Kewajiban Membayar Pajak Yang Sudah Ditetapkan Pemerintah Ditetapkan Pada Pasal?
Pajak, Dari, Oleh, dan Untuk Rakyat Seperti halnya negara demokrasi yang menyebutkan bahwa pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, begitu pula dengan pajak. Bisa dikatakan bahwa pajak berasal dari, oleh dan untuk rakyat sendiri. Maksud dari hal tersebut yaitu penghasilan atau anggaran dana suatu negara berasal dari rakyat yang dilakukan melalui pemungutan pajak atau berasal dari kekayaan alam yang terdapat dalam negara tersebut yang harus dibayar oleh rakyat atau bisa juga disebut sebagai peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan pemerintah dan kesejahteraan rakyat umum.
- Di Indonesia pajak merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh setiap warga negara yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak.
- Ewajiban membayar pajak sendiri tercantum dalam pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Selain itu di Indonesia pajak memiliki posisi yang paling penting, selain untuk membiayai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, pajak merupakan penopang terbesar APBN di negara Indonesia. Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara di proyeksikan sebesar 1.894,7 triliun rupiah dengan rincian penerimaan dari pajak sebesar 1.618,1 triliun rupiah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 275,4 triliun rupiah, dan hibah sebesar 1,2 tririlun rupiah.
(Wikipedia.com). Besarnya target penerimaan negara dari sektor pajak, menjadikan apapun yang ada di Indonesia dijadikan objek pajak, seperti pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak saat berbelanja dan yang terbaru saat ini yaitu pemerintah mulai menargetkan para pengguna media sosial seperti youtuber dan selebgram sebagai objek pajak.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menkeu 210/PMK 010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Suara.com). Seperti sebuah slogan yang mengatakan bahwa “Warga bijak taat bayar pajak”. Ini adalah sebuah slogan yang seringkali terdengar di kalangan masyarakat umum, dimana slogan ini selalu dikampanyekan secara masif oleh pemerintah baik melalui media cetak maupun media elektronik.
Tujuannya yaitu agar masyarakat bisa taat membayar pajak, karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan keuangan negara selain dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah baik dalam maupun luar negeri yang digunakan untuk membiayai pembangunan. Upaya pemerintah yang mendorong masyarakat untuk membayar pajak dengan menekankan bahwa tanpa pajak, pembangunan tidak akan berjalan, dan jika pembangunan tidak berjalan maka pemerintah tentu tidak bisa mensejahterakan rakyat justru tidak berbanding lurus dengan fakta yang ada.
Jadi dengan tidak membayar pajak maka pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik. Apalagi, di Indonesia pembangunannya masih sangat minim dibandingkan dengan negara lain. Namun saat ini banyaknya masyarakat yang belum taat membayar pajak disebabkan karena minimnya informasi masyarakat mengenai manfaat dari pajak itu sendiri.
- Adapun manfaat dari adanya pajak bagi negara yaitu: Membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, seperti: pengeluaran yang bersifat self liquiditing.
- Contohnya: pengeluaran untuk proyek produktif barang ekspor.
- Membiayai pengeluaran reproduktif, seperti: pengeluaran yang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat.
Contohnya: pengeluaran untuk pengairan dan pertanian. Membiayai pengeluaran yang bersifat tidak self liquiditing dan tidak reproduktif. Contohnya: pengeluaran untuk pendirian monument dan objek rekreasi. Membiayai pengeluaran yang tidak produktif. Contohnya: pengeluaran untuk membiayai pertahanan negara atau perang dan pengeluaran untuk penghematan di masa yang akan datang yaitu pengeluaran untuk anak yatim piatu.
Jadi dengan taat membayar pajak manfaat yang bisa masyarakat terima yaitu: Fasilitas umum dan infrastruktur, seperti: jalan raya, jembatan, sekolah dan rumah sakit, Pertahanan dan keamanan, seperti: bangunan, senjata, perumahan hingga gaji karyawan, Subsidi pangan dan bahan bakar minyak, Kelestarian lingkungan hidup dan budaya, Dana pemilu, Pengembangan alat transportasi massa dan lain-lain.
Mulai sekarang sebagai warga negara Indonesia agar taat membayar pajak, karena manfaatnya akan sangat berguna bagi semua masyarakat. Selain itu juga agar bisa membuat Indonesia menjadi lebih maju dari sekarang dengan membayar kewajiban yaitu bayar pajak.
Contents
- 1 Apa isi undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007?
- 2 Pasal 18 ayat 1 tentang apa?
- 3 UU No 28 Tahun 2004 Tentang apa?
Kewajiban membayar pajak diatur dalam UUD pasal berapa?
Fungsi Pajak Menurut Pasal 23A UUD NRI 1945 Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII menyelenggarakan diskusi “Bedah Pasal 23A UUD NRI 1945: Pajak dan Pungutan Lain untuk Keperluan Negara”. Diskusi daring pada Kamis (29/4) ini menghadirkan Dr. Murti Lestari, M.Si.
- Pengajar Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana) dan Siti Rahma Novikasari, S.H., M.H.
- Pengajar Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia) sebagai narasumber.
- Dalam diskusi ini, Siti Rahma mengatakan bahwa pajak diatur dalam Pasal 23A UUD NRI 1945.
- Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Selain itu, dalam pemungutan pajak, ada prinsip-prinsip global yang harus dipatuhi, salah satunya adalah no taxation without representation yang mengandung ketentuan bahwa dalam aturan pemungutan pajak harus dapat mewakili kepentingan masyarakat. Menurutnya, ada beberapa aspek pengaturan pajak yang harus diatur dalam UU itu sendiri.
- Pertama, kepastian hukum sistem perpajakan yang menentukan objek, subjek pajak mengidentifikasi basis perpajakan, tarif, dan administrasi perpajakan.
- Edua, dasar kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah yang mencakup bestuur,
- Dalam menjalankan UU ada pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Kemudian regelgeving yaitu adanya ada pembagian kewenangan dalam pemungutan pajak. Serta rechtspraak yaitu pemerintah harus melaksanakan upaya administrasi apabila ada masyarakat yang mengajukan gugatan administratif terhadap SKP. Ketiga, ada hubungan hukum antara wajib pajak dan pemungutnya sehingga memberi hak dan kewajiban antara negara dan masyarakat.
Keempat, penegakan hukum dengan penerapan sanksi administrasi dan pidana. Kelima, perlindungan hukum yang diatur dalam UU KUP dan UU No 14 Tahun 2020 tentang Pengadilan Pajak. Sementara itu, Murti Lestari mengatakan pajak di samping memiliki fungsi budgeter dan regulerend, ada juga fungsi pemerataan, yaitu mengurangi pendapatan dari yang kaya untuk mensubsidi yang miskin.
Contohnya bagi warga negara yang memiliki pendapatan tinggi maka pajak dan persentasenya juga semakin tinggi. Berbeda dengan warga negara yang pendapatannya rendah tidak dikenai pajak, inilah yang akhirnya memunculkan program keluarga harapan (PKH), program-program untuk pengangguran, dll.
- Fungsi lainnya adalah stabilisasi yaitu pajak digunakan untuk mengurangi siklus ekonomi, menjaga stabilitas perekonomian negara.
- Misalnya pada masa resesi yaitu masa ketika kegiatan ekonomi lumpuh, pemerintah mengeluarkan dana untuk mendorong kegiatan ekonomi, dengan menyelenggarakan program padat karya, mengadakan pemberian intensif pajak, dll.
guna meningkatkan perekonomian negara,” ucapnya. “Artinya untuk mendanai kehidupan negara, dananya itu didanai oleh masyarakat itu sendiri melalui pemungutan pajak dan pungutan lainnya, sehingga terwujud APBN yang sehat dari kita, oleh kita, dan untuk kita,” pungkasnya.
Pasal 23 ayat 2 tentang apa?
UMUM Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-undang. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sejak tahun 1986 merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumi dan/atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, pengusaan dan/atau perolehan manfaat atas bangunan. Pada hakekatnya, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak. Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya jumlah Objek Pajak serta untuk menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, dirasakan sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak; b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam penyempurnaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 perlu diatur kembali ketentuan ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan pokok-pokok antara lain sebagai berikut: a. Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk setiap Wajib Pajak; b. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Contoh : – pesantren atau sejenis dengan itu; – madrasah; – tanah wakaf; – rumah sakit umum. Ayat (2) Yang dimaksud dengan objek pajak dalam ayat ini adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/ digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daeah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan. Ayat (3) Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan Nilai Jual Objek Pajak hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Contoh : 1. Seorang Wajib Pajak hanya mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai sebagai berikut : – Nilai Jual Objek Pajak Bumi, Rp 3.000.0000,00 -Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak, Rp 8.000.0000,00 Karena Nilai Jual Objek Pajak berada dibawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut : a. Desa A – Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp.8.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp.5.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak : – Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp.8.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp.5.000.000,00(+) – Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak, Rp13.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak, Rp.8.000.000,00(-) – Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak, Rp.5.000.000,00 b. Desa B – Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp.5.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp.3.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak : – Nilai Jual Objek Pajak Bumi, Rp.5.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan, Rp.3.000.000,00(+) – Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak, Rp.8.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp.0,00(-) – Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak, Rp.8.000.000,00 Untuk Objek Pajak di Desa B, tidak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah), karena Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak telah diberikan untuk Objek Pajak yang berada di Desa A. 3. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan pada satu Desa C dengan nilai sebagai berikut : a. Objek I – Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp.4.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp.2.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak : – Nilai Jual Objek Pajak Bumi, Rp.4.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan, Rp.2.000.000,00(+) – Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak, Rp.6.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, Rp.8.000.000,00 Karena Nilai Jual Objek Pajak berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebut dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.b. Objek II – Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp.4.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp.1.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak : – Nilai Jual Objek Pajak Bumi, Rp.4.000.000,00 – Nilai Jual Objek pajak Bangunan, Rp.1.000.000,00(+) – Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak, Rp.5.000.000,00 – Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, Rp.0,00(-) – Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak, Rp.5.000.000,00 Ayat (4) Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum objek pajak setiap tahunnya. Angka 2 Dengan dihapuskannya Pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti ketentuan Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566). Angka 3 Pasal 23 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalah antara lain Undang undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa. Angka 4Cukup Jelas
Pasal II
Cukup Jelas
Pasal III
Cukup Jelas
Pasal IV
Cukup Jelas
Apa isi UUD 1945 pasal 23A?
Pasal 23 A ‘Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ‘
Apa isi undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007?
Dalam Undang – Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 30 ayat 1 tentang apa?
Hak Dan Kewaajiban Warga Negara : 1. Wujud Hubungan Warga Negara dengan Negara Wujud hubungan warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan (role).2. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Hak kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945.
- Hak Warga Negara Indonesia : – Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
- Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
– Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1). – Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang” – Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia.
(pasal 28C ayat 1) – Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2). – Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1). – Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(pasal 28I ayat 1). Kewajiban Warga Negara Indonesia : – Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. – Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain – Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” – Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Hak dan Kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27, 28, dan 30, yaitu : 1. Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Dan pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.2. Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.3.
Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.4. Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang. Landasan konsep Bela Negara Landasan konsep bela negara adalah adanya wajib militer.
Subyek dari konsep ini adalah tentara atau perangkat pertahanan negara lainnya, baik sebagai pekerjaan yang dipilih atau sebagai akibat dari rancangan tanpa sadar (wajib militer). Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.
Esadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu sangat luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.
Unsur Dasar Bela Negara – Cinta Tanah Air – Kesadaran Berbangsa & bernegara – Yakin akan pancasila sebagai ideologi Negara – Rela berkorban untuk bangsa & Negara – Memiliki kemampuan awal bela Negara – Berdasarkan UUD 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.” Dan “syarat-syarat tentang pembelaan diatur oleh UU.” Jadi sudah jelas, mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, dan hambatan baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
- Dasar hukum dan peraturan tentang wajib bela Negara – Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep wawasan nusantara dan keamanan Nasional.
- Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
- Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI.
- Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
– Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI – Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI danPOLRI. – Amandemen UUD ’45 Pasal 30 ayat 1-5 dan pasal 27 ayat 3. – Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara Landasan hukum bela negara a.
- Landasan Idiil ; Pancasila b.
- Landasan Konstitusional ; UUD 1945 (Amandemen) Pasal 27 (3) ; Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara Pasal 30 (1 &2) ; (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (2) Usaha pertahanan keamanan negara dilaksanakan melalui Sishankamrata (TNI sebagai komponen Utama dan Rakyat sebagai komponen Pendukung).c.
Landasan Operasional ; UU No.3 Tahun 2002 (lihat Pengertian Bela Negara ). Wujud bela negara ( UU No 3 Tahun 2002 ) a. Pendidikan Kewarganegaraan b. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib c. Pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela d. Pengabdian sesuai profesi Contoh-Contoh Bela Negara : – Melestarikan budaya – Belajar dengan rajin bagi para pelajar – Taat akan hukum dan aturan-aturan negara Arti penting pembelaan negara a.
- Sebagai syarat berdirinya suatu Negara b.
- Untuk melindungi kedaulatan Negara c.
- Untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara d.
- Untuk semua warga negara agar memiliki kewajiban dan hak yang jelas dalam ikut serta pembelaan terhadap negara.
- Alasan bela negara a.
- Menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan b.
Ingin memajukan Negara c. Mempetahankan Negara jangan sampai dijajah kembali d. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia internasional. Bentuk-bentuk bela negara a. Secara Fisik Segala upaya untuk mempertahankan kedaulatan negara dengan cara berpartisipasi secara langsung dalam upaya pembelaan negara (TNI Mengangkat senjata, Rakyat Berkarya nyata dalam proses Pembangunan).b.
- Secara Non Fisik Segala upaya untuk mempertahankan NKRI dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan pada tanah air serta berperan aktif dalam upaya memajukan bangsa sesuai dengan profesi dan kemampuannya.
- Wujud bela negara bagi pelajar a.
- Lingkungan Keluarga ; Memahami hak dan kewajiban dalam keluarga, menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga, Demokratis, menjaga nama baik keluarga dll b.
Lingkungan Sekolah ; Patuh pada aturan sekolah, berkata dan bersikap baik, bertanggung jawab atas tugas yang diberikan, tidak ikut tawuran dll c. Lingkungan Masyarakat ; Aktif dalam kegiatan masyarakat, rela berkorban untuk kepentingan masyarakat d. Lingkungan berbangsa dan bernegara ; Menghormati jasa Pahlawan, berani mengemukakan pendapat, melestarikan adat dan budaya asli daerah Contoh upaya bela negara di lingkungan masyarakat a.
- Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tolong menolong antar warga negara masyarakat.b.
- Bersama-sama menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat c.
- Meningkatan kegiatan gotong royong dan semangant persatuan dan kesatuan d.
- Menjaga keamanan lingkungan melalui kegiatan siskamling/ronda e.
- Menciptakan suasana rukun, damai, dan tentram dalam masyarakat f.
Menghargai adanya perbedaan dan memperkuat persamaan yang ada g. Menjaga keamanan kampung secara bersama-sama h. Selalu aktif dalam kegiatan sosial seperti kerja bakti, dll.
Apa isi pasal 31 ayat 3?
9. Pasal 31 ayat ( 3 ) yang berbunyi: ‘Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang- undang’.
Pasal 28 ayat 1 tentang apa?
7. Pasal 28I ayat ( 1 ) ‘Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
Apa bunyi pasal 23 ayat 3?
( 3 ) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal 24 ayat 1 tentang apa?
Sejarah Sejarah Pengadilan Militer I-05 Pontianak Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 24 ayat (1) menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman dengan menyatakan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dikemukakan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan tersebut kemudian diatur bahwa Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sesuai Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pengadilan Militer I-05 Pontianak sebagai lembaga peradilan dan pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung RI mempunyai kedudukan yang kuat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 ayat 2 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pengadilan Militer I-05 Pontianak semenjak tanggal 9 Juli 2004 secara Organisasi, Administrasi dan Finansial berkedudukan/berada di bawah Mahkamah Agung RI, sebagaimana dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer Dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Ke Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 39/KMA/SK/II/2017 tanggal 9 Februari 2017 tentang peningkatan kelas pada 3 (tiga) Pengadilan Militer Tipe B menjadi Pengadilan Militer Tipe A, Pengadilan Militer I-05 Pontianak merupakan salah satu Pengadilan Militer yang ditetapkan peningkatan kelas Pengadilan, semula Pengadilan Militer Tipe B menjadi Pengadilan Militer Tipe A.
Pasal 31 ayat 1 tentang apa?
UMUM Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan. Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia yang telah mengantarkan pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” serta “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” menuntut penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan yang dapat menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan melalui BAB XIII, Pasal 31 ayat (2), bahwa pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai “satu sistem pengajaran nasional”. Sesuai dengan judul bab yang bersangkutan, yaitu PENDIDIKAN, pengertian “satu sistem pengajaran nasional” dalam Undang-undang ini diperluas menjadi “satu sistem pendidikan nasional”. Perluasan pengertian ini memungkinkan Undang-undang ini tidak membatasi perhatian pada pengajaran saja, melainkan juga memperhatikan unsur-unsur pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan kepribadian manusia Indonesia yang bersama-sama merupakan perwujudan bangsa Indonesia, suatu bangsa yang bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memelihara budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila di bidang pendidikan, maka pendidikan nasional mengusahakan pertama, pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan kedua, pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh yang mengandung makna terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka Pendidikan Pendahuluan Bela Negara diberikad kepada peserta didik sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendidikan riasional. Dengan landasan pemikiran tersebut, pendidikan nasional disusun sebagai usaha sadar untuk memungkinkan bangsa Indonesia mempertahankaii kelangsungan hidupnya dan mengembangkan dirinya secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sistem pendidikan nasional adalah sekaligus alat dan tujuan yang amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu : semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara; menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan satu sistem yang : a. berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melanjutkan dan meningkatkan pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa); b. merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional; c. mencakup, baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah; d. mengatur, bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas 3 (tiga) jenjang utama, yang masing-masing terbagi -pula dalam jenjang atau tingkatan; e. mengatur, bahwa kurikulum, peserta didik dan tenaga kependidikan – terutama guru, dosen atau tenaga pengajar – merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajarmengajar; f. mengatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi); g. menyelenggarakan satuan dan kegiatan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Pemerintah; h. mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat berkedudukan serta diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama; i. mengatur, bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan ideologi bangsa dan negara; dan j. memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat dan tujuan yang hendak dicapai serta memudahkannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara Republik Indonesia, agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta menggunakan bahasa Indonesia, yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara diharapkan mengetahui hak dan kewajiban pokoknya sebagai warga negara serta memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri, ikut serta dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, dan memperkuat persatuan dan kesatuan serta upaya pembelaan negara. Pengetahuan dan kemampuan ini harus dapat diperoleh dari sistem pendidikan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk memberi makna pada amanat Undang-Undang Dasar 1945, BAB XIII, Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya -pendidikan seumur hidup-, meskipun sebagai anggota masyarakat ia tidak diharapkan untuk terus-menerus belajar tanpa mengabdikan kemampuan yang diperolehnya untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan dapat diperoleh, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Sistem pendidikan nasional memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara, oleh karena itu dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik tidak dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin, agama, ras, suku, latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali apabila ada satuan atau kegiatan pendidikan yang memiliki kekhususan yang harus diindahkan. Pendidikan keluarga termasuk jalur pendidikan luar sekolah merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan. Dalam rangka peningkatan peranserta keluarga, masyarakat dan Pemerintah dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional, maka semua pihak perlu berusaha untuk menciptakan suasana lingkungan yang mendukung terwujudnya tujuah pendidikan nasional. Dalam hubungan ini, maka pengadaan dan pendayagunaan sumberdaya pendidikan, baik yang disediakan oleh Pemerintah maupun masyarakat perlu dipertahankan fungsi sosialnya, dan tidak mengarah pada usaha mencari keuntungan material. Upaya peningkatan taraf dan mutu kehidupan bangsa dan pengembangan kebudayaan nasional, yang diharapkan menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia, diadakan terus-menerus, sehingga dengan sendirinya senantiasa menuntut penyesuaian pendidikan pada kenyataan yang selalu berubah. Pendidikan juga harus senantiasa disesuaikan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengaturan dalam Undang-undang ini pada dasarnya dirumuskan secara umum, agar supaya pengaturan yang lebih khusus, yang harus disesuaikan dengan keadaan yang telah mengalami perubahan sebagaimana dimaksud di atas, dan bahkan harus memperhitungkan kemungkinan tuntutan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di masa yang akan datang, dapat dilakukan melalui pengaturan yang lebih mudah dibuat, diubah dan dicabut. Dalam hubungan inilah dibentuk Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang bertugas untuk memberi pertimbangan kepada Menteri mengenai segala hal yang dipandang perlu dalam rangka perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional. Peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan pendidikan nasional perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pembangunan pendidikan nasional. Undang-undang yang lama, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550); Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550); Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361); Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80); Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) perlu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta diganti dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Dalam fungsinya untuk mengembangkan dan menjamin kelangsungan hidup bangsa, maka pendidikan nasional berusaha untuk mengembangkan kemampuan, mutu dan martabat kehidupan manusia Indonesia; memerangi segala kekurangan, keterbelakangan, dan kebodohan; memantapkan ketahanan nasional; serta meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan berlandaskan kebudayaan bangsa dan ke-Bhinneka-Tunggal-Ika-an. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Pasal ini menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu, pengaturan pelaksanaan hak tersebut tidak boleh mengurangi arti keadilan dan pemerataan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Pasal 6 Pasal ini memberikan pedoman bahwa pendidikan dasar, mempunyai fungsi untuk mempersiapkan bekal dasar bagi pengembangan kehidupan, sikap, pengetahuan, dan keterampilan, yang diperlukan oleh setiap warga negara sekurang-kurangnya setara dengan pendidikan dasar dalam membekali dirinya. Pasal 7 Pendidikan nasional memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, karena itu, dalam penerimaan peserta didik tidak dibenarkan adanya pembedaan atas dasar jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali dalam satuan pendidikan yang memiliki kekhususan. Misalnya, satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan atas dasar kewanitaan dibenarkan untuk menerima hanya wanita sebagai peserta didik dan tidak menerima pria. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tertentu dibenarkan untuk menerima hanya penganut agama yang bersangkutan. Pasal 8 Ayat (1) Pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang disesuaikan dengan kelainan peserta didik berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Satuan pendidikan dapat terwujud sebagai suatu sekolah, kursus, kelompok belajar, ataupun bentuk lain, baik yang menempati bangunan tertentu maupun yang tidak, seperti satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan melalui prasarana yang dilembagakan. Pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik yang dilembagakan maupun tidak. Ciri-ciri yang membedakan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah adalah keluwesan pendidikan luar sekolah berkenaan dengan waktu dan lama belajar, usia peserta didik, isi pelajaran, cara penyelenggaraan pengajaran dan cara penilaian hasil belajar. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Keluarga merupakan pendidikan yang penting peranannya dalam upaya pendidikan umumnya. Pemerintah mengakui kemandirian keluarga untuk melaksanakan upaya pendidikan dalam lingkungannya sendiri. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan umum diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Ayat (3) Pendidikan kejuruan diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah. Ayat (4) Ayat ini didasarkan atas kenyataan bahwa peserta didik yang dimaksud sesungguhnya memerlukan bantuan dan perhatian yang lebih banyak dalam pendidikan dan upaya belajar mereka daripada yang dapat diberikan oleh sekolah biasa. Pendidikan luar biasa diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Ayat (5) Pendidikan kedinasan diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah jenjang pendidikan tinggi. Ayat (6) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan. Ayat (7) Pendidikan akademik, yang juga dikenal sebagai pendidikan keilmuan, diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi. Istilah “akademik”, dalam hal ini tidak terkait pada bentuk perguruan tinggi yang dikenal sebagai akademi. Ayat (8) Pendidikan profesional, yang juga dikenal sebagai pendidikan keahlian diselenggarakan pada jenjangpendidikan tinggi. Ayat (9) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Pendidikan di jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang berjenjang. Jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran dan cara penyajian bahan pengajaran. Tidak semua jenis pendidikan pada jalur pendidikan sekolah harus dimulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Ayat (2) Pendidikan prasekolah dapat diikuti oleh peserta didik sebelum memasuki pendidikan dasar. Pendidikan prasekolah tidak merupakan persyaratan untuk memasuki pendidikan dasar. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat. Pendidikan dasar diselenggarakan dengan memberikan pendidikan yang meliputi antara lain penumbuhan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pembangunan watak dan kepribadian serta pemberian pengetahuan dan keterampilan dasar. Pendidikan dasar pada hakikatnya merupakan pendidikan yang memberikan kesanggupan pada peserta didik bagi perkembangan kehidupannya, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Oleh karena itu, setiap warga negara harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan dasar. Program pendidikan dasar ini dapat disampaikan melalui pendidikan di sekolah termasuk yang merupakan pendidikan luar biasa dan/atau pendidikan di luar sekolah. Pendidikan dasar juga mempersiapkan peserta didik untuk dapat mengikuti pendidikan menengah. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan yang setara dengan pendidikan dasar berkenaan dengan kemungkinan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang lingkup dan tarafnya sepadan dengan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Pendidikan menengah merupakan pendidikan yang lamanya 3 (tiga) tahun sesudah pendidikan dasar dan diselenggarakan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau satuan pendidikan yang sederajat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dengan ketentuan ini maka perguruan tinggi di luar sekolah tinggi, institut dan universitas tidak dapat memberikan gelar sarjana, melainkan hanya sebutan profesional. Ayat (3) Oleh karena pemberian gelar magister dan doktor memerlukan persyaratan tertentu, maka hanya sekolah tinggi, institut dan universitas yang telah memenuhi persyaratan yang dapat menyelenggarakan program dan memberikan gelar tersebut. Ayat (4) Tidak semua pendidikan profesional diakhiri dengan pemberian sebutan profesional. Ayat (5) Gelar doktor kehormatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada mereka yang dianggap telah memberikan jasa yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dan umat manusia. Pemberian gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) disingkat Dr. (HC) diusulkan oleh senat fakultas dan dikukuhkan oleh senat institut atau universitas. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi tidak dibenarkan perubahan bentuk gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan, seperti penggantian gelar dan/atau sebutan yang diperoleh dengan gelar dan/atau sebutan atau singkatan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi negeri lain. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Kebebasan akademik dimiliki oleh sivitas akademika yang terdiri atas staf akademik dan mahasiswa. Kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika untuk melakukan pengajaran ilmu kepada dan antara sesama warganya serta melakukan studi, penelitian, pembahasan, dan penerbitan ilmiah. Kebebasan mimbar akademik sebagai bagian dari kebebasan akademik merupakan hak dan tanggung jawab seseorang yang memiliki wewenang dan wibawa keilmuan guna mengutarakan pikiran dan pendapatnya dari mimbar akademik. Otonomi keilmuan pada hakikatnya berarti bahwa kegiatan keilmuan berpedoman pada norma keilmuan yang harus ditaati oleh para ilmuwan dan calon ilmuwan. Pengembangan perguruan tinggi diarahkan pada kemampuan menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, yaitu kegiatan yang disebut Tridarma Perguruan Tinggi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Sesuai dengan dasar, fungsi, dan tujuannya, pendidikan nasional bersifat terbuka. Sifat itu diungkapkan dengan keleluasaan gerak peserta didik. Ini merupakan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan bakatnya sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Keleluasaan gerak berarti terbukanya kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya melalui jalur pendidikan yang tersedia dan kemungkinan untuk pindah dari satu jalur ke jalur yang lain, atau dari satu jenis ke jenis pendidikan yang lain dalam jenjang yang sama. Dalam pelaksanaan keleluasaan gerak perlu diperhatikan aspek-aspek proses belajar dan kemampuan sumber daya yang tersedia. Peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut pelajar, murid atau siswa dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut mahasiswa. Peserta didik dalam jalur pendidikan luar sekolah disebut warga belajar. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) butir 1 Pada dasarnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan Pemerintah, yang berlaku juga dalam hal biaya penyelenggaraan pendidikan. Pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah pada dasarnya peserta didik ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan yang jumlahnya ditetapkan menurut kemampuan orang tua atau wali peserta didik. Pada jenjang pendidikan yang dikenakan ketentuan wajib belajar, biaya penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan tanggung jawab Pemerintah, sehingga peserta didik tidak dikenakan kewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan Pendidikan. Peserta didik pada jenjang pendidikan lainnya yang ternyata memiliki kecerdasan luar biasa tetapi tidak mampu ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Pembebanan biaya tambahan yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan belajar-mengajar tidak dibenarkan. butir 2 Cukup jelas butir 3 Cukup jelas butir 4 Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Setiap warga negara berkesempatan seluas-luasnya untuk menjadi peserta didik melalui pendidikan sekolah ataupun pendidikan luar sekolah. Dengan demikian, setiap warga negara diharapkan dapat belajar pada tahap-tahap mana saja dari kehidupannya dalam mengembangkan dirinya sebagai manusa Indonesia. Tetapi tidak diharapkan terus menerus belajar tanpa mengabdikan kemampuan yang diperolehnya untuk kepentingan masyarakat. Penilaian pendidikan berkelanjutan tersebut dimungkinkan melalui ujian persamaan atau ekstranci. Warga negara yang belajar mandiri dapat diberi kesempatan untuk menempuh ujian persamaan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Termasuk dalam pengertian pengelola satuan pendidikan adalah kepala sekolah, direktur, dekan, rektor. Termasuk tenaga pendidik adalah tutor dan fasilitator. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Kewenangan mengajar diberikan melalui surat pengangkatan seseorang sebagai tenaga pengajar pada satuan pendidikan tertentu oleh pejabat yang berwenang dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan yang berlaku. Ayat (2) Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Tunjangan tambahan yang dimaksud dalam butir 1.b. adalah tunjangan di luar tunjangan yang diberikan atas dasar ketentuan umum yang berlaku bagi pegawai negeri dan diberikan bilamana Pemerintah menganggap perlu memberikan perlakuan khusus. Pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tenaga pengajar yang berhasil memperoleh peningkatan kemampuan dan kewenangan profesional diberi penghargaan melalui kenaikan pangkat dengan kemungkinan pencapaian pangkat kepegawaian yang lebih tinggi dari pada pangkat kepala satuan pendidikan yang bersangkutan, atau melalui bentuk penghargaan yang lain. Pasal 31 butir 1 Cukup jelas butir 2 Cukup jelas butir 3 Pelaksanaan tugas dengan penuh tanggung jawab termasuk keteladanan dalam menjalankan tugas. butir 4 Cukup jelas butir 5 Cukup jelas Pasal 32 Kewenangan pengaturan pengadaan, pembinaan, dan pengembangan tenaga kependidikan tersebut pada dasarnya dilakukan terhadap satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Namun begitu, sejauh diperlukan Pemerintah dapat pula melakukannya bagi kepentingan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pasal 33 Cukup jelas (lihat pula penjelasan Pasal 25) Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 35 Pendidikan tidak mungkin dapat terselenggara dengan baik bilamana para tenaga kependidikan maupun para peserta didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar yang bersangkutan. Salah satu sumber belajar yang amat penting, tetapi bukan satu-satunya adalah perpustakaan yang harus memungkinkan para tenaga kependidikan dan para peserta didik memperoleh kesempatan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan dengan membaca bahan pustaka yang mengandung ilmu pengetahuan yang diperlukan. Sumber belajar lain adalah misalnya, laboratorium, bengkel dan fasilitas olahraga. Bagi pendidikan kedokteran sumber belajar meliputi rumah sakit. Pasal 36 Ayat (1) Meskipun pada dasarnya biaya penyelenggaraan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah, penjelasan Pasal 25 ayat (1) butir 1 tetap berlaku, terutama pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Kurikulum yang dimaksud pada ayat ini terdapat pada jalur pendidikan sekolah maupun pada jalur pendidikan luar sekolah. Satuan pendidikan dapat menambah mata pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan serta ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan. Semua tambahan tersebut tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasonal dan tidak menyimpang dari tujuan dan jiwa pendidikan nasional. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Pendidikan kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Pada jenjang pendidikan tinggi pendidian pendahuluan bela negara diselenggarakan antara lain melalui pendidikan kewiraan. Ayat (3) Sebutan-sebutan tersebut pada ayat (3) bukan nama mata pelajaran, melainkan sebutan yang mengacu pada pembentukan kepribadian dan unsur-unsur kemampuan yang diajarkan dan dikembangkan melalui pendidikan dasar. Lebih dari satu unsur tersebut dapat digabung dalam satu mata pelajaran atau sebaliknya, satu unsur dapat dibagi menjadi lebih dari satu mata pelajaran. Unsur-unsur kemampuan pada ayat (3) dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pendidikan dasar harus mencakup sekurang-kurangnya semua kemampuan tersebut. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 40 Ketentuan hari belajar dan libur sekolah hanya berlaku pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Tahun pelajaran sekolah dimulai pada minggu ketiga bulan Juli. Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 43 Penilaian kegiatan belajar-mengajar dilakukan untuk membantu perkembangan peserta didik dalam usaha mencapai tujuan pendidikannya. Oleh karena itu, penilaian disertai dengan usaha bimbingan dan nasihat. Pasal 44 Tujuan penilaian yang diatur dalam pasal ini adalah untuk mengetahui hasil belajar para peserta didik suatu jenis dan jenjang pendidikan tertentu dengan menggunakan ukuran yang ditetapkan secara nasional pada akhir masa pendidikannya. Penilaian harus didasarkan atas kurikulum nasional. Hal ini juga dimaksudkan untuk memperoleh keterangan tentang mutu hasil pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional. Ujian negara diselenggarakan untuk mengesahkan keberhasilan belajar peserta ujian sebagai hasil belajar yang telah memenuhi persyaratan yang dianggap berlaku oleh Pemerintah. Pasal 45 Penilaian kurikulum sebagai satu kesatuan dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum yang bersangkutan dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaian dengan tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kegiatan penilaian ini merupakan bagian dari upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Pasal 46 Ayat (1) Penilaian meliputi segi-segi administrasi, kelembagaan, tenaga kependidikan, kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, serta keadaan umum satuan pendidikan baik yang diselenggarakan Pemerintah maupun masyarakat untuk menentukan akreditasi satuan pendidikan dan usaha pembinaan yang diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Peran serta masyrakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam uaha menyelenggarakan pendidikan nasional. Masyarakat berperan serta seluas-luasnya dalam menyelenggarakan dan mengembangkan satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Baik satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat berkedudukan sama dalam sistem pendidikan nasional. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk menghargai setiap penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu, seperti satuan pendidikan yang berlatar belakang keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Badan yang dimaksud ini diharapkan menyalurkan aspirasi masyarakat umum serta kepentingan bangsa dan negara berkenaan dengan masalah-masalah pendidikan kepada pengelola sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itu, badan tersebut harus beranggotakan wakil-wakil golongan dalam masyarakat, pakar-pakar berkenaan dengan upaya penyelenggaraan pendidikan, bersama beberapa pejabat yang mewakili Pemerintah. Badan ini bersifat non struktural. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Pengelolaan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang lazim disebut perguruan swasta dilakukan oleh suatu badan yang bersifat sosial, sedangkan pengelolaan pendidikan jalur pendidikan luar sekolah dapat pula oleh perorangan. Pasal 52 Pemerintah berkewajiban membina perkembangan pendidikan nasional dan oleh sebab itu wajib mengetahui keadaan satuan dan kegiatan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah sendiri maupun oleh masyarakat. Pengawasan lebih merupakan upaya untuk memberi bimbingan, binaan, dorongan, dan pengayoman bagi satuan pendidikan yang bersangkutan yang diharapkan terus-menerus dapat meningkatkan mutu pendidikan maupun pelayanannya. Pasal 53 Tindakan administratif berwujud pemberian peringatan sebagai tindakan yang paling ringan dan perintah penutupan satuan pendidikan yang bersangkutan sebagai tindakan yang paling berat. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 56 Ancaman pidana terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 29 ayat (1) hanya dikenakan bagi warga negara. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3390Pasal 25A UUD 1945 menceritakan apa?
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 18 ayat 1 tentang apa?
Pasal 18 ayat ( 1 ) ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.’
UU No 28 Tahun 2004 Tentang apa?
(1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan
UU No 27 Tahun 2004 Tentang apa?
MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu.
UU No 28 Tahun 2002 Tentang apa?
Undang-Undang No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Ketentuan mengenai penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mengatur tentang apakah UUD 1945 pasal 27 ayat 2?
I. UMUM Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati. Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian pelayanan penempatan secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja ilegal yang tentunya berdampak pada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam dan bahkan berkembang ke arah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan perlakuan eksploitatif dari siapapun. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Undang-Undang ini intinya harus memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya. Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen, profesinalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi. Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri. Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di luar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasi kemungkinan eksploitasi terhadap tenaga kerja Indonesia. Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang mempunyai pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi. Sementara bagi mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah yang dampaknya mereka biasanya dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan pengaturan berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang maksimal. Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan adalah berkaitan dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Tidak adanya satu saja dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara tujuan penempatan. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI. Dengan demikian Undang-Undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen pcningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Menempatkan warga negara Indonesia dalam Pasal ini mencakup perbuatan dengan sengaja memfasilitasi atau mengangkut atau memberangkatkan warga negara Indonesia untuk bekerja pada Pengguna di luar negeri baik dengan memungut biaya maupun tidak dari yang bersangkutan. Pasal 5 Ayat (1) Penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilakukan secara seimbang oleh Pemerintah dan masyarakat. Agar penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tersebut dapat berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah perlu mengatur, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksana penempatan TKI swasta sebelum berlakunya Undang-Undang ini disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jaminan bank dalam bentuk deposito atas nama Pemerintah dimaksudkan agar ada jaminan untuk biaya keperluan penyclesaian perselisihan atau sengketa calon TKI di dalam negeri dan/atau TKI dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI swasta atau menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta yang masih ada karena izin dicabut atau izin udak diperpanjang atau TKI tersebut tidak diikutkan dalam program asuransi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan sarana prasarana pelayanan penempatan TKI antara lain tempat penampungan yang layak, tempat pelatihan kerja, dan kantor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI adalah yang dalam praktek sering disebut dengan istilah “jual bendera” atau “numpang proses”. Apabila hal ini ditolerir, akan membuat kesulitan untuk mencari pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal terjadi permasalahan terhadap TKI. Pasal 20 Ayat (1) Pembentukan perwakilan dapat dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaksana penempatan TKI swasta. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Kantor cabang dapat dibentuk di Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Pengguna perseorangan dalam Pasal ini adalah orang perseorangan yang mempekerjakan TKI pada pekerjaan-pekerjaan antara lain sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi atau perawat manusia lanjut usia, pengemudi, tukang kebun/taman. Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasa disebut sebagai pekerjaan di sektor informal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan Perwakilan Republik Indonesia meliputi dokumen perjanjian kerja sama penempatan, surat permintaan TKl, dan perjanjian kerja. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Perlindungan asuransi yang dimaksud dalam huruf ini sedikit-dikitnya sama dengan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pertimbangan keamanan pada ayat ini antara lain negara tujuan dalam keadaan perang, bencana alam, atau terjangkit wabah penyakit menular. Pasal 28 Yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam Pasal ini antara lain pekerjaan sebagai pelaut. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelatihan kerja bagi calon TKI dapat dilakukan oleh lembaga pelatihan maupun unit pelayanan yang dimiliki pelaksana penempatan TKI swasta. Huruf d Pemeriksaan psikologis dimaksudkan agar TKI tidak mempunyai hambatan psikologis dalam melaksanakan pekerjaannya di negara tujuan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Surat permintaan TKI dari Pengguna dalam huruf ini dikenal dengan sebutan job order, demand letter atau wakalah Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Agar informasi dapat diterima secara benar oleh masyarakat, harus digunakan bahasa yang mudah dipahami. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Huruf a Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ketentuan dalam Pasal ini berarti bahwa pelaksana penempatan TKI swasta tidak dibenarkan melakukan perekrutan melalui calo atau sponsor baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan mampu berkomunikasi dengan bahasa asing adalah mampu menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan di negara tujuan. Huruf d Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Yang dimaksud dengan sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi nasional dan/atau internasional. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan dan psikologi dalam ketentuan ini dapat merupakan milik Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan/atau masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan “““““““““““““““““““““““““““`sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Paspor diterbitkan setelah mendapat rekomendasi dari dinas yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota setempat. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Jaminan yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah pernyataan kesanggupan dari pelaksana penempatan TKI swasta untuk memenuhi janjinya terhadap calon TKI yang ditempatkannya. Misalnya, apabila dalam perjanjian penempatan pelaksana penempatan TKI swasta menjanjikan bahwa calon TKI yang bersangkutan akan dibayar sejumlah tertentu oleh Pengguna, dan ternyata dikemudian hari Pengguna tidak memenuhi sejumlah itu (yang tentunya dicantumkan dalam perjanjian kerja), maka pelaksana penempatan TKI swasta harus membayar kekurangannya. Demikian pula apabila calon TKI dijanjikan akan diberangkatkan pada tanggal tertentu namun ternyata sampai pada waktunya tidak diberangkatkan, maka pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengganti kerugian calon TKI karena keterlambatan pemberangkatan tersebut. Dengan dimuatnya klausul perjanjian penempatan seperti ini, maka pelaksana penempatan TKI swasta didorong untuk mencari dan menempatkan calon TKI pada Pengguna yang tepat. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam perjanjian penempatan dapat diperjanjikan bahwa apabila TKI setelah ditempatkan ternyata mengingkari janjinya dalam perjanjian kerja dengan Pengguna yang akibatnya pelaksana penempatan TKI swasta menanggung kerugian karena dituntut oleh Pengguna akibat perbuatan TKI tersebut, maka dalam perjanjian penempatan dapat diatur bahwa TKI yang melanggar perjanjian kerja harus membayar ganti rugi kepada pelaksana penempatan TKI swasta. Demikian pula dapat diatur sebaliknya bahwa apabila pelaksana penempatan TKI swasta mengingkari janjinya kepada TKI, maka dapat diperjanjikan bahwa pelaksana penempatan TKI swasta harus membayar ganti rugi kepada TKI. Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Oleh karena proses pengurusan dokumen atau pemeriksaan kesehatan calon TKI membutuhkan waktu yang relatif lama, dan mengingat pelaksanaan pelatihan kerja pada umumnya dipusatkan pada lokasi tertentu sehingga untuk kelancaran pelaksanaan pendidikan dan pelatihan mereka dapat tinggal di penampungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Pada dasarnya kewajiban untuk melaporkan diri sebagai seorang warga negara yang berada di negara asing merupakan tanggung jawah orang yang bersangkutan. Namun, mengingat lokasi penempatan yang tersebar, pelaksanaan kewajiban melaporkan diri dapat dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 72 Penempatan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan dalam ketentuan perjanjian kerja, misalnya di dalam perjanjian kerja TKI tersebut dipekerjakan dalam jabatan baby sitter (pengasuh bayi), maka pelaksana penempatan TKI swasta tersebut dilarang menempatkan pada jabatan selain jabatan yang tercantum dalam perjanjian kerja dimaksud. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Setiap negara tujuan atau Pengguna dapat menetapkan kondisi untuk mempekerjakan tenaga kerja asing di negaranya. Oleh karena itu terdapat kemungkinan adanya tambahan biaya lainnya yang menjadi beban calon TKI. Agar calon TKI tidak dibebani biaya yang berlebihan, maka komponen biaya yang dapat ditambahkan serta besarnya biaya untuk dibebankan kepada calon TKI. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada perwakilan Republik Indonesia tertentu, dibahas dan dilakukan bersama oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hubungan luar negeri, Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara, dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Pemerintah termasuk di dalamnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4445Bagaimana bunyi pasal 4 ayat 1 UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945?
( 1 ) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
UU No 16 Tahun 2009 Tentang apa?
Katalog Indonesia. Kementerian BUMN UU Nomor 16 Tahun 2009 tanggal 25 Maret 2009, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. -Jakarta, 2009. LN 2009 (211) : 4 hlm UU
Taat membayar pajak untuk negara merupakan bunyi pasal 23 ayat berapa?
Pajak, Dari, Oleh, dan Untuk Rakyat Seperti halnya negara demokrasi yang menyebutkan bahwa pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, begitu pula dengan pajak. Bisa dikatakan bahwa pajak berasal dari, oleh dan untuk rakyat sendiri. Maksud dari hal tersebut yaitu penghasilan atau anggaran dana suatu negara berasal dari rakyat yang dilakukan melalui pemungutan pajak atau berasal dari kekayaan alam yang terdapat dalam negara tersebut yang harus dibayar oleh rakyat atau bisa juga disebut sebagai peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan pemerintah dan kesejahteraan rakyat umum.
- Di Indonesia pajak merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh setiap warga negara yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak.
- Ewajiban membayar pajak sendiri tercantum dalam pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Selain itu di Indonesia pajak memiliki posisi yang paling penting, selain untuk membiayai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, pajak merupakan penopang terbesar APBN di negara Indonesia. Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara di proyeksikan sebesar 1.894,7 triliun rupiah dengan rincian penerimaan dari pajak sebesar 1.618,1 triliun rupiah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 275,4 triliun rupiah, dan hibah sebesar 1,2 tririlun rupiah.
(Wikipedia.com). Besarnya target penerimaan negara dari sektor pajak, menjadikan apapun yang ada di Indonesia dijadikan objek pajak, seperti pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak saat berbelanja dan yang terbaru saat ini yaitu pemerintah mulai menargetkan para pengguna media sosial seperti youtuber dan selebgram sebagai objek pajak.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menkeu 210/PMK 010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Suara.com). Seperti sebuah slogan yang mengatakan bahwa “Warga bijak taat bayar pajak”. Ini adalah sebuah slogan yang seringkali terdengar di kalangan masyarakat umum, dimana slogan ini selalu dikampanyekan secara masif oleh pemerintah baik melalui media cetak maupun media elektronik.
- Tujuannya yaitu agar masyarakat bisa taat membayar pajak, karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan keuangan negara selain dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah baik dalam maupun luar negeri yang digunakan untuk membiayai pembangunan.
- Upaya pemerintah yang mendorong masyarakat untuk membayar pajak dengan menekankan bahwa tanpa pajak, pembangunan tidak akan berjalan, dan jika pembangunan tidak berjalan maka pemerintah tentu tidak bisa mensejahterakan rakyat justru tidak berbanding lurus dengan fakta yang ada.
Jadi dengan tidak membayar pajak maka pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik. Apalagi, di Indonesia pembangunannya masih sangat minim dibandingkan dengan negara lain. Namun saat ini banyaknya masyarakat yang belum taat membayar pajak disebabkan karena minimnya informasi masyarakat mengenai manfaat dari pajak itu sendiri.
- Adapun manfaat dari adanya pajak bagi negara yaitu: Membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, seperti: pengeluaran yang bersifat self liquiditing.
- Contohnya: pengeluaran untuk proyek produktif barang ekspor.
- Membiayai pengeluaran reproduktif, seperti: pengeluaran yang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat.
Contohnya: pengeluaran untuk pengairan dan pertanian. Membiayai pengeluaran yang bersifat tidak self liquiditing dan tidak reproduktif. Contohnya: pengeluaran untuk pendirian monument dan objek rekreasi. Membiayai pengeluaran yang tidak produktif. Contohnya: pengeluaran untuk membiayai pertahanan negara atau perang dan pengeluaran untuk penghematan di masa yang akan datang yaitu pengeluaran untuk anak yatim piatu.
Jadi dengan taat membayar pajak manfaat yang bisa masyarakat terima yaitu: Fasilitas umum dan infrastruktur, seperti: jalan raya, jembatan, sekolah dan rumah sakit, Pertahanan dan keamanan, seperti: bangunan, senjata, perumahan hingga gaji karyawan, Subsidi pangan dan bahan bakar minyak, Kelestarian lingkungan hidup dan budaya, Dana pemilu, Pengembangan alat transportasi massa dan lain-lain.
Mulai sekarang sebagai warga negara Indonesia agar taat membayar pajak, karena manfaatnya akan sangat berguna bagi semua masyarakat. Selain itu juga agar bisa membuat Indonesia menjadi lebih maju dari sekarang dengan membayar kewajiban yaitu bayar pajak.