat yang terkait. Berkaitan dengan pengenaan PPN, pada intinya yang dikenakan PPN adalah barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Secara umum, semua jenis barang adalah BKP, dan setiap jenis jasa adalah JKP, kecuali yang dinyatakan oleh Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang PPN bahwa barang tersebut bukan BKP (non-BKP) dan bukan JKP (non-JKP).
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, Uang, emas batangan, dan surat berharga.
B. Jasa Tidak Kena PPN (Non-JKP)
Jasa pelayanan kesehatan medis, Jasa pelayanan sosial, Jasa pengiriman surat dengan prangko, Jasa keuangan, Jasa asuransi, Jasa keagamaan, Jasa pendidikan, Jasa kesenian dan hiburan, Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, Jasa angkutan umum di darat dan di air, serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan jasa angkutan udara luar negeri, Jasa tenaga kerja, Jasa perhotelan, Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, Jasa penyediaan tempat parkir, Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, Jasa pengiriman uang dengan wesel pos, Jasa boga atau katering.
Jadi secara umum, barang dan jasa yang tidak termasuk kategori Non-BKP dan Non-JKP, semuanya akan terutang PPN yang harus dipungut oleh bendahara desa.
Bea Materai
Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Benda materai adalah materai tempel dan kertas materai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Apabila desa membuat suatu dokumen yang menyebutkan nilai nominal di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-, maka dokumen tersebut hendaknya dikenakan materai sebesar Rp 3.000,-. Sedangkan apabila dokumen tersebut menyebutkan nilai nominal di atas Rp 1.000.000,-, dan atau terdapat dampak hukum di masa mendatang bagi desa, maka dokumen tersebut dikenakan materai sebesar Rp 6.000,-.
SIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa adalah sebagai berikut ini :
Bendahara desa wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah: fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara desa dan fotokopi KTP bendahara desa yang bersangkutan. PPh Pasal 21, merupakan pajak yang dipotong oleh bendahara desa yang berkaitan dengan pembayaran: gaji, upah, honorarium, komisi, fee, imbalan peserta kegiatan, bonus, uang hadir, dan imbalan lain dalam bentuk apapun yang diberikan kepada orang pribadi. PPh Pasal 22, dipungut dari pihak ketiga / rekanan dalam hal pembelian barang / jasa dengan nilai di atas Rp 2.000.000,- dan bukan transaksi yang dipecah-pecah. PPh Pasal 23, dipotong dari penghasilan yang diterima rekanan atas sewa (tidak termasuk sewa tanah dan atau bangunan), serta imbalan atas jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan, dan jasa lainnya, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. PPh Pasal 4 ayat (2) Final, dipotong atas pembayaran sewa tanah dan atau sewa bangunan, jasa konstruksi (perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi), dan wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. PPN, dipungut atas pembelian barang / jasa kena pajak yang jumlah nilai nominalnya di atas Rp 1.000.000,-. Pada intinya semua barang / jasa kena PPN, kecuali beberapa jenis / barang atau jasa yang termasuk Non-BKP (Bukan Barang Kena Pajak) dan Non-JKP (Bukan Jasa Kena Pajak). Bea Materai, merupakan pajak yang dikenakan atas dokumen. Apabila suatu dokumen menyebut nilai nominal di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,- maka dikenakan materai Rp 3.000,-. Sedangkan apabila dokumen dengan nilai nominal di atas Rp1.000.000,-, maka dikenakan materai Rp 6.000,-
SARAN Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas tentang perpajakan yang berkaitan dengan penggunaan dana desa, maka dapat disarankan sebagai berikut :
Untuk Pemerintah Desa, hendaknya selalu memperhatikan dan update informasi berkaitan dengan peraturan pajak yang berhubungan dengan penggunaan dana desa. Hal ini agar pemerintah desa selalu mengetahui dan mematuhi peraturan pajak, sehingga bisa turut mengamankan potensi penerimaan negara, serta tidak menjadi temuan yang menyimpang apabila ada audit dari inspektorat. Untuk Pemerintah Kabupaten / Kota, hendaknya selalu memberikan sosialisasi dan bimbingan secara berkala kepada desa-desa yang ada di bawah naungannya yang berkaitan dengan pajak. Pemerintah Kabupaten / Kota juga hendaknya bisa mengawasi ketertiban dalam administrasi pajak yang ada di desa, sehingga dapat meminimalisir kesalahan yang berkaitan dengan aspek perpajakan penggunaan dana desa. Untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP), hendaknya apabila ada update peraturan pajak terbaru yang berkaitan dengan penggunaan dana desa, bisa menginformasikan kepada setiap desa di wilayahnya dengan cara mengirim selebaran panduan yang berisi aturan dan tatacara perhitungan, pemotongan / pemungutan, dan penyetoran pajak yang harus dilakukan oleh bendahara desa. Sehingga bendahara desa akan dapat menyesuaikan peraturan pajak yang baru dengan efektif.
DAFTAR REFERENSI Hamzah, Ardi.2015. Tata Kelola Pemerintahan Desa Menuju Desa Mandiri, Sejahtera, Parsipatoris, Penerbit Mustaka Jawa Timur. Indirizal, Edi.2006. Tipologi Desa di Indonesia, Resmi, Siti.2014. Perpajakan : Teori dan Kasus, Penerbit Salempa Empat Jakarta.
- Sujarweni, V.
- Wiratna.2015.
- Akuntansi Desa,
- Pustaka Baru Press Yogyakarta.
- Soleh, Chabib dan Heru Rochmansjah.2015.
- Pengelolaan Keuangan Desa,
- Penerbit Fokusmedia Bandung.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No.113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.
Undang – Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang – Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Undang – Undang Republik Indonesia No.42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai. www.google.co.id www.pajak.go.id www.pemeriksaanpajak.com
Apakah bahan pokok dikenakan pajak?
Kebutuhan Pokok Jadi Barang Kena Pajak, Otomatis Kena PPN? , DDTC Fiscal Research & Advisory. PERKENALKAN saya Sulistyo, pedagang sayur dan kebutuhan pokok lainnya di Denpasar. Saya mendengar isu simpang siur bahwa dengan berlakunya Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), semua barang kebutuhan pokok menjadi barang kena pajak (BKP) sehingga atas penjualannya harus dikenakan PPN.
- Untuk memastikan, saya ingin menanyakan hal tersebut, apakah benar barang kebutuhan pokok penjualan saya dikenakan PPN? Terima kasih.
- Jawaban: TERIMA kasih Bapak Sulistyo atas pertanyaannya.
- Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahan kebutuhan pokok termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) sebagai berikut: “Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: 1.,2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak”
- Kemudian, dengan berlakunya UU HPP, bagian huruf b di atas dihapus sehingga barang kebutuhan pokok tidak lagi termasuk barang tidak kena pajak.
- Lantas, bagaimana perlakuan PPN atas barang kebutuhan pokok tersebut?
- Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengidentifikasi lebih lanjut isi dari UU PPN sebagaimana telah diubah dengan UU HPP ().
Dalam Pasal 16B ayat (1a) UU PPN s.t.d.d UU HPP diatur mengenai perlakuan PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan selama keberadaan barang dan jasa tersebut memenuhi tujuan tertentu. Pasal 16B ayat (1) huruf j angka 1 UU PPN s.t.d.d UU HPP menyebutkan salah satu tujuan tertentu itu adalah mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain: ” 1.
- beras;
- gabah;
- jagung;
- sagu;
- kedelai;
- garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
- daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
- telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
- susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
- buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, danf atau dikemas atau tidak dikemas; dan
- sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
Dengan demikian, selama termasuk dalam kelompok di atas, barang yang Bapak jual dibebaskan atau tidak dipungut PPN, Untuk perincian dan pengaturan lebih lanjut, ada baiknya kita menunggu peraturan pelaksana dari UU HPP, khususnya terkait dengan pengenaan PPN atas barang yang Bapak jual.
- Selain itu, penting pula untuk diperhatikan apakah Bapak sudah memenuhi definisi pengusaha kena pajak (PKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 4,
- Selama peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, Bapak tidak perlu memungut PPN.
- Namun, jika peredaran bruto sudah melebihi nilai tersebut, Bapak perlu mendaftarkan diri sebagai PKP dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya, dapat kita pantau lebih lanjut jika terdapat ketentuan baru terkait dengan batasan peredaran bruto PKP. Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Terima kasih. Sebagai informasi, artikel Konsultasi UU HPP akan hadir setiap Selasa guna menjawab pertanyaan terkait UU HPP beserta peraturan turunannya yang diajukan ke email,
Apa saja contoh pajak langsung?
Pertanyaan Terkait –
- Apa saja contoh pajak langsung? Contoh pajak langsung antara lain: (1) Pajak kendaraan bermotor, (2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (3) Pajak Penghasilan.
- Apa yang dimaksud dengan pajak langsung? Pengertian pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara berkala terhadap orang atau badan sesuai dengan surat ketetapan pajak; pajak ini harus dipikul sendiri oleh wajib pajak (direct tax).
Apa saja yang termasuk bukan barang kena pajak?
Berdasarkan Pasal 4A ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2009 dan memori penjelasannya, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi: a. minyak mentah ( crude oil ); b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; c. panas bumi; d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar ( feldspar ), garam batu ( halite ), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat ( phospat ), talk, tanah serap ( fullers earth ), tanah diatome, tanah liat, tawas ( alum ), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, meliputi: a. beras; b. gabah; c. jagung; d. sagu; e. kedelai; f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium; g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas; i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah. Makanan dan minuman Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Perlakuan ini berfungsi untuk menghindarkan dari pengenaan pajak berganda mengingat makanan dan minuman yang disajikan di hotel atau restoran telah dikenakan Pajak Daerah. Jadi prinsipnya atas objek tersebut bukan berarti tidak dikenakan pajak sama sekali, hanya saja dikenakan pajak dengan jenis selain PPN. Dalam prakteknya, tarif banyak daerah atas objek ini pada umumnya sama yaitu 10%. Prinsip yang sama juga ditemui pada perlakuan jasa hiburan yang didefinisikan bukan sebagai Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang PPN karena telah dikenakan Pajak Daerah. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Previous Post