Pajak Penghasilan Yang Memudahkan Bagi Wajib Pajak Pribadi Adalah?
Ketentuan tarif pajak 17 untuk kondisi tertentu –
Tarif tertinggi yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan paling rendah 25 persen. Khusus untuk tarif pajak yang diberlakukan kepada wajib pajak badan dan bentuk usaha tertentu akan menjadi 25 persen dan mulai berlaku pada 2010. Perseroan Terbuka sebagai wajib pajak badan dalam negeri dan memiliki setidaknya 40 persen jumlah keseluruhan saham yang disetor dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia serta memenuhi persyaratan tertentu, bisa mendapatkan tarif lebih rendah 5 persen daripada tarif normal. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima pembagian dividen akan dikenakan tarif pajak penghasilan sebesar 10 persen. Tarif ini bersifat final. Ketentuan selanjutnya mengenai hal ini diatur dalam peraturan pemerintah.
Selain sebagai kewajiban, dengan membayar pajak berarti kita turut serta berkontribusi dalam pembangunan negara. Kesadaran itulah yang harus kita tanamkan dalam diri kita. Semoga informasi tentang Penghasilan Kena Pajak ini bermanfaat, ya ! : Apa Itu Penghasilan Kena Pajak dan Bagaimana Cara Menghitungnya?
Contents
Apa saja pajak penghasilan orang pribadi?
Tarif Pajak Penghasilan – Tarif pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Penghasilan orang pribadi sampai dengan Rp 50 juta dikenai tarif 5 persen. Penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta dikenai tarif 15 persen. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta dikenai tarif 25 persen. Penghasilan di atas Rp 500 juta dikenai tarif 30 persen.
Setelah diperoleh angka penghasilan kena pajak dan pajak terutang, langkah berikutnya adalah mengurangkan pajak penghasilan hasil perhitungan dengan kredit pajak. Kredit pajak penghasilan adalah pajak yang sebelumnya sudah dibayar, baik melalui mekanisme pemotongan oleh pihak lain, ataupun penyetoran sendiri. THINKSTOCK Pajak penghasilan adalah salah satu pajak pribadi Baca juga: Cara Pesan Tiket Kereta Online, Praktis Cuma 5 Menit Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Apa yang dimaksud dengan pajak penghasilan Wajib Pajak orang pribadi?
Belajar Pajak: Apa Itu Pajak Penghasilan Orang Pribadi? Jakarta – Pajak penghasilan pribadi umumnya dikenal sebagai pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP). PPh OP adalah pengenaan pajak terhadap subjek pajak milik orang pribadi atas penghasilan atau pendapatan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.
- Adapun PPh terbagi menjadi dua kategori berdasarkan sumber pendapatan atau penghasilan yang diperoleh wajib pajak.
- Dua kategori tersebut yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26.
- Pada PPh Pasal 21 adalah pajak pemotongan atas penghasilan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, atau bahkan kegiatan dengan nama atau dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dari dalam negeri.
Menurut tentang Pajak Penghasilan, pada Pasal 17 diterangkan bahwa besaran PPh 21 dan segala rinciannya tertuang jelas di dalam Undang-Undang tersebut. Menurut pasal tersebut, besaran pajak atau tarif PPh 21 ditentukan dalam beberapa kondisi. Pertama, penghasilan kena pajak (PKP) untuk pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP).
- Pada lapisan PKP apabila penghasilan mencapai jumlah Rp 50 juta, maka besaran tarif yang dikenakan senilai 5 persen.
- Apabila di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta, maka besaran tarif senilai senilai 15 persen.
- Emudian, apabila di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, maka besaran tarif senilai 25 persen.
apabila di atas Rp 500 juta, maka besaran tarif senilai 30 persen. Kedua, PKP bagi yang tidak memiliki NPWP. Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER/16/PJ/2016 Pasal 20 diterangkan bahwa bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh 21 yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan tarif pemotongan PPh 21 lebih dari 20 persen dibandingkan tarif yang sudah ditetapkan.
- Pada jumlah yang dimaksud senilai dengan 120 persen dari jumlah PPh 21 yang seharusnya.
- Sedangkan, pemotongan PPh 21 yang dimaksud bersifat tidak final dan hanya berlaku bagi pemotong PPh Pasal 21.
- Sedangkan PPh Pasal 26 adalah pajak pemotongan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Dengan demikian, PPh 26 merupakan PPh yang dipotong dari badan usaha dalam bentuk apapun yang terdapat di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran baik gaji, bunga, dividen, royalti atau sejenisnya kepada wajib pajak luar negeri. Adapun tarif umum PPh 26 senilai 20 persen dan bersifat final.
- Pada tarif final atas jumlah bruto yang dikenakan berdasarkan dividen, bunga, royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait jaminan, insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, hadiah, pensiun, premi swap, serta perolehan keuntungan dari penghapusan utang.
- Sedangkan tarif final dari laba bersih berdasarkan dari pendapatan dari penjualan aset di Indonesia dan premi asuransi atau reasuransi yang dibayar langsung kepada perusahaan asuransi asing.
: Belajar Pajak: Apa Itu Pajak Penghasilan Orang Pribadi?
Apa saja yang menjadi subjek pajak orang pribadi?
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. 3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment, Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan. c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Hruruf a. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu: 1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya, Ayat (2) Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain: a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2 Pasal 3 Huruf a dan huruf b Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: – penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; – penghasilan dari usaha dan kegiatan; – penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; – penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah: 1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; 3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; 4) pembagian laba dalam bentuk saham; 5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; 7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; 8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; 9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.Apa yang dimaksud penghasilan orang pribadi?
Objek Pajak Penghasilan Pribadi – Objek penghasilan orang pribadi adalah suatu penghasilan yang merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh atau diterima oleh orang pribadi, baik itu yang berasal dari Indonesia ataupun yang berasal dari luar Indonesia, yang bisa digunakan untuk menambah kekayaan yang bersangkutan atau untuk dikonsumsi, dengan bentuk dan nama apapun.
Orang wajib pajak penghasilan berapa?
Macam-macam Wajib Pajak – Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri atas:
Orang Pribadi (Induk) Hidup Berpisah (HB) Pisah Harta (PH) Memilih Terpisah (MT) Warisan Belum Terbagi (WBT).
Sementara itu Wajib Pajak Badan terdiri atas:
Badan Joint Operation Kantor Perwakilan Perusahaan Asing Bendahara Penyelenggara Kegiatan.
Lantas, berapa penghasilan yang dikenai pajak? Dilansir Kompas.com, 3 Maret 2022, dalam ketentuan baru Penghasilan Kena Pajak (PKP) orang pribadi ditingkatkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp 50 juta. Sementara Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditetapkan Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun (TK/0).
- Etentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
- Dengan begitu bagi Anda yang memiliki gaji Rp 5 juta per bulan wajib membayar dan melaporkan pajak setiap tahun.
- Pendapatan hingga Rp 60 juta per tahun, tarif pajaknya sebesar 5 persen.
- Sementara itu, bagi yang memiliki gaji maupun penghasilan Rp 60 juta per tahun sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif PPh final 15 persen.
Baca juga: Cara Lapor Pajak SPT Tahunan Melalui E-Form dan E-Filling
Apa saja yang menjadi subjek pajak penghasilan?
Pengertian Subjek Pajak Penghasilan – Subjek pajak penghasilan adalah badan atau perorangan yang wajib membayar pajak karena sudah dikenakan pajak dari negara. Subjek pajak juga dibagi menjadi 4 jenis atau bagian. Berdasarkan domisilinya, subjek pajak terbagi menjadi dua yakni pajak penghasilan dalam negeri dan pajak penghasilan luar negeri.
Sedangkan, 4 kategori tersebut yaitu orang pribadi, warisan, badan, dan juga BUT (badan usaha tetap). Secara singkat, subjek pajak orang pribadi adalah semua warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia ataupun bertempat tinggal di luar negeri, namun mempunyai penghasilan dari Indonesia.
Sedangkan, subjek pajak badan adalah semua badang yang telah berkembang dan berdiri di Indonesia. Akan tetapi, badan non-komersial dan badan yang biayanya berasal dari APBN/APBD tidak termasuk dalam subjek pajak badan. Selanjutnya, subjek pajak warisan yang belum dibagi adalah semua pewaris yang nantinya menurunkan atau membagikan harta warisannya.
- Maka, pewaris tersebut wajib untuk melakukan pendaftaran terkait harta benda tersebut serta membayar pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
- Badan Usaha Tetap adalah gedung, kantor, bengkel, pabrik, dan bentu usaha tetap lainnya yang dibangung oleh WNA ataupun WNI yang tinggal di wilayah Indonesia.
Baca juga: Jenis Pajak dan Keuntungannya bagi Bisnis
Bagaimana cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi?
Dasar Perhitungan PPh Pengusaha – Karena statusnya wajib pajak pribadi yang profesinya sebagai pengusaha, maka mekanisme dan dasar perhitungan PPh atau rumus PPh-nya pun berbeda. Wajib pajak orang pribadi sebagai pengusaha ini menyetorkan sendiri pajak penghasilannya.
PPh dari Gaji = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak
Sedangkan cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi sebagai pengusaha yang diperoleh dari penghasilan lainnya adalah:
PPh dari Pendapatan Lainnya = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak Penghasilan Neto = Penghasila Bruto x Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)
Besar PTKP 2021 wajib pajak orang pribadi masih sama seperti dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP, yakni Rp54.000.000 setahun atau Rp4.500.000 per bulan, dengan rincian sebagai berikut:
Wajib pajak lajang Rp54.000.000 Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami Rp54.000.000 Tambahan wajib pajak yang memiliki status kawin Rp4.500.000 Tambahan untuk setiap anggota keluarga yang jadi tanggungan, maksimal 3 (keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat) Rp4.500.000
Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 UU PPh, perhitungan tarif pajak pribadi menggunakan tarif progresif, dengan ketentuan besar tarif adalah:
5% untuk penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun 15% untuk penghasilan Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 per tahun 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 per tahun 30% untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun
Terbaru, dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPh Pribadi dan layer (bracket) pajak penghasilan orang pribadi mengalami perubahan seperti berikut:
5% untuk penghasilan hingga Rp60.000.000 per tahun 15% untuk penghasilan Rp60.000.000 – Rp250.000.000 per tahun 25% untuk penghasilan Rp250.000.000 – Rp500.000.000 per tahun 30% untuk penghasilan Rp500.000.000 – Rp5.000.000.000 per tahun 35% untuk penghasilan di atas Rp5.000.000.000
Selengkapnya temukan di sini apa saja perubahan regulasi pajak terbaru dalam Poin-Poin Regulasi Pajak dalam UU HPP. Saya Mau Coba Gratis Klikpajak Sekarang!
Apa yang dimaksud dengan pajak penghasilan?
Seperti diketahui bahwa pajak penghasilan awalnya diterapkan pada perusahaan perkebunan yang menyebar dan banyak didirikan di Indonesia. Namun saat ini, pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;
Selain itu, ketentuan terbaru tentang PPh telah disempurnakan dan diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 17 ayat (1) UU HPP bahwa besarnya tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (PPh 21) adalah sebagai berikut:
5% untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 60.000.000.15% untuk penghasilan diatas Rp 60.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000.25% untuk penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.30% untuk penghasilan di atas Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 5.000.0000.0000 35% untuk penghasilan di atas Rp 5.000.000.000 Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan dengan tarif yang lebih tinggi.
Berapa pajak yang harus dibayar NPWP pribadi?
Bagaimana ketentuannya? – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor menjelaskan, penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi bertujuan untuk integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. “Bertujuan mempermudah WP orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional,” ujar Neilmaldrin kepada Kompas.com, Jumat (8/10/2021).
- Penghasilan setahun di atas batasan PTKP; atau
- Peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun bagi pengusaha yang membayar PPh Final 0,5% (PP-23/2018).
Dalam laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disebutkan bahwa PTKP adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Baca juga: Beredar Isu Semua Orang Wajib Bayar Pajak jika NIK Jadi NPWP, Benarkah? Sesuai dengan Pasal 7 UU Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008, PTKP merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang dibebaskan dari PPh Pasal 21.
- Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurangan penghasilan netto Wajib Pajak (WP).
- Menurut Neilmaldrin, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No.101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP, jumlah PTKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta per bulan.
- Untuk cara penghitungannya diuraikan secara detail melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-16/PJ/2016. Dalam konferensi pers, Sri Mulyani mengatakan, penghasilan yang kena pajak dalam UU HPP adalah minimal Rp 60 juta per tahun, lebih tinggi dari besaran penghasilan di UU sebelumnya, yakni Rp 50 juta. “Kalau pendapatan mereka di bawah itu tidak kena pajak, dia tidak membayar pajak.
Adanya UU HPP setiap orang yang punya pendapatan hingga Rp 4,5 juta per bulan, single, itu dia tidak kena pajak,” ujar Sri Mulyani. Sedangkan untuk wajib pajak yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 5 persen. Adapun untuk penghasilan Rp 60 juta-Rp 250 juta akan dikenakan tarif pajak 15 persen dari penghasilan tersebut.
Kemudian, untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun Orang Pribadi (OP) dikenakan tarif PPh sebesar 35 persen. Semula UU PPh tidak mengatur besaran tarif pajak untuk pendapatan di atas Rp 5 miliar. Berikut ini lapisan tarif terbaru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP):
- Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif 5 persen
- Penghasilan di atas Rp 60 juta-Rp 250 juta kena tarif 15 persen
- Penghasilan di atas Rp 250 juta-Rp 500 juta kena tarif 25 persen
- Penghasilan di atas Rp 500 juta-Rp 5 miliar kena tarif 30 persen
- Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif 35 persen.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Subjek pajak ada berapa?
Pengertian Subjek Pajak – Secara singkatnya, subjek pajak merupakan orang atau badan yang dikenakan pajak oleh negara. Subjek pajak ini dibagi menjadi 4 kategori yaitu pribadi, badan, warisan yang belum dibagi, dan badan usaha tetap. Berikut ini ketentuan yang berlaku untuk masing-masing kategori:
Orang pribadi: Bagi seluruh WNI atau WNA yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri, namun memiliki pendapatan dari Indonesia maka mereka akan diberlakukan pajak orang pribadi.Badan: Bagi seluruh badan yang berdiri dan berkembang di Indonesia masuk ke dalam ketentuan subjek pajak badan, terkecuali untuk badan yang bersifat non-komersial dan juga yang mendapatkan biaya dari APBN/APBD.Warisan yang belum terbagi: Bagi seluruh pewaris yang akan membagi dan menurunkan warisannya, maka pewaris wajib mendaftarkan harta bendanya dan membayarkan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk subjek pajak dengan kategori warisan yang belum terbagi.Bentuk usaha tetap: Bagi seluruh kantor, gedung, pabrik, bengkel, gudang, dan lainnya yang didirikan oleh WNI maupun WNA yang bertempat tinggal di Indonesia, maka mereka akan dikenakan pajak bentuk usaha tetap.
Baca juga: 4 Fungsi Pajak yang Dalam Kehidupan Bernegara
Siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak?
Objek Pajak dan Subjek Pajak – Setiap jenis pajak tentu memiliki objek pajak dan subjek pajak. Secara sederhana, objek pajak merupakan sumber pendapatan yang dikenakan pajak. Sedangkan subjek pajak merupakan perorangan atau badan yang ditetapkan menjadi subjek pajak.
Kapan subjek pajak orang pribadi menjadi wajib pajak?
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Tahun | Tarif | Penyusunan | Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 150.000.000,00 | |||
2009 | 50% | 75.000.000,00 | 75.000.000,00 |
2010 | 50% | 37.500.000,00 | 37.500.000,00 |
2011 | 50% | 18.750.000,00 | 18.750.000,00 |
2012 | Disusutkan sekaligus | 18.750.000,00 | 0 |
/td>
Tahun | Tarif | Penyusutan | Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 100.000.000,00 | |||
2009 | 6/12x 50% | 25.000.000,00 | 75.000.000,00 |
2010 | 50% | 37.500.000,00 | 37.500.000,00 |
2011 | 50% | 18.750.000,00 | 18.750.000,00 |
2012 | 50% | 9.375.000,00 | 9.375.000,00 |
2013 | Disusutkan sekaligus | 9.375.000,00 | 0 |
/td>