Bagaimana Tarif Pajak Penghasilan Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi?

Bagaimana Tarif Pajak Penghasilan Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Dasar Hukum Penerapan Tarif Pajak bagi Wajib Pajak Pribadi

  • Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 2 untuk Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
  • Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 206/PMK.011/ 2012 Tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.

Tarif Pemotongan Pajak Berdasarkan UU Perpajakan Pasal 17 ayat 1, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi: Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

sampai dengan Rp50.000.000,00 5%

di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp250.000.000,00 15%

di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00 25%

di atas Rp500.000.000,00 30%

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi diperoleh catatan sbb:

  1. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
  2. Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak, dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
  3. Untuk keperluan penghitungan pajak, tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
  4. Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud
  5. Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.

Penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1) Umum

  1. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari: Pegawai Tetap; penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan ; Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan
  2. Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut: a) perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas); b) dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
  3. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak adalah: a) atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan dibagi 12 (dua belas); b) atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan.

Dalam hal Pegawai Tetap

  1. Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali atau faktor pembagi adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
  2. Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
  3. Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
  4. Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
  5. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari: a,jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama; b. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau c,jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Dalam hal Pegawai Tidak Tetap Atau Tenaga Kerja Lepas Atau Bukan Pegawai

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:

  1. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); atau
  2. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah).
  • Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
  • Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari: a, Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya; b.50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya. ;
  • Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas: a,50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan; b,jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.

Penerapan Tarif Pemotongan Pajak Bagi Penerima Penghasilan Yang Tidak Memiliki NPWP

  1. Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
  2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sadalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
  3. Pemotongan PPh Pasal 21 tersebut hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
  4. Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
You might be interested:  Dalam Persamaan Akuntansi Yang Berpengaruh Terhadap Modal Adalah?

Tarif PPh Untuk Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 2 untuk Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur sebagai berikut:

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.

Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua, dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus meliputi:

  1. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia;
  2. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus;
  3. pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final, terutang pada saat dilakukan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:

      1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
      2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah); sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
      3. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

      1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
      2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Berapakah tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi?

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) – Setelah Anda mengetahui besaran PKP, kemudian tentukan persentase perhitungan pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

  • PKP kurang dari Rp50.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 5%
  • PKP antara Rp50.000.000 – Rp250.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 15%
  • PKP antara Rp250.000.000 – Rp500.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 25%
  • PKP di atas Rp500.000.000 dikenai tarif pajak 30%

Langkah selanjutnya dalam perhitungan pajak penghasilan yaitu dengan mengalikan antara PKP yang sudah diperoleh dengan persentase sesuai ketentuan. Hasil perkalian tersebut adalah PPh yang wajib dibayarkan dalam periode satu tahun.

Apa yang dimaksud dengan tarif pajak orang pribadi?

Belajar Pajak: Apa Itu Pajak Penghasilan Orang Pribadi? Jakarta – Pajak penghasilan pribadi umumnya dikenal sebagai pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP). PPh OP adalah pengenaan pajak terhadap subjek pajak milik orang pribadi atas penghasilan atau pendapatan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.

Adapun PPh terbagi menjadi dua kategori berdasarkan sumber pendapatan atau penghasilan yang diperoleh wajib pajak. Dua kategori tersebut yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26. Pada PPh Pasal 21 adalah pajak pemotongan atas penghasilan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, atau bahkan kegiatan dengan nama atau dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dari dalam negeri.

Menurut tentang Pajak Penghasilan, pada Pasal 17 diterangkan bahwa besaran PPh 21 dan segala rinciannya tertuang jelas di dalam Undang-Undang tersebut. Menurut pasal tersebut, besaran pajak atau tarif PPh 21 ditentukan dalam beberapa kondisi. Pertama, penghasilan kena pajak (PKP) untuk pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP).

pada lapisan PKP apabila penghasilan mencapai jumlah Rp 50 juta, maka besaran tarif yang dikenakan senilai 5 persen. Apabila di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta, maka besaran tarif senilai senilai 15 persen. Kemudian, apabila di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, maka besaran tarif senilai 25 persen.

apabila di atas Rp 500 juta, maka besaran tarif senilai 30 persen. Kedua, PKP bagi yang tidak memiliki NPWP. Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER/16/PJ/2016 Pasal 20 diterangkan bahwa bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh 21 yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan tarif pemotongan PPh 21 lebih dari 20 persen dibandingkan tarif yang sudah ditetapkan.

  1. Pada jumlah yang dimaksud senilai dengan 120 persen dari jumlah PPh 21 yang seharusnya.
  2. Sedangkan, pemotongan PPh 21 yang dimaksud bersifat tidak final dan hanya berlaku bagi pemotong PPh Pasal 21.
  3. Sedangkan PPh Pasal 26 adalah pajak pemotongan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Dengan demikian, PPh 26 merupakan PPh yang dipotong dari badan usaha dalam bentuk apapun yang terdapat di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran baik gaji, bunga, dividen, royalti atau sejenisnya kepada wajib pajak luar negeri. Adapun tarif umum PPh 26 senilai 20 persen dan bersifat final.

Pada tarif final atas jumlah bruto yang dikenakan berdasarkan dividen, bunga, royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait jaminan, insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, hadiah, pensiun, premi swap, serta perolehan keuntungan dari penghapusan utang. Sedangkan tarif final dari laba bersih berdasarkan dari pendapatan dari penjualan aset di Indonesia dan premi asuransi atau reasuransi yang dibayar langsung kepada perusahaan asuransi asing.

You might be interested:  Apa Yang Dimaksud Dengan Laporan Perubahan Modal?

: Belajar Pajak: Apa Itu Pajak Penghasilan Orang Pribadi?

Berapakah jenis tarif pajak penghasilan?

3. Tarif Pajak Progresif – Jenis tarif pajak progreif ini, persentase tarifnya semakin besar mengikuti besaran nilai objek yang dikenai pajak. Artinya, semakin besar nilai objek pajak, maka semakin besar pula tarifnya. Tarif pajak progresif ini dipecah lagi menjadi tiga, yaitu: a.

Penghasilan kena pajak (gaji) sampai Rp50.000.000, tarif pajaknya 5% Penghasilan kena pajak lebih dari Rp50.000.000 – Rp250.000.000, tarif pajaknya 15% Penghasilan kena pajak lebih dari Rp250.000.000 – Rp500.000.000, tarif pajakya 25% Penghasilan kena pajak di atas Rp500.000.000, tarif pajaknya 30%

b. Tarif pajak progresif-tetap Tarif progresif-tetap adalah jenis tarif progresif yang kenaikan persentasenya tetap. Note: PPh Pribadi: Cara Hitung, Bayar dan Lapor SPT Pribadi Karyawan Swasta c. Tarif progresif-degresif Tarif progresif-degresif adalah jenis tarif progresif yang kenaikan persentasenya semakin menurun (degresif). Ilustrasi jenis tarif pajak

Bagaimana penentuan tarif pajak penghasilan PPh pasal 21?

3. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 – Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, tarif pajak penghasilan pribadi yang memiliki NPWP dengan menggunakan tarif progresif adalah sebagai berikut:

Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp50.000.000,- adalah 5%. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp50.000.000,- sampai dengan Rp250.000.000,- adalah 15%. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000,- sampai dengan Rp500.000.000,- adalah 25%. Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000,- adalah 30%. Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

Untuk wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenakan tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP

Jumlah PPh21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut diperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP

Baca juga: Perbedaan PPh 21 dan PPh 23 yang Harus Anda Ketahui

Bagaimana cara menghitung pajak penghasilan?

Dasar Perhitungan PPh Pengusaha – Karena statusnya wajib pajak pribadi yang profesinya sebagai pengusaha, maka mekanisme dan dasar perhitungan PPh atau rumus PPh-nya pun berbeda. Wajib pajak orang pribadi sebagai pengusaha ini menyetorkan sendiri pajak penghasilannya.

PPh dari Gaji = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak

Sedangkan cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi sebagai pengusaha yang diperoleh dari penghasilan lainnya adalah:

PPh dari Pendapatan Lainnya = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak Penghasilan Neto = Penghasila Bruto x Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Besar PTKP 2021 wajib pajak orang pribadi masih sama seperti dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP, yakni Rp54.000.000 setahun atau Rp4.500.000 per bulan, dengan rincian sebagai berikut:

Wajib pajak lajang Rp54.000.000 Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami Rp54.000.000 Tambahan wajib pajak yang memiliki status kawin Rp4.500.000 Tambahan untuk setiap anggota keluarga yang jadi tanggungan, maksimal 3 (keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat) Rp4.500.000

Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 UU PPh, perhitungan tarif pajak pribadi menggunakan tarif progresif, dengan ketentuan besar tarif adalah:

5% untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun 15% untuk penghasilan Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 per tahun 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 per tahun 30% untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun

Terbaru, dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPh Pribadi dan layer (bracket) pajak penghasilan orang pribadi mengalami perubahan seperti berikut:

5% untuk penghasilan hingga Rp60.000.000 per tahun 15% untuk penghasilan Rp60.000.000 – Rp250.000.000 per tahun 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 – Rp500.000.000 per tahun 30% untuk penghasilan Rp500.000.000 – Rp5.000.000.000 per tahun 35% untuk penghasilan di atas Rp5.000.000.000

Selengkapnya temukan di sini apa saja perubahan regulasi pajak terbaru dalam Poin-Poin Regulasi Pajak dalam UU HPP. Saya Mau Coba Gratis Klikpajak Sekarang!

Bagaimana pengenaan pajak dengan tarif pajak proporsional?

Memahami Jenis Tarif Pajak, Dari Proporsional Sampai Progresif Sejumlah tarif pajak berlaku di Indonesia, mulai dari tarif pajak proporsional sampai tarif pajak progresif. Pengertian tarif pajak adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak (WP). Setiap jenis tarif pajak memiliki besaran persentase yang berbeda, sesuai dengan ketentuan dari Undang-undang dan Peraturan Pemerintah nya. Kami akan paparkan beragam jenis tarif pajak yang berlaku berikut ini; 1. Tarif Pajak Proporsional, Tarif pajak proporsional merupakan jenis tarif pajak yang memiliki nilai besaran persentase tetap dan tidak terpengaruh dengan perubahan nilai dasar pengenaan pajak. Dapat disimpulkan apabila semakin besar jumlah objek pajak yang dibayarkan, maka persentase tarif pengenaan pajaknya akan tetap sama. Contoh jenis pajak yang termasuk ke dalam tarif pajak proporsional adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang memiliki nilai persentase 10% dan juga PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang memiliki besaran tarif pajak 0,5%.2. Tarif Pajak Degresif Memiliki perhitungan tarif pajak yang berbanding terbalik dengan tarif pajak progresif, tarif pajak degresif merupakan jenis tarif pajak yang nilai persentasenya semakin kecil apabila nilai objek pajaknya semakin besar. Akan tetapi, tarif pajak degresif juga dikelompokkan menjadi 3 jenis tarif pajak seperti tarif pajak progresif yaitu tarif degresif-degresif, tarif degresif-tetap, dan terakhir adalah tarif degresif-progresif.3. Tarif Pajak Regresif Tarif pajak regresif atau yang biasa disebut sebagai tarif pajak tetap merupakan jenis tarif pajak yang besarannya tetap meskipun nilai objek pajaknya berubah-ubah. Contoh dari tarif pajak regresif ini adalah bea meterai. Bea meterai memiliki tarif pajak 10.000 (berlaku sejak tahun 2021) dan tidak akan berubah.4. Tarif Pajak Spesifik Tarif pajak spesifik berarti tarif pajak yang dikenakan pada suatu objek pajak sudah spesifik berdasarkan objek pajak yang dikenakan tersebut. Seperti contoh, jika Anda melakukan impor barang seperti smartphone, maka tarif pajak yang dikenakan akan sesuai dengan jenis barang yang diimpor tersebut dan bukan nilai barangnya.5. Tarif Pajak Ad Valorem Jenis tarif pajak yang terakhir adalah tarif pajak Ad Valorem. Untuk pajak ini mempunyai besaran persentase khusus pada suatu objek pajak. Misalnya, perusahaan Anda ingin mengimpor mesin khusus seharga 5 juta per unit sebanyak 50 unit. Jika tarif bea dikenakan sebesar 20%, maka total pajak yang harus anda bayarkan adalah sebesar: jumlah unit x harga per unit x bea masuk. Total pajak Ad Valorem yang dibayarkan adalah sebesar 20 juta rupiah.6. Tarif Pajak Progresif Tarif pajak proporsional besaran tarif pajaknya tetap, lain halnya dengan tarif pajak progresif yang besaran tarif pajaknya mengikuti nilai objek pajak. Semakin besar nilai objek pajaknya, maka persentase tarif pajaknya juga akan semakin besar.

Berapa tarif PPh pasal 21 bagi orang pribadi yang tidak memiliki NPWP?

JAKARTA, DDTCNews – Kendati ada kebijakan penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi, tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi bagi penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP tetap berlaku. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (22/7/2022).

Contact center Ditjen Pajak (DJP) menjelaskan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) serta Pasal 10 PMK 112/2022, perlu adanya aktivasi NIK agar dapat digunakan sebagai NPWP. Aktivasi NIK dilakukan berdasarkan pada permohonan pendaftaran wajib pajak atau secara jabatan. “Sehingga apabila penerima penghasilan belum memiliki NPWP atau NIK belum diaktivasi maka pengenaan tarif PPh Pasal 21 tetap menggunakan tarif lebih tinggi 20% sesuai Pasal 20 ayat (1) dan (2) PER-16/PJ/2016,” tulis Kring Pajak merespons pertanyaan dari warganet.

Berdasarkan pada Pasal 20 ayat (1) PER-16/PJ/2016, untuk penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang sudah ber-NPWP. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) PER-16/PJ/2016, jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong jika yang bersangkutan memiliki NPWP.

You might be interested:  Tarif Pajak Yang Dikenakan Pemerintah Semakin Naik Disebut Tarif?

Bagaimana perhitungan tarif pajak penghasilan 21 untuk bukan pegawai yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan?

PPh 21 Tidak Berkesinambungan – PPh 21 tidak berkesinambungan berarti imbalan yang diberikan kepada bukan pegawai dibayar hanya satu kali dalam satu tahun kalender pajak atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Tarif yang dikenakan untuk PPh 21 tidak berkesinambungan ini adalah tarif pasal 17 (5%) dikalikan 50% dari penghasilan bruto total.

Berapa besarnya tarif pasal 17 PPh Pasal 21 WP OP *?

Tarif Pasal 17 PPh 21 – Mengacu pada PPh pasal 17, maka tarif pajak penghasilan di Indonesia menerapkan skema tarif progresif. Artinya, tarif pajak yang dikenakan menjadi semakin tinggi seiring dengan kenaikan jumlah penghasilan yang menjadi pengenaan pajak tersebut.

Penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000, tarif pajak yang dibebankan 5% Penghasilan di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000, tarif pajaknya 15% Penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000, tarif pajaknya 25% Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif pajaknya 30%

Untuk Wajib Pajak Badan, tarifnya sebesar 28% (PPh pasal 17 Ayat 1 (b)). Namun di dalam Ayat 2 (a) disebutkan juga bahwa sejak tahun pajak 2010, tarif pajak penghasilan untuk Wajib Pajak badan adalah 25%.

Berapa tarif PPh 21 2022?

Seri Artikel Pajak Pemerintah #2 : Perubahan Lapisan Pajak Penghasilan Pasal 21 – Website LLDIKTI Wilayah V Artikel Rabu,11 Mei 2022 Perencanaan dan Penganggaran | 30355 kali Selamat Pagi, #kawanlima yang berbahagia, di manapun berada. Semoga senantiasa dalam keadaan sehat ya.

  1. Melanjutkan artikel berseri seputar pajak pemerintah, kali ini kami ulas sedikit mengenai perubahan atas lapisan pajak penghasilan pasal 21.
  2. Oh ya, jika kalian terlewat, silakan simak seri sebelumnya pada link berikut ini :,
  3. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), terjadi perubahan pada lapisan pajak penghasilan pasal 21.

Jika sebelumnya hanya terdapat 4 lapisan penghasilan yang dikenakan PPh pasal 21, maka mulai tanggal 1 Januari 2022 bertambah lagi satu lapisan. Untuk lebih jelasnya, simak dalam uraian berikut ini : Dasar Hukum Pemberlakuan tarif baru ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

No Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
1 sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) 5% (lima persen)
2 di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen)
3 di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 25% (dua puluh lima persen)
4 di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 30% (tiga puluh persen)
5 di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 35% (tiga puluh lima persen)

Jika kita amati, terdapat 2 perubahan dari ketentuan sebelumnya. Yaitu pada lapisan pertama, pada ketentuan sebelumnya adalah sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) berubah menjadi Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Artinya, ini merupakan sebuah keringanan yang diberikan kepada masyarakat.

  • Jika kita punya penghasilan setahun, setelah dikurangi PTKP, misalnya sebesar Rp 59.000.000,00 maka menurut ketentuan yang baru ini belum dikenai pajak penghasilan.
  • Di sisi lain, ketentuan yang baru ini menambah lapisan untuk masyarakat berpenghasilan lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Jika sebelumnya hanya dikenaik tarif sebesar 30%, maka mulai 1 Januari 2022 ini akan dikenai tarif sebesar 35%. Ini merupakan bentuk keadilan yang diterapkan oleh pemerintah. Artinya, masyarakat yang berpenghasilan rendah dilindungi, sedangkan yang berpenghasilan tinggi memberikan kontribusi pajak yang lebih tinggi, sesuai dengan prinsip gotong royong.

Demikian, #kawanlima, Semoga tulisan ringkas ini memberikan pengetahuan yang baru. Jadi, silakan dianalisa sendiri, apakah penghasilan kalian terpengaruh oleh ketentuan yang baru ini. Jika terpengaruh, silakan disesuaikan karena akan menjadi dasar pengisian SPT tahunan teman-teman semua. Atau teman-teman sebagai bendaharawan yang memotong pajak penghasilan, silakan disesuaikan dengan peraturan yang baru ini ya.

Jangan sampai salah menggunakan ketentuan yang lama. Nanti diprotes oleh rekan kerjanya. Terima kasih sudah menyimak. Salam Sehat Selalu. Oleh : Muhammad Iqbal Fauzi | Staf pada Kepenyeliaan Keuangan LLDikti Wilayah V * Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja : Seri Artikel Pajak Pemerintah #2 : Perubahan Lapisan Pajak Penghasilan Pasal 21 – Website LLDIKTI Wilayah V

Apa itu PPh 21 orang pribadi?

PPh pasal 21 adalah Pemotongan atas penghasilan yg dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan. Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; PP Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. PP Nomor 41 Tahun 2016 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota Tni, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Menimbang Pajak Penghasilan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pelaporan dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Pemberi Kerja yang Berusaha pada Kategori Usaha Tertentu. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2009 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-22/Pj/2009 tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Pemberi Kerja yang Berusaha pada Kategori Usaha TertentU. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Pengecualian PPh Pasal 21 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)